, 1296 tweets, 131 min read
My Authors
Read all threads
ARWAH PENASARAN SANTI

Part 1
Sebelum membaca cerita fiksi ini, tolong jangan menghakimi tokoh dalam cerita. 🙏

Hujan !

Aku berteduh menghindari serbuan air hujan, di sebuah ruko pertokoan bersama sofi tetangga samping rumah sekaligus teman sedari masih kanak kanak.
Hujan semakin deras, seragam berwarna biru yang kami kenakan di sebuah mini market, telah basah oleh air hujan.

"Kok iso se, Shep ora ngowo mantel iku" (kok bisa tidak bawa mantel) kata Sofi, dengan badan mulai menggigil kedinginan.
"Wes nunut nyocot" (Sudah numpang banyak bicara) Jawabku kesal, mataku tertuju pada air hujan yang mengalir dari selokan.

Lalu lalang kendaraan di tengah guyuran hujan, menjadi hiburan tersendiri bagiku.
Tidak ada tanda hujan akan berhenti, dalam waktu dekat ini.

Motor matic melaju kencang di tengah kepadatan kendaraan lain, si pengendara nampak mendoyongkan badan sedikit ke depan, tanpa mengunakan mantel.
Aku dan Sofi yang melihat seakan takjub, bercampur ngeri. Bagaimana tidak ! Orang itu melajukan skuter maticnya dengan kecepatan tinggi, menyalip zig zag kendaraan di depannya.
BRAAAKKKKK....

Aku dan Sofi tercekat, pandangan nanar kami tertuju pada orang yang mengendarai skuter matic kencang tadi. Darah yang keluar dari tubuh orang itu, mengalir terbawa air hujan sebelum ia terpental ke atas, karena menabrak gundukan tanah.
Bekas galian di pingir jalan.
Aku membungkam mulut Sofi dengan tangan kananku. Sebelum Sofi berteriak lantang karena histeris.

Cepat cepat ku naiki motor, lalu menarik tangan Sofi untuk segera menaiki motor, ku putuskan secara sepihak dengan memilih pulang dengan badan basah kuyup.
Ku paksakan mataku untuk tidak melihat ke arah kerumunan orang, yang mulai berlarian menolong.

Deg..
Jantungku serasa copot, begitu juga dengan Sofi ia nampak kaget setelah mata kami. Tertuju pada Plat no kendaraan, yang terguling akibat kecelakaan tadi.

Sedangkan jaket hijau, beserta helm di kenakan serasa tak asing bagiku.
Sedangkan jaket hijau, beserta helm di kenakan serasa tak asing bagiku.

Tubuhnya terkapar di bawah roda depan truck, sesekali berkejut dengan darah yang terus mengalir.
Ya Allah....

Pekik ku lirih, aku tak berani menatap lama ke arahnya, meski sedari tadi ku paksakan untuk tidak melihat ke arah di mana tubuh terkapar tak berdaya itu, rasa penasaranku lebih besar, lalu berubah menjadi rasa bersalah.
Meskipun jika aku berhenti, aku tidak akan bisa melakukan apapun. Sebab ketakutan tersendiri dari ku akan darah atau kematian.
Bahkan sejak kecil, jika ada tetangga atau aku melihat rombongan orang mengangkat keranda mayat, aku akan berlari pulang sambil menangis sejadi jadinya.
Ku kebut motor memasuki jalan, menuju rumah kami bayangan seseorang yang ku kenal di bawah truk tadi masih melintas di pikiranku.
Suara Sofi dengan berbagai pertanyaannya, ku hiraukan begitu saja, bahkan Sofi sampai memukul punggungku keras.
Memasuki gang kecil ke rumah kami, aku masih terus melajukan motorku. Meski rumah kami sudah terlewati, ku hentikan di depan rumah Pak Anam dan Bu Anam, Sofi nampak heran namun ia mengerti maksudku.
Sofi mulai mengetuk pintu rumah pak Anam degan salam terlebih dahulu, sementara aku masih shock dengan kejadian yang ku lihat tadi.
terdengar sahutan salam dari dalam rumah, bu Anam membuka pintu lalu menanyakan maksud kedatangan kami.
"Bu apa mbak Santi nya ada?" Tanya Sofi ramah.
Bu Anam tersenyum ramah seraya berkata "Santi durung muleh, Nduk" Jawabnya.

Deg...
Aku dan Sofi saling pandang, untuk beberapa saat.

"Anu... Mbak Santinya biasa pulang jam berapa, bu De" Tanyaku, dengan nada pelan.

"Biasa'e jam yaene wes muleh" (Biasanya jam segini sudah pulang) Jawab bu Anam.
Ingin sekali aku berkata jika anaknya, Mbak santi mengalami kecelakaan di jalan raya tadi. Namun yang ku lakukan saat ini hanyalah diam mematung dengan badan menggigil kedinginan, di luar pagar rumahnya.
"Bu tadi, waktu pulang kerja, aku sama Shepia liat Mbak santi mati terlindas truk" Kata Sofi pelan.

Duar..

kekagetanku mendegar penuturan Sofi bagai di sambar petir di sore hari, mataku melotot ke arah Sofi di samping bu Anam.
Sedangkan Bu Anam tak kalah kaget mendengar penuturan Sofi, matanya nampak berkaca kaca, tangisnya pecah memasuki rumah dengan memanggil nama suaminya.
Sambil menuntun motor, ku kutuk mulut bejat Sofi di perjalanan ke rumah kami, karena hanya selisih 6 rumah.

"Gurung mesti mbak santi mati" (belum tentu santi mati) gerutuku.
"Lha moto'ne copot kok, terus ndas'e yo wes pecah wes meti mati" (matanya copot terus kepalanya pecah sudah pasti mati) Jawab Sofi sengak.
"Cangkem mu ah.." (mulutmu) Sahutku asal, membayangkan kepala serta mata yang copot Mbak santi, karena tadi aku tak sempat melihat, bukan ! Lebih tepatnya aku tak ingin melihat.
"Lha ancene kon ngebut ae, ora gelem ndelok sek" (kamu ngebut saja tidak mau melihat dulu) Sofi menimpali.

"Opo yo... kok gegeran ae" suara ibu menyambut kepulanganku, sambil membuka pagar rumah, saat melihatku dan Sofi.
Selesai memasukkan motor lalu hendak menutup pintu pagar, pak Anam berboncengan dengan bu Anam di susul, Mas Didik kakak Mbak santi. Ketegangan menyelimuti wajah mereka, bahkan Ibuku sampai heran melihat keluarga menaiki motor dengan kencang di jalan kecil ini.
===

Selesai mandi dan keramas, kebiasaan ku adalah meminum kopi bekas ayahku.
Sambil membawa cangkir kopi ayah, aku menghampiri ibu di ruang depan.
"Shepia iki kebiasaan" Ibu mulai menggerutu, dengan mengambil sepatu yang ku copot secara sembarangan di dalam rumah.
Satu lagi ibuku ini sangat gila dengan kebersihan, setiap pagi ia akan berteriak karena harus membersihkan, sisa bungkus mie instant yang ku buat semalam.
Bahkan waktu aku ajak makan mie ayam, di warung langgananku, seusai membayar iuran bpjs. Dengan entengnya Ibuku sayang ini, berkata ke abang penjual kalo mangkuk mienya harus di cuci dengan air panas terlebih dahulu.
Aku menceritakan kejadian yang ku lihat tadi, aku masih ragu itu benar mbak santai atau bukan.

Wiu.. Wiu.. Wiu.. Wiu..

Suara ambulan dari kejauhan mendekat lalu, memasuki gang kecil yang hanya cukup untuk ukuran satu mobil.
Mendengar itu, aku langsung meloncat ke arah Ibu, bahkan aku merengek saat ibu berniat membuka korden jendela depan, hanya untuk sekedar memastikan.
Ku cengkeraman erat tangan ibu, agar ia tak beranjak dari duduknya.
Di luar beberapa tetangga, berlarian kecil ke arah ambulan.

Ayah yang baru saja datang dari njagong bersama warga sekitar, membuka pintu.
Melihat aku yang bersembunyi di balik punggung ibuku, ia menutup pintu kembali.
"Anak mu iki loh" Kata ibu, sambil mengerakan pundak kirinya ke ayahku, tempat bersandar kepalaku saat ini. Kedua tanganku melingkari perutnya.
"Huuusss... Ssttttt...." Jawab ayah dari balik jendela depan, ia nampak menutup pagar lalu berjalan, ke arah ambulan yang baru saja lewat.
Beberapa warga nampak menggerutu kesal, karena niat baik mereka di tolak oleh pak Anam, dengan alasan berbeda aliran ajaran.
Proses memandikan dan penguburan, hanya di hadiri beberpa orang itu pun, bukan warga sekitar sini.
Pak Anam terlihat marah marah kalo ada warga yang mencoba membantu, sedangkan bu Anam menangis sambil berjalan di belakang 4 orang yang memikul keranda, sekitar 9 orang yang mengantar jenazah mbak Santi ke pemakaman.
Kemana pun, ibu pergi aku selalu membuntutinya, aku lega saat ayah pulang ia tak ikut mengantar mbak Santi ke pemakaman.

Gunjingan para tetangga sekitar, setelah rombongan berlalu pun semakin menjadi.
Banyak yang bilang peroses penguburan nya, layaknya mengubur seekor bangkai sapi.
===

Gerimis

Sejak sore, setelah pemakaman mbak Santi gerimis engan berlalu.

"Buk ora ono tahlilan ta" Tanyaku, saat kami bertiga di ruang tengah menonton Tv. (apa tidak ada tahlilan?)
"Kate nah-lhili, sopo?" (Mau ngajiin siapa?) Jawab ibu, dengan jemari sibuk memencet remote.

"Yo mbak santi lah," jawabku asal.
"Shep, ayah sek gurung ngombe loh" Ucap ayah saat tau aku menyaut gelas kopinya.

"Emboh, senengane ngeriwuk'i ae" Ibu menimpali.
"Wes di gawekno loro, yo tek bapakne di sikat pisan" Lanjut Ibuku. (Sudah di buat in dua punya ayah di ambil juga)
Pukul 22 : 30 malam.

Aku beranjak menuju kamar, gerimis sedari sore belum juga reda, ayah dan ibuku sudah tidur sejak jam 9 tadi.
Aku beranjak menuju kamar, gerimis sedari sore belum juga reda, ayah dan ibuku sudah tidur sejak jam 9 tadi.

biasanya jam 9 malam aku sudah terlelap, di depan tv.
Bosan karena mataku juga belum ngantuk, iseng iseng ku buka medsos di gawaiku. Banyak sekali postingan tentang kematian Mbak Santi, di salah satu grub yang di khususkan bagi warga kampungku.
Sekelebat bayangan orang berjalan, di depan rumahku. Aku berfikir positif mungkin saja salah seorang tetanggaku yang baru pulang bekerja, ku tepis ketakutan dalam diriku meski bulu kuduku mulai meremang.
Jika tadi, bayangan orang berjalan itu, ke arah ujung gang, kali ini bayangan itu nampak berjalan pelan ke arah depan gang.

Samar samar, ku dengar suara langkah kaki berjalan dari arah gang depan, menuju ujung gang di mana rumah pak Anam ada di sana.
Pelan, amat pelan, suara langkah kaki yang terdengar di seret.

Sreeek... Sreeekk.. Sreeek..

Suara itu terdengar makin jelas, dengan langkah seperti sedang di seret.
Sreeek... Sreeeek..

Ia nampak berhenti, didepan rumahku saat itu,
Lama tak bergerak, ia berdiri mematung di depan rumahku.

Dengan tangan gemetaran, kuraih gorden jendela, kamarku perlahan.
Perlahan,

Dengan tangan masih gemetaran ku singkap perlahan.

Deg...

Kedua tanganku menutup mulutku rapat, seakan tak percaya dengan apa yang ku dengan mataku saat ini.
Di sana.

Di depan pagar besi rumahku, sosok mbak Santi telah berdiri mematung, dengan wajah hancur, serta bola mata kirinya tergelantung menjuntai kebawah.

Darah terus menerus, mengucur dari mulut serta lubang matanya.
Detak jantungku serasa berhenti, tercekat, wajah mbak Santi dengan kulit terkelupas.

"IBUUUUUUUUUUUUUUUUU­KKKKK......."

Teriakan beserta tangisku yang pecah di kesunyian malam.
Tubuhku ambruk dengan badan meringkuk di tepi ranjang.
Lampu rumahku menyala, Ayah dan ibu tergopoh berlari ke kamarku.
Ibu menenangkan ku, ayah mengambil air putih.

Saat kedua orang tuaku sibuk menenangkan ku di kamar.

Suara air mengucur dari kran tempat pencuci piring berbunyi.
Ayah dan ibuku saling pandang heran, tidak ada yang pergi ke dapur. Ayah mengambil air galon di samping tv.

Lalu suara tuas kompor yang di putar, dari arah dapur menambah keheranan kami.
Klang...

Kali ini suara itu berasal dari pagar depan rumah kami.

"Ya Allah Gusti..... " Pekik ibu sambil memelukku yang sedang menangis.
Gerimis

Aku meringkuk di pelukan ibu, tangisku tumpah di dadanya. Ayah mulai panik dengan keadaanku saat itu, tanpa berfikir panjang ayah membopongku menuju kamar nya di ikuti ibu.
Tangisku belum berhenti, meski aku tidur di tengah kedua orang tuaku.
Tok... Tok... Tok...

Gak tuku jajan a. (Tidak beli kue?)

Suara itu, aku mengenalinya itu suara mbak Santi.

Mbak Santi berjualan kue jajanan pasar saat pagi dan sore hari.
Tok.. Tok... Tok...

Gak tuku jajan ta.

Berulang ulang ia ketuk pintu rumahku di malam hari itu.

Bukan hanya aku, ibu tampak terkejut ketika mendengar suara ketukan pelan di pintu rumah kami.
Sreeekk... Sreekkkk.. Sreekk..

Suara langkah pelan di seret, di dalam rumah kami, ia berjalan menyusuri ruang depan lalu melewati ruang tengah dan berhenti di depan pintu kamar di mana saat ini kami berada.
Tok... Tok... Tok...

Lek, aku nawakno jajan ora ser tuku ta. (Bibi aku menjajakan kue tidak berminat beli kah?)

Pintu kamar di ketuk amat pelan, suara mbak santi juga terdengar berat dan serak.
Dari celah bawah pintu kamar, bayangan itu berdiri menghadap ke arah kamar.

Berkali kali ku sebut asma Allah, sambil terus menangis.

Ibu yang sedari tadi memelukku, mengangkat kelapa ke arah pintu.
"Ora San, sepurane yo nduk." ( Tidak dan, maaf yah nak.) Kata ibuku pelan.

Kawatir denganku, ayah mengambil minyak angin di laci kamar, lalu mengoleskan di leher dan sela sela hidung.
Entah apa yang dibicarakan ayah dan ibu, badanku lemas terus ku pejamkan mata, tangisku belum juga berhenti.
Beberapa kali ibu menenangkan ku, dengan perlakuan lembutnya.
Gemetar di badanku tak kunjung hilang, tanganku masih mencengkeram erat tangan ibuku, berkali kali ayah menyeka keringat di keningku.
Ayah bangkit keluar kamar, menuju kamar mandi mengambil air wudhu, lalu kembali ke kamar dengan gelas berisi air putih lagi.
Sajadah di gelar di samping tempat tidur, selesai sholat tahajud ayah meniup gelas berisi air putih tadi sebelum membaca sesuatu.
Ibu menyuruhku bangun, agar aku lekas meminumnya, dengan mata terpejam aku meminumnya. Sisa dari air di basuhkan ke wajahku.
Aku mulai sedikit tenang, lalu tertidur.
Dulu ketika ketakutan atau phobia ku kumat, kakek sering datang menjenguk lalu menyuruh mengambil air dalam gelas, setelah berdoa lalu meniup 7 kali ke arah gelas berisi air tersebut, aku di suruh meminumnya.
Pernah juga suatu ketika saat pulang sekolah, ku kayuh sepeda pancal di bantu Sofi yang duduk di belakang. Dari jauh rombongan pengantar Jenazah berjalan ke arah kami, ketika semakin dekat dan jelas yang di pikul oleh 4 orang itu keranda mayat.
Tanpa pikir panjang aku meloncat dari sepeda, berbalik lalu berlari dengan tangisan kerasku. Meninggalkan Sofi yang terjatuh dari sepeda.
Aku berjongkok dengan tangisan kerasku, para pemikul keranda berhenti sejenak di depanku, mereka menanyaiku kenapa menangis, sontak tangis ku semakin keras meraung raung melihat keranda di tutupi kain hijau yang mereka pikul.
===

Pagi harinya sampai jam 10 siang aku belum bangun, para tetangga resah akan kejadian semalam.
Semua pintu warga desa di ketuk, mbak Santi menjajakan kue nya ke setiap rumah warga malam itu.
Dengan muka hancur, beberpa kulit wajah nya mengelupas serta bola mata kirinya tergelantung menjuntai kebawah.
Nasib Sofi lebih parah dariku, tadi malam mbak Santi menemaninya tidur.
Sampai sekarang Sofi masih meringkuk ketakutan di kamar nya.
"Buuuuuukk..."

Aku bangun dengan badan terasa pegal.
Mendengar aku memanggilnya, ibu yang belanja sayuran di depan tergopoh memasuki rumah, khawatir jika terjadi sesuatu lagi padaku.
"Yo Mbok adus disek, Shep" (mandi dulu sana) Kata ibu, saat tau aku duduk di meja makan dengan kopi bekas ayah.
Setiap pagi dan sore, ayah pasti menyisakan kopinya untukku.

