Sebagai pelaku di dunia dihital marketing, pernah punya ahensi, masih jadi “influencer”, pengin deh bahas masalah exposure ini.
Tentang iN eXcHanGe fOr eXpOsUre. Selengkapnya, masih ada di instastory aku.
Lagi, tentang In eXcHanGe for ExpOSure. Silakan maen ke instagram aku aja @amrazing untuk baca lengkapnya. Mwah.
Cerita pribadi tentang “in exchange for exposure”:
Beberapa tahun lalu, pihak spain tourism board menghubungi aku untuk jadi juri kompetisi foto. Kompetisi ini diikuti beberapa negara SE Asia, salah satunya, ya Indonesia.
Biasanya dalam kerjasama begini, aku dibayar mahal.
However, dari awal pihak Spain bilang: mereka gak bisa bayar jasa yang aku berikan, tapi sebagai gantinya, aku akan diterbangkan ke Spanyol bersama pemenang dari Indonesia, selama sekitar 2 minggu.
Their value met my value, so I said yes.
Di sini, mereka yang berada di pihak yang menawarkan kerjaan ke aku atas nama “in exchange for exposure.” Dari brand ke fotografer/influencer whatever you want to label it.
Aku kerja dengan mempromosikan campaign untuk mengenalkan spanyol dalam kompetisi foto, menjadi juri dan memilih pemenang dari Indonesia, lalu mendampingi si pemenang ke Spanyol selama dua minggu. Waktu, tenaga, pikiran, in exchange for exposure.
Nih pemenang dari Indonesia: @ibgwiraga. Kami lalu jalan-jalan ke bagian selatan Spanyol. Malaga, Granada, Cordoba, Seville, lalu ke Madrid, Avila, dan Segovia.
Aku juga harus kehilangan kesempatan untuk bekerja sama dengan tourism board lain. Nah, kok mau? Karena itu tadi: value yang spanyol tawarkan ketemu dengan value yang seharusnya aku dapatkan. Mereka gak perlu keluar uang untuk bayar aku, aku gak perlu keluar uang untuk ke sana.
Kemudian belum lama ini, pihak Tugu Hotel kontak aku, menawarkan menginap di sana sekaligus mencoba restoran baru mereka: saigon san. Karena memang ada acara di Malang, I said yes. Again, value meets value.
Mereka kasih syarat, aku kasih syarat. Ketemu. Berangkat.
Itu “in exchange for exposure” yang dimulai dari pihak brand ke influencer. Nah, kalau yang memulai mendekati pihak influencer, gimana? Ya sama saja.
Contoh, nih, ya...
Waktu trip eropa kemarin, aku email salah satu hotel termahal di Paris. Kasarnya, aku kepengin nginep di situ “in exchange for exposure”. Tentunya aku gak ngomong gitu dong ya... again, it’s not what you said, it’s how you said it, and what kind of value can you give.
Seperti di tweet-tweet awal, aku mengirimkan email formal, menjelaskan aku siapa, apa yang aku lakukan, dan value apa yang bisa aku kasih.
Aku ngarepnya ya either diterima dan dikasih kamar paling murah (€1800 semalam wkwkwwk) atau ditolak karena memang lagi high season.
Ketika kamu sopan, punya attitude yang baik, tau di mana positioning kamu (like, if you’re a beauty influencer ya gak nyambung kalo mintak endorse michelin star restaurant) saling barter jasa dengan brand bukan sesuatu yang aneh kok.
Terus gimana hasilnya? Aku dikasih kamar yang jauhhhhh di atas ekspektasi. Berapa semalamnya, tuh liat di akhir video ini, tertempel di pintu 😂
Kurang jelas? Aku keselek sendiri pas liat. Dua malam di sini, bagaikan sultan.
So, there. When your value meets the brand’s value, when you’re more than just followers number, when you have the right attitude, and when you can give a good concept, the “in exchange for exposure” is justified.
It took me 8 years to get to this point and even I know I am not the best photographer, writer, or “influencer”. Di luar sana boanyaaak yang lebih kece.
Jadi, jangan cuma bermodalkan followers banyak lalu semena-mena menghubungi brand dengan embel-embel “in exchange for exposure”. Your followers number means absolutely nothing when you don’t have the attitude. Manners maketh man itu nyata adanya.
Sekian.
Thank you for coming to my tedtalk. Mwah
Bonus: aku di kamar 11rebu euro semalam, atau 176 jutaan. Manjalita estaurina mwah mwah mwah. Cerita tentang kamar ini, ada di instagram aku. Ubek aja.
Abis bikin video tentang influencers, digital marketing, kalau kirim proposal ke brand apakah lo adalah pengemis? serta ... iN exChanGe fOr ExpOsuRe. Soon!
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Stop normalizing “kerja sampe begadang lalu kena tipes” as ✨hard work, byasalaaah~✨ because no amount of money in the world worth compromising your health.
Eat well, sleep well, work hard at work, gak ada pressure bales whatsapp setelah jam kerja should be normalized instead.
I let go kerjaan yang bayarannya bisa sampai di atas 70 juta sebulan because I felt no joy in doing it, begadang nyaris setiap hari — bahkan pernah dalam 4 hari tidur cuma 1-2 jam. At the end of the day, I’ve come to realized: I work to live, not I live to work.
Work to live: kamu kerja karena selain butuh, juga untuk aktualisasi diri dan tetap berfungsi di masyarakat, plus bisa punya gaya hidup yang baik.
Live to work: diperbudak pekerjaan; hidup hanya seputar kerjaan dari pagi sampai menjelang tidur. I don’t want that.
Usia 20an, it’s perfectly okay kalau kalian ngerasa hidup gini-gini aja, ngerasa gak berguna, minder dengan pencapaian orang lain, merasa meant to be something bigger but don’t know what.
But if you keep worrying about your future, how are you gonna be able to enjoy the present?
Karena aku gak di usia 20an lagi, jadi boleh ya berbagi gimana aku struggle jungkir balik “menemukan passion” (yang kemudian bikin sadar bahwa: passion is bullshit — i’ll get back to you on this), mempertanyakan eksistensi hidup, sampai sesederhana: gimana caranya makan hari ini?
The not-so hidden message from this person: I take a good care of my belongings, I am responsible, I am different from your typical job seeker, I am witty and smart. 👏🏻👏🏻✨
Apa kekurangan kamu?
Beuh. Lancar banget jawabnya. A sampe Z gak pake mikir saking familiarnya dan karena kita memang lebih fokus pada kekurangan di diri kita.
Namun, begitu pertanyaannya diubah sedikit jadi, “apa kelebihan kamu?” Nah. Gelagapan, deh.
Kenapa?
Ketika ditanya saat job interview dengan pertanyaan: “Apa kelebihan kamu?”
Setelah muter-muter dan terlambat, akhirnya kami tiba di WTC, tempat aku seharusnya bertemu duta besar Panama yang beli foto pameranku. Di jalan, aku sama sekali nggak ngomel ke supir. Sama sekali. Mari flashback sedikit.
External Tweet loading...
If nothing shows, it may have been deleted
by @komangtrisanthy view original on Twitter
Bahas parfum favorit, ah, mumpung #AromaKarsa masih anget-angetnya. :3
Waktu masih brondong dulu, parfum andalanku: Davidoff Cool Water dan cK Eternity. Karakter keduanya itu fresh gitu. However cK top notes-nya ada lavender dan orange sementara Cool Water wanginya mirip sama parfum Creed: Green Irish Tweed.