NitNot ❘ Profile picture
Kebahagiaan datang ketika pekerjaan dan kata-kata anda menjadi manfaat bagi dirimu dan orang lain. - Buddha - || Akun ke-2 https://t.co/dPJZFe5DA5

May 10, 2021, 33 tweets

DIAN TAK BOLEH PADAM
.
.
.

Kita tak pandai bersaing. Pun tak senang berkompetisi dan maka sering tak memaknai persaingan sebagai cara bagi meraih puncak prestasi.

📷Boy_Wonder

Sebagai bangsa dengan jumlah penduduk terbesar nomor 4 di dunia, (bisa dibilang) badminton sebagai prestasi dalam dunia olahraga adalah satu-satunya penyebab ada nama Indonesia disebut pada ajang atau event internasional. Yang lain..🙄

Pun dalam bidang yg lain, SDM kita ternyata memang tak terlalu bagus.

Pernah dengar negara bernama Kamboja? Tak terpaut jauh sebagai jarak letak negara itu dgn kita dan banyak diantara kita berprasangka bahwa negara tersebut jauh tertinggal dibanding negara kita.

📷Nada Deyaa

Tak perlu membandingkan dengan Singapura dan Korea Selatan yang masuk 10 besar dan masing-masing berdiri pada peringkat 8 dan 10, faktanya, Kamboja negara kecil dengan jumlah penduduk yang hanya 5% dari populasi negara kita tersebut setingkat lebih tinggi

dalam hal inovasi rakyatnya dibanding kita. Itu peringkat yang diberikan oleh Global Innovation Index (GII).
.
.

Perlu diingat, Kamboja baru merdeka tahun 1953 atau 8 tahun lebih muda dari usia negara kita.

📷Via DevianArt

Berdasarkan rilis GII pada 2020, Indonesia berada pada urutan ke-85 dari 131 negara di dunia.

Sementara ketika kompetisi sebagai ukuran seberapa inovatif rakyatnya dimasukkan pada kelompok negara berpenghasilan menengah ke bawah,

Indonesia masih hanya menempati urutan ke-9 dari 29 negara. Itu bukan prestasi patut kita banggakan.
.
.

Ketika kenapa menjadi tanya yang harus berjawab, seharusnya bukan karena rakyat kita bodoh muncul sebagai jawab, ada yang salah dengan pendidikan kita.

📷WebIndiaSolution

Bukan melulu harus kurikulum sekolah sebagai kambing hitam, tapi banyak faktor.

Itu juga tampak pada senang kita berdebat agama dibanding kemanusiaan. Kita senang berebut pintar dan dianggap hebat karena keagamaan kita.

Ga percaya? Lihat dan cari mereka yang hobi saling berjawab komen pada ruang media sosial terkait debat ayat dan debat tafsir di mana seringkali dapat berlangsung berhari-hari bahkan berminggu-minggu hanya demi membahas siapa lebih benar.

📷TheGuardian

Padahal seringkali itu hanya tanggapan atas satu postingan atau cuitan orang lain saja.

Militan kita sebagai umat tampak luar biasa ketika membahas materi tersebut. Militan kita sebagai manusia lupa bahwa kemanusiaan mendapat porsi tertinggi pada agama.

Seperti berebut siapa lebih dahulu antara telor atau ayam dan itu tak pernah selesai namun kita senang. Berulang, dan terus berulang tanpa kenal kata selesai.

📷BoredPanda

Kita secara otomatis selalu merasa punya ruang demikian lebar pada debat seperti itu namun kita tak tertarik dan memberi celah pada debat iptek atau budaya dan kemasyarakatan.

Debat agama menjadi seperti hidangan paling membuat kita merasa selalu lapar dan inovasi sebagai buah atas kodrat akal yang melekat pada manusia kita lupakan.

📷nytimes

Sangat mungkin, kitalah bangsa juara dalam inovasi tafsir kitab. Inovatif kita sebagai masyarakat dalam tafsir menafsir kitab telah jauh melampaui bangsa dimana kitab tersebut lahir.

Itu seperti AS yang jauh lebih maju dalam angkasa luar dibanding Jerman sebagai pemilik teknologi roket pada awalnya. Sayang, itu tak pernah menjadi materi yang diperlombakan sebagai tolok kemajuan sebuah bangsa.

📷TheInspirationGrid

"Inovasi terkait erat dengan budaya masyarakat yang senang melakukan penelitian. Adakah negara telah berandil besar dalam memberi kemudahan atas hal tersebut?"

Swiss sebagai negara peringkat 1 pada indeks GII, justru merangkul sektor swasta menjadi kunci pengembangan riset dan inovasi. Dalam hal mengubah investasi dan inovasi, Swiss dapat dijadikan tolok ukur.

Pekerjaan padat pengetahuan dan pengeluaran litbang yang tinggi, dibiayai oleh sektor swasta.