"Emooh" ( Tidak ) Jawabku asal.
"Kok ora di tangekno isuk seh buk, telat malian kerjo'e"
(kok tidak di bangunin pagi sih, jadi telat kerjanya) Gerutuku yang mengetahui, pukul 10 lebih di jam dinding.
"Rausah kerjo, awak'e gereng ngunu kok"
(Tidak usah kerja badan kamu sakit) Jawab ibu, ia nampak sibuk mempersiapkan pengorengan, di atas kompor.
"Yo mbok, adus shep kebacut"
(Mandi dulu shep) Kata ibu, saat aku menghampirinya, lalu mengambil tempe yang di tiriskan. Aku tak menghiraukan kicauan ibu, mulut ku sibuk mengunyah tempe goreng.
"Rupamu, iku koyok serbet"
(Wajahmu seperti lap) maki ibu, sambil menarik kaos putihku agar aku lekas mandi.
"Anak'e sopo"
(anaknya siapa dulu) Jawab ku ketus, ibu nampak cengegesan mendengar jawabanku, secara wajah manisku tak jauh beda dengan ibuku, tapi watak dan sifatku sangat persis dengan ayahku.
"Buuk" Tanyaku, ketika ia sibuk memasak sayur lodeh kesukaan ayah.

"Hmmmm" Jawab ibuku asal.

"Mambengi iku opo tenan, mbak Santi?" (tadi malam itu apa benar mbak santi?) Tanyaku lagi.
"Yo mboh, shep ibuk ora di medeni kok" Jawab ibuku.
(Tidak tau ibu tidak ditakutin)

"Lha ibuk kok gemeteran" (ibu kok gemetar) Sahutku asal.
"Nemenan awakmu huuhuuhuu nangisan." (lebih parah kamu) Jawab ibu, sambil menirukan gaya tangisanku semalam.

"Engkok bengi mbak Santi nek mampir maneh yo opo buk" (Nanti malam kalo mbak Santi mampir lagi gimana) Tanyaku lagi.
Teeeenngg....

"Wes saiki koen adus ta, ora" (Sekarang kamu mandi atau tidak) Jawab ibu, kali ini ia nampak mengacungkan sutil ke arahku.
sempat terkejut mendengarnya, sebelum ia pukulkan sutil ke pengorengan.

buru-buru aku lari ke arah kamar mandi.
===

Sore hari, aku hanya bermalas malasan di depan tv, degan selimut menutupi bagian bawahku.

Sedari tadi bunyi notifikasi, pesan spam dari kepala tokoku terus berbunyi.
"Sofi jarene ibuk'e gereng" (kata ibunya sofi sakit) Kata ibu yang menemaniku. Engan menjawab, aku sibuk memencet layar di gawaiku.

"Buk aku kate di lereni" (Bu aku mau di berhentikan kerja) Tanyaku datar.
"Peneran nek di lereni kerjo ra eroh wayah, menengo nek omah lak lemu duwek kari njalok kok demen soro"
(beneran kalo di berhentikan kerja ngak tau waktu, diam di rumah kan gemuk suka banget sengsara.) Jawab ibu menjewer telingaku pelan.
"Huuu.. Bayaran pertama ibuk kabeh seng ngepek ngunu" (gaji pertama ibu yang ambil semua gitu) Jawabku.

"Gundul'mu lha melbu tabunganmu karo nek kene iki opo" (Kepala mu kan masuk tabungan sama sini) Sahut ibu, sambil menggelitik perutku.
Aku tertawa geli karenanya.

===

Sehabis sholat berjamaah di mushola depan, banyak sekali yang membicarakan hantu mbak Santi semalam.
"Shep awakmu gak di medeni mbak Santi ta"
(Kamu tidak di hanti mbak santi?) Tanya Juminten, menoleh ke belakang ke arahku.

"Ora" Jawabku singkat.
"Sofi sampek stres rupane"
(Sofi sampai stres) Kata mbak Ocha lirih.

"Ngunu iku mesti tuku jajane mbak Santi sek Cha"
(kalo gitu harus beli kue mbak Santi dulu) Jawab juminten.
"Yo tukuen dewe kono jum"

(Kamu beli sendi saja)
jawab mbak Ocha, sedikit kesal.

"Heee angetmu aku membengi di dok.. dok.. di pekso kongkon nuku jajane ngetmu"
(Semalam aku di paksa membeli kuenya) Kata Juminten.
"Ngunu iku kok tuku?"

(Kamu beli?) Tanyaku dan mbak Ocha hampir bersamaan.

"Ora lah gendeng a nuku jajane demit"

(ya tidak lah gila kali beli kue sama hantu) Jawab Juminten.
"Nek rupane gak ajur yo mekso tak tuku, wong jajane enak kok"
(Kalo wajahnya tidak hancur ku paksa untuk beli kan kue nya enak) Kata Juminten asal.

Aku dan mbak Ocha saling pandang mendengan penuturannya.

"Cocotmu Jum" Sahutku dongkol.
Juminten tertawa keras mendengar umpatanku.

Sreeek... Sreeek..

Suara langkah pelan di belakang kami.

Kami bertiga berhenti mendengar suara yang tak asing.
tengkuk kami serasa di tiup dari belakang, jantung ku sudah berdetak kencang.
Sreeek.. Sreeekk..

Semakin mendekat.

Mbak Ocha memegang erat tanganku, sedangkan Juminten nampak terkejut saat ia menoleh ke belakang.
Juminten memandang ke arah kami, lalu memberi isyarat untuk lari, firasatku mulai buruk tentang ini.

HUAAAAAAA....

Teriakan kami bertiga serentak dengan lari sekencang kencangnya.
Ku buka pintu pagar cepat, di susul dua temanku di belakang lalu menutup pintu rapat rapat.

Jantung kami berdebar tak karuan, seiring nafas yang masih ngos ngosan.
"Awakmu seh ngerasani barang"

(kamu sih ngomongin segala) Kata mbak Ocha kesal.

"Yo mosok eroh cha nek Santi teko sek sore"
(mana ku tau kalo santi datang masih sore) Jawab Juminten enteng, ia sibuk memandang keluar jendela.
Ku raih gelas di bawah galon lalu, meminum nya agar aku sedikit tenang, karena ibu dan ayah masih di belakang aku sengaja di suruh pulang duluan untuk memanasi, Sayur lodeh agar tak sampai basi.
Selesai memanasi sayur, kami bertiga duduk di kursi tamu dengan harap harap cemas karena ayah dan ibu belum juga sampai.

Jgreeeeengg....
Kami terbelalak kaget, tiga motor di rumahku menyala secara bersamaan dengan sendirinya.

Aku dan mbak Ocha saling berpelukan dengan mukena yang masih terpakai.

Tak ada sepatah kata pun dari mulut kami, Juminten berdiri mencoba memeriksa.
Tok... Tok... Tok...

Suara ketukan dari luar rumah, badan ku semakin gemetaran mendengarnya.

Juminten meloncati meja bergabung bersama kami.

Huuuu Huuuu Huuuu...

Suara tangisan dari luar rumah.
"Ya Allah Ya Allah.. Ngalio mbak Ngalio, aku ojo di ganggu, sumpah a, Aku loh ora duwe salah nang samean mbak" Kata Juminten dengan tangisan meraung.

(Pergi mbak jangan ganggu sumpah, aku tidak pernah berbuat salah)
Tok... Tok... Tok...

"Gak, tuku jajan a," suara yang terdengar amat pelan, serak nan pilu.

Hiks... Huuu... Hu.....
Entah apa yang harus ku perbuat berbagai surat surat Al-Quran ku baca, ku pejamkan mataku sambil memeluk mbak Ocha, aku tak ingin melihat wujudnya.
Sreekkk... Sreeekkk.. Sreekk...

Suara langkah di seretnya semakin mendekat.

Bau busuk menyengat tercium sampai ke dalam rumah.
Tangisku telah pecah hingga tak sadarkan diri aku pingsan, begitu pun mbak Ocha ia ketakutan lalu pingsan.
Menyisakan Juminten, yang ketakutan seorang diri.
Pintu yang tadi terkunci dari dalam, kini terbuka mbak Santi berjalan menyeret kaki kanannya yang patah, ke arah Juminten.

Teriakan juminten sehabis magrib mengundang warga mendatangi rumahku.
Sayup sayup terdengar suara rintihan kesakitan dari luar rumah, di sebelahku mbak Ocha sedang terlelap. Sedang kan Juminten nampak berdiri di samping jendela kamarku.
"Sssstttt..."

Juminten melakukan bahasa isyarat ke arahku, saat mengetahui aku terbangun.
"Nek njobo"
(Diluar)

Suara lirih Juminten sambil menunjuk ke luar jendela.
Bau anyir darah menusuk hidung, tak peduli dengan kelakuan Juminten yang terus mengintip dari balik jendela kamarku
Aku memilih menutupi seluruh badan hingga kepala dengan selimut.

Badanku mulai gemetaran lagi, saat bau amis darah tercium sangat menyengat.
"Teko maneh ta," (Datang lagi kah?)
kata mbak Ocha lirih, saat terbangun karena gemetar badanku.

Aku hanya mengangguk pelan, tak tau harus berbuat apa, mulut kami berdua komat kamit membaca surat Al-Quran.
Hujan kembali datang di malam hari itu, Juminten dengan rasa penasarannya memkasa kami untuk melihat hal yang sama sekali tak ingin ku lihat.

Mbak Ocha bangun, karena selimut yang menutupi kami di tarik oleh Juminten.
Rasa penasaran Juminten, memaksa aku dan mbak Ocha ikut bangkit.

Ku geser pelan badan ku di sisi Juminten, mbak Ocha mencengkeram baju ku dari belakang.
Aku berjongkok di bawah Juminten, pelan pelan dengan tangan gemetaran ku buka gorden jendela kamar.
Mbak Santi berjalan menyeret kaki kanannya, di tengah guyuran hujan deras di malam itu. Tangan kanan menutupi mulutku, sedangkan tangan kiriku mencengkeram erat betis Juminten.
Beberapa kali Juminten memukul tanganku, agar aku melepaskan betisnya.
"Loro Shep...." (Sakit Shep)

Ucap Juminten memukul tangan kiriku.
Badan gemetaran, ingin sekali aku berteriak memanggil ibu, atau ayahku, ketika melihat mbak Santi berjalan pelan, sangat pelan, ia berjalan amat pelan, hingga berhenti di depan rumah. Lama ia tak bergerak, berdiri mematung di depan rumahku.
Dari balik jendela kamar kami bertiga mengamati mbak Santi yang berdiri lama menghadap ke ujung gang, di depan rumah. Hingga ahirnya ia menoleh ke arah kami, dengan wajah penuh luka serta bola mata kiri yang menggantung, berlumuran darah.
BLAAAAAAARRRR......

Suara beserta kilatan petir di malam hari, memperjelas wajah mbak Santi yang menoleh ke arah kami.
"HUAAAAAAAAA...."

Jantungku serasa copot, kami bertiga meloncat ke kasur dengan teriakan secara bersamaan.
Keringat membasahi badan kami, dengan badan gemetar tak karuan ku ambil Al-Quran di atas lemari kecilku.
Ku peluk erat kitab suciku dengan badan gemetaran, hingga duduk bersimpuh bersandar pada tembok. Meski ayah dan ibuku, datang menenangkan air mataku belum juga berhenti, jiwaku terasa terguncang. Mengingat apa yang baru saja ku alami.
Ibu menuntunku keruang tengah, mbak Ocha dan Juminten juga nampak shock dengan yang baru saja yang kami alami.

Aku tak bergeming ketika ayah menyuruhku lekas mengambil air wudhu, badanku masih gemetar dipelukan ibuku.
Hingga akhirnya ayah mengambil gelas dengan air putih, lalu mengulangi cara yang sama seperti malam kemarin. Ketika air di basuhkan ke wajahku, aku sedikit merasa tenang.
Dengan badan lemas di temani Ibu dan mbak Ocha aku kembali membasuh wajah dengan air wudhu.
Setelah itu, kami sholat dua rakaat, ku buka kitab suciku, ku lantunkan doa-doa untuk almarhum mbak Santi.

Deraian air mataku belum juga berhenti, hingga adzan sholat subuh.
===

Juminten dan mbak Ocha pamit pulang ke rumah masing masing menjelang pagi, dari penuturan Juminten semalam, aku dan mbak Ocha pingsan ketika hantunya mbak Santi memasuki rumah, Juminten menjerit keras mengundang warga ke rumahku.
Ayahku memindahkan aku dan mbak Ocha ke kamar secara bergantian, Juminten meminta ijin untuk menjaga aku dan mbak Ocha, dengan alasan takut tidur sendiri.
"Maem sek nduk," kata ibu menghampiriku, sedang tiduran di ruang tengah depan tv.
Aku menggeleng pelan, ibu menaikan selimut sampai pundakku, seraya berkata "Sofi tambah nemen Shep," aku terkejut mendengarnya, ku singkap selimut yang menutupi badanku.
Dengan tergesa keluar ingin menengok keadaan Sofi, ibu membuntuti dari belakang.

Mas Yoga dan pak Rusdi, sedang adu mulut dengan pak Anam, mereka berdua menceritakan kejadian dua malam ini, pada pak Anam.
Pak Anam bersikeras tidak ada yang aneh pada malam hari, ia nampak keras kepala bahkan terkesan membohongi dirinya sendiri.
Bohong jika pak Anam tidak melihat hantu mbak Santi, tadi malam Juminten yang tudur di rumahku, melihat mbak Santi mondar mandir dari gang depan, lalu berhenti dan menghadap ke pintu rumah pak Anam.
Mas Yoga nampak kesal dengan penuturan pak Anam, istri dan anak mas Yoga yang masih kecil, tidak bisa tidur selama dua malam ini, pintu rumah nya selalu di ketuk setiap malam oleh mbak Santi.
Begitu pula yang di alami pak Rusdi dan keluarganya
Lek Jat, bapak Sofi nampak murung di depan rumah, bahkan ketika aku menyapa nya, ia nampak bingung menjawab pertanyaanku.
"Jat wes kok periksakno ta, timbang tambah nemen" Tanya ibu, saat tau lek Jat duduk depan rumahnya.
(Jat sudah kamu piriksakan belum ketimbang makin parah)

Lek Jat nampak menggosok keningnya keras, lalu berkata "Duwek teko endi, mbak Eni"
Ibu dan lek Jat nampak berbicara serius, sementara aku nyelonong memasuki rumah Sofi.

"Shep motomu kok aboh ngono Nduk" Kata lek Tutik, ibu Sofi.
"Kakean turu, lek" Jawabku berbohong.

"Kekan nangis iki mesti" ia mengamati mataku "Sofi nek kamare" kata lek Tutik menunjuk kamar Sofi, lalu bergabung bersama lek Jat ibuku di depan.
Ku buka perlahan pintu kamar Sofi, makanan yang di sediakan lek Tutik sama sekali tak di sentuhnya.
Ku hampiri Sofi yang sedang meringkuk di atas kasurnya, "awakmu kudu kuat" ku peluk erat badan Sofi "Mangan yo ojo sampek gereng" Ku bisikan pelan di telinga Sofi.
"Ben bengi mbak Santi teko Shep"

(Setiap malam mbak Santi datang)
Jawab Sofi seraya menangis, aku pun tak kuasa menahan air mata ku saat melihat kondisinya.
"Mangan sek yo Sof" Kata ku seraya mengambil piring, berisi nasi dan telur ceplok di kasurnya.

Sofi menganguk pelan, ku suapi perlahan ke mulutnya.
Hooeeeekk...

Sofi memuntahkan makanan yang ku suapkan padanya, cepat cepat ku beraihkan sisa muntah di mulutnya.
Ku telfon Dimas, kekasih Sofi untuk mengantar ke puskesmas karena tak ingin keadaannya semakin parah, ku putuskan untuk membawa sofi sekarang juga.
Gawai Sofi yang sedari tadi berdering.

Panggilan masuk dari Bagas kepala toko tempat kami bekerja, "Koen iki niat kerjo ta ora, di chat ora di bales, di tlpn ora di angkat, karepmu yo opo se, Sof"
(Kamu ini niat kerja atau tidak, di chat tidak di balas, di tlp tidak di angkat, maksudmu apa)

Suara Bagas dari sebrang.
Aku mengambil nafas dalam dalam, "JANCOK" ku luapkan kekesalan ku, dalam satu kalimat menjawab pertanyaan panjang lebar kepala toko kami.
"Loh, Shep opo maksud te iku..." (Apa maksudnya itu Shep)
"JANCOK KOEN IKU" belum sempat Bagas menyelesaikan perkataannya, aku sudah menyela dengan makian yang ku tujukan padanya.
Ku tutup panggilan telfon, jariku mencari opsi blokir kontak, lega rasanya bisa meluapkan sedikit amarahku padanya.

"Shep misui sopo awakmu iku" (Shep kamu mengumpat kesiapa) kata lek Tutik dari luar, yang mendengar umpatanku.
"Misui arek ora due utek lek,"

(Mengumpat orang tidak punya otak) Jawab ku asal.
Tanpa meminta ijin terlebih dahulu pada lek Jat dan lek Tutik, ku kemasi baju ganti Sofi ku putuskan sendiri untuk membawa Sofi ke Puskesmas, aku khawatir akan keadaannya jika bertambah parah.
Sambil menunggu jemputan temanku, karena tidak mungkin aku mengantar Sofi dengan menaiki motor. Para warga bersama pak RT nampak berdiskusi dengan pak Anam.
Aku sedikit kesal dengan kelakuan pak Anam yang bersikeras menolak usul para tetangga, karena menurutku mbak Santi sudah meresahkan kami.
Mbak Ocha menghampiriku di kamar Sofi, ia nampak iba saat melihat keadaan Sofi, aku mengutarakan maksudku padanya untuk membawa Sofi, hari ini juga ke puskesmas.
Mini bus silver milik Dimas temanku sekaligus pria yang menyukai Sofi sudah terparkir didepan rumah, mbak Ocha membantu ku memapah tubuh lemas Sofi memasuki mobil.
"Jum" teriak ku, kearah Juminten didepan rumahnya, ia nampak antusias mengikuti warga yang berdiskusi, dengan pak Anam.

"Kate nang puskesmas ta, rek" (Mau ke Puskesmas yah) Tanya Juminten, saat menghampiri kami.
"Iyo awakmu melok ta ora," jawabku, sambil memasukkan tas berisi selimut dan keperluan lain nya.

