🏆🏆TROFEO BERLUSCONI WINNERS🏆🏆 Profile picture
all things AC Milan.

Aug 24, 2023, 21 tweets

[long] THREAD

APA YANG SEBENARNYA TERJADI PADA ALEXANDRE PATO
[terjemahan dari wawancara Alex Pato dengan Sam Robles / The Players’ Tribune]

Aku tahu kok apa yang kalian pikirkan. Aku sudah mendengarnya selama 10 tahun.

“Apa yang terjadi dengan Pato?”

“Kenapa Pato tidak memenangkan Ballon d’Or?”

“Kenapa Pato selalu cedera?”

Huh. Aku seharusnya sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sejak lama, bro. Banyak sekali rumor yang beredar, terutama di Milan. Katanya aku terlalu banyak berpesta. Aku tidak punya determinasi. Aku hidup di dunia fantasi. Namun saat aku ingin berbicara, aku diminta untuk “fokus saja pada sepakbola.” Aku masih terlalu muda untuk membantah.

Sungguh, saat itu aku masih anak kecil.

Jadi menurutku inilah saatnya untuk meluruskan semuanya. Aku berumur 32 sekarang. Aku bahagia. Aku sehat. Aku tidak merasakan getir tentang apa pun atau siapa pun. Jika kalian ingin mempercayai rumor tersebut, aku tidak akan berusaha mengubah pikiran kalian.

Tapi jika kalian ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi, maka dengarkanlah ceritaku ini.

Hal pertama yang harus kalian pahami adalah aku sudah meninggalkan rumah saat aku masih sangat belia. Mungkin terlalu dini. Saat kita berusia 11 tahun, kita belum siap menghadapi dunia. Kita pergi ke luar sana untuk mengejar impian, tetapi kita sendirian, dan sangat mudah tersesat di tengah jalan.

Tuhan memberiku anugerah, itu jelas. Aku bahkan belum pernah bermain di lapangan besar sampai aku berusia 10 tahun, karena futsal lebih menyenangkan. Aku mendapat beasiswa ke sekolah swasta. Lalu suatu hari aku bermain di turnamen sekolah, dan seorang scout dari Internacional bertanya kepada ayahku, “Pak, apakah anda sudah mempertimbangkan putra anda mencoba bermain di lapangan besar?”

Ayahku menjawab, “Hmmmmmm, boleh juga dicoba.”

Jadi aku mendapat tawaran uji coba dengan Internacional. Saat itulah kami berakhir di hotel esek-esek.

Ha ha ha. Biar kujelaskan. Kami kan tidak punya banyak uang. Ibuku tidak bisa bekerja karena sakit punggung, jadi ayahku harus menafkahi kakak laki-lakiku, adik perempuanku, dan aku. Beliau keluar sepanjang hari bekerja sebagai kuli pembangunan jalan raya. Kami mampu membeli makanan, tapi di sekolah swasta aku bahkan tidak mampu membeli buku. Aku selalu membawa fotokopian. Ini sungguhan loh.

Orang tuaku mengendarai mobil Beetle. Di sekolah swasta tidak ada orang lain mengendarai Beetle. Aku selalu akan memintanya untuk menurunkanku satu blok jauhnya dari gerbang sekolah.

“Memangnya kenapa, nak?”

Aku menjawab, “Uhm, semua temanku turun di sini juga kok.” (Tentu saja aku berbohong.)

Lalu aku berjalan kaki sampai ke gerbang, dan suatu kali ada seorang siswi cantik menyapaku, “Heeeeeeyyyyy, kamu yang naik Beetle, kan? Hahahahahaaaaaaaaa.”

DAAAAAAMNNNN.

Kalian harus paham bahwa ayahku terkadang perlu banyak akal. Hari besar itu tiba dan kami berangkat untuk uji coba di Internacional. Kesempatan sekali seumur hidup. Kami berkendara dari Pato Branco ke Porto Alegre, sembilan jam perjalanan. Kami tiba di sana dan ayahku menyadari: beliau tidak mampu menyewa kamar hotel yang layak.

Dan apa yang beliau lakukan? Dia check-in di hotel esek-esek.

