melodius_aksara Profile picture
Forum Literasi Melodius Aksara-Komunitas Literasi Indonesia

May 14, 2020, 74 tweets

A Thread Kisah Romantis dan Berakhir Tragis
#romanmelaks #Melaksbercerita
Kisah Dramatis Tan Malaka, Cinta Bertepuk Sebelah Tangan
Sang Pejuang dan Founder Negara Indonesia yang Jomblo Seumur Hidup
Sumber:
1. boombastis dot com
2. historia dot id

Versi podcastnya:

Tan Malaka atau Ibrahim gelar Datuk Sutan Malaka (lahir di Nagari Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, 2 Juni 1897 – meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada umur 51 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia,

tokoh Partai Komunis Indonesia, juga pendiri Partai Murba, dan merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.

Nama asli Tan Malaka adalah Sutan Ibrahim, sedangkan Tan Malaka adalah nama semi-bangsawan yang ia dapatkan dari garis turunan ibu.

Nama lengkapnya adalah Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Tanggal kelahirannya masih diperdebatkan, sedangkan tempat kelahirannya sekarang dikenal dengan nama Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat.

Ayah dan Ibunya bernama HM. Rasad, seorang karyawan pertanian, dan Rangkayo Sinah, putri orang yg disegani di desa. Semasa kecilnya, Tan Malaka senang mempelajari ilmu agama&berlatih pencak silat. Pada thn 1908, ia didaftarkan ke Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock.

Menurut GH Horensma, salah satu guru di sekolahnya itu, Tan Malaka adalah murid yang cerdas, meskipun kadang-kadang tidak patuh. Di sekolah ini, ia menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia menjadi seorang guru di sekolah Belanda.

Ia juga adalah seorang pemain sepak bola yg bertalenta. Setelah lulus dari sekolah itu pada tahun 1913, ia ditawari gelar datuk&seorang gadis untuk menjadi tunangannya. Namun, ia hanya menerima gelar datuk. Gelar tersebut diterimanya dalam sebuah upacara tradisional pada thn 1913

SALAH satu tokoh sejarah di Indonesia yang memutuskan untuk tidak menikah adalah Tan Malaka. Kenapa dia memilih untuk hidup melajang dan tak membangun keluarga sebagaimana banyak pemimpin republik lainnya?

Bagaimana rasanya kalau orang yang kita cintai tak menanggapi? Ya, pasti sakit. ‘Sakitnya Tuh Disini’, kata janda semok nan cantik, Cita Citata dalam lagunya. Pepatah mengatakan, Cinta yang bertepuk sebelah tangan, ibarat si pungguk yang rindukan bulan.

Yang namanya pungguk pasti sulit sampai ke bulan. Seperti itulah cinta bertepuk sebelah tangan digambarkan.
Sakit memang rasanya, bila cinta ditolak. Banyak tragedi yg terjadi, gara-gara cinta bertepuk sebelah tangan. Ada yg bunuh diri. Ada yg coba ‘berikhtiar’ dengan cara salah,

meminta dukun bertindak. Dan yang fatal ada yang melakukan tindak kriminal kepada gadis penolak cintanya. Sudah banyak berita tentang cinta ditolak, senjata bertindak. Cinta ditolak, nyawa melayang. Tapi ada pula yang memilih jalan yang diridhoi Tuhan, memilih move on.

Tapi tenang saja, kisah cinta ditolak, bertepuk sebelah tangan tak hanya kita-kita saja yang mengalami. Orang ‘besar’ pun pernah merasakan pahitnya sebuah penolakan. Tan Malaka adalah salah satunya. Anda tahu Tan Malaka? Tidak tahu? Di jaman internet begini tak tahu Tan Malaka?

Wah, keterlaluan. Kisah Tan Malaka lebih menarik diketahui ketimbang gosip Raffi Ahmad dan Ayu Ting Ting yang belakangan dibicarakan itu.