"Engkok tak sosol saiki keadaan sek Gunting" (Nanti aku nyusul ) Kata Juminten, dengan wajah serius.
"Genting Jum, genting." Sahut mbak Ocha menjelaskan.

"Oalah wes ganti ta" (Oh udah ganti yah) kata Juminten lalu tertawa.

"kok eblas lambemu jum" Jawabku, seraya memasuki mobil duduk di samping Sofi.
"Shapi, engkok tak whatsup yo!" Kata Juminten setengah berteriak ke arahku.

Ku kepalkan tangan kananku ke arah nya, seraya berkata "kon ojo ngarai Jum" (kamu jangan bikin gara gara Jum) dengan tatapan serius kepadanya.
"Guyon duh, serius terus koyok Santi iki suwe-suwe"

(Bercanda, serius terus seperti mbak Santi lama lama)

Canda Juminten saat mobil melaju pelan.

"Nyocot" umpatku asal.
====

Entah apa yang di maksud Juminten, saat aku dan mbak Ocha menunggu Sofi di puskesmas, Juminten menerangkan panjang lebar soal keputusan warga.
Meski keluarga pak Anam menolak membongkar makam atau, mengadakan Tahlilan di rumahnya. Warga tetap mengadakan tahlilan yang di khususkan pada almarhum mbak Santi, selsesai solat magrib di mushala.
Dari keterangan Juminten juga, kalo selama 7 hari arwah mbak Santi masih gentayangan di kampung, dengan terpaksa warga akan membongkar makam mbak Santi untuk menyucikan nya ulang.
"Mbak biasane medi kn sampek 40 dino yo" (mbak biasanya hantu kan selama 40 hari yah) Kataku saat berada di luar ruangan Sofi di rawat.

"Jarene wong tuwek biyen se, iyo Shep" (kalo kata orang tua dulu iya) Jawab mbak Ocha ragu.
"Lak selak kesuwen mbak" memandang mbak Ocha "gak sampek 40 dino stres aku suwe-suwe" Runtuk ku kesal.

(Terlalu lama) (Tidak sampai 40 hari sudah stres duluan)
"Yo sabar Shep, aku dewe yo wedi kok" (sabar Shep, aku sendiri juga takut) Jawab mbak Ocha, menundukkan kepala.
Malam ini, ku putuskan tidur di puskesmas bersama mbak Ocha.

Ayah dan ibuku menyusul, ibu khawatir denganku ibu menemani kami tidur di puskesmas, sedangkan ayah pulang karena harus menghadiri tahlilan di mushola.
Selesai magrib orang tua Sofi menyusul dengan membawa camilan dan makanan.

Lek Jat bercerita panjang lebar mengenai rencana warga, ia nampak gelisah dengan keadaan Sofi anak ke 2 nya.

BERSAMBUNG
Selepas kepergian lek Jat, yang akan menghadiri tahlilan bersama warga termasuk ayahku, di mushola kampungku. Kutengok keadaan Sofi, ia sedang tidur dengan slang infus di tangan kanannya.
Tak tega rasanya melihat keadaannya yang hampir saja depresi.
Apa karena waktu kecelakaan mbak Santi waktu itu, kami sengaja acuh meski mengenalnya.
Berlalu begitu saja, saat mengetahui ia sedang sakratul maut, bukankah mbak Santi tau, tentang phobia yang kuderita sedari kecil.

Bukan salah Sofi, jika harus melihat kondisi mbak Santi meninggal secara mengenaskan.
Semakin kupikirkan, semakin berat rasanya seiring beban pikiran yang ku alami.
Bukankah orang yang sudah meninggal itu sudah tidak ada hubungan dengan dunia ini lagi, lalu kenapa setiap malam mbak Santi datang mengetuk pintu rumah setiap warga.
Cling...

Nada pesan di gawaiku berbunyi, kubuka pesan yang Juminten kirimkan padaku, ia akan menyusul ke puskesmas dengan segudang berita yang ia bawa.
Melihat wajah Sofi tertidur pulas, hatiku sedikit lega, kutarik kursi di sebelah ranjangnya untuk dudukku.
Sambil menemani Sofi ku coba menangkan diri di sampingnya.
Suasana hatiku hari ini amat kacau, perutku terasa kram sedari kemarin, serta kepala sedikit pusing.

Aku lupa !

Setengah berlari kuhampiri ibu depan ruang inap.
"Buk aku halangan," kataku mulai panik, di sisi ibuku.

Ibu menautkan kedua alisnya seraya berkata, "yo opo se Shep, ora ngowo p*****t?" (gimana sih tidak bawa ***** ) ke arahku.
"Yo ora, budal nyusu-susu kok" Jawabku, manyun.

"Ndang tuku" (cepat beli) Kata Ibu, mengambil dompet dari tasnya, lalu memberikan uang pecahan padaku.
Mbak Ocha yang baru saja dari kamar mandi, memandangku heran.

"Napo Shep" (Kenapa) Tanya mbak Ocha padaku, ia nampak segar seusai mandi.

"Halangan Cha" Sahut ibuku cepat.
"Njaluk terno Juminten ae mariki" (Minta antar Juminten saja habis ini) Kataku, lalu membuka bungkus plastik makanan, yang di bawa ibu dan Lek Tutik dari rumah.

Tak berapa lama Juminten datang, wajahnya nampak sumringah.
"Napo awakmu nguya nguyu dewe koyok wong stres" (ngapain kamu senyum senyum sendiri mirip orang setres) Kataku yang melihat Juminten datang senyam senyum sendiri.

"Dari pada nangis koyok Ocha karo awakmu" Jawab Juminten asal.
"Ngowo opo koen iku Jum" (bawa apa kamu itu jum) Tanya mbak Ocha, pada Juminten dengan plastik berisi martabak pesananku.

"Martabak, aku lak apik'an ora koyok Shepia elek'an" (Martabak, aku kan baik tidak seperti Shepia jelek) Canda Juminten.
"Terno aku nang mini market" (Anterin aku ke mini market) Kataku pada Juminten.

"Lapo, aku ae sek tas teko" (Ngapain, aku aja baru datang) Kata Juminten langsung duduk di sebelahku.
"Tuku roti" (Beli roti) Jawabku asal lalu berdiri, ku tarik tangan Juminten ke atas agar ia berdiri lagi.
Kami berdua menyusuri lorong puskesmas, menuju parkiran motor yang tak jauh dari ruang rawat inap, tempat Sofi di rawat. Sesekali ku tanyakan keadaan di rumah pada Juminten.
"Nyeleh korek mbak" (pinjam korek, mbak) Suara lelaki dengan rambut di kuncir ke belakang ke arahku.

"Ora rokok an mas" Jawab Juminten sopan.
"Nek nomer wa, due?" Katanya lagi, aku risih dengan situasi ini.

"Age Mbak, seng kaos putih"
(Buruan mbak yang kaos putih) Rayunya lagi, kali ini rayuan itu di tunjukan padaku yang memakai kaos putih, dua pemuda ini menghalangi jalanku dan Juminten.
Ku tepis tangannya saat pemuda ini, ingin mencolek pundakku.
Satu teman nya yang duduk di atas motor parkiran berjalan menghampiri kami.
"Age Mbak ojo sombong" (Cepat mbak jangan sombong) Kata temannya dengan sedikit memaksa.

Telingaku mulai berdenging, aku benar benar risih oleh tingkah mereka berdua, yang terus memaksa.
"Seng Sopan mas" (Yang sopan) Tegasku.

Kuamati tinggi badan mereka berdua, 162 Cm rata rata.
Sedangkan tinggiku 168 Cm, lalu kuamati sekelilingku.
Mereka masih saja terus merayu, meminta hal yang bagiku sangat privasi.

Emosiku meluap, mengingat semua masalah yang sedang kuhadapi, dan sekarang dua pemuda yang entah dari mana datangnya menggangguku.
Plak....

Ku tepis tangannya sekali lagi, yang akan mencolek lenganku.
Reflek kutendang perut pemuda berambut pirang di kuncit kebelakang, tanganku meraih tempat sampah dari plastik di sebelahku.
Ku hantamkan pada temenya, secara membabi buta berkali kali, bersamaan dengan isi tempat sampah yang kocar kacir di halaman parkir.
Kuluap kan emosi pada dua pemuda itu, merasa tak puas.
Berkali kali kutendang perut, serta kepala, secara bergantian ke arah mereka yang tersungkur di paving. Beberpa kali mereka mengerang, akibat perut yang ku injak memanfaatkan bobot badanku.
Ibu dan yang lain berlarian menghampiri saat mendengar teriakankan ku.

Meski beberapa kali juru parkir gagal, mencoba menghentikanku untuk berhenti menganiaya kedua pemuda itu.
Aksi nekatku baru berhenti saat ibu meneriaki namaku dengan tangisnya.
Sedangkan Juminten yang melihatku nampak melongo.(Nganga)
Ibu membasuh keringat di kening dan leherku, seakan tak percaya dengan yang kulakukan tadi. Ibu memilih diam menunggu aku sedikit tenang. Aku meminta Juminten untuk mengantarku pulang, berganti pakaian dan mengambil keperluanku yang lain.
Juminten yang membonceng nampak menggodaku, aku lebih memilih diam saat itu, gurauannya kuacuhkan begitu saja. Rumah nampak sepi, ayah belum pulang dari tahlilan di mushola, Juminten menunggu di ruang tengah. Kuambil handuk dan baju ganti lekas menuju kamar mandi.
Selesai mandi kulihat Juminten tertidur di depan tv. Kusiapkan pakaian ganti dan barang barang yang kuperlukan.

Gerimis datang lagi.

Konsentrasiku buyar, saat kudengar suara ketukan pelan di pintu depan rumah.
Allah.... Ucapku lirih.

Tanpa sadar ku kenakan mukena berniat mendoakannya lagi karena saking kagetnya dengan kedatangan mbak Santi, lupa kalo sebenarnya aku sedang halangan.

Aku merangkak keluar kamar, menghampiri juminten.
"Jum, Jum, mbak Santi teko maneh" (Jum mbak Santi datang lagi) Suaraku lirih setengah berbisik.

"Iyo ono ndek ngarep" (Iya ada di depan) Jawab Juminten lirih.

Terlihat bayangan berdiri di depan pintu, dari ruang tamu.
"Koen lapo? Jare halangan lapo ngae mukena?"
(kamu ngapain katanya halangan, ngapain pake mukena) Menatap heran kearahku, mengenakan atasan mukena

"Lali ah" (Lupa) Jawabku asal.
"Shep, copoten sek mukenamu" (Shep, copot dulu mukena kamu) Juminten menarik mukenaku, "Medeni awakmu ngae ngunu iku" (Nakutin kamu make begituan) Lanjutnya Juminten.

Tak menghiraukan Juminten aku sibuk, mencari gawaiku.
Tok... Tok... Tok....

"Ora tuku jajan ta, rek"
(Tidak beli kue kah)
Suara mbak Santi membuat jantungku kembali berdetak kencang, kemarin sore ia datang sehabis magrib seperti sekarang.
Kutahan tangan Juminten yang akan berdiri, ia berniat melihat dari jendela kamar seperti semalam.

Tok... Tok.. Tok...
Suara pintu rumah di ketuk pelan kedua kalinya, aku ikut berdiri di balik tembok penghubung ruang tengah dan ruang tamu di samping Juminten.

Sreeek... Sreeek... Sreeek....

Langkah pelan mbak Santi yang menyeret kakinya menjauh dari rumahku.
KYAAAAAAAAAAAAAA....­­..

Suara teriakan melengking mbak Mila istri mas Yoga tetangga sebelah rumahku.
Mendengar itu, aku dan Juminten saling memandang.
Lalu dari arah luar, terdengar suara beberapa orang berlarian.
Aku dan Juminten langsung ikut berlari keluar rumah, mengikuti mas Yoga pak Rusdi dan Ustad Kholil guru ngajiku sewaktu kecil.
"Ancene kirek, wes mati sek nyusahno tanggane" (emang anjing sudah mati masih menyusahkan) Umpat mas Yoga menenangkan mbak Mila yang menggendong anak mereka.
Juminten menoleh ke sana kemari, matanya sibuk mencari sosok mbak Santi yang sudah menghilang.

Ayah dan lek Jat juga datang setelah selesai tahlilan, "Susul ibuk ae Nduk" Kata ayah ketika melihatku, ia nampak khawatir kalo terjadi apa-apa padaku juga.
Kutarik Juminten untuk lekas menyusul ke puskesmas.

Deg....

Juminten yang menyetir motor nampak terkejut, saat melewati gapura kecil gang rumah kami.
Mbak Santi sedang berdiri menunduk, ia nampak berbeda tak seperti biasanya kali ini, ia menampakkan diri padaku dan Juminten dengan wajah tanpa luka yang terlihat mengerikan seperti sebelumnya.
Dibalik wajah pucatnya terlihat kesedihan yang mendalam, mbak Santi menangis tanpa menoleh ke arah kami, yang melewatinya berdiri di samping gapura. Menyisakan tanda tanya besar di benakku dan Juminten.

Jeda sejenak 😂 minum dlu haus soalnya
Setiba di puskesmas, aku dan Juminten memilih diam tak membicarakan mbak Santi lagi. Meski perjalanan ke sini tadi kami melihat mbak Santi dengan ekspresi sedih di wajahnya.
Entah apa yang mau disampaikanya pada kami, beberapa kali kucoba memijit telapak tanganku, agar ibu tak curiga dengan ketakutan di wajahku.
"Ayahmu sido nyusul, Shep" (Ayah kamu, jadi menyusul) Tanya ibu, saat mengetahui aku berjalan diikuti Juminten ke arahnya.

"Sido buk, tapi mampir omah'e mbah kakung disik" (Jadi buk, tapi mampir kerumah mbah kung dulu) Jawabku, menepis ketakutan di wajahku.
"Raimu kok pucet ngono, rene" (wajah kamu kena pucat begitu) Kata ibu yang memandangi wajahku, ditariknya tanganku untuk duduk di sebelahnya. Memang aku tak bisa membohongi ibuku, insting seorang ibu sangat tajam pada anaknya.
Begitu juga ibuku, ia akan tau jika aku berbohong atau menutupi sesuatu darinya.
Dulu ibu mati matian menolak keinginanku, untuk bekerja. Ia khawatir jika terjadi sesuatu padaku, aku merengek kukuh dengan pendirianku ingin tetap bekerja.
Ku sandarkan kepalaku di pangkuannya, ia menanyaiku berbagai hal, tentang perlakuanku pada dua pemuda tadi, atau mbak Santi yang datang lagi, mulutku kelu untuk menjawab semua pertanyaan ibu.
"Pindah nang omahe mbah kakung a, Shep" (Pindah ke rumah mbah) Tanya ibu, dengan membelai rambutku.
Aku menggeleng pelan, pindah kerumah kakek akan membuat ibuku tertekan, ibu tidak disenangi oleh saudara ayahku. Hanya gara gara ibu orang biasa, tak sebanding dengan derajat keluarga ayahku.
Meski kakekku tak mempermasalahkan hal itu, tapi pandangan pak De Kus, dan istrinya pada ibuku, seperti memandang seekor binatang peliharaan, jika pindah kerumah kakek ibu akan kembali dijadikan babu oleh saudara ayahku di sana.
Tanpa terasa aku terlelap saat mendengar obrolan ibu bersama yang lainnya, Juminten tidur dibelakangku.

***
Mbak Santi terlihat sedih duduk depan kursi rumahnya, wajah rupawannya yang dulu selalu ceria, di kala bersenda gurau dengan kami remaja kampung, kini terlihat sedih.
Ingin rasanya kusapa menanyakan ada apa gerangan, saat wajah murungnya menunduk lesu.
Mata sayunya memandang ke arahku yang berdiri mematung memperhatikannya. Kakiku terasa berat ketika ingin menghampirinya, dari matanya ia seperti meminta tolong padaku.
Aku terkejut dengan mimpiku barusan, mbak Santi. Sebenarnya apa maksud dari mimpiku tadi.

"Ssssstttt...." Suara Juminten memberi isyarat lirih padaku.

"Mbak Santi teko kene" (mbak santi datang kesini) Lanjutnya lirih.
Deg...

Aku baru sadar saat terbangun, tidur berbantalkan tas berisi barang bawaan yang di bawa ibu dari rumah. Sedangkan di sisiku mbak Ocha terlelap, serta Juminten yang tidur dibelakangku.
Suasana puskesmas yang tadi ramai kini nampak sepi, hanya beberapa orang yang tidur menunggu sanak saudara mereka yang dirawat di sini.
Mungkin ibu dan lek Tutik tidur di dalam menemani Sofi.
Juminten semakin merapatkan badannya ke tubuhku, badan kami saling bergetar satu sama lain.

Sunyi !

Jika biasanya beberapa orang masih berlalu lalang di sekitar kami, malam ini sangat sepi bahkan suara orang sedang mengobrol pun tak terdengar.
Sreekk... Sreekk... Sreekk...

Suara langkah kaki yang diseret seperti sebelumnya,

Sreekk.. Sreekk...

Suara pelan kaki di seretnya semakin mendekat ke arah kami.
Keringat dingin membasahi kami berdua, kugeser pelan badanku merapat ke arah mbak Ocha.

Sreekk... Sreekk...

Hee.... Hee... Hiks... Heee...
Suara langkah pelan nya, beserta sayup sayup suara tangisannya.

Ya Allah... Berkali kali ku sebut Asma Allah dalam hatiku.
Badanku menggigil tak karuan, saat ku lihat jelas ke arah lorong penghubung kamar mandi.

Di sana.

Mbak Santi bersandar di tembok, berjalan pelan dengan menyeret kaki kanannya kearah kami.
Ku pejamkan erat mataku, ku selipkan kepalaku di sela sela dada mbak Ocha, yang menghadap ke arahku.

Suara rintihan tangisan mengiringi langkah pelannya.