Beliau bilang, “Nak, ini satu-satunya tempat yang kita mampu sewa.”

Dan aku cuma menjawb, “Gapapa, yah. Ayo kita masuk!”

HAHAHAHA. Saat itu aku tidak tahu!! Aku masih terlalu muda untuk mengerti. Aku cuma berpikir tempat tidur di kamar kami terlalu kecil, itu saja. Hotelnya berseberangan dengan Beira-Rio, jadi orang-orang pada ngeseks sambil melihat ke arah stadion Internacional.

Aku kadang masih bercanda dengan ayahku tentang hal ini. Jika dia melakukan itu hari ini dia mungkin akan masuk penjara.

Selanjutnya kami berjalan-jalan di sekitar stadion – pemandangan indah – sampai kemudian seorang direktur klub menghampiri. “Nak, bukankah kamu harusnya berlatih sekarang?” Anjrit. Kami salah waktu. Parahnya lagi, sepatuku tertinggal di hotel. Jadi ayahku segera berlari cepat untuk mengambilnya, tapi apa isi tas yang dibawanya?

Satu sepatu dengan stud karet. Satunya lagi sepatu dengan stud besi.

“Ayah bercanda ya? Bagaimana bisa aku main dengan sepatu beda sebelah begini???”

Untungnya, ada pemain jagoan di akademi bernama Cocão, yang saat itu mendapatkan kontrak endorse sepatu. Dia meminjamkanku sepatunya. Keluaran baru. Dan aku bilang, YES!! Let’s do this!

Sukurlah aku diterima di Internacional. Tapi sumpah, aku tidak pernah terpikir untuk menjadi profesional. Malahan, bisa bermain bola saja aku sudah merasa bersukur. Mungkin kalian pernah membaca tentang cerita ini….

Sekitar setahun sebelumnya, aku tersandung rantai di tempat parkir, tersungkur, dan lengan kiri cedera. Dokter memperban badanku dengan sangat kuat hingga aku menjadi setengah manusia setengah mumi. Aku sempat main di turnamen dengan tanganku ditopang penyangga. Setelah gips dilepas, aku dan teman-teman memainkan permainan konyol ini di mana siapa pun yang bangun dari sofa akan ditendang - kecuali dia berhasil melarikan diri. Permainan yang menyenangkan sampai aku tidak sengaja berbaring menindih lengan kiriku, dan rasa sakitnya semakin parah hingga mencapai kakiku.

Dokter melakukan rontgen dan menemukan tumor besar.

Dia berkata kepada ayahku, “Anak anda harus dioperasi sekarang, jika tidak kami terpaksa amputasi.”

Aku terkejut. Dalam waktu 24 jam aku bisa kehilangan lengan kiriku.

Tapi apa menurut kalian orang tuaku mampu membiayai operasinya? Pfffffft.

Kami semua berpikir keras, Apa yang harus kami lakukan sekarang???

Nah, ayahku harus cari akal lagi. Dia biasa merekamku saat bermain futsal. Jadi dia membawa rekaman itu ke rumah sakit, mengirimkan doa-doa ke langit, pergi ke ruang praktek dokter dan memutar beberapa rekaman di mana anak yang sedang kesakitan ini sedang berlari-lari di lapangan futsal.
Ayahku berkata, “Dok, ini anakku. Aku tidak tahu bagaimana membayarnya, tapi aku hanya tidak ingin melihatnya berhenti bermain.”

Aku tidak tahu apa yang kemudian terjadi. Mungkin dokter menganggap aku berbakat. Mungkin dia mendengar suara Tuhan.

Dokter menjawab, “Jangan khawatir, biaya operasinya aku yang tanggung.”

Itu adalah keajaiban.

Aku tidak akan pernah melupakan namanya: Paulo Roberto Mussi. Dia memberiku kehidupan baru.

Proses pemulihannya sangat menyakitkan, bro. Bank tulang tidak memiliki tulang yang dibutuhkan lenganku, jadi dokter harus mengambil satu tulang dari pinggulku. Aku juga harus kembali ke rumah sakit di Pato Branco enam bulan sekali untuk pemeriksaan. Suatu saat lenganku pernah sampai berubah HIJAU. Aku berteriak. Tolong suntik obat lebih banyak!!

