T E B O Profile picture
Dec 19, 2019 112 tweets 11 min read
BUKAN CERITA HOROR!!

- a thread -
Bismillahirrohhmanirrohim.
Tiga hari amatlah sulit bagi kami untuk mencari pelaku yang berani-beraninya menaruh dendam, membuat bapak dari kawanku terkapar hampir satu bulan.
Wajar saja, di daerah yang berkuasa bukan saja pemerintah. Roda kemiskinan, membuat kami dengan sangat mudah menyerang tanpa menyentuh.
Jika dendam telah dirapal menjadi doa, kami akan dengan sangat waspada, dan saling menjaga. Termasuk mencari pelaku yang menyimpan dendam dengan cara yang paling biadab: santet.
Dan tiga hari bukanlah waktu yang cukup bagi kami. Tapi mau gimana lagi. Ini sudah terlalu parah.
Pernah dalam sekali waktu aku menjenguk di jam 9 malam, sehabis pengajian.

Baru sampai di teras, sandal belum kulepas, aku disambut dengan suara yang melolong kesakitan, raungnya memekik telinga, membuat sebagian tubuhku gemetar--merasakan sakit yang dibuatnya nyata.
Aku mengendap masuk, mengetuk pintu depan. "Mikum, Tib. Khotib," sapaku. Pintu langsung terbuka. Pundakku diseret masuk ke dalam. Kulihat betapa paniknya ia dalam suasana malam yang mencekam. Dahinya berkeringat.
"Bapakku, makin parah." katanya
"Ada apa Tib? Sakit apa bapak?" tanyaku, sambil sesekali mengintip pintu kamar melihat seluruh isi ruangan yang samar. Di sana, kudengar selain raungan bapak, tangis ibu dan 2 adeknya juga membuat sesak seluruh ruangan.
"Bentar aku harus manggil Pak Ustad. Sekarang!" tegasnya.

"Aku antar. Kebetulan Pak Ustad lagi nahlil di 7 harinya almarhum kakeknya Marni."
ia hendak bergegas keluar dari rumah. Pamit ke emak dan bapaknya.

Di saat ia mencium tangan bapaknya, jemarinya digenggam kuat. Meraung kesakitan lagi. Badannya menggigil. Aku melihat dengan seksama. Ia menggaruk lehernya sampai merah. Seolah-olah ada sesuatu di tenggorokannya
"Khooooottiiiibbb.... Tolong bapak.." suaranya lirih, sambil menahan batuk yang tak berkesudahan. Jakunnya meneguk dahaga.
Mukanya pucat pasi. Di antara kelopak matanya ada bantalan hitam yang melebar. Tatapannya kosong. Sedang dua adik Khotib menatapnya dengan penuh harap. Di sudut matanya, ada setetes air yang mengalir.
Istighfar pak," ujar Khotib suaranya terbata. Lengannya merangkul, memeluk erat bapaknya.
Di saat yang paling pupus sekalipun, hanya pelukan yang dapat mengobati luka. Semua larut dalam suasana.
Emak Khotib sibuk mengusap air mata laki-laki yang dicintanya, lembut. Laki-laki yang memberikannya nafkah selama 20 tahun lamanya sebagai buruh pabrik kertas di Kabupaten Serang.
Tapi bapak, masih belum ada penanda baik. Nafasnya tersengal lelah, batuknya kini menghantam malam dengan kencang. Pada saat bersamaan, sekejap terdengar seperti ada yg menyiram pasir di atap rumah.

"Tib, denger suara tadi?" bisikku. Ia mengangguk.
Aku berniat cek halaman depan. Baru dilangkah ke tiga, kami semua mendengar pintu depan seperti digedor dengan batu bata. "DOR"
Aku dan Khotib berlari kecil membuka pintu, meninggalkan bapak, mencari sumber suara. Pintu dibuka. Dentang suara jangkrik menyambut dengan nyanyian berisik.
Satu hal yang dirasakan, telapak kaki kami seolah menginjak pasir putih. Kami merunduk. Telunjukku penasaran, kudekatkan dengan lidah, rasanya asin.

"Garem ini Tib. Siapa yang berani nyiram garam ke sini?" tegasku heran. Khotib masih saja terdiam. Kepalanya merunduk ke bawah.
Ada yang tak beres.

Aku dekati dia. Berharap mendapatkan tenang di tengah kengerian.