Hiks.. Huuu... Hiks....
Pedih sekali, setiap tangisan yang terus berulang ulang kudengar. Tangis yang sedari tadi kutahan, kini pecah.

Aku menangis pelan, dengan sesekali sesenggukan.
Ingin berteriak memanggil ibu, tapi lidahku kelu hanya suara tangisan pelan yang keluar dari mulutku.

TOLOOOOOONG...

Suara keras Juminten di malam itu, membuyarkan istirahat seluruh penghuni puskesmas.
Ibu dan lek Tutik berlari keluar, wajah mereka nampak panik bertanya tanya.

Mengetahui sesuatu terjadi padaku ibu memelukku, wajah ibu yang biasanya tenang kini mulai panik ketika melihatku yang menggigil ketakutan.
Ibu mulai menggambari kakekku, menceritakan kondisiku beserta kejadian yang kualami.

Sambil menunggu kedatangan kakek yang sudah menuju ke tempat kami, ibu memelukku sambil menangis.

Kakek murka ketika melihat tubuhku menggigil di pelukan ibu.
"Jokokno banyu En" (ambilkan air) Nada emosi kakek kala melihatku, cucu perempuan satu-satunya.

Ibu bangkit ketika kakek menarik tubuhku dari dekapannya, lalu menyandarkan pada Juminten.
Ibu menyeka air matanya sebelum bergegas mengambil air permintaan kakek.

Wajah kakek terlihat serius saat memijat jemari kakiku, serta ke dua telapak tanganku.
Juminten menyeka keringatku, berkali kali ia nampak meniup leherku, sebelum menyibakkan rambutku.
Ibu kembali dengan botol air mineral di tangannya, kakek mengambil botol air mineral di tangan ibu.

Mulutnya membaca doa doa ayat Al-Quran. Tangan kiri kakek menyangga tubuhku, lalu menyuruh meminum air dalam botol yang kakek sodorkan ke arah mulutku.
Selesai aku meminumnya, kakek nampak membasahi kedua ibu jarinya dengan air sisa yang kuminum tadi, kakek meniup pelan keningku, lalu mengusap mataku dengan kedua ibu jarinya sebanyak 3 kali.
Dan yang terakhir seperti biasanya, air itu akan di basuhkan ke wajahku, tapi kali ini kakek menyuruh ibu yang membasuhkan nya ke wajahku.

"Ibuuukkk" Kataku lirih, aku tak ingin jauh darinya.
Kini wajah tegang kakek nampak memelas saat melihatku, ia usap pelan kepalaku.

Ibu menceritakan kejadian yang kami alami setiap malam.
Dan tentang mimpiku, kakek nampak cemas mendengar penuturanku.
Kakek hanya berucap, agar mendoakan almarhum mbak Santi agar tenang di alam sana.
Sementara wujud yang menyerupai mbak Santi adalah jin Qorin yang menyerupainya, muncul dari ketakutan kami sendiri.
Kakek memutuskan besok akan memugar makan mbak Santi lalu menyucikan ulang jasadnya, karena aku menggeleng saat kakek memintaku untuk tinggal di rumahnya.
Mungkin gangguan hantu mbak Santi tidak akan hilang sebelum 40 harinya, maka dari itu kakek mengalah, ia memutuskan tinggal di rumahku sementara, sampai gangguan mbak Santi benar benar hilang.
Ayahku datang dengan tergesa setelah ibu menghubunginya, ayah juga tak kalah cemas dengan keadaanku, meski akhirnya lega saat tau kakek sudah datang menjagaku.

Kakek memaki ayah dengan kata kata kasarnya, karena dianggap tidak becus menjagaku.
"Shep awakmu wes waras ta," (Kamu sudah sembuh kah) tanya Juminten setengah berbisik padaku.

"Lha angetmu aku gendeng ta," (kamu pikir aku gila) Jawabku bertanya balik.
"Ora ngunu, aku khawatir pas delok awakmu gemetaran adus keringet koyok mau iku" (Bukan begitu, aku khawatir saat melihatmu gemetaran mandi keringat seperti tadi) Juminten membenarkan selimutku.
"Mangkane aku maeng mbengok tolong" (makanya aku tadi berteriak minta tolong) Lanjut Juminten.

Aku tersenyum melihatnya, lalu memukul pundaknya pelan.
Tak lupa kukirim doa untuk almarhum mbak Santi disana.

Kakek nampak berbincang serius dengan ayah serta lek Jat, esok pagi akan kakek berniat memugar makam mbak Santi, dalam benakku memikirkan wajah murka kakek di hadapan keluarga pak Anam.
Dan benar esok nya kakek murka, karena niatnya untuk memugar makam mbak Santi di tolak keras oleh pak Anam, meski begitu kakek mendapat dukungan dari para tetanggaku yang menghujat keluarga pak Anam.
Sampai sini dulu untuk malam ini.

Terimakasih udah menyempatkan membaca ceritaku 🙏

Terimakasih juga pada @Dev4horor yang selalu membinaku dalam menulis 😍

Sampai jumpa besok 😂
Sepulang dari puskesmas, kakek membuat beberapa rajah, ditulis di balik kulit rusa. Bertuliskan huruf arab, lalu di bungkus dengan kertas putih serta kain berwarna putih juga.
Lalu ditempelkan di atas pintuh tiap rumahku, terutama di balik pintu kamarku.
"Mbah...." Sapaku saat menghampiri kakekku, yang duduk di ruang tamu, dengan membawa secangkir kopi singa kesukaannya di tanganku.

"Hmmmm...." Jawab kakek melihatku.
"Ngak usah di bongkar wis kuburane mbak Santi, ngarai heboh sak kampung engkok mbah"
(Tidak usah di bongkar kuburannya Mbak Santi bikin heboh desa nanti)
Kataku saat duduk disebelahnya, dengan menaruh kopi untuknya.
Kakek heran dengan penuturanku, ia nampak berfikir sejenak sebelum menjawab.
"Seumpomo di bongkar, terus kate di apakno engkok, kate di suceni yo opo maneh, mesti wes akeh belatunge mbah"
(Seumpama di bongkar, mau diapain lagi nanti, mau di sucikan bagaimana lagi, pasti sudah banyak belatungnya)
Lanjutku, meyakinkannya agar mengurungkan niat membongkar makam mbak Santi.

"Yo di kubur ulang, ngae coro N*, supoyone ora dadi molo"
(Di kuburkan ulang dengan cara **, biar tidak jadi petaka)
Jawab kakekku, memang cara mengubur sangat berbeda dari kebanyakan orang.

Dari selentingan kabar yang kudengar, mbak Santi di kuburkan dengan cara yang tak lazim. Seperti halnya mengubur bangkai binatang.
Menjelang pukul 2 Siang, kakek pamit mengurusi usaha keluarga, sebelum kakek pergi semalam beberapa rajah sudah di pasang di atas semua pintu rumahku.

"Shep kate nandi awakmu iku" (Shep mau kemana kamu itu)
Tanya ibu, saat aku mengeluarkan vario putihku.
"Dolen buk, bosen ndek omah tok" (Pergi main, bosan di rumah terus)
Jawabku, seakan tak peduli dengan wajah ibu yang mulai geram karena ulahku.
"Kumat nek golek pekoro terus ae yo, mbok seng anteng nek omah" (Kumat bikin gara gara terus, mending di rumah saja)

Kata ibu mencegah niatku, yang akan kelayapan di siang hari.
Ku ulurkan tangan kananku pada ibu, secara cepat ibu menyambut uluran tanganku.

"Njalok duwek kok, malah di salami" (minta uang kok malah berjabat tangan)
Sahutku ketus, karna kutahu ibu sengaja pura pura tak mengerti maksudku.
"Njalok duwek kok, malah di salami" (minta uang kok malah berjabat tangan)
Sahutku ketus, karna kutahu ibu sengaja pura pura tak mengerti maksudku.

"Ora due duwek" Jawab ibu melengos.

"Buuuukk" Suara beratku, saat niatku tak di kabulkannya.
Ibu masuk kedalam, tak beberapa lama ia keluar membawa jaket merahku.

"Jaketan! Awas koen moleh sore." (Pakai jaket, awas pulang sore hari)

Kata ibu, sambil menyodorkan jaket padaku.
"Lha duwik e, endi buuukk" (uang nya mana)

Jawabku memelas, lalu mengambil jaket dari uluran tangannya.
"Wes nek kesak jaket, kerjo ngawatiri, gak kerjo nitili duwek teros" (Sudah di saku jaket, kerja bikin khawatir, gak kerja mintain duit)
Jawab ibu, lalu mulai menyapu pasir dari bekas roda motorku.
Meski sedikit bergidik ngeri, saat ku parkirkan motorku, depan rumah Juminten yang berseberangan langsung dengan rumah pak Anam.
Mataku terus memandang ke arah rumah pak Anam, sebelum meninggalnya mbak santi puntu rumah mereka, sering terbuka atau sengaja di buka. Sekarang rumah pak Anam nampak sepi, bahkan seperti rumah yang di tinggalkan pemiliknya meski mereka berada di dalam rumah.
"Shep" Tegur Mak Ten ibu Juminten, saat melihatku di depan rumahnya.
Juminten ada nama ibunya, sedangkan nama aslinya adalah Ella.
Karena saat kecil kami saling olok nama panggilan, dan aku kalah dari Ella karena namaku di pelesetkan menjadi Shapi. Maka dari itu kusebut nama emaknya saat menimpali olokkannya.
"Ella nandi Mak?" (Ella kemana mak)

Tanyaku pada mak ten, di depan pintu rumahnya.

"Ngeluyur kaet isuk, Nduk" Jawab mak ten, mengeringkan rambut panjangnya, wanita paruh baya itu nampak habis keramas.
Sebelum berpamitan pada mak Ten, sempat kulihat sekilas bu Anam menangis di kamar mbak Santi. Karena kamar mbak Santi di depan, dan kaca kamarnya pun mengunakan kaca putih biasa, hanya di tutupi selambu warna cream.
Meski masih siang, tengkukku serasa bergidik ngeri saat berlama lama memandang ke arah rumah mbak Santi.
Ku putar cepat motorku, menyusuri jalan paving di gang rumahku. Aku tau di mana Juminten berada, pasti ia berada di bengkel las mas Roni, sepupuku dari Ibu.
Karena ibu mas Roni, adalah kakak kandung ibuku.
Sesudah melewati gapura gang, tinggal menyeberang jalan melewati jalan berpaving juga, bengkel mas Roni sudah kelihatan dari jalan utama desa.

Ku pelankan laju motorku lalu, parkir seenakku, memarkir motor di tengah tengah bengkel.
"Artise jatisari teko rek" Kata mbak Ita istri mas Roni, menyambut kedatanganku sambil tertawa.

"Shep, sek nangisan ta, ora" (Shep masih cengeng tidak)
Goda pak Huri kepala tukang di bengkel ini.
"Yo jelas ta" Sahutku cepat.

"Ora nangis ora mbois yo Shep" (Tidak nangis tidak keren ya shep.)
Mas Roni menimpali.
"Yo iyo ta, seng penting nangis dikek" (Ya jelas, yang penting nangis dulu)
Ini lah alasan kenapa aku malas pergi bermain, karena mereka selalu mengolokku dengan kata nangisan (cengeng)
"Shep, Shep, delok iki" suara Juminten yang duduk di sebalah Diki pacarnya "Yang hak, yang"
(Shep, liat sini) (Yang suapin yang) Lanjut Juminten, yang mulai disuapi bekal makanan Diki, kuli bengkel las mas Roni.
Jijik sekali melihat mereka bermesraan, waktu istirahat makan siang di bengkel las.

Juminten menyuruhku menemuinya, karena ada hal yang akan dibicarakan serius.
"Shepia gak iso kyok ngene" (Shepia gak bisa kayak begini)
Kata Juminten, sengaja mempraktekkan kemesraannya pada sang kekasih, ia sengaja mengejekku dengan melakukan hal seperti itu.
"Gilo Jum, Jum." (Jijik Jum.)
Jawabku saat melihat tingkah menjijikan mereka.

Semua mahluk penghuni bengkel ini, tak kalah terkutuknya dengan mbak Santi pikirku.

"Shep, wes maem urung Nduk" Tanya Bude Nah ibu mas Roni, dari pintu dapur rumahnya.
"maem ambek opo bude?" Tanyaku ingin tahu lauk yang masaknya.

"Sambel tomat karo tempe, Nduk" (Sambal tomat sama tempe) Jawab Bude Nah singkat, tangannya melambai ke arahku.
"Ibuk masak tempe, Bude masak tempe, budek aku kakean tempe" (Ibu masak tempe, bude masam tempe, budek kebanyakan tempe) Sahutku setengah menggerutu.

"Ngalem pesek iki" (Manja pesek ini) Kata mbak Ita merangkulku menuju dapur rumahnya.
Ujung ujungnya meski berlaukkan tempe goreng dengan sambal, aku memakanya. Mbak Ita mulai berbisik ke arahku, mas Roni dan yang lainya termasuk Juminten, ingin mencari solusi masalah desa kami, dengan menyewa dukun untuk mengakhiri teror mbak Santi.
Aku terkejut mendengar penuturan mbak Ita, makanan yang kukunyah tertahan di mulut. Sampai pergi ke dukun hanya untuk mengakhiri arwah penasaran mbak Santi.
Tanpa komentar cepat cepat kuhabiskan makananku, lalu menuju bengkel ingin penjelasan yang lebih jelasnya.
Mas Roni berbicara dengan pelan, bahwa ia punya kenalan dukun yang lumayan sakti, sore ini mereka akan pergi ke rumah dukun tersebut,.
meski sebenarnya aku sama sekali tidak berminat untuk ikut, mbak Ita dan Juminten memaksaku mati matian. Bahkan mas Roni yang akan minta ijin pada ibuku, dengan alasan mengunjungi wisata BNS di kota batu.
===

Jelas saja ibu mengijinkan kami pergi, secara mas Roni yang ijin pada ibuku. kami ber 6 pergi dengan mini bus kepunyaan Dimas pacar Sofi.
Aku, mbak Ita, Juminten, mas Roni, Dimas dan Budi.
Mobil terus mengarah ke selatan, aku tau, masing masing dari kami punya masalah yang sama, yaitu cepat cepat ingin mengusir hantu mbak Santi.
Setelah perjalanan yang lumayan jauh, tibalah kami di rumah dukun yang di maksud Budi teman mas Roni.
Kami di persilahkan memasuki rumah yang kesemuanya terbuat dari papan kayu, oleh wanita pemilik rumah sekaligus istri Mbah Dul dukun yang di maksud.
Tiba giliranku, wanita tua dengan rambut di sanggul yang berdiri di samping pintu rumahnya, menahan langkahku.
"Gelange dicopot disek yo, Nduk" (gelangnya di lepas dulu ya, Nak)
Kata wanita bernama mbah Mik dengan senyum seperti dipaksa, melihat ke arah pergelangan tangan kiriku, tempat di mana gelang rantai kecil berbahan emas putih, dengan bandol kubus dadu.
Deg...

Aku ingat, kakek mewanti wantiku untuk tidak pernah melepas gelang ini, dari tanganku, gelang rantai berwarna putih denga ujung pangkalnya di lilit rajah kecil buatan kakek semalam.
Meski sebenernya aku tidak pernah memakai aksesoris gelang dll, karena mudah sekali aku menghilangkannya.
Sedari kecil jika ibu memakaikan anting emas atau cincin emas padaku.
Beberapa hari kemudian benda itu menghilang dengan sendirinya entah waktu mandi atau waktu beraktivitas yang lain.
Dan semalam kakek memberikan ku gelang ini, dan berpesan agar aku tak melepaskannya dalam keadaan apapun.

Mendengar syarat tersebut aku lebih memilih tidak melepaskan gelangku, meski harus menunggu di luar.
Meski awalnya Juminten ingin menemaniku di luar, aku menyuruhnya ikut masuk, nanti saat selsesai Juminten akan menceritakan semua padaku.

Setelah suntuk menunggu, karena saking lamanya mereka di rumah mbah Dul si dukun. Perjalanan pulang mas Roni bercerita tentang gelangku.
Mbah merasa jika Khodam pelindung
dari kakek, yang di taruh pada gelang yang ku pakai bisa membawa malapetaka, bagi mbah Dul.
sebenarnya tidak ada niatan apa pun, dari mbah Dul kepadaku melainkan karena dua energy berbeda bisa mengakibatkan hal yang tidak di inginkan.

"Gelangmu, iso ngarai omahe mbah dul mumbul, Shep" (Gelang kamu bisa bikin rumah Mbah Dul porak poranda)
Kata Juminten berbisik padaku, di perjalanan pulang kami.
Aku bingung tak tahu harus menjawab apa, yang kutahu hanya menghormati dan mematuhi pesan kakekku.

Aku dan Juminten turun di depan gang kami, kulihat jam digawaiku pukul 9 Malam.
Lampu teras depan rumahku masih menyala, tiba tiba Juminten berlari meningalkanku. Karena terkejut aku mengikutinya dari belakang, meski sebenarnya rumahku sudah terlewati kakiku masih berlari mengejar Juminten.
Juminten mengedor pintu depan rumahnya, aku yang ikutan panik menepuk berulang kali pundaknya, sambil melihat sekeliling, di depan rumah Juminten rumah mbak Santi terlihat gelap, menciptakan keangkeran tersendiri bagi yang melihatnya.
Pintu rumah Juminten dibuka oleh mak Ten, tanpa permisi yang punya rumah, kutarik kerah baju Juminten aku mendahuluinya memasuki rumah.
Mak Ten tak kalah panik dari kami, tadi sehabis magrib mak Ten mendengar kabar bahwa Cak Johan, yang kerjaan nya menarik becak bunuh diri dengan meminum racun seranga.

Mendengar penuturan ibunya, wajah Juminten pucat pasi.
Mendengar penuturan ibunya, wajah Juminten pucat pasi.

"Napo Jum?" (Kenapa?)