Tan Malaka adalah orang hebat. Dia Legenda, Tingkat legedarisnya tak kalah dengan Maradona. Saat studi di Belanda, #Melaksbercerita

salah satu olahraga yang digemari Tan Malaka adalah sepakbola. Ia aktif main di tim sepakbola sekolahnya. Hanya saja Tan Malaka tak pernah bermain curang seperti si Armando itu. Dia tak pernah bikin gol pakai tangan. Gol itu, walau disebut gol tangan Tuhan, #Melaksbercerita

saya yakin Tuhan pun tak suka. Tuhan mungkin jengah, namanya dicatut oleh sebuah perbuatan curang.
Tan Malaka, dalam sepenggal kisah hidupnya memang pernah merasakan pahitnya ditolak cinta. Tapi, Tan Malaka tak lantas merasa dunia kiamat karena cintanya bertepuk sebelah tangan.

Dia tak seperti Egi John yang cepat bercuit sedih di twitter, tatkala kisah cintanya runtas di tengah jalan. Walau saya juga tak tahu, apakah Tan Malaka juga akan bercuit seperti si Egi John, seandainya sudah ada di twitter ketika itu. Entahlah. Yang pasti,

kalau membaca kisahnya, Tan Malaka cepat move on. Tidak seperti remaja generasi facebook, cinta ditolak, baygon ditenggak.

Tan Malaka, dan Cinta yang Terpendam
Dikisahkan, saat muda, Tan Malaka pernah dihadapkan pada situasi tersulit dalam hidupnya. Ia ketika itu baru lulus dari sekolah raja (Kweekschool) di Bukittinggi. Syahdan,

ketika itu, Tan Malaka yang masih berusia 17 tahun diputuskan dapat gelar datuk. Keputusan itu berdasarkan rapat tetua adat Nagari Pandan Gadang, Lima Puluhan Kota. Tan Malaka mati-matian menolak.

Namun ancaman pun keluar, yang akhirnya membuat Tan ‘menyerah’. Ibunya memberi pilihan sulit, menerima gelar atau segera menikah #Melaksbercerita

Tan Malaka dan Syarifah Nawawi
Tan Malaka pun akhirnya menerima gelar datuk. Gelar yang merupakan gelar tertinggi dalam adat Minang. Gelar lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka. Namun di balik itu, ada kisah lain yang membuat Tan Malaka akhirnya menerima gelar tersebut.

Ternyata, dia memendam rasa suka kepada seorang gadis. Dia mencintai gadis tersebut. Itu yang membuatnya memilih gelar datuk, gelar yang didebatnya dengan sengit, ketimbang harus kawin dengan perempuan pilihan ibunya.

Siapakah gadis yang telah membuat Tan Malaka jatuh cinta untuk pertama kalinya? Dia, Syarifah Nawawi. Mengutip Majalah Tempo, Edisi Khusus Kemerdekaan, “Bapak Republik yang Dilupakan”, yang terbit 17 Agustus 2008, Syarifah adalah anak keempat Nawawi Sutan Makmur,

guru bahasa Melayu di Kweekeschool. Benih cinta Tan Malaka mulai tumbuh ketika pertama kali dia bertemu dengan Syarifah saat sama-sama sekolah di Kweek. Tan dan Syarifah tercatat sebagai siswa Kweek angkatan 1907.

Melepas Panah Asmara Pada Syarifah, Si Kembang Sekolah

Ketika itu, siswi satu-satunya di angkatan itu adalah Syarifah. Kepada kembang kelas itu, cinta Tan mulai tumbuh. Di Kweekschool, cintanya mulai menggeliat. Sampai akhirnya Tan Malaka harus pergi ke Belanda, melanjutkan studinya.

Seperti lelaki muda lainnya, walau terpisah ribuan mil, Tan Malaka rajin berkirim surat kepada Syarifah. Sampai kemudian ia coba melepaskan ‘panah asmaranya’. Lewat surat, ia mengungkapkan rasa cintanya kepada teman satu angkatannya itu.

Catat ya, lewat surat, bukan lewat status facebook, atau via pesan whatsapp. Apalagi lewat acara reality show tak penting itu di televisi. Tapi lewat surat, alat komunikasi pesan yang kini sudah dianggap usang.

Namun Apa daya, cinta Tan Malaka yang diungkapkan lewat surat itu tak berbalas alias bertepuk sebelah tangan. Syarifah si gadis pujaan menolaknya. Kecewa? Sudah pasti Tan kecewa.

Tapi ditolak cinta, tidak lantas membuat Tan Malaka frustasi.