Untungnya, aku bisa bermain bola lagi. Saat itulah kemudian aku diterima di Internacional.

Namun, saat aku harus meninggalkan orang tuaku aku merasakan lebih banyak kepedihan. Mereka tidak mampu untuk tinggal di Porto Alegre. Mereka berdua berkata, “PERGILAH!” tapi kurasa situasi ini lebih buruk lagi bagi mereka. Setelah aku pergi, ibuku terus menata meja makan seolah-olah aku akan makan di rumah. Belai masih merapikan kamar tidurku, seolah-olah aku sebentar lagi akan pulang.

Masih banyak pelajaran yang belum mereka ajarkan kepadaku. Sebagai pesepakbola, aku siap menghadapi dunia. Sebagai seorang anak kecil, sama sekali belum siap.

Aku benar-benar belum siap menjalani kehidupan di akademi Internacional. Anak-anak yang paling muda harus menjadi pelayan bagi anak-anak yang lebih senior: Mencuci celana dalam mereka, membersihkan sepatu mereka, membelikan jajanan di warung. Mereka mengadakan permainan bernama Tag the Cattle, di mana mereka memanggil anak-anak junior, mengambil sepotong kayu dan memukulkannya ke kaki kami. PRAK! Benar-benar horor.

Aku sering menangis. Aku bersembunyi di kamarku. Aku tidak bisa mengadu ke ibuku, karena aku tahu beliau akan muncul keesokan harinya untuk membawaku pulang. Jadi aku hanya bilang kepadanya, “Ohhh, semuanya baik-baik saja koook!”

Sepakbolanya? Menyenangkan. Aku promosi dari tim U-15 ke tim utama dalam waktu singkat. Di usia 17, aku ikut Piala Dunia Antarklub, mencetak gol di semifinal dan melawan Barcelona di final. Saat itulah aku bertemu Ronaldinho.

Anjiiiiir. Kita perlu kata baru untuk menggambarkan orang ini. Dia ajaib. Dia bukan manusia sungguhan. Hari itu aku bukan lawannya, aku adalah penggemarnya. Di terowongan aku berkata kepadanya, “Tolong simpan jerseymu untukku.” Aku hampir tidak peduli dengan pertandingannya!! Begitu pertandingan usai, aku berpikir, “Di mana dia? Di mana dia??” Semua orang berlari untuk mendapatkan jerseynya, tapi dia menepati janjinya. Dia menyimpannya untukku. Itulah Ronnie.

Seperti yang kalian ketahui, Piala Dunia Antarklub sangat PENTING bagi warga Brasil. Saat kami menang 1-0, itu adalah momen terbesar bagi Colorados. Tak lama kami melakukan pawai keliling Canoas dengan truk pemadam kebakaran. Aku memegang piala, orang-orang meneriakkan namaku.

Padahal tujuh tahun sebelumnya aku belum pernah bermain di lapangan besar.

Sekarang aku juara dunia.

Setelah itu aku bisa saja pindah ke Barcelona, ​​Ajax, Real Madrid. Kenapa Milan? Baiklah, izinkan aku bertanya balik kepada kalian.

Apakah kalian pernah bermain dengan tim Milan itu di PlayStation?

Mereka luar biasa!! Kaká, Seedorf, Pirlo, Maldini, Nesta, Gattuso, Shevchenko… Sheva tidak ada tandingannya! O Fenômeno, the REAL Ronaldo. Aku harus bermain dengannya. Line-up yang luar biasa, kawan. Mereka baru saja memenangkan Liga Champions. Milan adalah tim terbaik saat itu. Saat dikabarkan tentang ketertarikan Milan, aku cuma bisa bilang, Kapan penerbangan berikutnya?

Saat aku mendarat di Milan, aku harus melakukan tes mata sebagai bagian dari pemeriksaan medis. Konyolnya aku, aku menekan telapak tanganku terlalu keras ke mata kiriku, dan saat aku membukanya aku hampir tidak bisa melihat. Dokter menaruh beberapa obat tetes mata ke mataku, tetapi aku keluar ruangan hampir dalam keadaan buta. Lalu siapa yang muncul saat itu? Ancelotti yang hebat.

