Di awal Bharatayuda, kedua pihak — Pandawa dan Kurawa — sama2 mengirim utusan ke kerajaan Dwaraka, kerajaannya Vasudewa Krisna. Diatas kertas kalkulasi, pihak manapun yg mendapat dukungan Dwaraka, hampir dapat dipastikan pihak itu akan memenangkan perang.
Tapi Krisna sudah membuat keputusan : ia membagi kekuatan Dwaraka menjadi 2. Satu pihak adalah Vasudewa Krisna seorang diri, tanpa senjata dan tidak ikut secara langsung dalam pertempuran. Pihak lain adalah seratus ribu balatentara Dwaraka lengkap dengan senjata perangnya.
Pandawa yg diwakili Arjuna dan Kurawa yang diwakili oleh Duryodana dipersilakan memilih salah 1 saja. “Arjuna, krn datang lebih dahulu, silakan memilih pertama”, kata Krisna. “Vasudewa, aku tdk punya hak memilih. Kasihmulah yang seharusnya memutuskan kemana engkau akan berpihak.
Oleh karenanya, oh Vasudewa, aku hanya bisa memohon sudilah kiranya engkau sendiri yang berdiri di pihak kami” kata Arjuna, menyembah.
Duryodana yang sebelumnya kecewa karena hanya diberikan kesempatan kedua, kini tersenyum puas. “Arjuna mungkin sudah gila.
Mungkin itu sudah ditetapkan sebagai jalan bagi kekalahan pandawa. Bagaimana mungkin ia memilih Krisna seorang diri yang tanpa senjata dan tidak ikut berperang? Gila, Arjuna sudah gila”, demikian bisiknya dalam hati. Tak terasa bibirnya tersenyum2.
“Baiklah Vasedewa, karena Arjuna memilih dirimu, dengan senang hati aku akan memilih seratus ribu pasukanmu, lengkap dengan senjata perangnya”.
Demikianlah. Kera yang disuguhkan uang 1 juta dolar dan setandan pisang, dengan gembira ria akan memilih setandan pisang.
Ia tidak tau bahwa dengan 1 juta dolar ia biasa terjamin makan pisang seumur hidup. Begitu pula Duryodana. “Dengan kekuatan seperti ini, siapa yang berani melawan aku?. Dengan dukungan sekian banyak orang, bagaimana mungkin aku dikalahkan?”
Demikianlah Itihasa mengajarkan. Dari Arjuna kita belajar ketundukan dan keyakinan akan kebenaran. Dan itu bukan tentang jumlah dan bukan pula tentang kekuatan. Kebenaran akan menemukan caranya sendiri untuk menang.
“Saat Dharma dikalahkan dan adharma merajalela, Aku sendiri yang akan turun ke dunia untuk menegakkan dharma kembali”. Demikian janjiNya dalam Gita.
Dari Duryodana kita belajar kecongkakan. Ia tak peduli kebenaran. Dalam prinsipnya, kuat dan banyak adalah segalanya.
Benar salah tak penting. Baginya, yg penting menang. Adigang Adigung. “Aku kuat, kamu mau apa?” begitu prinsipnya. “Bila sekian banyak orang membela, kenapa aku mesti takut?”. Bagi orang2 spt Duryodana, mereka tdk takut berbuat salah. Meski salah, kalau berbanyak pasti aman.
Bila perlu, tantang aja sekalian, siapa yg berani? Nasehat para tetua tak digubrisnya. Bahkan nasehat kakek Bhisma sekalipun. “Anakku Duryodana, minta maaflah pd Pandawa. Kembalikan Indraprasta, lalu hiduplah damai berdampingan” demikian sesepuh bangsa Bharata mencoba menasehati.
“Minta maaf ? Tidak, kakek. Lebih baik kami selesaikan di medan perang. Kakek lihat, ada sekian banyak yg siap bertempur di pihakku. Apa yg kurisaukan?”
Kini, ribuan tahun dari jaman Mahabharata itu, kita terlihat bersikap seperti siapa?
Mari ambil cermin masing2, lalu merenung.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Apa yang membedakan Bali dari pulau lain? Secara fisik tidak ada. Terletak di tengah2 peta Indonesia, alam Bali tidaklah istimewa. Apa yang ada di Bali, ada di daerah lain. Apa yang bisa dibuat di Bali, juga bisa dibuat di daerah lain.
Orang2nya juga sama: rambut hitam, kulit sawo matang, mata dan hidung sedang. Lalu apa yang membuat Bali berbeda?
Menurut saya, perbedaan Bali adalah pada tradisi PERSEMBAHAN-nya.
Terlepas dari fakta bahwa kebanyakan orang mengisi doa dengan permohonan2 (agar ditunjukkan jalan, dimudahkan urusan, dihindarkan dari mara bahaya), kita di Bali selain memohon juga mempersembahkan. DIA memang maha sempurna, tidak perlu apa2.
Pertama, “semua benar” itu krn Dia Maha Besar, Maha Luas, shg menoleh kemanapun selalu ada Dia. Lalu setiap orang menemukan Dia sesuai tingkat kesadaran masing2. Weda menyebut “prajnanam Brahman”, Tuhan adalah kesadaran.