Sial. Khotib menemukan kodok bangkong, mati terkapar. Perutnya gendut.
Khotib ngebelek kulit kodok dengan batu krilil. Naas, yang ditemukan adalah paku berkarat bercampur darah dan gulungan rambut putih.
Makin enggak beres. Kami tahu, ini adalah petanda buruk. Betapa sialnya di malam itu. Rasa geram, sedih dan putus asa menyelimuti Khotib. Jemarinya mengepal, tangisnya mulai keluar.

"SETAN ALAS!!"
Dia beranjak masuk ke dalam mendengar batuk bapaknya semakin keras dan panjang. Aku masih di depan, tak sengaja, di sebrang rumah Khotib, kulihat sosok bobongkong di balik batang rambutan.
Bulu leherku merinding, desir angin mulai merasuk. Sosok yang tua, memakai jarit, tubuhnya bongkok, dan hanya ada tongkat yang menyangga tubuh sialnya.
Semua orang pasti ngiranya itu adalah ndek (nenek). Tapi siapa sangka kalau dia adalah bobongkong.
Bayangkan, disaat yang paling bangsatnya adalah. Kamu bisa teriak sekencang2nya, tapi teriakmu itu tertahan di mulut. Dua bola matamu, dipaksa untuk melihat sekujur tubuh.
Jarak yang tadinya 12 meter dari pandangku, menjadi selangkah lebih maju di hadapanku.

Rasanya cuma mau teriak, nangis, marah sejadi2nya.
"Tib... Khotibbbb...." aku berusaha keras memanggil kawanku. Dia justru tersenyum gila dihadapanku. Bibir yang hitam, kulit yg keriput, dua bola mata seperti borok nyata di hadapanku.

"Khooootttiiibbbb!!"
Kenapa gak lari? Kalau bisa kencing sambil berak pun bakal gua lakuin dah.
Untungnya Laras, adik bungsu Khotib narik tanganku. Aku berpaling, "ngapain a di luar? Bapak muntah darah," katanya sambil menangis.
Astaghfirullah.

Bapak sudah dalam keadaan terkapar di risbang. Kulihat Khotib membersihkan lantai penuh darah, paku juga belatung hidup. "Siapa yg tega ngirim santet begini Gusti..."
Di balik tubuh lunglainya, ada emak Khotib yang menangis histeris.

Kejuatan di malam itu, berakhir dengan tumbuhnya 7 kawat berkarat dari perut bapak, menembus kulit.