Dia bertanya, “Tutto Bene?”

Aku menjawab, “Baik...baik,” padahal aku tidak bisa melihatnya. Kami berfoto bersama dengan mataku hampir terpejam, hahahaha.

Carlo membawaku ke ruang makan. “Ini Pato, striker baru kita.” Semua pemain berdiri untuk menjabat tanganku. Semuanya. Ronaldo, Kaka, Seedorf… WOW.

Itu adalah Hari Pertama di Milan. Video game telah berubah menjadi kenyataan.

Sayangnya, aku belum berusia 18 tahun sampai batas waktu pendaftaran berakhir pada akhir Agustus, sehingga aku terpaksa tidak bisa ikut Piala Dunia Antarklub. Aku lahir pada tanggal 2 September. Seandainya aku terlahir ke dunia ini beberapa hari lebih awal, aku akan menjadi juara dunia dua kali. Tapi berlatih dengan para legenda ini saja sudah istimewa. Geng pemain Brasil menyambutku dengan tangan terbuka: Ronaldo, Cafu, Emerson, Dida, Kaká. Dan tidak, aku tidak tinggal di kediaman Cafu!! — tapi kami sering nongkrong bareng karena putra-putranya hampir seusiaku. Cafu sangat inklusif: Setiap kali dia pergi makan, dia harus naik mobil van karena ia akan mengajak setidaknya 10 orang bersamanya.

Para pemain Brasil mendukungku bahkan dalam latihan. Ada satu pemain, Kakha Kaladze: kapten timnas Georgia, raksasa. Suatu hari dalam latihan dia menebas kakiku. BRAK!!

Aku merasa kasihan pada diriku sendiri. Namun para pemain Brasil itu meneriakiku, “Woy! Jangan cengeng! Jika dia menendangmu, kamu balas tendang.”

Aku menyahut, Aku???

Mereka berkata lagi, “Ya, kamu! Jika terjadi sesuatu, kami akan membelamu.”

Jadi selanjutnya Kaladze tengah membawa bola dan aku menekelnya. BAM!!! Dia terjerembab ke rumput. Dalam hati aku bilang, Waduh, bagaimana nih? Dia bangkit dan mendekatiku, dan kupikir dia akan menghajarku. Dia mengulurkan tangannya daaaaaaaaaan…

… dia mengacungkan jempolnya.

“Buon lavoro,” katanya. Good job.

Mentalitas itulah yang mereka inginkan di Milan.

Ancelotti menjadi seperti ayah bagiku. Dia bahkan menamai anjingnya Pato. Anda lihat fotonya di pawai bus di Madrid, dengan kacamata hitam dan cerutu? Nah, di Milan dia datang ke tempat latihan dengan helikopter. Ancelotti tinggal di Parma dan kebetulan istrinya bisa menerbangkan helikopter. Dia turun seperti James Bond. Jika ada seeorang yang hidup dengan penuh gaya, dia adalah Carlo.

Aku belajar banyak dari para legenda itu. Aku duduk di sebelah Ronaldinho di ruang ganti. Seusai latihan, Carlo akan menyuruh Seedorf dan Pirlo untuk memberikan umpan panjang ke arahku agar aku tahu ke arah mana harus berlari. Pirlo berkata, “Lari saja dan bola akan menemukanmu.” Dan itu selalu terjadi.

Suatu hari di musim kedua aku datang untuk berlatih tendangan bebas. Kalian tahu siapa yang sedang melakukan tembakan di sana?

Pirlo.

Seedorf.

Ronaldinho.

Beckham.

Dalam hati aku berkata, Hari ini aku jadi penonton saja.

Tentu saja, kita semua tahu siapa yang menjadi dalam pertunjukan di Milan. Suatu hari Silvio Berlusconi meneleponku. Beliau bos yang hebat, selalu melontarkan lelucon. Aku berkencan dengan putrinya Barbara. Oh ya, aku sering menggiring bola dari sayap, melewati pemain lawan. Jadi Silvio bilang kepadaku, “Kenapa kamu sering menggiring bola melebar?” Beliau ingin aku bermain lebih ke tengah. Tak lama kemudian Carlo dan Leonardo memberitahuku hal yang sama.