Kedua, krn karma menuntun kami lahir sbg Hindu (cont)
Ini bukan kebetulan tp sebuah perjalanan kesadaran, sesuai poin pertama tadi. Kl pindah emang dapet apa?
Ketiga, di Hindu kami diajarkan membangun kesadaran utk tdk jumawa, merasa paling benar. Sebaliknya utk rendah hati, berharmoni. Inilah tangga kesadaran kami saat ini (cont)
dan ini sungguh membuat kami nyaman. Utk apa pindah? Di t4 lain kami dpt apa? Kl hanya utk membesarkan ego bahwa kami satu2nya yg benar, yg lain salah, dan kami satu2nya yg akan masuk sorga, maaf, kami tdk tertarik. Permen memang mengandung gula, tp kan tdk semua orang suka? Cont
(Repost) RELIGION & THE GOLDEN RULE : Mencari Tuhan yang Adil, Benar, Baik dan Indah
Semestinya, tidak ada keharusan bagi Tuhan. Siapakah kita bisa mengatur-ngatur Tuhan harus begini harus begitu ? Dia maha kuasa, maha pencipta, maha mengetahui.
— A thread —
Tetapi kita sesungguhnya tidak pernah bicara ttg Tuhan yang illahi, karena dalam keillahiannya dia tak terjangkau oleh pikiran (achintya). Bagaimana bisa membicarakan entitas yang tak terpikirkan ?
Maka yg kita bicarakan sesungguhnya adalah konsep2, yg kita pahami dari kitab..
yang kita percayai sbg wahyu Tuhan. Pemahaman atas kitab ini disebut tafsir. Jadi tafsir adalah Tuhan yg dipahami oleh pikiran kita. Dlm konteks inilah Tuhan harus adil, harus memenuhi kaidah umum utk disebut "baik". Jadi pemaknaan kita atas Tuhanlah yg harus benar, baik, indah.
Ada orang yg merasa begitu istimewa, benar, cerdas dan beruntung krn percaya Tuhannya satu. Tak cukup merasa beruntung, dia bahkan mengejek orang lain “kok Tuhannya banyak”, begitu katanya, di podium, diiringi tawa orang2 yg mendengarkan ceramahnya.
Sejatinya, biji rambutan jg satu. Biasa saja. Pohon kara jg satu, malah dijadikan istilah “sebatang kara” yg merefleksikan kesedihan. Jadi 1 atau sejuta bisa sama2 istimewa, tergantung konteks. Begitu jg ketika angka itu disematkan sbg bilangan yg mengindikasikan “jumlah Tuhan”.
Pertanyaannya, apa Tuhan itu? Apakah Ia semacam mahluk langit dgn cambuk hukuman di satu tangan bagi yg tdk percaya, dan gula2 hadiah di tangan lain bagi mereka yg tunduk dgn puja puji? Apakah Dia hrs mjd satu2nya, bak raja yg menuntut kesetiaan mutlak tanpa ruang utk yg lain?
1. Bu Desak bilang “yg saya takutkan dr Hindu adl reinkarnasinya”. Beliau bercerita roh yg reinkarnasi ke tubuhnya sdh dikeluarkan di Arab.
*Bila reinkarnasi ada, manusia tdk akan kuasa menolaknya. Bila reinkarnasi tdk ada, roh apa yg keluar itu?😁
2. Bu Desak bingung kok Tuhannya banyak. Itu hanya bingung krn kurang biasa. Yg biasa 1, ketemu banyak bingung. Yg biasa banyak, ketemu 1 jg bingung. Banyak atau 1 tdk ada bedanya bagi Yang Maha Besar. Makanya sama Tuhan tdk usah hitung2an. Dia memang tdk bisa dihitung😁
3. Bu Desak menarasikan beliau ngeri membayangkan jenazah dibakar. Apakah kl dikubur sendirian didalam tanah, dikerubutin cacing, dimakan ulat sedikit demi sedikit tidak membuat bulu2 merinding?
Dibakar 2 jam jd abu. Dikubur berapa bulan diitik2 cacing nakal? 😁
“Diantara segala hal rahasia, aku adalah keheningan” (Bhagawad Gita X.38)
Keheningan (dalam bahasa sankerta “mauna”), berarti “diam”, “tidak mengucapkan apapun”, “tidak berbicara”, “tidak adanya pernyataan”, “tenang”.
— thread Nyepi —
Weda juga menggunakan kata “Asat”, yang berarti tak terlukiskan, yang muncul tujuh kali dalam Rig Veda. Asat adalah landasan transendensi, asal mula semua persepsi yg terorganisir, jg disebut bahasa non-eksistensi. Asat adalah keheningan dari mana dunia dan senua mahluk muncul.
Dalam kata lain, asal mula semua yang ada adalah keheningan dan kekosongan (ketiadaan). Dari kitab yang sama juga ditemukan nyanyian Nasadiyasukta yang berisi pertanyaan-pertanyaan retoris dan kontemplatif tentang asal muasal keberadaan: