S I K A T K K B..!!
.
.
.
Haruskah Dengan Militer Penuh?
.
.
Papua dengan mineral langka yang terkandung di dalam tanahnya & hingga kekayaan hutan alaminya adalah harta luar biasa bagi para kapitalis barat.
Menginginkan dan kemudian menguasai Papua adalah cara paling mudah dibanding harus bekerjasama dengan Indonesia. Terlalu berliku dan panjang jalan ditempuh.
Shortcut dan nego langsung dengan rakyat yang mendiami pulau itu merupakan mimpi yang harus terwujud.
Namun para kapitalis barat pun sangat paham bahwa ide Papua merdeka adalah mustahil. Papua adalah Indonesia dan Itu jelas tertuang dalam piagam PBB.
Uti Possidetis Juris demikian hukum internasional tentang batas wilayah suatu negara yang ditetapkan berdasar batas yang dimiliki oleh penjajah sebelumnya.
Indonesia merdeka dari Belanda tahun 1945. Tercatat sejak tahun 1920, Belanda sudah menetapkan dan mendaftarkan wilayah kekuasaannya di Hindia timur kepada LBB cikal bakal PBB.
Wilayah dengan batasan itulah yang kini dimiliki Indonesia sebagai konsekuensi logis ketika Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada negara baru bernama NKRI pada Konferensi Meja Bundar 1949 dan dipertegas dengan Pepera tahun 1969 khusus untuk Papua.
Maka menjadi blunder ketika gagasan Papua merdeka diperjuangkan. Tidak ada istilah tepat dapat membuat gambaran hukum atas negara Indonesia menjajah wilayah Indonesia.
Indonesia tidak mungkin menjajah Papua karena Papua adalah Indonesia. Maka ketika menggunakan hukum logika di mana tidak ada penjajahan, maka tidak mungkin pula ada ide tentang kemerdekaan.
Maka cara satu satunya paling masuk akal adalah dimunculkannya ide pemisahan diri dan itu harus dilakukan dengan referendum.
Referendum ternyata pernah dilakukan tahun 1969 sebagai salah satu persyaratan PBB saat penyerahan Papua oleh Belanda pada tahun 1962. Pepera berbicara tentang peristiwa itu.
Referendum tahun 1969 dan mayoritas warga Papua memilih masuk menjadi bagian dari NKRI telah diakui PBB.
Kebingungan kapitalis barat merebut Papua secara legal pun seperti punah. Maka ketika cara legal tertutup ide ilegal pun diciptakan menjadi tampak masuk akal.
Isu HAM adalah satu-satunya cara. Tidak ada yang lain.
Jadilah Papua seperti kolam keruh yang selalu di obok obok. Papua yang bergolak adalah pemicu terjadinya pelanggaran HAM dan mereka berharap pemerintah Indonesia terjebak masuk kesana.
Pelanggaran HAM itulah celah bagi masuknya kekuatan asing berkedok PBB. Skenario mulai dibuat. Ahli pecah memecah, fitnah memfitnah dikumpulkan. Narasi provokasi dibangun.
Munculah Jurnal dari Fakultas Hukum Yale AS yang mengatakan bahwa pemerintah Indonesia '"telah bertindak dengan niat untuk melakukan pembasmian terhadap warga Papua Barat."
Demikian juga Universitas of Sydney dalam penelitian Jim Elmslie tahun 2010 tentang Papua pernah merilis adanya dugaan genosida di Papua. Berita buruk tentang Papua terus dan terus digaungkan oleh pihak barat.
Pasukan nasi bungkus pun harus dibentuk.
Dipilihlah tokoh Benny Wenda, ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), sebagai proxy lokal Papua. Demikian pula masyarakat pasifik seperti Fiji, Vanuatu, Papua Nugini bahkan sampai suku Maori di Selandia baru dilibatkan.
Tidak ketinggalan di Jakarta Pun mereka telah menempatkan proxinya dengan sangat cermat. (Ini kelompok yang kita kenal dengan nasi bungkus yang sesungguhnya.)
Ingatkah ketika salah satu petinggi partai sapi yang menulis di laman medsosnya dengan kalimat "Kita berduka, atas tragedi genosida di Wamena. Ada 32 orang tewas dan ribuan mengungsi. Sebagian besarnya warga pendatang."?
Tak berbeda dengan provokator asing si lokal pun turut membakar dan memperkeruh situasi.
Semua seperti telah dikondisikan sedemikian rupa oleh kapitalis barat bahwa suatu saat nanti Papua pasti rusuh.
Pasukan sesungguhnya harus segera dipersiapkan. Dipilihlah Darwin kota paling utara di Australia yang letaknya tepat bersebelahan dengan Papua sebagai pangkalan militer.
Selain itu Indonesia Pun sebenarnya memang sudah dikepung belasan pangkalan militer asing sebagai aliansi militer barat seperti pangkalan militer asing yang berada di Pulau Christmas, Pulau Cocos, Guam, Filipina, Malaysia, Singapore, Kepulauan Andaman hingga Nicobar.
Lihat...., Demikian matangnya rencana mereka. Itu seperti hanya tinggal menunggu Indonesia terpeleset.