Dan begitulah caraku mencetak gol terkenal itu di Camp Nou. Aku berada di tengah lapangan, aku melihat ada celah lebar, aku menendang bola dan berlari cepat. Saat Valdés keluar, aku berpikir, Sh*t, apa yang harus aku lakukan? Menggiring bola? Men-chip bola? Aku mencoba menembak ke kiri, tetapi bola malah lolos di antara kedua kakinya. Wow. Beruntung sekali.

Aku pikir Tuhan pun menginginkan gol itu terjadi.

Jauh di lubuk hati aku berpikir, Apakah Guardiola menonton ini? Aku sangat mengaguminya. Dia bilang bahkan Usain Bolt pun tidak mampu mengejar bocah itu. Keren kan? Itu adalah gol terbaik yang pernah aku cetak. Bahkan narasi komentatornya pun indah.

Orang-orang masih suka menghapiriku dan berkata, “Dua puluh empat detik! Ventiquattro secondi!”

Itulah hari-hari di mana aku pikir aku akan berhasil mencapai puncak.

Ekspektasi terhadapku sangat tinggi, kalian tahu kan? Aku adalah si talenta super, tak bisa dipungkiri. Aku sudah bermain untuk timnas Brasil. Pers menulis tentangku, para suporter membicarakanku, bahkan pemain lain memujiku.

PATO AKAN MENJADI YANG TERBAIK DI DUNIA.

PATO AKAN MEMENANGKAN BALON D'OR.

Aku menikmati perhatian dunia. Aku ingin dibicarakan. Tapi tahukah kalian apa yang terjadi?

Aku mulai terlalu banyak bermimpi. Meskipun aku masih bekerja keras, imajinasiku membawaku ke berbagai tempat. Dalam pikiranku, aku sudah memegang Ballon d’Or. Aku tidak bisa menahannya, bro. Sangat sulit untuk tidak terpengaruh. Lagipula, aku sudah banyak menderita untuk bisa sampai ke titik ini. Kenapa aku tidak boleh menikmatinya?

Saat aku memenangkan the Golden Boy sebagai pemain muda terbaik Eropa pada tahun 2009, aku tidak memikirkan Ballon d’Or. Aku hanya bersenang-senang dan YESS! – aku mendapatkan hadiahnya.

Aku unstoppable saat aku hidup di masa sekarang.

Tapi pikiranku terjebak di masa depan.

Kemudian di tahun 2010 aku mulai sering mengalami cedera. Aku kehilangan kepercayaan pada tubuhku sendiri. Aku takut dengan apa yang orang katakan tentangku. Aku pergi berlatih sambil berpikir, aku tidak boleh cedera. Jika aku terluka, aku tidak akan memberi tahu siapa pun. Saat aku sedang memulihkan diri dari masalah otot, pergelangan kakiku terkilir dan aku akan terus bermain. Engkel kakiku pernah bengkak seperti bola, tapi aku tidak ingin mengecewakan tim. Aku ingin menyenangkan semua orang. Itu salah satu kekuranganku.

Orang-orang mengharapkan aku mencetak 30 gol dalam satu musim, tapi aku bahkan tidak bisa tampil di lapangan. Aku masih bisa atasi kalau orang lain meragukanku. Saat keraguan datang dari dalam diri sendiri? Itu beda.

Dan tahukah kalian apa yang terjadi kemudian? Aku jadi mengetahui siapa saja yang benar-benar menyayangiku. Banyak orang di sekitarku berkata, Hmmmmmm, sepertinya dia tidak akan berhasil.

Aku merasa sangat kesepian. Di Internacional, aku selalu dilindungi secara berlebihan. Semua orang membantu dan melayaniku. Aku tidak tahu apa-apa tentang cedera, kebugaran, atau pola makan - karena aku memang tidak perlu mengetahuinya. Yang harus aku lakukan hanyalah bermain.