Tanyaku yang melihat keanehan di wajahnya, Juminten nampak berfikir sejenak berkali kali ia mengatur nafas.
"Aku tas kepetok Cak Johan, ngadek nek isor wit gedang karo melet" (Baru saja aku ketemu johan, berdiri di bawa pohon pisang)
Jawab Juminten, keringatnya berjatuhan dengan nafas yang masih memburu Juminten mencoba menjelaskannya padaku.
Gemericik suara air dari kamar mandi rumah Juminten, membuyarkan percakapan kami.

Ku sumpal kedua telingaku dengan selimut di kamar Juminten, masih belum hilangkah hantu mbak Santi pikirku.
Praaaaang.....

Kami terkejut mendengar benda jatuh dari arah dapur, keras sekali bunyi suaranya.
Sunyi !

Tiba tiba suasana menjadi sunyi, hanya suara binatang malam yang terdengar, gorden jendela kamar tiba tiba bergerak, seperti di terpa angin pelan dan sangat aneh tak ada tanda angin masuk kekamar waktu itu.
Keringatku mulai bercucuran, ketika tiba tiba lampu seluruh rumah padam.

Gelap hanya bayangan kami berdua yang terlihat di kegelapan, kami memilih diam saat itu.
Ku pertajam pendengaranku, suara ketukan itu lagi pikirku, tapi bukan rumah ini yang di ketuk.
Suara ketukan itu dari rumah depan, Juminten menoleh ke arahku, kutahu maksudnya ia ingin melihat ke arah asal suara ketukan itu.

Pelan Juminten merangkak pelan di atas kasurnya, tangannya mencoba mengapai gorden di jendelanya dengan gemetaran.
Praaaangg...

Suara dari arah dapur kembali terdengar, ku sandarkan tubuhku di pojok tembok kamar.
Tok... Tok... Tok...

Aku terkejut mendengar suara ketukan pintu yang berasal dari pintu rumah Juminten saat ini.
Tok.... Tok.... Tok....

Berulang kali suara ketukan pelan terus berbunyi, bau amis darah kembali tercium.
Juminten sibuk mencari cari sesuatu dari dalam saku celananya.
Hiks.... Hiiii.... Hiiii.... Hiks...

Suara tangisan beserta sesenggukan, yang amat familiar bagiku, itu suara mbak Santi.
Hiiii.... Hiks..... Hiiii.... Hiks....

Pilu !

Aku ikut menangis karena terhanyut mendengar tangisannya, kucengkeram erat selimut.
Kulihat Juminten berdiri kaku, memandang ke arah luar jendela.
Entah apa yang dilihatnya di depan sana, sebelum tak sadarkan diri di lantai kamar.
Ku tutup kedua telingaku, semakin kudengar semakin sakit juga sesak didadaku, rasa sakit yang teramat pedih seakan ikut merasakan sakit hatinya kala mendengar tangisannya.
Ya Allah....

Kusebut asma Allah lirih dalam tangisanku.

Sreeek.... Sreeeek... Sreeekk...

Jantungku bergetar, tangis tak bisa kuhentikan mendengar suara kaki yang di seretnya.
Sreeekk... Sreeeek... Sreeeekk...

Deg.

Semakin mendekat, suara seretan kakinya mendekat.
Hiks... Hiiii... Hiks.... Hiii...

Mulutku tercekat, lidahku terasa kelu, ingin sekali aku berteriak, tak ada yang bisa kuperbuat.
Sreeekk... Sreeek.. Sreeeekk..

Mataku nanar melihat ke arah jendela kamar, bayangan yang selalu kulihat setiap malam kini berada di luar jendela.
Ia berdiri menghadap ke arahku sesekali badanya terhuyung pelan kekanan sesekali ke kiri.
Deg.

Sekali lagi gorden kamar tersingkap pelan ke atas, ku telungkupkan kepalaku sambil memejamkan mata erat.

Aku tak ingin melihatnya.
Ku pejamkan mataku sampai terdengar suara Adzan subuh membuat hatiku lega, kejadian yang terus berulang ulang setiap malam.
Dan yang paling mengherankan Becak cak Johan yang semalam meninggal sekarang berada di dalam bengkel mas Roni, tentu saja membuat tiga pekerjanya kalang kabut berlarian.
Selesai adzan subuh, ku bangunkan Juminten yang tidur di lantai.

"Jum, Jum, tangio wes subuh" (Jum, bangun sudah subuh)
Kataku, mengoyangkan tubuh Juminten di lantai.
"Hmmmmm...." Suara Juminten berat, aku tak habis pikir dengan tingkahnya, bisa bisanya Juminten pingsan lalu terlelap tidur di lantai.
Ingin sekali kutendang perutnya, ia meninggalkan diriku yang ketakutan semalam. Entah apa yang di lihatnya semalam yang jelas sebelum ia pingsan, Juminten terlihat terkejut saat melihat ke arah rumah mbak Santi.
Setelah berpamitan pada mak Ten dan Pak Tino, orang tua Juminten aku pulang meninggalkan Juminten yang masih tertidur di lantai kamarnya.

Terus ku coba mengingat kejadian semalam, rasa takutku akan kedatangan mbak Santi memang belum sepenuhnya hilang, berbeda dengan sebelumnya.
Sampai pagi menjelang pun, rasa takutku tak akan hilang, berbeda dengan hari ini. Yang kurasakan justru sebaliknya semakin besar rasa penasaranku hingga aku sendiri tak mengerti, harus berbuat apa.
Apa ada hal yang ingin mbak Santai sampaikan, sehingga ia terus menampakkan wujudnya padaku.
Apakah ada suatu perkara di dunia yang masih belum ia selesaikan, sehingga selalu bergentayangan setiap malam.
Jika memang ada perkara di dunia yang belum ia selesaikan, kenapa tidak datang dalam mimpi bu Anam saja, pikirku.
Kenapa harus kami para tetangganya yang harus ia teror.

"Shep, turu nek endi membengi awakmu iku?" (Tidur dimana kamu semalam)
Suara ibuku, yang akan menuju mushola di depan gang untuk sholat subuh berjamaah.

"Di keloni Juminten" (Tidur sama Juminten) Jawabku singkat, lalu buru buru aku memasuki rumah.
Tak habis pikir rasanya, kampung yang dulunya tentram dan ramai, kini menjadi sepi menjelang malam.

"Turu omah e Bude ta, Nduk" (Tidur di rumah Bude ya, Nak) Sapa ayahku, saat mengetahuiku, memasuki rumah.
Buru buru kupeluk badan kekar ayahku dari belakang.

"Yah," kataku pelan sambil memeluknya.

"Hmmm.." Jawab ayah sambil mengelus pelan tanganku yang melingkar di dadanya.
Minta duit" Kataku, sambil memasang wajah sedih agar ayahku mengabulkan permintaanku, rasanya isi kepalaku penuh dengan semua masalah, yang tidak pernah kuperbuat.

"Duwek terus, gae opo seh" (uang terus, buat apa sih)
Jawab ayah, mengambil nafas panjang.
"Pengen tuku klambi, pengen sepatu, pengen, nang salon, pengen njajan, pengen refresing terus pengen banyak" Jawabku semangat.

"Masa Allah, Shepia..." Jawab ayah kaget, mendengar semua keinginanku.
"Yawes ora usah" Kataku merajuk, mulai memasuki kamar, lalu kubanting kuat pintu kamarku.

Dan benar ayah mengikuti kekamarku, duduk di sampingku yang tidur tengkurap, ayah mengelus pelan kepalaku.
Semakin kubenamkan, wajahku pada bantal, agar terlihat aku benar benar merajuk.

"Oalah iyo, iyo, ojo nesuan tala" (Iya, iya, jangan suka marah)

"Bah" Jawabku singkat, dengan suara yang kubuat seperti sedang menahan tangis. (ini jurusku)
Ayah membuka dompetnya, mengelurkan tiga lembar seratus ribuan, "Cukup ora" kata ayah padaku.

"Yo ora yah, gae nyalon wes entek" (Ya tidak yah, buat kesalon sudah habis)
Jawabku, pusang wajah melas ke arahnya.
Karena kutahu meski ayah orang yang tegas, ia akan menuruti kemauanku, apa lagi jika aku bilang pada kakekku, ayah akan di marahinya karena ulahku.
Aku memang tidak peduli entah ada atau tidak, yang jelas jika aku menginginkan sesuatu aku harus mendapatkannya.
Di tambah lagi hidup kami juga jauh lebih berkecukupan, ketimbang keluarga lainnya.
Yang kuinginkan sekarang hanya bersenang senang, melepaskan kepenatan, meluapkan semua masalah yang muncul akibat mbak Santi.
Pukul 9 Pagi, aku sudah bersiap pergi, omelan ibuku yang sedari tadi tidak berhenti, tak menurunkan semangatku untuk cepat cepat pergi.

"Shepia..!" Ibu berteriak ke arahku, yang mulai menuntun pelan motorku.
"Opo maneh seh buk" (Apa lagi sih buk) Jawabku kesal, karena suara teriakan ibu, terpaksa aku berhenti.

"Awakmu kate metu ora jaketan?" Jawab ibu dengan suara mulai marah.
Aku lupa, kalo sebenarnya aku gampang sekali masuk angin, jika berkendara tak memakai jaket.

Ku ambil jaket levisku dari pundak ibu, sambil cengegesan ku raih tangannya, lalu kucium pelan punggung tangannya.
"Engkok tak gawakno mie setan buk" (Nanti kubawakan mie setan buk)
Lanjutku, seraya mencium kedua pipi
"Mie ae rausah setanne, ben bengi wes onok setane" (mienya aja tidak usah setannya, setiap malam sudah ada setannya) Jawab ibu ia nampak khawatir jika aku pergi bermain terlalu jauh.
Ku langkahkan kakiku kerumah Juminten, karena niatku siang ini bukan berbelanja, aku sengaja meminta uang hanya untuk menambah saldo tabunganku semata karena tidak bekerja, jika waktu tanggal gajian intinya saldoku harus bertambah.
"Mak, Ella gurung tangi ta" (Mak Ella belum bangun yah) Sapaku saat nyelonong masuk kerumah Juminten.

"Gurung Shep, bugah'en ae" (Belum Shep, bangunin saja)
Aku tersenyum menyerigai saat memasuki kamar Juminten, kulihat ia masih terlelap sambil memeluk guling.

Ku naiki kasurnya pelan, lalu ku sobek sedikit kertas ku pelintir kecil sampai memanjang di ujungnya.
Dengan hati hati ku masukan ujung kertas yang sudah ku pelintir tadi, kedalam lubang hidung Juminten.
Pelan pelan ku putar, Juminten mulai gusar karena sensasi geli di hidungnya, ku putar cepat pangkal kertas dengan ujung yang memasuki lubang hidungnya.
Hakchiim.... Hakchim.... Hakchimm....

Juminten bangun dengan terkejut, berkali kali ia bersin, sambi mengosok keras hidung nya.
Aku tertawa bangga atas perbuatanku padanya.
"Gendeng koen, Shapi" (Gila kamu)
Umpatan kekesalan Juminten padaku, tawaku semakin keras saat melihatnya bersin untuk terakhir kalinya.

"Age turuo maneh tak idek, wetengmu mariki" (Coba tidur lagi kuinjak, perutmu habis ini)
Kataku saat mengetahui Juminten mulai merebahkan badanya kembali.

"5 menit ae" ( 5 menit saja) Jawab Juminten dengan suara kantuknya.
"Siji..." (satu) Aku mulai memperingatkannya.

Juminten bangun dengan wajah kesal, "Sek isuk Shep, ambekne kate nandi seh" (masih pagi Shep, emangnya mau kemana) Tanya Juminten, sambil memberi alasan.
"Nemoni Eva" (Nemuin Eva) Jawabku, sambil memukulkan bantal ke atas kepalanya.

"Tak adus dikek" (mandi dulu) Kata Juminten pelan, aku sudah menarik tangannya, "Gak usah ngunu ae wes ayu" Jawabku. (Tidak usah gitu aja sudah cantik)
Ku semprotkan berkali kali minyak wangi ke arah leher, ketiak, lalu badan serta pungungnya.

Ku lempar kunci motorku padanya, "Aku seng nyetir?" Tanya Juminten heran. (Aku yang nyetir)
"Jelas, aku sewengi gak turu gara gara, njogo awakmu turu." Jawabku berbohong.

Ku ambilkan jaket beseball merahnya, agar Juminten tak nampak seperti orang hilang.

Sebelum ia sempat menyisir rambutnya, aku sudah menariknya keluar kamar.
"Ora sarapan sek ta, rek" (Tidak sarapan dulu kah) Kata mak Ten saat kami keluar, ia tau kami akan pergi bermain.

(Sarapan nek njobo mak" (Sarapan di luar mak) Jawabku.
"Ati Ati loh yo" Lanjut Mak ten, saat kami mulai berjalan ke arah, depan rumahku tepat di mana motorku sedang terparkir.
Ibu sedang menyapu lantai depan rumah, Juminten sudah menaiki jok depan motorku, berkali kali ia tekan ke arah kanan kunci motor yang telah ia masukkan.
"Shep kok gak kenek seh" (Shep kok tidak bisa) Tanya Juminten heran, karena konci motor tidak bisa di putar ke arah kanan.
"Mosok seh" ku lihat konci motor yang di masukan Juminten " Lha ancene salah kunci goblok" Kataku sambil tertawa. (Masa sih) (loh salah kunci goblok)

"Seng goblok iku awakmu" (yang bodoh itu kamu) Sahut Juminten sambil mendorong kepalaku ke belakang.
Itu adalah konci motorku yang satunya, di rumah ada tiga motor, satu punya ayah dan dua punyaku, sementara ibuku tidak bisa menaiki motor.

Karena aku lupa menaruh konci varioku, dan memang aku sendiri anaknya pelupa.
Juminten mengeluarkan satria dengan striping warna pink kepunyaanku.
Tujuanku adalah lekas menemui Eva, teman sekelas waktu SMA dulu, Eva bisa berinteraksi dengan mahluk astral, dulu waktu di sekolah ia sering di panggil untuk menyembuhkan, siswi yang kerasukan.
=====

"Lapo kok ndadak merene, awakmu Shep" (Kenapa mendadak kesini, kamu) Tanya Eva, setelah kami berdua di persilahkan masuk ke rumahnya.
Aku sedikit berfikir sejak untuk mengutarakan niatku di depan ya, lebih baik bercerita di tempat yang agak santai pikirku.

"Golek tempat seng nyaman ae loh, aku kate cerito serius soal e" (cari tempat yang nyaman aja lah, aku mau cerita serius soalnya)
Jawabku, karena merasa ruang tamu rumahnya terlalu ramai dengan adik dan keluarganya, tidak pas untuk menceritakan semua keganjilan di desa kami.
"Melok aku" Kata Eva yang beranjak dari duduknya, lalu berjalan menyusuri rumahnya, banyak sekali barang antik di rumahnya bahkan lampu dengan hiasan kuno yang terpasang di halaman depan dan ruang tamunya.
Serta foto keluarga hitam putih dengan bingkai ukiran kayu, berjajar rapi di atas lemari coklat tua.
Kami mengikuti Eva sampai di halaman belakang rumahnya, kami menuju gazebo di samping kolam ikan rumahnya.

"Nek kene" (Di sini) Tanya Eva mulai berbicara, saat kami duduk, sedangkan juminten melanjutkan tidurnya saat melihat bantal di sampingnya.
"Ora popo, koyok e koncomu kesel" (Tidak apa apa, sepertinya temanmu capek) Kata Eva saat aku mulai mencubit lengan Juminten.

Sebelum aku mulai bercerita, ibu Eva mengantarkan tiga gelas sirup dingin.
Aku mulai bercerita tentang arwah mbak Santi, yang setiap malam selalu datang menghantui.
Tak lupa juga aku menceritakan sedetail mungkin yang kualami, mulai dari awal saat bersama Sofi melihat langsung kecelakaan mbak Santi, waktu itu.
Eva menyimak semua ceritaku, ia nampak sambil berfikir mendengar ceritaku.
"Ngene loh Shep, asline arek iku ancene matine ora wajar, terus di dikubur yo, ngae coro ngasal, ora di suceni padahal arek iku ngawe susuk."
(Begini loh Shep, Aslinya anak itu memang meninggal secara tidak wajar, lalu di kubur dengan cara asal asalan, tidak di sucikan, padahal dia memakai susuk) Terang Eva, aku terkejut saat mendengar penjelasannya.
"Bukane tiap menungso seng mati wes ora ono hubungan karo ndunyo maneh yo?" (Bukanya manusia kalo sudah mati tidak ada hubungan sama dunia lagi yah?) Tanyaku, heran.
"Iyo, tapi mungkin bedo masalah e karo Santi iki, Shep" (Iya, tapi berbeda dengan masalahnya Santi sekarang)
Jawab Eva, dengan nada ragunya.
"Terus aku kudu yok opo? Aku wes ora betah ngene terus, Va" (Terus aku harus bagai mana? Aku sudah tidah betah dengan keadaan sekarang ini)
Lanjutku.

"Ketok'e Santi iku kate njalok tolong awakmu" Kata Eva, dengan wajah serius.
"Gendeng a, lha lapo anjok aku, aku gak eroh opo opo kok" (Gila, kenapa harus aku, aku tidak tau apa apa) Jawabku menyela, Eva.

"Timbang awakmu terus di hantui gelem?" (Ketimbang kamu terus dihantui, mau?) Kata Eva.
"Bingung aku Va, stres suwe suwe" (Lama lama) Kataku gusar.

"Tulungono aku, opo'o Va" (Bantu aku, kenapa Va) Lanjutku merengek, memasang wajah melas ke arah Eva.
"Sek pancet ae gayane" (masih sama aja gaya kamu) Jawab Eva tersenyum ke arahku yang memasang wajah melas ke arahnya.

"Age tala, Va koen iku senengane ngudo ae" (Ayo lah, Va kamu itu sukanya mengoda saja) Kataku ketus.
"Ora gratis loh Hahaha" (Tidak gratis) Jawab Eva, karena wajah melasku.