Ia tidak mengambil langkah-langkah yang tak masuk akal. Misalnya meminta dukun untuk bertindak. Atau dengan konyol, mengancam gadis penolak cintanya. Beliau pilih move on. Dalam rumus hidupnya, masih banyak yang bisa dikerjakan, ketimbang meratapi cinta yang tak berbalas.

Berhasilkah? Ya sukseslah, begitu sohibul sejarah mencatatkan. Bagi Tan Malaka, urusan ditolak cewek itu, urusan kecil. Urusan yang gampang diatasi.
Mosok sekelas Tan Malaka tak bisa mengatasi itu. Wong, mengatasi intel saja dia mampu. Inget ya, intel yang dikangkangi Tan Malaka,

bukan sekedar intel Melayu yang suka bangga karena diangkat jadi intel. Tapi intel dari berbagai negara.
Kecewakah Tan Malaka? Tan Malaka, manusia biasa. Ia pun pasti punya rasa kecewa. Dia bukan Nabi, bukan pula wali.

Ia bukan Ahmad Dhani yang kecewa tak bisa nyagub, lantas pindah ke Bekasi. Dia bukan seperti itu. Cinta ditolak, tak membuat Tan Malaka merasa dunia akan kiamat. Dia tidak perlu mengeluarkan ancaman bakal pindah rumah, andai si pujaan hati naik pelaminan dengan orang lain.

Ada sebuah kisah yang berkembang tentang kenapa lelaki bernama Ibrahim itu memilih untuk tak menikah. Ketika masa remaja, Ibrahim jatuh cinta pada Syarifah Nawawi, gadis cantik kawan satu kelas semasa sekolah di Kweekschool, Bukittinggi.

Namun cintanya kandas saat Ibrahim dihadapkan pada dua pilihan: menolak dinobatkan sebagai datuk atau menikah dengan gadis pilihan orangtuanya. Ibrahim pilih yang pertama.

Tak lama setelah penobatan, Ibrahim yang telah bergelar Datuk Tan Malaka melanjutkan sekolah ke Belanda.

Berpisah dengan Syarifah Nawawi, pujaan hatinya. Lama tak berhubungan dgn Tan Malaka karena jarak, Syarifah dilamar oleh Bupati Cianjur RAA Wiranatakusumah yg telah beristri dua. Perkawinan mereka berakhir pada perceraian. Wiranatakusumah kawin lagi, lantas menceraikan Syarifah.

Joesoef Isak, mantan pemimpin redaksi koran Merdeka dan editor penerbit Hasta Mitra pernah mengisahkan sebuah anekdot tentang kandasnya hubungan cinta Tan Malaka itu. #Melaksbercerita

Kata Joesoef dalam sebuah wawancara pada 2008 lampau, kegagalan percintaannya itu jadi alasan kenapa Tan memilih untuk jadi komunis.
“Tan Malaka mendengar Syarifah dikawin Wiranatakusumah, lantas diceraikan begitu saja. Tan jadi dendam pada kaum feodal dan kemudian jadi komunis.

Ini cerita yang beredar di kalangan masyarakat Bukittinggi,” ujar Joesoef Isak.

Sejak gagal menikahi Syarifah, Tan memang hidup sendiri. Ada beberapa perempuan yang pernah singgah di hatinya namun tak pernah berakhir di pelaminan. Ketika di Belanda,

Tan sempat berpacaran dengan seorang gadis Belanda, Fenny Struijvenberg. Menurut penulis biografi Tan Malaka sejarawan Harry Poeze, Fenny sempat dekat dengan Tan Malaka namun tak pernah jelas seperti apa hubungan mereka.

Namun yang paling menarik adalah kisah Tan Malaka dengan Syarifah, cinta pertamanya. Setelah menolak Tan Malaka, Syarifah menikah dengan R.A.A. Wiranatakoesoema Bupati Cianjur saat itu. Catat ya, Wiranatakoesoema adalah seorang bupati. Ketika menikahi Syarifah,

Wiranatakoesoema sudah punya lima anak dari dua selirnya. Tapi ya itulah, dia bukan orang biasa. Dia seorang bupati.
Tahun 1924, Wiranatakoesoema, menceraikan Syarifah. Syahdan Tan Malaka sempat mendatangi Syarifah untuk meminangnya. Lagi-lagi cinta Tan Malaka ditolak.

Sungguh kisah cinta yang sangat pahit. Dua kali ditolak, oleh perempuan yang sama pula.