Atas peristiwa Kabinda BIN Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Nugraha Karya yang meninggal dunia karena serangan KKB di Beoga di Kabupaten Puncak Papua,
kita kembali diajak ingat bahwa semua peristiwa kekerasan yang terjadi di Papua harus kita lihat tak terlepas dari adanya agenda. Itu bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Demikian pula terkait tewasnya dua orang guru belum lama ini.
.
.
"Tapi ini Kabinda BIN, pejabat tinggi kita yang mereka bunuh. Bukankah institusi negara akan diremehkan bila kita tak tegas dan TNI diam saja? Bukankah memiliki organisasi (OPM) dengan tema ingin merdeka sudah lebih dari cukup
sebagai alasan mereka adalah separatis negara dan pemberontak?" Segera tetapkan mereka sebagai teroris dan separatis. Turunkan TNI dengan skala perang!"
-->
Para ahli strategi negara ini tau cara terbaik yang harus dilakukan. Cara pandang nya bukan seperti kita yang seringkali berangkat dari satu dua peristiwa dan ngamuk. Mereka tahu puzzle itu harus disusun sesuai urutan.
Presiden Jokowi tahu bagaimana merangkul saudara kita yang masih tertinggal di timur dan maka ide pemindahan Ibu Kota pun adalah tentang bagaimana seharusnya pemimpin negeri ini hadir di tengah-tengah rakyatnya.
Pembangunan infrastruktur dalam bentuk jalan yang seringkali ditolak oleh warga Papua pada jaman Soeharto dulu tak terlihat mndapat perlawanan berarti pada masa pemerintahan Jokowi.
Dulu, membangun akses jalan di pedalaman identik dengan memberi akses militer masuk dan maka mereka menolak. Itu mindset warga Papua saat itu. Kini berbeda, mereka bersorak karena wajah ketulusan pada Presiden yang satu ini tampak sangat nyata.
Caranya hadir jauh dari kesan ingin merampok.
.
.
Dulu, dengan mudah Papua dijarah karena keterasingannya, kini berbeda. Akses internet perlahan mulai masuk sejalan dengan akses jalan dan memberi ruang pembangunan pada daerah itu.
Kebenaran real-time mudah ditemukan dan ini berita buruk bagi mereka yang senang dengan mencuri.
Bukankah pencuri selalu datang saat gelap dan tak mudah terlihat? Sialnya, dalam waktu 5-10 tahun mendatang, Papua akan semakin terbuka.
Semakin sulit bagi persekongkolan dari belakang meja di Jakarta mampu berbuat sesuka hati. Maka, wajar bila mereka harus segera bergerak.
Siapa dibelakang pencuri itu kini sedang marah dan maka para proxinya berteriak dan bahkan ada yang melawan secara fisik. Salah tangkap dan salah gebuk karena perlawanan para proxy itu telah menimbulkan korban pada pihak kita sedang mereka tunggu.
Dengan dana dan kampanye besar-basaran berskala dunia sebagai ruang perang di mana para maling ini menguasai panggung tersebut, mereka sedang menunggu kita lengah. Kita terpeleset dan masuk panggung itu, habis sudah kita.
Dijamin, kita pasti akan kalah pada perang menggunakan panggung yang mereka buat.
.
.
Sama dengan Papua masuk secara resmi menjadi bagian NKRI melalui referendum tahun 1969, hanya dengan referendum yang sama rakyat Papua dapat memisahkan diri dengan Indonesia.
Bukan merdeka dari penjajahan namun diberi ruang menentukan pilihan ingin berpisah atau berdiri sendiri. Dan itu harus karena sebuah peristiwa sebagai pencetus. Pelanggaran HAM dalam banyak wajah munafiknya menjadi pintu masuk sempurna diagendakannya sebuah referendum.
Memaksa pemerintah Indonesia menetapkan KKB sebagai teroris atau separatis demi memberi ruang TNI turun secara massif jelas bukan pilihan tepat.
Memberi akses pada rakyat Papua minimal sama seperti saudaranya yang di tengah dan barat dalam rupa pembangunan, itu jauh lebih bermartabat. Jauh lebih tepat.
"Mau sampai kapan rakyat yang setia dengan NKRI terus dibantai?"
Yang jelas, ketika akses pada pembangunan fisik dan pendidikan mereka dapatkan, ruang hukum pun menjadi masuk akal dapat kita bangun secara terstruktur. Peningkatan jumlah dari aparatur hukum yang menjangkau seluruh pelosok Papua menjadi kemutlakan.
Berbiaya mahal, tapi itu masih jauh lebih murah dibanding dengan akibat yang didapat ketika referendum mendapatkan momennya karena wajah tak konsisten HAM yang disponsori para maling yang kini sedang menunggu lengah kita bersama.
Dan dana seperti itu tak pernah sia-sia karena digunakan untuk melindungi nyawa warga negara dari para kriminal berbaju pejuang kemerdekaan dibanding dengan dana besar yang sama yang akan dipakai Menhan untuk mengamankan dirinya dengan membentuk Denwalsus.
Duit negara memang seharusnya dipakai untuk kepentingan dan keamanan rakyat, bukan pejabat yang sudah mendapat banyak privilege seperti Menhan misalnya
.
.
.
Share this Scrolly Tale with your friends.
A Scrolly Tale is a new way to read Twitter threads with a more visually immersive experience.
Discover more beautiful Scrolly Tales like this.