"Emboh" Sahutku asal, meski aku sendiri belum tau apa yang di rencanakan Eva untuk membantuku, setidaknya aku tau Eva akan membantuku.
Lalu kami bergurau mengingat masa masa sekolah dulu.

====
Sehabis isya kami bertiga bergegas pulang, tapi bukan pulang ke rumah, melainkan ke rumah Isna. Teman desaku rumahnya dekat dengan bengkel mas Roni.
Sebab dirumahku terpasang rajah yang kakek buat, Eva menolak karena ia ingin berinteraksi langsung dengan hantu mbak Santi.
Eva memilih di rumah Isna, karena dulunya Isna adalah adik kelas kami dan juga saat ini, orang tua isna mengungsi sebab tidak betah dengan gangguan mbak Santi setiap malamnya.
Pukul 9 Malam susana desa kami sudah sangat sepi, bahkan peradangan bakso keliling engan ke desa kami karena hantu mbak Santi.
"Nah, mau isuk geger becak e, Cak Johan nang bengkel mas Roni?" (Nah, tadi pagi geger karena becak Cak Johan di bengkelnya mas Roni?) Tanya Juminten pada Isna yang menuangkan tiga gelas teh hangat dan segelas kopi.
"Iyo, Mbak sampek podo kuweden" (Iya Mbak sampai pada takut semua) Jawab isna.

"Sssttt...." Eva memberi tanda untuk diam.

Eva menyalakan dua lilin di letakkan di atas teplek, dengan korek apinya.
Belum sempat niatku bertanya pada Isna tentang kematian Cak Johan yang secara tiba tiba, apa lagi dengan bunuh diri menegak racun serangga.
Ibuku berkali kali menelfon, karena khawatir, aku menjawab kalo malam ini tidur di rumah Isna menemaninya-
kedua orang tuanya pergi kerumah kakek neneknya.
Malam semakin sunyi, tak ada tanda tanda bintang di langit malam.

Di luar angin berhembus pelan menerpa dedaunan, Eva menyuruh Isna mematikan semua lampu rumahnya tak terkecuali lampu halaman depan rumah.
Jantungku sudah dag, dig, dug, sedari tadi karena hawa aneh yang tiba tiba datang.

"Santi kate teko ta?" (Santi mau datang?)
Tanya Juminten pada kami bertiga, kami bertiga yang sedari tadi mengawasi jalan paving depan rumah Isna menoleh ke arah Juminten bersamaan.
"Lapo" (Ngapain) Tanya Juminten lagi, karena kami serempak menoleh ke arahnya.

"Mbak Jum iki meden medeni ae" (Mbak Jum nakut nakutin aja) Kata Isna pada Juminten.
Sedangkan aku dan Eva memilih diam, dengan pertanyaan Juminten.
"Is, kamu tidur aja dulu" Perintah Eva, pada Isna.

"Iyo Mbak, howone ngarai ngantok" (Iya mbak, hawanya bikin kantuk)
Jawab Isna berlalu menuju kamarnya. Aku dan Juminten saling pandang, "Ngantuk jare?" Kata Juminten lirih padaku.

"Emboh" Jawabku, lalu memperhatikan sekeliling.
Pukul 11 Malam, Eva sudah duduk bersila dengan dua lilin yang kunyalakan di depannya. Entah bermeditasi atau melakukan ritual yang jelas Eva duduk bersila dengan mata terpejam kami tidak di perbolehkan mengganggunya saat meditasi.

Malam.
Sangat sunyi bahkan suara motor yang biasanya lewat sampai larut malam, sedari tadi tak terdengar.

Suara angin yang menerpa pepohonan membuat pohon rambutan di sebrang jalan mengeluarkan suara gemerisik.
"Shep, iku lak becak e Cak Johan" (Shep itu kan becaknya Cak Johan)

Kata Juminten menunjuk becak tua yang biasa di gunakan Cak Johan bekerja, di bawah pohon rambutan.
"Akhh....." Suaraku tertahan, akibat Juminten menutup mulutku rapat dengan telapak tangan kanannya.
Aku terbelalak kaget, siapa yang menaruh becak cak Johan di bawah pohon rambutan itu, karena sedari tadi mataku mengawasi ke sekeliling, becak itu belum di sana.
Sunyi.

Suara angin angin tiba tiba menghilang, malah pohon rambutan di sebrang jalan itu, bergoyang dengan sendirinya.
Tiba tiba tercium bunga kenanga, sangat menyengat di hidung, ku tutup hidung dan mulutku dengan masker bekasku tadi saat menyusul Eva.
Hiiiiii..... Hiiiiii... Hiiii... Hiks...

Kami berdua terkejut mendengar suara tangisan dari kejauhan, tangisan ini, tangisan mbak Santi seperti semalam.

Hiks... Hiiii... Hiiii....
Amat pilu tangisan yang kudengar saat ini, Juminten menarik tanganku ke belakang. Kami berdua duduk bersandar di tembok, ku sandarkan kepalaku di pundak Juminten.
Suara tangisan masih terdengar, ulu hatiku sakit saat mendengarnya, seakan ikut merasakan sakit hati si penanggis.
Deg...

Mataku tertuju pada sosok perempuan berbaju putih di depan rumah Isna. Juminten juga terlihat terkejut saat melihatnya.
Wajah yang tak asing, wajah kesedihan mbak Santi dengan raut muka pucat memandang sayu ke arah kami.

Hiii.... Hiiii... Hiiii....

Ku tutup kedua telingaku saat mendengar suara tangisannya kembali.
Pyaar...

Suara benda jatuh dari arah belakang.

Tuk... Tuk.... Tuk... Tuk.... Tuk....

Suara kuku di ketuk ke kaca.

Kriiiiiiiitttt....
Beserta decitan kuku yang tekan di tekan di kaca seperti sedang menggores kaca.

Deg..

Jantung serasa berhenti berdetak saat mata kupejamkan erat, tengkukku seperti di tiup dari belakang.
Keringat kami berdua berjatuhan, saat suara tangisan beserta ketukan pelan dari arah kaca.

Juminten merangkak kedepan, dengan pelan ia mencoba memperjelas pendengarannya akan ketukan pelan kuku yang mengetuk kaca.
Juminten merangkak kedepan, dengan pelan ia mencoba memperjelas pendengarannya akan ketukan pelan kuku yang mengetuk kaca.

Aku hanya memperhatikan tingkah Juminten yang penasaran dengan suara ketukan kuku.
Tuk.... Tuk.... Tuk... Tuk... amat Pelan.

Juminten semakin mendekat ke arah kaca.

Akh.....
Juminten meyumpal mulutnya sendiri dengan tangannya, ketika ia sudah dekat dengan kaca, matanya tertuju pada sosok mbak Santi yang berjalan menyeret kakinya menuju kemari.

Entah apa yang harus kulakukan saat ini.
Aku berlari ke kamar mandi cepat cepat kubasuh wajahku dengan air wudhu.
Selesai wudhu aku sedikit tenang, lalu hendak kembali ke depan menyusul Eva dan Juminten dengan wajah pucat karena melihat mbak Santi menampakkan sosok hancurnya kembali.

BERSAMBUNG
Teror malam

Malam semakin panjang, begitu juga dengan kejadian demi kejadian terus bermunculan.
Aku dan Juminten meyandarkan punggung di tembok, sementara Eva masih serius bersila dengan meditasinya.

Suasana menjadi hening, ku atur nafas yang terasa sesak di dada. Berkali kali Juminten membasuh keringat di keningnya.
Lamat lamat terdengar suara orang sedang berbincang dari arah jalan depan, "Koen krungu Shep?" (Kamu dengar Shep?) Tanya Juminten padaku, karena mendengar suara orang sedang berbicara.
Semakin lama suaranya semakin mendekat, Juminten menautkan kedua alisnya.
Siapa juga yang malam malam begini sedang di luar, pikir kami.
Juminten menarik paksa tanganku, untuk memastikan di mana suara itu berasal, karena rasa penasaran aku tak menolak saat Juminten menarik tanganku, kami merangkak ke arah jendela.
Suara khas becak yang di kayuh pelan, dengan penumpang di depannya sebagai bobot muatan menimbulkan bunyi kriet, kriet, saat di kayuh.
Kami berdua saling pandang heran, jangan jangan becak Cak Johan ikut jadi hantu.

Dengan wajah pucat kami berdua menekan rasa ketakutan, hanya karena rasa penasaran oleh suara obrolan yang semakin jelas terdengar di telinga.
Mata kami berdua terbelalak tak percaya, dengan apa yang saat ini kami lihat dengan mata kepala kami sendiri.

Deg.

Becak di kayuh pelan memasuki gang rumah Isna, lalu di kursi penumpang depan becak yang sedang melaju pelan.
Mbak Dista adik kandung mas Roni sekaligus kakak sepupuku, sedang duduk santai serta berbicara sendirian. Lalu di kursi pengemudi tak ada siapa pun di sana, becak itu melaju sendiri tanpa pengemudi.
Takut sekaligus heran dengan apa yang kulihat saat ini, kucubit keras lengan Juminten, agar aku tau ini nyata atau sekedar mimpi semata.

"Loro gendeng!" (Sakit Gila) Kata Juminten pelan, menahan suaranya agar tak memulai keributan di antara kami.
BUUKKK....

Suara sesuatu jatuh dari atas pohon rambutan, kami berdua yang sedari memperhatikan mbak Dista yang berbicara sendirian, menoleh ke arah pohon rambutan karena mendengar suara jatuh dari sana.

Aku Berharap ini hanya bunga tidur semata.
Di sana.

Di bawah pohon rambutan, sosok tubuh dengan wajah hancur sedang merayap keluar dari kegelapan.

Juminten menelan ludah saat melihat mbak Santi yang merayap dari bawah pohon rambutan.
Mbak Dista yang turun dari becak, terlihat gemetaran memandang ke arah mbak Santi yang merayap ke arahnya.

Dista berdiri kaku memandang ke arah mbak Santi yang terus merangkak pelan ke arahnya.

Allah Hu Akbar.
Allah Hu Akbar.
Mulutku lirih mengucap asma Allah, Sedangkan Juminten meraih gagang pintu lalu membukanya, seraya setengah berteriak "Dis, Distaaa" Suara Juminten membuyarkan, mbak Dista yang sedari tadi berdiri kaku melihat ke arah mbak Santi.
Mbak Dista berlari menuju pintu rumah Isna yang sedikit dibuka oleh Juminten, raut wajahnya mengisyaratkan ketakutan seperti yang kami berdua alami.
Juminten menutup pintu kembali saat, mbak Dista sudah memasuki rumah Isna, dengan badan gemetaran matanya memandangi kami satu persatu, tas besar yang ia bawa di tinggalkan begitu saja di atas jalan paving.
"Ngombe sek" (Minum dulu) Kata Juminten pada Dista, yang masih gemetaran.

Dista menghabiskan 3 gelas teh dan satu gelas kopi yang belum sempat kami minum sebelumnya, ia nampak kehausan.
Malam semakin panjang kami rasakan, Dista yang pulang sebulan sekali karena bekerja di surabaya baru merasakan kejanggalan di desanya sendiri.

"Kirek" (Anjing) Umpat Dista, saat Juminten menceritakan kejadian yang baru saja ia alami.
"Dadi, becak iku maeng setan?" (Jadi becak barusan itu setan) Tanya Dista tak percaya.

"Iyo Mbak, soal e Cak Johan mau isuk di kubur" (Iya mbak, soalnya baru tadi pagi cak Johan dikuburkan) Kataku, memperjelaskan.
"Jancok lah, terus Santi saiki dadi medi" (Sialan lah, terus sekarang santi jadi hantu) Tanya Dista lagi.

Aku dan Juminten berpandangan lalu mengangguk pelan, secara bersamaan.
Dista mencopot kemeja bermotif biru kotak yang di kenakannya, karena basah oleh keringat, tanktop putihnya nampak basah oleh keringat.

"Terus Eva iki lapo" (Terus Eva ini ngapain) Tanya Dista saat melihat Eva, yang masih bersila di depan dua lilin.
"Topo" (Semedi) Sahut Juminten cepat.

"Lapo topo nek njero omah, kok gak nek penger kali metro opo, kuburan kono" (Ngapain bertapa di dalam rumah, kenapa tidak di pinggir sungai atau kuburan sekalian)
Jawab Dista, dari dulu Dista memang terkenal dengan mulut yang blak blakan, atau kata kata pedas di sertai omongan kotornya.
Meski begitu aku bangga menjadi adik sepupunya, karena menyandang namanya sebagai kakak perempuanku, tak ada yang berani menggangguku di sekolah mau pun di luar sekolah, dulu ia pasti datang membelaku saat aku menangis karena di ganggu teman bermainku.
"Terus lapo podo nek kene, bukane moleh nang omah e dewe dewe" (Terus ngapain pada di sini bukannya pulang ke rumah sendiri sendiri) Kata Dista heran, karena kami berkumpul di rumah Isna.
GLODAKK....

Belum sempat kami menjawab suara benda jatuh, dari arah dapur mengagetkan kami.

Clek... Clek... Clek..
Suara tuas kompor gas yang di putar berulang ulang, lalu suara gelas yang saling beradu berbunyi nyaring membuat kami bertiga heran bercampur takut, kecuali Eva ia masih senantiasa bersila dengan khusyu.

Deg.
Aku mengikuti langkah Juminten dan Dista yang mengendap pelan ke arah dapur, dengan rasa was was sekaligus takut bercampur penasaran kami berjalan pelan ke arah dapur.
Juminten yang berjalan di depan, berhenti di depan pintu penghubung dapur dan ruang tengah rumah ini. Juminten menempelkan telinganya ke arah pintu pelan.
Tek Tek Tek

Bunyi pisau dapur yang ditekan ke arah papan telenan, "bukak Jum" Suara Dista lirih.
Kami bertiga gemetaran tak karuan, sebelum Juminten mendorong pelan pintu tanpa gagang yang melekat, lampu yang sedari tadi sengaja di matikan, kini nyala redup nyala dari balik pintu bagian dapur, tepat di mana saat ini kami bertiga berdiri.
Kami terkejut saat menyadari caha kuning yang nyala mati secara terus menerus dari arah dapur.

Tangan kiri Dista mendorong pintu, mengantikan Juminten di depannya yang akan membuka pintu, untuk melihat ada apa sebenarnya dari dapur saat ini.
Kreeekk..

Bunyi pintu yang di dorong sedikit, dari celah pintu yang sedikit terbuka itu, sosok tubuh dengan badan setengah bungkuk, sedang berdiri menghadap ke arah kompor di depannya, dengan posisi membelakangi kami.
Cahaya kuning redup, yang terus nyala mati, memperjelas sosok mbak Santi yang sedang berdiri membelakangi kami.

Ku tutup mulutku rapat rapat dengan kedua tanganku, seakan tak percaya dengan apa yang ku lihat saat ini, badanku mulai lemas menyaksikannya.
Bahkan Juminten yang berdiri paling depan, langsung roboh duduk bersimpuh di lantai sebelum melihat wajah mbak Santi yang menoleh.
Mbak Santi yang sedari tadi berdiri memandangi kompor di depannya, tiba tiba menoleh ke arah kami saat cahaya lampu berpijar sebelum padam kembali.
Allah.

Dista yang terlihat masih menguasai dirinya menyeret tubuh Juminten yang terduduk lemas di lantai, aku lebih dulu berjalan ke ruang depan karena tak kuasa melihat hal yang sama sekali tak masuk akal bagiku.
Tok... Tok... Tok... Tok... Tok...

Aku terkejut saat mendengar suara ketukan dari balik pintu dapur, kejadian yang sangat susah untuk dinalar dengan akal sehat kami.
Meski berkali kali kucoba bersikap tenang, tapi gemetar di kakiku tak bisa membohongi jika sebenarnya aku sangat ketakutan.

Sreeek... Sreeeekk... Sreeekk....
Aku terkejut saat mendengar suara ketukan dari balik pintu dapur, kejadian yang sangat susah untuk dinalar dengan akal sehat kami.
Meski berkali kali kucoba bersikap tenang, tapi gemetar di kakiku tak bisa membohongi jika sebenarnya aku sangat ketakutan.
Sreeek... Sreeeekk... Sreeekk....

Suara langkah kaki mbak Santi yang di seret kembali terdengar seperti film dokumenter yang di putar berulang kali saat malam.
Sreeek... Sreeek... Sreeek...

Allah.

Suara seretan kakinya terdengar pelan namun sangat jelas terdengar, mbak Santi sedang berjalan menyeret kaki kanannya di samping rumah menuju depan.
Dista menyandarkan Juminten di sisihku, ia masih menajamkan pendengarannya, saat mendengar langkah kaki mbak Santi yang di seret.

Hiks.... Hiiii... Hiiii... Hiiii...
Suara tangisan mbak Santi yang terdengar menyayat hati dari balik dinding rumah, membuatku tak bisa mencerna pikiranku saat ini.
Air mata yang sengaja kutahan dengan menutupi kedua telingaku dengan telapak tangan, kini mulai merembes keluar membasahi pipiku.
Dista juga roboh bersimpuh di lantai dengan bersandar di dinding menghadap ke arahku, seiring nafasnya yang naik turun, ia seperti tak percaya dengan yang sedang kami alami saat ini.

Tuk... Tuk.. Tuk.. Krieeett......
Suara ketukan pelan kuku beserta decitan pelan dari arah kaca depan, membuat kami menoleh ke arah bunyi pelan tersebut.

BRAAAAKKKK....

Pintu di gedor keras dari luar, Dista memandang heran ke arahku, aku menggeleng pelan menangapi tatapan herannya.
Krieeeeeet...

Kali ini suara pintu dapur yang tarik pelan, kuseret pelan Juminten sambil merangkak di balik tembok ruang depan, entah apa yang kulakukan yang jelas malam itu terasa amat panjang bagi kami.
Tok... Tok... Tok... Tok...

Pelan, begitu pelan suara pintu depan yang di ketuk, sekilas bayangan dari celah bawah pintu, berdiri sosok perempuan di balik pintu menghadap ke arah rumah.
Semakin kutahan tangisku, semakin banyak air mataku yang keluar.