Jadi saat aku mengalami kesulitan di Milan, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

Saat ini setiap pemain memiliki tim pribadi kan? Dokter, fisio, pelatih kebugaran. Dulu hanya Ronaldo yang memilikinya. Aku berada jauh dari kerabatku. Keluargaku masih di Brasil. Aku punya agen, tapi dia tidak mengurus semuanya seperti yang dilakukan agen sekarang. Tentu, Milan punya dokter dan staf, tapi mereka harus merawat 25 sampai 30 pemain. Mereka tidak bisa mendampingiku sepanjang waktu.

Suatu kali aku bermain melawan Barcelona setelah menemui dokter di Atlanta. Aku berada dalam penerbangan pesawat selama 10 jam dan menjalani hanya satu sesi latihan. Tentu saja aku akan cedera! Nesta marah bilang, “Seharusnya Pato tidak main, apa kalian semua gila??”

Tapi aku belum mengerti juga. Aku berpikir dalam hati, Ayo coba lagi.

Aku tidak mengerti bagaimana industri ini bekerja? Di Internacional aku bahkan tidak peduli soal negosiasi kontrakku — perbarui saja supaya aku bisa terus bermain. Politik, hal-hal di balik layar, aku tidak memahaminya. Sepakbola itu seperti teater, di mana kita harus melakukan actinguntuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Tapi aku malah berpikir sepakbola sekadar permainan sederhana.

Saat media menulis kebohongan tentangku, aku tidak punya staf public relations. Seharusnya aku mengklarifikasi beberapa hal, tapi aku tidak pernah memahami pentingnya komunikasi yang baik dan membangun relasi. Aku diberitahu bahwa yang penting hanyalah hasil di lapangan. Ini sama sekali tidak benar.

Apakah aku sering berpesta? Tidak sesering yang digosipkan media.

Apakah aku kekurangan determinasi? Mereka mengatakan itu karena caraku berlari. Tapi ayolah. Siapa yang bisa benar-benar tahu itu? Tuhan menciptakan aku begini adanya. Aku tidak bisa mengubahnya.

Mereka ingin aku berani menghadapi tekel. Mereka menginginkan darah, keringat dan air mata.

Ya setidaknya mereka mendapatkan air mata. Aku menerima konsekuensi yang fatal.

Seharusnya aku mengatakan yang sebenarnya kepada semua orang sejak dulu. Kalian ingat cerita tentang PSG? Galliani berada di Inggris untuk merekrut Tévez, dan PSG memberiku tawaran luar biasa. Aku ingin pindah – Ancelotti saat itu melatih PSG – tetapi Silvio menyuruhku untuk tetap di Milan. Aku juga sedang cedera, fans menuduhku, “Ooohh, Pato tidak mau pergi! Dengan Tévez kami harusnya menjadi juara!” Pers juga menggila. Dalam hatiku, Apaan? Aku ingin pindah kok!

Aku melewatkan Piala Dunia 2010. Cerita tentang PSG terjadi pada Januari 2012. Aku hampir tidak bermain sama sekali. Secara mental aku hancur berantakan. Aku adalah big flop, bocah bergaji tinggi, pemain yang bahkan diusir oleh para suporternya sendiri.

Bro, tahukah kalian betapa kerasnya usahaku untuk kembali?

Aku berkeliling dunia. Aku menemui setiap dokter yang layak untuk ditemui. Seorang dokter di Atlanta membuatku tergantung jungkir balik sambil dia memutar tubuhku. Diagnosanya? Refleks-ku tidak selaras dengan ototku. Seorang dokter di Jerman menyuntikkan cairan ke seluruh punggungku — keesokan harinya aku berjalan di bandara Munich dalam kondisi membungkuk karena rasa nyeri. Seorang dokter menusukkan 20 jarum ke tubuhku setiap pagi dan sore. Dan maaaasih banyak lagi cerita menyakitkan lainnya.

Aku sudah ke dokter nomor 6, 7, 8.... setiap dokter mengatakan hal yang berbeda. Aku berpikir, Damn, aku harus percaya siapa???

Aku menangis terus menerus. Aku takut aku tidak akan bisa bermain bola lagi.