"ALLAHUAKBAR"
Aku segera menggendong dua adek Khotib masuk ke kamarnya masing-masing. Tak sedikit pun kudengar tangisan dari mulut mereka. Tapi kedua matanya berkaca-kaca. "A siapa yang tega jahatin bapak?" tanya mereka.
Aku gak berani menjawab. Hatiku merasa digebug habis-habisan. Mereka tak sepatutnya merekam jejak ingatan yg begitu menyakitkan. "Tuhan, apa yang harus kulakukan?"
Malam itu adalah hari pertama bapak Khotib mendapati teluh. Masuk ke hari ketiga pun tidak ada perubahan. Setiap hari yang dilalui, belum juga menemukan titik terang. Sudah hampir satu bulan, Pak Khotin jatuh terkapar.
Tidak ada yang tahu, tentang siapa meneror atas dasar apa? Siapa di balik bebongkong itu? Tapi yang jelas, kesehatan bapak Khotib semakin buruk.
Kami warga kampung, hampir setiap malam aku ikut menjaga rumah, bersama pemuda kampung lainnya juga bapak-bapak ronda. Sedang Pak Ustad sibuk "memagari" rumah dengan doa-doa.
Kami saling bergantian menjaga malam dengan membaca ayat-ayat suci, mengaji. Mulai dari jam 8 malam, sampai ke jam 8 pagi.
Khawatirnya adalah ketika ada kiriman susulan. Jika tidak dipagari dengan doa, santet akan terus berdatangan. Hingga tiba di hari ke tujuh, malam menjadi sangat panjang.
Babak baru segera dimulai. Cerita yang menyakitkan digelar dalam ingatan yang panjang. Aku dan Khotib diminta untuk mencari pelakunya hanya dengan tiga hari tiga malam. Perang santet dimulai.
Okeee lanjut gak nih
Sebelumnya, kalau ada yg nanya ini cerita asli atau bukan? Sinih bertandang ke Serang. Aku ajak kamu ke makam korban. Atau coba rasakan menjadi buruh pabrik, nikmati bagaimana atmosfer klenik itu digunakan.
Aku hanya menggali sedikit memori yg masih tersisa. Bertahun-tahun aku bungkam. Aku menulis bukan hanya sekadar berbagi kisah dan menjadikannya nyata, tapi ini adalah satu dari bentuk perlawanan.
Soo, aku hanya ingin bercerita. Mencari pelaku itu sama seperti mengantar nyawa.
Dalam perjalanan, kita tidak pernah tau bagaimana maut akan datang. Dan hujan malam ini, jatuh tepat di mana waktu itu aku dan Khotib berpencar hanya untuk satu perburuan.
Aku tahu, putus asa itu pasti ada. Rasa di antara ingin menyelamatkan atau mengikhlaskan. Tapi dalam kasus ini, Emak Khotib jelas melanggar aturan. Itu semua demi suami yangi dicintanya.
"A bantu ibu, temui Ki Durga," katanya. Emak Khotib hanya memberi alamat yang samar untuk diingat. Itu berada di daerah Banten Selatan. Aku curiga, Emak Khotib meminta Ki Durga untuk membalaskan duka yang menimpa keluarganya.
Banten Selatan adalah gudangnya ilmu hitam. Padahal, jika mendengar anjuran Pak Ustad, "Orang kita, dilarang membalas dendam. Kembalikan lagi semuanya ke Allah".
Tapi bagaimana cara kita berserah jika di setiap selasa dan kamis malam, selalu ada kejadian aneh. Teror itu terus membelenggu kami. Apa yang harus diserahkan selain doa di setiap malam?
Dalam satu kejadian, aku ingat betul. Pukul 11 malam, rasa kantuk datang menyerang kami. Tidak biasanya.
Bapak-bapak yang masih bertahan hanya 3 orang dan tumbang dengan rasa kantuk yang datang. Sisanya pamit. Khotib dan keluarganya sudah terlelap. Aku ditemani secangkir kopi dan sebatang samsu. Di luar, gerimis telah datang.
Aku memutuskan untuk rehat sejenak. Doa-doa kuhentikan. Saat menghela nafas, kulihat di ruang dapur bohlam kuning 5 wat memudar. Tiba-tiba terang kembali. Aku berada tepat di depan pintu kamar Bapak Khotib.
Kulihat, aman-aman saja. Tapi lampu dapur enggak beres. Aku bangkit dari rasa penasaran. Kutengok sekliling pun gak ada masalah. Kutekan saklar lampu. Kuhidup-dan-matikan. Masih terlihat aman.
Ketiga kalinya, ketika aku menyalakan kembali lampu bohlam meredup. Saklar kumatikan. Dugaanku, lampu itu rusak. Tapi belum tentu juga. Makanya aku ambil kursi, berharap bisa memeriksa isi bohlam secara pasti.
Aman. Masih bagus isinya. Aku nyalakan lagi lah itu saklar. Bohlam langsung meletus. Seperti konslet. Langsung putus dengan suara seperti petasan. Saat itu bener-bener dibuat kaget gak kepalang. Pada saat yang bersamaan, lampu di seluruh rumah juga ikut mati. Loh, ngapa sih...
Bara api dari korek gas kunyalakan. Dan sejujurnya saat itu aku gak kuat nahan kencing. Aku beranikan diri ke kamar mandi. Lengan kiri kugunakan untuk membuka pintu kamar mandi. Aman.
Aku buka sleting celana, kuacungkan 'si jumed' keluar dari sangkarnya. Air mengucur ke lubang yang tepat.
Jempolku gak kuat nahan panasnya api. Jadi kubiarkan hajat kecilku tuntas terlebih dahulu dan kukembalikan ke sangkarnya. Ketika usai, korek kunyalakan, berharap gayung bersambut dari bak mandi.
Sampai keempat cidukan aku guyur ke kloset sampai tuntas. Masih aman-aman saja. Saat balik badan, slot pintu kamar mandi malah gak bisa dibuka. Seret gitu. Mana gagangnya juga rusak.
Aku berusaha keras buat ngebuka ngakalin slot kamar mandi. Semua cara aku lakukin. Giliran lagi susah payah begitu, bentar lagi udah mau kebuka, eh suara gayung tadi jatuh mengejutkan.
Anjinglah. Dikira ada apa. Aku nyalain korek lagi dong memeriksa keadaan. Dan...
BOBONGKOOONGGG Bangsaaaaatttt....!!

Allahumaaaa Gusti..

Aku teriak sejadi-jadinya. Pinti kugedor. "Tiibbb... Khotiiibbbbb!!!"
Aku tahu, sekuat-kuatnya melawan cuma bisa teriak. Harusnya aku baca ayat kursi atau apalah. Gak. Gak akan sempet. Imanku lemah. Dia mendekat. Tak sepatah gerak pun yang ditunjukkan.
Hanya senyum yang lebar. Giginya hitam. Di antara bibir dan gusinya ada bekas suruh, yang sudah terlanjur pekat. Keriputnya terlihat jelas dan borok di matanya masih tercium. Hanyir. Babiklah. Nasib sial.
Ubun-ubunku menggigil. Berasa ada yang meletus. Sakit gak kepalang. Badanku panas dingin. Kedua kalinya aku temukan dia. Bangsat. Ini pertanda buruk.
Kata orang, jika bobongkong sudah berani masuk ke kamar mandi itu artinya air kamar mandi bakal jadi malapetaka. Seluruh badan bisa saja dibuatnya gatal-gatal, penyakitan.
Aku bangun dari mimpi buruk. Suasana sudah gelap gurita. Entah, apa yang sebanarnya terjadi yang jelas aku mendengar suara tongkat mengetuk lantai di kamar mandi. Jangan-jangan...
Kurogoh saku, mengambil korek. Kunyalakan bara api. Aku mendengar suara dari kamar bapak Khotib. Seperti harimau yg sedang menggeram.

Sialnya, kenapa cuma aku yg sadar masalah kejadian-kejadian tengik mecam gini. Setan. Panik, gak karuan.
Di dapur, aku melihat sekelibat bayang-bayang, sosok yg bungkuk tengah berjalan perlahan. Tapi suara bapak, lebih jelas menggeram.
"Tok.. Tok.."

"Pak.. " sapaku sambil membuka pintu.
Allahuma Ya Allah. Untuk pertama kalinya aku membenarkan omongan Kakek Buyutku. Setiap orang yang memiliki pegangan, dia bakal susah ngelepasnya. Salah satu gejalanya: tubuh Pak Khotib tidur tanpa napak ke kasur. Suaranya terus menggeram.
"Lā tudrikuhul-abṣāru wa huwa yudrikul-abṣār, wa huwal-laṭīful-khabīr," kurapal surat Al-an'am ayat 103, sebanyak 7 kali.
Aku selalu yakin, bahwa Tuhan yang memberi dan mengizinkan terhadap hal-hal yang tak diinginkan. "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui."
Dalam waktu singkat, Pak Khotib ambruk ke risbang. Aku coba sadarkan dia. Beliau masih saja menggeram. "Pak.." sapaku lagi.
Desir suara hujan masih menyelimuti malam. Suara gaduh di pos ronda terdengar, menyebar ke seluruh kampung.
BANASPATI!!"

"BANASPATI.... BANASPASTI...."

Kentungan ditabuh berkali-kali, obor dinyalakan, berharap semua orang bangun dari tidur yang melelahkan.
Seruan itu terdengar riuh. Mereka mengejar bola api dan berakhir di depan rumah Pak Khotib. Semua orang terbangun. Tapi hanya beliau yang masih saja tertidur.