Dista merangkak pelan ke arah kami, lalu bersandar di tembok di sebelahku, yang menghadap ke arah luar.
Dari balik kaca rumah, bayangan becak yang melaju pelan dari arah gang depan berhenti tepat di halaman depan rumah.

Tok... Tok.. Tok...
Suara pintu kembali di ketuk, beserta suara tangisan pilu mbak Santi, Dista yang mendengarnya pun ikut menangis bersamaku dan Juminten.
Mengetahui aku menangis, ia merangkulkan tangannya memelukku, aku meringkuk dengan tangisan yang tak kunjung berhenti di pelukannya.
Seperti biasa Adzan subuh menjadi penentu, berakhirnya teror mbak Santi yang menghantui kami.
Eva yang meditasi semalaman di depan lilin yang sudah padam sejak lama, kini tengah duduk di kursi memperhatikan kami bertiga yang saling peluk satu sama lain.
Pukul 6 Pagi Isna bangun dari tidurnya, ia nampak heran melihat kami bertiga yang tidur dengan bersandar di tembok ruang tamunya.

"Mbak, Mbak, tangi he, wes awan" (mbak bangun sudah siang) Isna menepuk pelan kami bertiga secara bergantian.
Juminten mengucek kedua katanya, ia nampak masih mengantuk saat Isna membangunkan kami.
Aku dan Dista bergantian memasuki kamar mandi, masih terbayang di ingatanku, tentang mbak Santi yang menghantui kami.
"Terus oleh e, awakmu silo mambengi iku opo Va?" (yang kamu dapat dari bersila semalam itu apa Va?) Tanya Dista pada Eva yang duduk di samping Juminten yang melanjutkan tidurnya.
"Iku iblis, mergo matine Santi ora di suceni pas di kubur" (Itu iblis, karena matinya Santi tidak di sucikan) Jawab Eva dengan nada serius.
"Terus kate di dudah ta, kuburane Santi" (Lalu mau di bongkar kah, kuburan Santi) Kali ini suara Juminten yang tidur di paha Eva mulai penasaran.
"Nek di dudah awakmu ae Jum seng ngedusi karo mbuak susuk'e mbak Santi" (kalo di bongkar kamu saja jum, yang mandiin dan buang susuknya mbak Santi) Jawabku menimpali Juminten.
"Nang Kakikmu ngono Shep" (Kakimu Shep) Sahut Juminten, melengos.

"Asline yo opo seh, Santi kok iso dadi medi ngono iku?" (Aslinya gimana sih, Santi bisa jadi hantu begitu?) Tanya Dista heran ke arah kami.
"Koen kerjo adoh adoh, gak eroh transformasi ne, Santi dadi medi bendino ngedok lawang omah karo nawakno jajane" (Kamu kerja jauh, tidak tahu hantunya Santi tiap malam mengetuk pintu menawarkan kuenya) Jawab Juminten panjang.
"Cangkemu Jum" (Mulutmu Jum) Umpat Dista kesal.

"Ancene iyo, Mbak Santi ngedor lawang ben bengi" (emang iya, Mbak santi mengetuk pintu tiap malam) Isna menimpali.
"Is, koen turu ta, keblinger? suwengi ora ngelilir babar blas, kancane kepoyoh kepeseng ngejer, awakmu isone ora tangi" (Is, kamu tidur atau pingsan, semalaman tidak bangun, teman ketakutan kamu tidak bangun) Tanya Juminten pada Isna.
"Lha moro moro tangi isuk e, Mbak Jum hehehe" (Tiba tiba bangun pagi) Jawab Isna sambil tersenyum senang.

"Terus solusine yok opo iki Va?" (Terus solusinya gimana ini Va?) Tanya Dista pada Eva.
"Yo kudu medot susuk e, marani nang omahe dukun e" (Harus memutus susuknya, dengan datang ke rumah si dukun) Jawab Eva santai.
kami berempat memandang Eva dengan tatapan heran, bagaimana bisa tau rumah dukunnya, sedangkan mbak Santi memasang susuk saja kami tidak tahu.
"Tenang, Santi nyimpen catatan alamat e nek kamare" (Tenang santi menyimpan catatan alamatnya di kamar) Ucap Eva menepis keheranan kami.
"Terus sopo seng kate marani nang omae dukune?" (terus siapa yang kerumah dukunya) Tanyaku masih heran.
Mereka beralih memandang ke arahku.

"Yo awak dwe lah, Shep" (Ya kita lah) Jawab Dista singkat.
"Aku kan ora oleh metu adoh, Mbak" (Aku kan tidak boleh keluar jauh, Mbak) Kataku memberi alasan.

"Aku seng ngomong nang Lek Eni, mariki" (Aku yang bilang sama Bibi Eni, habis ini) Jawab Dista pelan.
"Jum koen terno Eva moleh ganti karo salen, aku karo Shepia tak nang omahe Anam" (Jum kamu anterin Eva pulang, ganti pakaian, aku sama Shepia ke rumah Anam) Kata Dista tegas memberi perintah, kekesalan nampak muncul di wajah cantik kakak sepupuku ini.
"Siap, Ndan" Jawab Jawab Juminten tak kalah tegas.

"NDANCOK, a" (Sial) Sahut Dista kesal, lalu menarik tanganku untuk berdiri.

===
Aku mengikuti Dista yang berjalan tergesa ke rumah pak Anam, bisa ku tebak pagi ini akan ramai karena ulah kakak sepupuku ini.
Bahkan saat melewati depan rumahku, Dista masih nyelonong tanpa menoleh ke arah rumahku.
"Cepetan tala Shep, melaku koyok keong ae" (cepat sedikit Shep, jalan seperti siput saja) Umpat Dista, saat mengetahui jarak kami sedikit jauh.

"Iyo Mbak, lha samean melaku padane kate gegeran ae" (Iya Mbak, kamu jalan seperti mau berantem saja) Sahutku kesal.
Dok.. Dok..

Pintu rumah pak Anam di gedor batu seukuran kepalan tangan, yang di pungut Dista di pinggir jalan tadi, aku mengawasi sekeliling karena kelakuan brutal kakakku ini, mengundang tanya di benak para tetangga yang mulai memperhatikan kami.
"Lapo sek isuk, ngedor omahe uwong? Arek ora duwe aturan" (ngapain masih pagi, mengetuk rumah orang keras? anak tidak tahu sopan santun) Kata pak Anam saat membuka pintu rumahnya melihat Dista mengetuk pintu rumahnya dengan batu.
"Heh Kirek, seng ora duwe utek iku awakmu, jancok goro goro anakmu dadi medi aku melok stres" (Heh, binatang, yang tidak punya otak itu kamu, sialan gara gara anakmu jadi hantu aku ikutan stres)
Kata makian Dista mulai keluar, aku yang mendengarnya mulai gusar oleh ulahnya.

"Opo buktine? Ojo asal ngomong koen iku" (Apa buktinya jangan asal bicara kamu) Sahut pak Anam dengan nada marahnya.
"Jancok, koen wong tuwek koyok asu, mambengi aku numpak becak medine Johan matamu, opo kurang bukti? anakmu mambengi ngedeni aku karo nanges kerek"
(Sialan, kamu orang tua seperti binatang, tadi malam naik becak setan Johan, kurang bukti? Anakmu semalam menghantuiku dengan menangis binatang) Ujar Dista dengan kata kata kotornya, ingin sekali aku menahannya dengan berbicara baik baik.
Tapi kelakuan barbar kakak sepupuku sudah terlanjur basah, maka yang bisa aku lakukan hanya berdiri di halaman rumah pak Anam sambil memperhatikan mereka.
Tanpa ba, bi, bu, lagi pukulan Dista mendarat di rahang pak Anam yang menghalangi niat Dista untuk memasuki rumahnya, aku terkejut saat menyaksikannya meski Dista jago dalam bela diri. Tapi kelakuannya sudah di luar batas sampai memukul pak Anam.
Dista memasuki rumah pak Anam, sebelum ia mendorong orang tua dengan tubuh dua kali lipat dari tubuhnya.
Sedangkan pak Anam nampak mengerang kesakitan dengan memegangi rahangnya, hati kecilku sebenarnya bersorak kegirangan karena kelakuan brutal kakak perempuanku itu setidaknya membalaskan sakit hatiku beserta Sofi yang sampai sekarang sakit.
Dari luar terdengar suara kamar mbak Santi yang di obrak abrik oleh Dista, ia mencari cari catatan yang di maksud Eva.

Setelah puas mengacak acak rumah pak Anam Dista keluar dengan buku catatan kecil di tangannya.
"Koen nek kate lapor tak enteni, nek ancene kate golek pekoro karo aku" (Kamu kalo mau lapor tak tunggu, kalo memang niat mencari gara gara denganku) Ucap Dista sinis ke arah pak Anam.
Aku tersenyum sendiri saat berjalan menuju rumahku mengingat kelakuannya tadi.

"Lapo koen mesem mesem" (Ngapain kamu senyum senyum) Tanya Dista padaku yang tersenyum sendiri di belakangnya.
"Ora Mbak" (Tidak kak) Jawabku asal, dari tersenyum menjadi tawa bagiku, bahkan mas Yoga yang mengetahuinya tadi mengacungkan jempol padaku.
"Lapo awakmu moreng moreng" (Ngapain kamu marah marah) Tanya ibuku pada Dista, karena mendengar keributan di rumah pak Anam di pagi hari.
"Aku membengi, di terno becak e Cak Johan Lek" (Aku tadi malam di antar becak Cak Johan Bibi) Jawab Dista memasuki rumahku.

"Tenane?" (beneran?) Tanya ibuku heran.
"Kandani kok ora percoyo samean, Lek" (Dibilangin kok tidak percaya sih, Bibi) Jawab Dista, berlalu menuju dapur rumahku, ia sudah mengambil piring.

"Iyo ta, Shep?" (Benarkah, Shep?) Tanya ibuku lagi padaku.
"Pesi" (bohong) Jawabku asal.

"Untumu a, Shep" (Gigimu Shep) Dista menimpali, ia sudah mengambil nasi di piringnya.

"Genah e, seng endi seng bener?" (Jelasnya, yang mana yang benar?) Ibuku bertanya memperjelas.
"Lek, Shepia tak jak metu mariki" (Bibi, Shepia aku ajak keluar habis ini) Kata Dista yang sudah menyantap makanannya.

"Kate nandi seh rek, kok dolen ae" (Mau kemana sih kok main saja) Jawab ibuku dengan nada menolak.
"Shepia iku wes gede, samean ora eroh ta, nek Shepia di uber Jenate Santi?" (Shepia sudah besar, Bibi tidak tahukah, kalo Shepia di kejar almarhum Santi?) Kata Dista mulai menjelaskan.
"Lha teros kate metu nandi?" (Terus mau kemana?) Tanya ibuku lagi, ia mulai penasaran.
Dista mulai menjelaskan semuanya pada ibuku, tentang semua yang menjadi misteri hantunya mbak Santi, meski sukar untuk di nalar dengan akal pikiran nyatanya, dengan berat hati ibu mengijinkanku pergi bersamanya.
Juminten yang mengantar Eva sudah kembali bersama Eva, kami berkumpul di depan rumahku, mata Juminten berbinar saat tahu kami akan bertualang jauh keluar kota, ia sangat bersemangat.
"Dis, kapan awakmu teko?" Tanya Ajeng di atas motornya ia datang karena mendengar kabar Dista melabrak rumah pak Anam.
"Mambengi, oh iyo koen lak anak e kepala desa a koen kudu melok" (Semalam, oh iya kamu kan anak kepala desa kamu harus ikut) Kata Dista pada Ajeng yang berboncengan dengan Melisa kembang desa kampung kami.
"Lha aku Dis, oleh melok ta ora?" (Aku Dia, boleh ikut tidak) Tanya Melisa memelas pada Dista.

"Yo koen barang pek, Nopek" (Ya kamu juga) Sahut Dista, Nopek adalah nama panggilan Melisa.
Ajeng dan Melisa pulang mereka akan bersiap siap lebih dahulu, entah semangat dari mana, sejak dulu kakak sepupuku ini memang menjadi panutan kami.

Juminten kembali mengenakan jaket tebalnya, seraya menenteng helm bermereknya.
"Koen lapo dadi ninja ngunu iku Shep" (kamu ngapain jadi ninja gitu Shep) Tanya Juminten, yang melihatku mengenakan masker putih dengan helm yang sudah kupakai.
"Nyocot" Sahutku asal, lalu melemparkan konci motorku padanya, aku lebih memilih berboncengan dengan Jumintenku daripada dengan Dista, karena bisa bisa di buat senam jantung nantinya.

"Ngae satria maneh?" (make satria lagi?) Tanya Juminten padaku.
"Iyo, koncine seng putih lali ndekek e" (Iya konci yang putih lupa naruhnya) Jawabku, karena sudah kucari cari tidak ketemu, meski ada konci serepnya.
Dista sudah berpamitan pada orang tuanya, dan menjelaskan kemana kami akan pergi. Begitupun dengan Ajeng dan Melisa, mereka sudah siap di depan rumahku.

"Dis, adik e di jogo loh" (Dis, adiknya di jaga yah) Kata ibuku sebelum kami pergi.
"Iyo Lek En, moleh moleh westala" (Iya Bibi En, pasti pulang kok) Jawab Dista santai.

"Shep, ojo lali pesene ibuk" (Shep, jangan lupa pesan ibuk) Kata ibu padaku, aku hanya menganguk pelan setelah mencium kedua pipinya.
Kami sudah siap di atas motor masing masing, Dista berboncengan dengan Eva, dan Melisa bersama Ajeng, sementara Aku, lebih memilih dengan duoku yaitu Jumintenku.
Perjalanan yang akan menempuh jarak yang sangat jauh, sebuah kota di propinsi Jawa tengah kami mulai pukul 10 Siang ini.
Harapan kami hanya agar teror mbak Santi cepat berakhir dengan usaha terakhir kami ini.
Dan petualangan di depan saat ini adalah awal kami berenam terjebak dalam Iblis yang menjelma dengan wujud mbak Santi.
Perjalanan menuju jawa tengah yang amat melelahkan tak mengurangi niat kami, beberapa kali aku dan Juminten salah jalan atau bahkan salah belok saat menjumpai perempatan, karena Dista yang memimpin di depan mengendarai motor seperti orang kesetanan.
Kupasang earphone di kedua telinga menikmati perjalan jauh dengan mendengarkan lagu kesukaanku.
Beberapa kali kami singah serta istirahat di pom bensin untuk melepas penat sebentar, bokongku sudah terasa panas selama perjalanan yang kami tempuh.
Berulang kali aku dan Juminten bergantian menyetir karena lelah.

===

Tengah malam.
Kami sudah sampai di kota klaten jawa tengah, Dista dan Eva bertanya pada penduduk sekitar tentang alamat yang akan kami tuju, Ajeng dan Melisa memasuki mini market membeli minuman dingin.
Aku dan Juminten selonjoran saling bersandar punggung diteras depan mini market.
Kami berdua sudah hilang semangat juang untuk meneruskan perjalanan, "Jum" Suaraku lirih.
"Hmmm ..." Sahutan Juminten tanpa semangat, padahal waktu di malang tadi ia yang paling bersemangat.
Melisa yang baru keluar dari dalam mini market bergabung bersama kami, ia malah tiduran di lantai menyandarkan kepalanya ke pahaku, tidak peduli dengan lantai kotor bekas pijakan alas kaki pengunjung mini market.
"Duh, jan persis argobel" (Duh, hampir sama dengan pemulung) Ujar Ajeng saat mengetahui kelakuan kami bertiga.

Kami bertiga diam tak menjawab candaannya, bahkan saat Ajeng mulai memotret kami beberapa kali pun, kami masih dengan posisi yang sama.
Dista dan Eva berjalan ke arah kami, mereka sudah mendapat informasi tentang desa yang akan kami tuju malam ini.
"He, ayok berangkat" Suara Dista mengajak kami untuk memulai perjalanan kembali.
Ajeng berjalan ke arah motornya ia nampak kembali bersemangat saat berada di atas jok motornya, sedangkan kami bertiga masih dalam posisi seperti tadi. Air mineral dan beberapa minuman bervitamin C.
Yang di beli Ajeng bersama Melisa tadi, sama sekali tak kami sentuh.

Shep, Jum, Melisa ayok berangkat" Lanjut Dista pada kami bertiga yang sama sekali tak bergerak.

"Jangan ngulur waktu lah" Sahut Eva yang berdiri di samping Dista.
"Jadi berangkat atau nginap sini aja?" Tanya Dista.
Kami bertiga masih diam tak bergerak, meski tak tidur, kami sengaja memejamkan mata.

"Shep?" Suara Juminten bertanya padaku.
"Hmmm..." Jawabku malas, membalas sahutan Juminten tadi saat aku memanggilnya.

"Mbakmu, bendino mangan pohong katek bahasa indonesia barang" (Kakak kamu, setiap hari makan singkong aja make bahasa indo)
Kata Juminten pelan, sontak aku dan Melisa terkekeh mendengar perkataan Juminten barusan.

"Jancok koen Jum" Umpat Dista dengan nada kesal.
Akhirnya kami bangkit berjalan gontai menuju motor dengan tenaga yang masih tersisa.
Kali ini kami bertukar posisi, Dista memboncengku karena kasihan, perjalanan di lanjutkan.
Menuju suatu desa yang bernama muntihan, Dista memacu motorku kencang memaksa tanganku melingkar erat di perutnya.
Beberapa kali helm yang kukenakan beradu dengan helm Dista akibat rasa kantuk yang tak bisa kutahan.
Gas motor di sentakkan dengan keras, Dista sedang mengerjaiku berkali kali membuat rasa kantukku sedikit hilang karena ulah jailnya.
Pejalanan semakin jauh memasuki daerah pedesaan, kulirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kiriku.
Sudah pukul 2 Pagi sedangkan tempat tujuan yang akan kami tuju masih beberapa puluh kilo meter lagi.