Itu sebabnya aku pindah ke Corinthians pada Januari 2013. Ya, aku ingin ikut ke Piala Dunia 2014, tapi aku juga ingin bekerja dengan Bruno Mazziotti, fisio Ronaldo. Sesampainya di sana, mereka mengambil otot lenganku untuk melakukan biopsi. Aku terbaring di tempat tidur sambil gemetar kesakitan. Setelah 20 hari, mereka mengetahui bahwa beberapa ototku memendek karena cedera. Aku memiliki lebih banyak otot di bagian depan kakiku daripada di bagian belakang. Seluruh tubuhku kehilangan keseimbangan.

Syukurlah, Bruno berhasil membuatku bugar kembali. Sejak 2013 aku hanya mengalami tiga kali cedera otot, seingatku.

Sayang sekali apa yang terjadi kemudian di Corinthians.

Aku tiba di sana sebagai selebriti. Jika kita berpenghasilan besar di Brasil, di mana kesenjangannya sangat buruk, para suporter akan menuntut banyak hal. Jadi saat aku gagal mencetak gol penalti panenka melawan Grêmio di perempat final Copa do Brasil, semua kesalahan dilimpahkan kepadaku. Ya, itu memang penalti yang buruk, namun tidak benar rumor rekan satu timku memukulku. Tidak ada yang melakukan apa pun. Namun para suporter ingin membunuhku. Aku melakukan perjalanan di São Paulo dengan pengawal bersenjata di dalam mobil anti peluru dengan bom gas air mata. Para suporter yang masuk ke tempat latihan kami membawa tongkat baseball dan pisau. Menakutkan. Telah terjadi hal-hal yang tidak sepantasnya dalam sepakbola.

Kalian tahu kenapa aku bermain jauh lebih baik di São Paulo? Mereka menjagaku dengan baik. Di sana aku hanya perlu bermain. Namun saat Chelsea memanggilku, aku masih ingin bermain di Eropa.

Sayangnya, aku harus menanggung akibatnya lagi karena perlindungan berlebihan.

Aku masih belum mengerti juga. Aku pikir Chelsea akan meminjamkanku selama enam bulan dan kemudian mereka akan mengontrakku selama tiga tahun. Aku tidak menyadari bahwa mereka bisa menolak menebusku setelah masa pinjaman. Seandainya aku tahu itu aku akan pindah ke klub lain. Sangat disayangkan, karena aku berlatih dengan sangat baik, tapi pelatih hanya memainkan aku dua kali. Aku tidak pernah mengerti alasannya.

Lalu aku kembali ke Corinthians, di mana para suporter berusaha mengusirku. Aku masih ingin bermain di Eropa, jadi aku melakukan sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Aku menelepon Daniele Bonera, yang aku kenal dari Milan dan bermain untuk Villarreal. “Bony! Apa menurutmu Villareal berminat padaku?”

Well, pelatih Marcelino menawari aku kontrak dan berangkatlah aku ke Spanyol. YES! Aku telah merekayasa transferku sendiri.

Kontak. Relasi. Rupanya beginilah cara kerjanya.

Itu adalah titik balik bagiku. Selama ini aku bersikap seolah-olah aku masih anak kecil di Internacional. Di usia 27, aku menyadari bahwa aku harus berubah. Aku harus bertindak secara mandiri.

Aku harus mengambil kendali atas nasibku sendiri.

Sayangnya, transfer ke Villarreal juga tidak sukses, tapi Tianjin Tianhai menjadi pencerahan. Saat aku pindah ke Tiongkok, aku putus dengan pacarku dan pindah ke sana bersama seorang teman. Kenapa? Untuk lebih terhubung dengan pikiran dan jiwaku. Sebelumnya aku tidak pernah punya waktu untuk melihat gambaran besarnya. Sekarang aku berpikir, Tunggu sebentar, apa yang aku suka? Apa yang penting bagiku?

