Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari itu seorang ulama sekaligus pengusaha.
Beliau punya jadwal rutin dlm keseharian adlh mengaji dgn santri, kecuali di hari Pon, sebab di hari tersebut, beliau punya jadwal tersendiri, yaitu pergi ke Pasar Jombang, khususnya pasar kuda.
Para santri Tebuireng kemudian menyebut libur ngaji dgn istilah Pon.
Misalnya, ketika Hadratus Syaikh berhalangan mengajar ngaji kitab Taqrib di waktu Ashar krn satu dan lain hal, para santri akan mengucapkan "Pon, pon," yg artinya pengajian tersebut libur.
Kisah ini disampaikan oleh salah seorang santrinya Hadratus Syaikh, KH Muchit Muzadi kpd Muhammad Mansyur & Fathurrahman Karyadi yg tertuang dlm buku Hadratus Syeikh di Mata Santri (Jombang: Pustaka Tebuireng, 2010, halaman 29-32).
Selain ahli di bidang agama, beliau juga ahli di bidang bisnis, setdknya ada 2 usaha yg dijalani, pertanian sawah & berdagang kuda, sehingga pendiri Pesantren Tebuireng mandiri secara ekonomi, sehingga berdampak pd kemandirian Pesantren Tebuireng & organisasi yg ia dirikan (NU)
Utk kegiatan peringatan hari besar Islam di pesantren, entah itu Mauludan atau kegiatan musyawarah NU, misalnya muktamar, tdk pernah meminta sumbangan kpd pejabat pemerintahan atau pihak lain. Bahkan, disumbang pun terkadang menolak krn biayanya memang sdh mencukupi.
Kemandirian ekonomi KH Hasyim Asy’ari dan ulama² di zamannya membuat muru’ah (wibawa) ulama tetap terjaga dgn baik. Utk biaya operasional organisasi NU, para pengurus membayar iuran. KH Muchit sendiri mengalaminya.
Pd thn 1941, “pendapatan” KH Muchit Muzadi sekitar Rp350 sen, dari dana tsb kemudian rutin dialokasikan Rp10 sen/bulan utk NU. Saat itu, Rp10 sen setara dgn harga 2 kg gula & 2 kg beras. Bukan hanya Kiai Muchit, kiai² yg lain pun melakukan hal yg sama
Bahkan semakin tinggi jabatannya, semakin besar pula nilai iurannya. Itulah kemandirian NU atau al-I’timad ‘ala al-nafsi.
Pada musim pemilu thn 1955, saat itu NU menjadi partai politik, orang² yg menjadi jurkam tdk ada yg diberi bekal, mereka mengeluarkan ongkos masing².
Ketika di Tuban, KH Muchit Muzadi bersama tim menyewa sebuah gudang rokok besar utk kampanye. Biaya sewa gudang tersebut diperoleh dari anggota NU yg datang ke lokasi. Meskipun harus bayar, gudang itu sesak dipenuhi warga NU.
Share this Scrolly Tale with your friends.
A Scrolly Tale is a new way to read Twitter threads with a more visually immersive experience.
Discover more beautiful Scrolly Tales like this.