Deretan Perempuan yang Singgah dalam Hidup Tan Malaka
Cinta ditolak, Tan Malaka tetap berlalu. Begitulah kisah pahit cinta pertama Tan Malaka. Namun memang selain Syarifah yang menolaknya,

ada beberapa nama perempuan lain yang sempat singgah dalam jejak hidupnya. Salah satunya dengan Fenny Struyvenberg, mahasiswa kedokteran berdarah Belanda. Menurut gosip sejarah, dengan Fenny, Tan Malaka menjalin hubungan serius.

Sayang, tak jelas kemudian seperti apa hubungan kedua insan tersebut.
Perempuan lain yang juga disebut-sebut sempat singgah dalam kehidupan Tan Malaka adalah Nona Carmen, anak seorang rektor di Manila. Tan Malaka mengenal Carmen, dalam pelariannya di Filipina.

Tapi kisahnya dengan Nona Carmen pun tak jelas juntrungnya.

Lalu muncul nama Paramita Rahayu Abdurrahman, keponakan Ahmad Soebarjo yang ketika itu menjadi Menteri Luar Negeri. Tan dikabarkan berhubungan intens dengan Paramita. Bahkan ada yang menyebut keduanya telah tunangan.

Tapi, kisah Tan dengan Paramita pun tak jelas ujungnya.
Pada Adam Malik, yang kelak jadi Wakil Presiden, Tan Malaka sempat mengatakan, ada tiga perempuan yang sempat mengisi hidupnya. Kata Tan, satu di Belanda, satu di Filipina, satunya lagi di Belanda.

Tapi dengan pahit pula Tan mengatakan, semuanya cinta yang tak sampai.

” Perhatian saya terlalu besar untuk perjuangan,” begitu kata Tan Malaka pada Adam Malik. Pengakuan Tan Malaka itu kemudian ditulis Adam Malik dalam bukunya, “Mengabdi Republik.”

Tapi memang cinta ditolak atau diputus cinta, sakitnya luar biasa. Hanya orang-orang hebat yang bisa mengatasi itu. Lihat saja Cinta yang ditinggal Rangga. Sekolahnya sempat berantakan karena diputus Rangga. Tapi dia mampu mengatasi sampai sukses jadi pengelola galeri.

Sayang, ia kembali takluk oleh Rangga.

Kembali ke Tan Malaka. Dari beliau, kita mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, bagaimana move on dengan cepat. Dengan apa? Ya, dengan mengerjakan hal yang lebih penting.

Perjuangan membebaskan republik dari penjajahan itu yang dikerjakan Tan Malaka.

Tan sendiri tak pernah menceritakan kisah kasihnya dengan noni Belanda itu di dalam memoarnya Dari Penjara ke Penjara. #Melaksbercerita

Dia memang mengisahkan sempat menjalin hubungan dengan beberapa perempuan di negara di mana dia tinggal. Semasa tinggal di Manila, Filipina pada 1927, di bawah nama samaran Elias Fuentes, Tan sempat jatuh cinta pada seorang perempuan.

Kabarnya perempuan itu anak seorang petinggi universitas di sana.

Hubungan mereka terputus karena Tan ditangkap intelijen Amerika, diadili di Pengadilan Manila dan divonis deportasi keluar dari Filipina.

Tan kembali ke Tiongkok, menuju Shanghai di mana dia tinggal di sebuah desa kecil selama kurang lebih tiga tahun, sampai 1932, dalam keadaan sakit dan tak punya uang. Kabarnya seorang perempuan Tiongkok merawatnya ketika itu. Tak disebutkan bagaimana hubungan mereka.

Dalam keadaan sulit, Tan mengontak Alimin yang saat itu berada di Shanghai sebagai perwakilan Komintern di Asia. Kepada Alimin Tan menyatakan siap mendapat tugas dari Komintern. Alimin menugaskan Tan untuk pergi ke Burma (Myanmar).

Namun ketika tiba di Hongkong dalam perjalanan menuju Burma, Tan ditangkap agen rahasia Inggris dan ditahan selama dua bulan. Keluar dari penahanan, Tan menuju Amoy (Xiamen).