Aku mulai fokus pada kesehatan mental dan hubungan. Aku menemui terapis. Aku belajar cara menemukan kebahagiaan dalam kerja keras. Aku masih have fun, tapi kini aku memperlakukan sepakbola sebagai pekerjaan. Aku mengambil tanggung jawab atas setiap aspek dalam karirku. Di Milan, aku menjalani tahun pertamaku tanpa bisa berbahasa Italia. Di Tiongkok aku langsung belajar tentang makanan dan budayanya. Aku bahkan langsung menyetok nasi dan mie di apartemenku.

Anak kecil itu sudah menjadi dewasa. Aku bermain bagus. Aku memahami bahwa ada lebih banyak hal dalam sepakbola daripada apa yang terjadi di lapangan, dan itu terasa sangat memuaskan.

Rasanya seperti hidupku. … nge-klik.

Tapi kemudian aku mengambil jalan yang keliru. Setelah berkarir di Tiongkok aku masih lajang, jadi aku memutuskan untuk menikmati kebebasanku. Aku pindah ke Los Angeles. Aku menginap di hotel terbaik, membeli mobil terbaik, pergi ke pesta terbaik. Aku berakhir di tempat di mana seorang gadis menghirup cocaine tepat di sebelahku. Tiba-tiba aku berpikir, Aku ngapain di sini?

Itu bukan hidup yang kuinginkan. Itu dunia yang hampa. Aku bertanya kepada seorang teman, “Apakah aku benar-benar akan menghabiskan sisa hidupku sendirian?”

Jadi aku kembali ke Brasil dan mengirim pesan ke teman lama, Rebeca. “Kamu ingin nongkrong bareng?” Kami minum kopi dan singkat saja segera aku berpikir, Ya, inilah yang aku inginkan.

Kali kedua aku menemuinya, dia berkata, “Kita akan pergi ke gereja.”

Gereja?

Itu sebuah pencerahan. Alkitab punya semua jawaban yang aku cari. Aku menoleh ke langit dan berkata, “Tuhan, aku tidak menginginkan kehidupan seperti ini lagi.”

Hari itu hidupku berubah selamanya.

Sejak itu aku hidup dalam realita yang berbeda. Saat aku pergi ke Orlando dan mengalami cedera lutut tahun lalu, aku bisa saja patah semangat. Keesokan harinya aku langsung memutuskan untuk kembali lebih kuat, dan sekarang aku tahu segalanya tentang lututku. Ada yang cedera? Hubungi Dokter Pato.

Mungkinkah jalan karirku bisa berbeda? Tentu saja. Namun mudah untuk melihat ke belakang dan mengatakan apa yang seharusnya aku lakukan. Saat kalian berada dalam posisiku, kalian juga tidak akan memahami gambaran besarnya. Jadi, tidak ada penyesalan. Lihatlah sisi baiknya, bro. Sekarang aku bugar. Kesehatan mentalku bagus. Aku masih mencintai sepakbola.

Kenapa aku harus merasa getir? Kita hanya punya satu kesempatan untuk hidup di dunia ini.

Aku masih yakin bisa pergi ikut Piala Dunia. Lihatlah pemain seperti Thiago Silva dan Dani Alves; mereka masih bermain bagus di usia 37 dan 39.

Namun hal-hal ini terjadi menurut kehendak Tuhan. Aku hidup hanya untuk hari ini. Selebihnya terserah Dia.

Seiring bertambahnya usia, kita menyadari apa yang membuat kita bahagia. Saat aku meninggalkan rumah, kupikir sepakbola memiliki semua yang kuinginkan. Aku pergi ke Italia, Inggris, Spanyol, Tiongkok. Aku menderita, aku menangis, aku menjerit kesakitan. Dulu aku selalu sendirian.

Mungkin aku tidak menjadi pemain terbaik di dunia. Tapi, bro, izinkan aku memberitahumu sesuatu.

Aku memiliki hubungan yang luar biasa dengan keluargaku.

Aku telah berdamai dengan diriku sendiri.

Aku memiliki istri yang aku cintai.

Menurutku, aku punya banyak Ballon d’Or.

Jika hidup adalah permainan, aku telah memenangkannya.

[END]

sumber:

sumber:

Share this Scrolly Tale with your friends.

A Scrolly Tale is a new way to read Twitter threads with a more visually immersive experience.
Discover more beautiful Scrolly Tales like this.

Keep scrolling