"Ada apa ini pak?" tagas Emak Khotib di depan rumah. Khotib selangkah lebih maju, "Mana ada banaspati."
"Entah sumbernya dari mana. Pertama kali kita ngeliat dari arah kebon dekat makam, ngeleap nyasar, sampe ke rumah Pak Khotib." mereka semua merinding ketakutan.
Semua orang tahu, jika banaspati berhenti di satu rumah, ajak akan datang tak mengenal waktu. Sedang di sebrang sana, lagi-lagi aku melihat bobongkong tengah mengintip dari batang rambutan.
"Mang Salim, tolong panggil pak usatd. Khotib, temui Ki Durga." katanya, memberi perintah. Di saat itulah, Emak Khotib meminta aku untuk menemui Ki Durga, tengah malam, hanya mengandalkan 2 motor menuju wilayah Banten Selatan.
Entah rasa pilu apa yang mengantarkanku ke gerbang pertarungan ini. Aku tanpa basa-basi mengamini emak Khotib. Dan sobatku sendiri, juga turun tangan.
Kami tancap gas. Khotib bawa motor supra x. Aku bawa legenda. Dua motor butut yg selalu kalah jika harus nyalip raja jalanan: Setan Merah (Bus Murni).
Harapannya, kami dapat bertemu dgn Ki Durga sekaligus membawa tumpangan lainnya. Entah itu keperluan pengobatan, atau bahkan tumpangan dari Ki Durga.
Perjanan malam lebih cepat ditempuh, sesampainya di Saketi, penanda bahwa sebentar lagi akan sampai. Kami rehat sejanak di salah satu warkop. Ngopi, mengepul asap, mengisap sebatang surya dan hujan masih mengguyur malam.
Sekujur tubuh basah dan kami selalu merasa bersalah. Tapi penyasalan itu tidak pernah terucap di depan Khotib. Aku selalu yakin dengan desas desus bahwa, Banten Selatan adalah gudangnya ilmu hitam. Apakah jalan ini yang harus ditempuh.
"Yoklah jalan lagi." ajak Khotib, sambil menjajakan duit.

"Rek kamarana emang jang. Buru-buru amat," tukas si Teteh.
"Ameung teh. Ka imah Ki Durga. Apal teu?" singkat Khotib.

"Atuh apal."

Syukurlah, si Teteh memberi petunjuk jalan. Kami pamit. "Nu hade nyah" himbaunya.
Dalam hati, aku menjawab, "tenang teh, kami datang dengan niat baik. Semoga tidak terjadi apa pun di jalan."

Badanku sudah menggigil. Kulit jemeri mulai mengeriput. Aku melihat Khotib pucat. "Masih kuat teu lur?" tanyaku.

"Kalem we." pungkasnya. Sok kuat tu bocah. Taik bener.
Ada perasaan yang gak beres di saat itu. Terutama dari tatapan si teteh. Sempet ngelamun di jalan. Apalagi pas ngelewatin tanjakan, sedikit menukik pas turunan. Khotib berada tepat di depanku, menghilang di pengkolan jalan.
Dari jarak jauh kulihat lampu mobil nembak tak beraturan. Suara gaduh mengahantam aspal. Pedal gas kugenggam kencang. Allhuakbar. Khotib jatuh terkapar. Aku marah sejadi-jadinya.
Aku bangunkan Khotib. Darah merah mengalir dari tubuhnya, dibantu dengan derasnya hujan, menyerap ke dalam aspal. Lengan kirinya bungsrutttt. Tulang pundaknya patah. Ada banyak luka di mukanya.
Gak jauh dari posisi Khotib, Sopir losbak keluar dari tempatnya. Aku mengepal dendam. Gak make basa basi. Kucekek lehernya, kuhantam habis-habisan.
GOBLOG DIA ANJING. TANGGUNG JAWAB DULUR AING. SETAN. NGAJAHAJA BAE DIA. NDEK PAEH KU AING?!
Nafas kami seolah habis ditelan putus asa. Kita semua lelah tanpa tenaga, gak ada waktu lagi buat adu bacot. Di tengah emosiku, bapak supir langsung membopong Khotib. Aku langsung turut membantu. Khotib terkapar di jok depan.
Aku melompat dan duduk di belakang bak terbuka bersama hasil panen kelapa muda. Di sana aku menyesali keadaan. Dan sosok Bobongkong itu, hadir saat kami hendak meninggalkan lokasi kejadian. Persetanlah.

Pak Supir menancapkan gasnya membawa pulang kami ke rumah.
Tepat di saat fajar tiba, aku sampai di rumah Khotib. Adzan berkumandang, apa yang harus kukatakan. Ki Durga gagal kami bawa. Khotib remuk di jalan. Apalagi yang harus kulakukan?
Di depan pintu rumah, kulihat Emak Khotib masih terjaga dari firasat seorang ibu. Tanpa tangis yang membanjiri pipi, dia langsung membopong Khotib dibantu Pak sopir.
"Semua salah saya," kata Pak Sopir.