Demikian pula dengan Singapura dan Korsel di mana proporsi pendanaan sektor swastanya mencapai sekitar 80 persen.

"Bagaimana di Indonesia?"

Hadirnya Bukit Algoritma yang digawangi oleh Budiman Sudjatmiko, sepertinya terkait dengan apa yang dilakukan swasta pada banyak negara yang dianggap berhasil.

Hingga saat ini swasta di Indonesia masih hanya memberi kontribusi sekitar 20% dan sisa besarnya ada pada pemerintah 80%. Tampak besar dalam prosentase atas apa yang dilakukan oleh negara namun jumlah itu sangat kecil ketika dirupiahkan.

Pemerintah Indonesia hanya mengalokasikan 0,25% dari PDB sangat jauh dibanding dgn China (peringkat 14 GII) yang mengalokasikan 4 persen dari PDBnya.

Di sisi lain, salah satu masalah dalam riset dan inovasi di Indonesia adalah hasil penelitian yang tumpang tindih.

📷viaWattpad

Artinya, dana yang cuma sedikit, efektifitasnya pun ternyata dianggap tergangu.
.
.

Untuk menangani hal inI, dibentuklah lembaga Badan Riset Industri Nasional (BRIN). Empat lembaga penelitian yang ada di Indonesia disatukan yakni LIPI, BPPT, Batan, dan Lapan.

Hal itu dimaksud untuk mencegah terjadinya duplikasi riset sehingga mendorong efisiensi dan efektivitas sumber daya dalam melakukan kegiatan pendidikan, pengembangan, pengkajian, dan penerapan teknologi.

"Memang sebesar apa sih kontribusi bukit algoritma ditargetkan?"

Kabar terakhir, pembangunan fisik pada kawasan itu akan dilakukan setelah lebaran ini. Bahkan pada bulan Juni yang akan datang tawaran pada mereka yang ahli dalam beberapa bidang khusus telah pula diajak.

"Kumpulin temanmu yang jago komputer dan atau Biologi, jago marketing, komunikasi serta jago design, nanti akan ada undangan terbuka mulai Juni." demikian cuitan Budiman di tuiter.

Tak kurang 5 kali webinar terkait proyek swasta bernilai awal 18 triliun rupiah tersebut di mana ide dasarnya adalah menciptakan komunitas berbasis iptek juga tetap dilakukan sejak akhir April lalu.

Bukan seberapa banyak pada Bukit Algoritma tersebut dlm waktu 1-2 tahun kedepan mampu mendaftarkan hak paten, membudayakan kompetisi berbasis inovasi atas hasil riset adlh langkah awal. Dan itu baru dapat terjadi bila komunitas berbasis iptek diterima masyarakat.

📷BoredPanda

Lama sudah kita rindu debat di media sosial adalah tentang kemanusiaan. Kita juga rindu debat logis yang tak selalu tentang surga dan neraka.

Nikel menjadi baterai di mana suatu saat hanya perlu waktu charge 10 menit dan jarak tempuh didapat sudah 1000 km,

seharusnya target pencapaian seperti itulah yang menjadi tema debat kita. Seharusnya itu pula yang akan menjadi output Bukit Algoritma 2-3 tahun kedepan sebagai hasil risetnya dan kita larut dalam debat sehat demi mendorongnya.
.
.

📷BoredPanda

Selain Singapura dan Korsel yang telah duduk 10 besar, GII 2020 menunjukkan selama beberapa tahun terakhir India, China, Filipina, dan Vietnam adalah ekonomi dengan kemajuan paling signifikan dalam peringkat inovasi GII dari waktu ke waktu.

Keempatnya sekarang berada pada kelompok 50 besar. Ekonomi dgn kinerja terbaik di GII hampir secara eksklusif masih berasal dari kelompok berpenghasilan tinggi, dengan China (ke-14) menjadi satu-satunya ekonomi berpenghasilan menengah di 30 besar GII. Malaysia (ke-33) mengikuti.

Bila pada 2014 saja Filipina masih pada level 100 dan kini masuk 50 besar, tak mungkinkah pada 2024 nanti kita juga telah masuk pada posisi itu? Bila UU perlindungan ulama saja masih menjadi luar biasa urgent, bila tak lolos tes wawasan kebangsaan

saja masih menjadi debat boleh tidak yang bersangkutan diterima menjadi ASN, bila babi ngepet saja masih kita percaya, bila debat kita masih melulu soal boleh dan tidak boleh versi agama, mmm... lupakan saja.🤷‍♀️🤷‍♀️
.
.
.

📷GraphicArtNews

Share this Scrolly Tale with your friends.

A Scrolly Tale is a new way to read Twitter threads with a more visually immersive experience.
Discover more beautiful Scrolly Tales like this.

Keep scrolling