Tan yang menggunakan nama samaran Ong Soong Lee itu menurut Harry Poeze mendapatkan perlindungan di Tiongkok Selatan. “Ia tiba di Amoy, dan di sana berhasil mendirikan Foreign Languages School (Sekolah Bahasa-Bahasa Asing),” tulis Harry Poeze dalam Tan Malaka,

Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946.

Saat menetap di Xiamen itulah Tan bertemu seorang gadis Amoy berusia 17 tahun berinisial “AP”. Gadis tersebut kerap menyambangi Tan Malaka untuk belajar bahasa Inggris.

Tan juga jadi tempat curahan hati gadis yang tak pernah disebutkan nama lengkapnya di dalam memoar Tan Malaka.
Tan keluar dari Amoy pada 1937, meninggalkan kisahnya dengan gadis Amoy berinisial “AP” tadi. Dia menuju Malaya, kemudian menetap di Singapura.

Di wilayah jajahan Inggris itu Tan menggunakan nama Hasan Gozali dan bekerja sebagai guru pada sebuah sekolah. Tak jelas apakah dia kembali menjalin hubungan cinta di sana. #Melaksbercerita

Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, Tan melihat ada kesempatan untuk pulang. Setelah menyusuri beberapa kota di Sumatera, akhirnya Tan tiba di Jakarta di mana dia hidup secara rahasia selama Jepang berkuasa. Baru pada 1945,

Tan menampakkan diri terang-terangan. Mengunjungi beberapa kawan lamanya, salah satunya Ahmad Soebardjo.
Di rumah Soebardjolah Tan terpikat pada Paramita Abdurrachman, keponakan Soebardjo. Jalinan asmara mereka cukup serius sehingga banyak orang mengira mereka telah bertunangan.

Namun kegiatan politik Tan Malaka jauh lebih menyita perhatiannya ketimbang berpacaran.
Paramita jadi perempuan terakhir yang mengisi kisah hidup Tan Malaka sebelum akhirnya lelaki yang didapuk sebagai “bapak republik” itu tewas di ujung senapan tentara Indonesia

pada 21 Februari 1949. Akhir tragis Tan Malaka menggenapi kisahnya sebagai “jomblo revolusioner” dalam sejarah di Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka menjadi salah satu pelopor sayap kiri. #Melaksbercerita

Ia juga terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946 dengan membentuk Persatuan Perjuangan dan disebut-sebut sebagai otak dari penculikan Sutan Syahrir yang pada waktu itu merupakan perdana menteri. Karena itu ia dijebloskan ke dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun

Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara. Di sisi lain, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah

bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai Murba, 7 November 1948 di Yogyakarta. #Melaksbercerita

Setelah pemberontakan PKI/FDR di Madiun ditumpas pada akhir November 1948, Tan Malaka menuju Kediri dan mengumpulkan sisa-sisa pemberontak PKI/FDR yang saat itu ada di Kediri, dari situ ia membentuk pasukan Gerilya Pembela Proklamasi. Pada bulan Februari 1949,

Tan Malaka ditangkap bersama beberapa orang pengikutnya di Pethok, Kediri, Jawa Timur dan mereka ditembak mati di sana. Tidak ada satupun pihak yang tahu pasti dimana makam Tan Malaka dan siapa yang menangkap dan menembak mati dirinya dan pengikutnya.

Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa yang menangkap&menembak mati Tan Malaka pada tanggal 21 Februari 1949 adalah pasukan TNI dibawah pimpinan Letnan II Soekotjo (pernah jadi Wali Kota Surabaya).

Batalyon tersebut di bawah komando Brigade S yang panglimanya adalah Letkol Soerachmad. dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.
Keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional.

Pada 21 Februari 2017, jenazah Tan Malaka secara simbolis dipindahkan dari Kediri ke Sumatra Barat. Hal ini diupayakan oleh keluarga besar Tan Malaka dan kelompok yang tergabung dalam Tan Malaka Institute. #Melaksbercerita

Karena gagal membawa jenazah Tan Malaka secara utuh, mereka memutuskan untuk memulangkannya secara simbolis, yakni dengan membawa tanah dari pekuburan Tan Malaka. #Melaksbercerita

Versi podcast dan lengkapnya:

Share this Scrolly Tale with your friends.

A Scrolly Tale is a new way to read Twitter threads with a more visually immersive experience.
Discover more beautiful Scrolly Tales like this.

Keep scrolling