"Geus mang, ulah diperpanjang. A tolong ka Baros, ngajemput Abah Soleh."
Abah Soleh, adalah salah satu tabib dari Baros. Beliau punya keistimewaan khusus untuk mengobati luka dalam, patah tulang, dan lain sebagainya. Dibayar hanya dengan sembako alakadarnya dan amplop seikhlasnya. Tapi dia gak pernah mampu untuk mengobati luka santet.
Bagaimana pun, khotib adalah teman sadulurku. Apa pun yang terjadi juga harus aku alami. Minimal, menemani di saat-saat sulit begini. Hingga tibalah saat dzuhur, pengobatan dilakukan di kamar khotib.
Aku tahu rasa sakit, yang dialaminya amatlah besar. Risiko pengobatan tradisional, pun mau tak mau harus dilakukan. Selain alasan ekonomi, setidaknya hanya Abah Soleh yang Emak percaya.
Saat usai, Khotib jalan sempoyongan menuju kamar bapaknya..
Ia duduk bersimpuh di ujung risbang. Memeluk erat jemari bapaknya. Emaknya duduk terharu menyimpan luka yg amat dalam. Kedua mata Pak Khotib masih terpejam.
Khotib merundukkan kepala, bibirnya menempel daun telinga bapaknya. Mengucapkan 2 kalimat syahadat. "Pak, ini Khotib." ucapnya lirih. Rintik di matanya mulai gerimis. Berusaha memanggil sisa-sisa kehidupan
Di saat itulah perlahan kedua mata bapaknya mulai terbuka, hanya setengahnya.

"Ini Khotib pak, bapak yang ikhlas."
Emaknya masih menatap dengan tegar.
Sekali lagi Khotib membisikkan dua kalimat syahadat. Saat itulah kalimat terakhir diucapkan. "Bapak, jika penyakit ini datangnya dari Allah ikhlaskanlah paaakk.. Jika penyakit ini datangnya dari manusia, bawalah bersama bapak."
Pak Khotib menghembuskan nafas terkahir. Duka maut berkepanjangan menyelimuti keluarga korban. Isak tangis Khotib menderu daku, emaknya memeluk dengan erat.
Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.
Selang 2 jam, di masjid terdengar pengumuman bahwa telah berpulangnya dua orang sadulur kampung ke rahamtullah. Satu lagi adalah rekan kerja Pak Khotib meninggal secara bersamaan.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with T E B O

T E B O Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @AfidBaroroh

Feb 21, 2020
Mau nyimak cerita paling menjijikan gak? Yang bikin hati nyeseg gak kepalang. Yang ngebuat relung hati lu dikoyak habis-habisan. Babak belur digebug kenyataan yang menyakitkan.

- SEMUA INI TENTANG PEREMPUAN -
Dulu, paling gak suka kalau lagi ada masalah keuangan, emakku selalu bawa masa lalunya. Cerita tentang perjuangannya menjadi pedagang, buruh, tukang jahit serabutan, menikah, dan akhirnya melahirkan.

"Jadi perempuan itu gak gampang." kata emakku.
Kenapa aku gak suka? Ya jelas, dulu pikiranku gampang banget. Perempuan/laki-laki pasti beda beban. Menjadi laki-laki juga gak gampang.

Tapi kenapa masalah keuangan, emak selalu ngebawa masa lalu itu?
Read 32 tweets
Dec 23, 2019
Mau share pengalaman rebahan. Dimulai dari pertanyaan tolol. "UGM? rumah sakit mana itu bu?" kataku ke guru BK.

From this To this
Oke pengalaman singkat ini untuk kawan-kawan angkatan putih abu, remaja tanggung, dan bangga akan kesia-siaan. Wkwk salam. Semangat, UTBK menanti kalian di depan.
Latar belakang keluarga gua, sesuai di bio. Jadi gak kaya, bodoh sudah pernah kami lalui bersama. Kebodohan itu justru menular di saat masuk di bangku kelas 12 Bahasa.
Read 72 tweets
Jan 31, 2019
Aku mau cerita,

Tentang janin umur 3 bulan dan jabang bayi yang mati (keguguran), sari patinya dimanfaatkan untuk pesugihan......

SEBUAH UTAS!!!
2002. Kabar itu masih hangat di telinga warga. Ya. Bermula dari desaku, Walantaka, Serang - Banten.
Pukul 02.00 pagi, Jumat Kliwon. Kampungku digegerkan suara kentungan ronda. Awalnya suara kentungan cuma ada di pos 3, dekat makam. Tapi kemudian, merambah kebeberapa pos. Satu persatu pintu rumah terbuka. Warga mulai heran. Termasuk aku.

"Ada apa pak?" tanyaku
Read 206 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(