===

Pukul 3 dini hari.
Kami mulai memasuki desa yang namanya tercatat dalam buku kecil milik mbak Santi, perjalanan di jeda beberapa sebentar karena rumah dukun yang di maksud belum juga di ketahui.
Kami berhenti di depan mushala kecil pingir jalan, sambil mencari seseorang yang bisa kami tanyai tentang rumah dukun yang di maksud Eva.
Mataku terasa pedas, bahkan saat menegak minuman dalam botol lidahku tak bisa merasakan rasa manis atau pun kecut dari minuman tersebut.
Kusandarkan kepalaku di pundak Dista, sementara Eva dan Ajeng sibuk mencari seseorang untuk mencari informasi.
"Eva itu ada orang" Kata Melisa sambil menunjuk seseorang yang sedang mengayuh sepeda kuno, dari arah depan sedang menuju ke arah kami.
Eva berjongkok di pinggir jalan sambil menanti orang yang sedang mengayuh sepeda ke arah kami tersebut, karena sedari tadi kami sama sekali tak menjumpai seseorang pun di luar rumah.
Eva menghentikan kakek tua dengan peci hitam lusuh di atas kepalanya, dengan sopan Eva bertanya tentang rumah Mbah Harjo, pada kakek tersebut.
Si kakek menunjuk ke arah jalan yang ia lalui sebelumnya, kemudia kakek itu nampak memandang heran ke arah kami satu persatu.
Eva memberi tahu kami bahwa rumah Mbah Harjo yang akan kami tuju masih jauh di depan, melewati hutan dan rumahnya berada di atas perbukitan.
Si kakek yang sudah melanjutkan perjalanannya berbalik, menawari kami untuk singah di rumahnya terlebih dahulu mungkin karena kasihan melihat kami yang sudah letih kecapekan selama perjalanan menuju kesini.
Dengan senang hati kami menerima niat baiknya.
===

Di rumah berdinding dari anyaman bambu milik kakek yang bernama Mbah Darkun dan istrinya Mak Ijah, kami di jamu dengan alakadarnya.
Aku tidur di geek depan rumah Mbah Darkun bersama Dista dan Juminten sedangkan tiga temanku yang lain, sedangkan Eva dan Melisa, sebelum aku terlelap mereka nampak berbincang dengan Mbah Darkun di ruang tamu.
Kami bangun ketika hari menjelang sore, kami berenam berpamitan pada Mbah Darkun dan Mak Ijah, meski badan masih belum pulih sepenuhnya dari rasa letih. Setidaknya tidurku pulas tanpa gangguan seperti malam sebelumnya.
Kali ini dengan terpaksa aku yang menyetir karena Juminten menolak untuk membocengku lagi, ia tau sedang kumanfaatkan dengan menyuruhnya lebih banyak menyetir di banding aku selama perjalanan ke sini.
Eva yang membonceng Dista berada paling depan, di susul Melisa bersama Ajeng lalu yang paling belakang aku dan Juminten.
Laju motor kami pelan karena jalan yang di lalui tanah kering di tengah persawahan.
"Shep?" Kata Juminten di tengah perjalanan kami.

"Opo" Sahutku, sambil terus kosentrasi karena jalan yang kami lalui semakin sulit.
"Sak jane awak dewe kate nang omahe dukun, opo kate ngarit?" Kata Juminten, karena semakin jauh motor kami melaju, hanya hamparan persawahan diselingi hutan sengon yang sengaja di tanam.
(Sebenarnya kita mau kerumah dukun, atau mencari rumput)

"Golek sikep, Jum" Sahutku asal, menimpali perkataan konyolnya.
(Mencari Jimat, Jum)
Juminten menepuk keras punggungku, "jaremu petualangan?" Lanjutku, mengingat Juminten yang dari awal semangat dengan tujuan sekarang ini.

"Batokmu" Umpatnya kesal.
Kami terasa aneh di mata orang orang yang sedari tadi kami jumpai, sedang mengarap sawah.
Mungkin karena muka kusut kami, atau mungkin karena stelan baju kami yang mencolok seperti anak kota sehinga terasa aneh bagi mereka.
Hari semakin sore saat memasuki hutan, dan hal yang kutakutkan benar terjadi.
Tak jalan lagi, alias jalan buntu di tengah hutan belantara ini apa lagi kami sudah jauh masuk ke tengah hutan.

"Jancok" Dista menendang rerumputan karena kesal, hanya ada jalan setapak yang mengarah jauh ke dalam hutan sedangkan petang hampir tiba.
"Terus yok opo iki?" (Terus bagaimana ini) Tanya Melisa yang mulai gusar, di atas motornya.

"Lanjut opo mbalek moleh ae?" Eva menimpali, ia juga nampak ragu karena yang kami tuju bukan rumah dukun tapi hutan belantara.
"Aku sih yes" Jawab Ajeng.

"Aku lanjut, dari pada moleh gak oleh hasil" (Aku lanjut, dari pada pulang tanpa hasil) Dista mulai bersiap menyalakan senter di tangannya.

"Awakmu yok opo Mel?" Tanya Eva melirik ke arah melisa.
"Yes" Jawab Melisa bersemangat mengangkat tangan kanannya ke atas.

"Awakmu Jum" Kali ini Dista yang bertanya pada Juminten yang duduk di belakangku.
"Yo lanjut ta, petualangan kok" Sahut Juminten semangat, kudorong punggungku ke belakang ketika mendengar jawaban Juminten.
"Awakmu Shep" Dista bertanya padaku.
"Moleh" (Pulang) Jawabku kesal sambil melengos, padahal ia juga tahu meski aku ingin pulang aku sudah kalah dalam hak suara dalam kelompok gila ini.
Perjalan akan di lanjutkan dengan berjalan kaki di malam hari, aku sudah mulai gusar karena hari sudah gelap.
Kucari senter kecil, yang kubeli waktu perjalanan kemari tadi aku sengaja membeli senter karena kamar lampu kamar mandi di pom bensin tempat kami singah tadi lampunya mati.
Suara binatang malam bersahutan di antara pepohonan, sebenarnya aku tak yakin, bagaimana mungkin ada rumah di tengah hutan belantara begini. Dan orang macam apa yang tingal di tengah hutan seperti ini.
Kami mulai berjalan beriringan, Eva berjalan paling depan, sementara Juminten paling belakang karena aku sengaja menarik tudung jaketnya tadi agar ia di belakangku.
"Koen iku kate golek lowo a Shep?" Tanya Juminten padaku, karena aku mengarahkan cahaya senterku ke arah atas. (Kamu sedang mencari kelelawar, Shep?)
"Ngolek'i dulurmu" (Mencari saudaramu) Jawabku asal, sambil mengayunkan sikutku kebelakang mengenai dada Juminten.
Sejauh kami memasuki hutan semakin pekat juga kegelapan dalam hutan ini, sedari tadi mataku hanya memandangi pepohonan yang menjulang tinggi, kakiku terasa gempor untuk terus berjalan.

"Pek, nopek" Kataku pada Melisa yang berjalan di depanku.
"Opo, Shapi" Jawab Melisa menimpali.
Mendengar Melisa memanggilku dengan sebutan Shapi, kakiku reflek menendang bokongnya pelan.

"Banyumu sek ono a?" (Air mineralmu masih ada?) Tanyaku lagi.
Melisa menyodorkan botol air mineral padaku, setelah beberapa teguk kuberikan pada Juminten di belakangku, karena sedari tadi ia terus mencolek lenganku, menginginkannya juga.
Eva menunjuk cahaya kuning di kejauhan, kami mengira cahaya kuning tersebut berasal dari rumah Mbah Harjo si dukun, tanpa berpikir lebih lama kami bergegas menuju ke arah cahaya kuning di tengah hutan itu.
====

Nafas kami tersengal karena berlari menuju cahaya kuning yang kami lihat tadi dengan keringat yang sudah membasahi tubuh kami.
Di depan kami sekarang berdiri rumah gedung megah ditengah hutan, di terangi cahaya lampu dari nyala api di tiap sudut rumah.
Dua pilar besar berbentuk bulat berdiri kokoh menyanga atap rumah, bagai mana mungkin ada orang mendirikan rumah gedung besar di tengah hutan begini, bangunannya seperti kantor bupati jaman dahulu kalo di lihat sekilas.
Kami berjalan ke halaman rumah, berkali kali aku mengelus tengkukku mengusir perasaan aneh dalam diriku, ku lirik gelang pemberian kakek yang melingkar bersama jam tangan digitalku.
Aku sempat berpikir, sejak memakai gelang ini rasa takutku sedikit hilang.
Dista mengetuk pelan pintu besar yang terbuat dari kayu pilihan, lama tak ada jawaban dari dalam Juminten kembali berulah dengan tingkah konyolnya, ia mengintip ke dalam rumah lewat celah jendela kayu.
"Omae sangar, njerone yo luwih sangar cuk" (Rumahnya sangar, dalamnya lebih sangar lagi) Kata Juminten dengan wajah sumringah seakan takjub.
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling rumah besar di depan kami, rumah yang nampak antik pikirku.
Deg.

Aku terkejut, ketika melihat di bawah pohon di samping rumah ini, seorang nenek dengan rambut di sangul mengenakan pakaian kebaya lengkap dengan stelan jariknya berdiri di bawah pohon sawo memandang ke arah kami saat ini.
Kutarik tangan Juminten lalu menujuk ke arah nenek tua yang berdiri di bawah pohon dalam kegelapan malam, Juminten mengerutkan dahi, ia nampak memperjelas pandangan matanya.
"He Rek iku onok wong tuwek" (Hei itu ada nenek tua) Kata Juminten setelah yakin dengan yang di lihatnya adalah seorang nenek tua.

Dista dan yang lain secara serempak memandang ke arah pohon sawo, di mana nenek tua itu berdiri.
Kih.. Kih.. Kih..

Suara tawa yang berasal dari si nenek tersebut membuat bulu kuduku berdiri, nenek itu nampak berjalan pelan ke arah kami saat ini.

Kakiku terasa berat untuk melangkah mundur, rasa takut menjalari tubuh kami saat ini.
Kakiku terasa berat untuk melangkah mundur, rasa takut menjalari tubuh kami saat ini.

Dista menendang paksa pintu rumah, Juminten menarik tanganku untuk ikut bersama lainya yang sudah berlari kedalam rumah.
Malam.

Kami terjebak di sebuah bangunan tua yang sudah hancur, aku menerangi Dista yang sedang mencoba membetulkan senternya dengan panik, dengan cahaya dari nyala senter yang kupegang dengan gemetaran.
Mataku sibuk mengawasi sekeliling dengan perasaan was-was, kecemasan mejalari kami.
Kami berharap ini hanyalah sebuah mimpi belaka, namun yang terjadi sekarang kami benar benar terjebak dalam situasi mengerikan dalam sebuah bangunan tua di tengah hutan belantara.
Senter Dista kembali berfungsi secara normal kembali, Juminten menyibakkan remputan yang menjalar di sekitar kami. Dalam situasi sekarang ini kucoba berpikir keras, mencari jalan keluar dari masalah yang sedang kami hadapi.
"Jancok" Dista kembali mengumpat kesal, ia mulai panik bersama kami.
Eva mulai mencari sesuatu dari dalam tasnya, Melisa menyinarinya dengan lampu flash dari gawainya.
Ajeng meringkuk ketakutan dengan posisi berjongkok di dekat Eva, Juminten yang juga tak percaya dengan keadaan yang tiba tiba berubah mencekam ini mencoba untuk tetap tenang.
dengan terus menempel padaku ia sadar yang paling rawan di terpa rasa ketakutan dalam kelompok kecil ini adalah aku.
"Taek koen Dis" (Sialan kamu Dis) Makian kekesalan Ajeng pada Dista dengan suara serak, matanya mulai sembab.
Dista mengarahkan senternya pada Ajeng yang sedang berjongkok ketakutan, seraya menjawab.
"Cangkemu ngomong opo he?" (Mulut kamu berbicara apa?) Dista menyahut dengan nada kesal juga.

"Kan awakmu seng ngejak sampek tekan kene" (Kan kamu yang mengajak sampai di sini) Kata Ajeng, bibirnya bergetar ketakutan.
"Mosok eroh nek bakalan koyok ngene dadine" (Siapa yang menyangka kalo bakal seperti ini jadinya) Jawab Dista ia nampak menahan emosi.
"Koen! seng mulai awal ora jujur, dadine malah koyok ngene" (Kamu! yang dari awal tidak jujur, membuat keadaan jadi seperti ini) Suara keras Melisa seraya mendorong Eva di sampingnya jatuh tersungkur.
"Iki kabeh salahmu" (Ini semua salahmu) Lanjut Melisa degan menudingkan tangannya ke arah Eva di bawahnya.

Aku dan Juminten tak ingin ikut dalam pertengkaran mereka, percuma saja berengkar sedangkan keadaan sudah menjadi seperti ini.
Eva berdiri sambil mengibaskan debu di kedua lututnya, setelah itu ia membalas mendorong Melisa dengan keras seraya berkata "Aku niat nulungi cok" (Aku niat menolong, sial) Eva membela diri membalas makian Melisa.
Entah siapa yang benar dan siapa yang salah, kami saling menyalahkan satu sama lain.

BUUKK ..
Suara benda jatuh secara tiba tiba di tengah kami yang sedang bergerombol, bau busuk menyengat di hidung yang berasal dari sesuatu yang jatuh barusan, membuat kami diam sambil menutup hidung.
Ku arahkan senter yang kupegang pada sesuatu yang baru saja jatuh di tengah kami.

akh ...
Suaraku tertahan di tenggorokkan, mataku nanar menatap sosok tubuh yang membusuk, berbalut kain kafan yang sudah tak terlihat warna aslinya karena cairan yang terus keluar dari tubuh tersebut. Kami terkejut secara bersamaan ketika melihatnya.
Melisa dan Ajeng yang panik berlari ke arah pintu yang kami masuki tadi, Dista menarik tangan kiriku dengan keras mengajakku berlari bersamanya menyusul Ajeng dan Melisa yang lari terlebih dahulu di depan kami.
Juminten juga ikut berlari di belakang kami, meninggalkan Eva seorang diri berdiri mematung memandangi pocongan di depannya.

Kami terus berlari tak tentu arah, dalam hutan yang gelap oleh pekatnya malam.
Suara tawa cekikikan seorang perempuan mengiringi kami yang berlari sambil panik, semakin menjauh dari bangunan tua tadi dengan rasa ketakutan dalam diri kami.
Berkali kali aku jatuh bangun karena tersandung akar pepohonan, terus terang aku sudah tak kuat untuk berlari lagi. tetap kupaksakan kaki untuk berlari mengejar Dista di depanku, sampai akhirnya ia berhenti karena kelelahan berlari.
HOEEEK ..

Kumuntahkan isi perutku, karena tak tahan dengan bau busuk yang sangat menyengat mengingat pocongan yang tiba tiba jatuh di tengah kami tadi.
Dista memijat tengkukku yang berjongkok di bawahnya, untuk meredakan rasa mualku.

"Loh, nandi Ajeng karo Nopek?" (Mana Ajeng dan Nopek?) Tanya Dista heran padaku dan Juminten yang bersandar di pohon dekat kami, Kami baru sadar kalo hanya bertiga.
"Yo ilang lah, arek arek menggok koen lurus ae koyok celeng" (Ya hilang lah, anak anak berbelok kamu lurus seperti babi hutan) Jawab Juminten sambil memperhatikan sekitar.
Karena sudah tak sanggup berlari kami bertiga memutuskan beristirahat sebentar, untuk memulihkan tenaga.
Rasa mualku mulai reda, meski gemetaran karena rasa takut belum juga hilang dari tubuhku.
"Jancok" Dista kembali memaki keadaan, entah apa yang sedang ia pikirkan ia bersandar pada pohon di sebelahku.
Juminten mengeluarkan botol air mineral lalu membukanya sebelum ia ulurkan padaku. Ia mencoba tenang meski aslinya aku pun tahu ia sangat ketakutan.
Dista memegang dahi lalu leherku, ia khawatir jika tiba tiba aku jatuh sakit di tempat ini.
Juminten mengambil senterku, ia mengarahkan senter ke arah belakang waktu kami berlari tadi.

Hening.
Tak ada suara yang keluar dari mulut kami, kami memilih penghemat tenaga sambil terus memenangkan nafas yang sedikit masih tersengal akibat berlari tadi.
Sadar dengan keadaan yang saat ini kami hadapi, diam adalah hal yang tepat dari pada berkata yang nantinya memicu pertengkaran kecil berujung petaka.
Hawa dingin yang kami rasakan tak menghilangkan keringat yang terus bercucuran dari badan kami, kutegak lagi air dalam botol yang Juminten berikan padaku.

Sreeek
Sreeek
Sreeek
Tengkukku serasa di tiup dari belakang, bersamaan dengan suara tak asing di telingaku, kami kembali terkejut secara bersamaan.
Suara kaki yang di seret kembali terdengar, di tengah hutan berselimut kabut tebal malam ini.
Sreeek
Sreeek
Sreeek

Terdengar pelan namun sangat jelas, suara itu di belakang kami saat ini.
Aku dan Dista tak berani menoleh ke arah belakang, meski rasa penasaran mulai datang aku tetap diam duduk di akar pohon di bawah Juminten.
Badan kami sama gemetaran keringat kembali bermunculan di dahiku.
Pelan pelan aku berdiri, meski suara kaki yang di seret semakin dekat dan sangat jelas di telinga kami.
Dista memegang senter dengan gemetaran yang ia arahkan kedepan.
Sementara Juminten tiada kapoknya, pelan pelan ia arahkan senter di tangannya ke arah suara di belakang kami.

Juminten nampak terkejut ketika menoleh ke belakang, ia kemudian mencoba menenangkan diri. Sembari memberi kode padaku dan Dista.
Sreeek
Sreeek
Sreeek

Suara semakin dekat tepat di belakang kami, kami saling menahan nafas sebelum mengambil ancang ancang untuk kembali berlari.
Bisa kutebak dari raut muka Juminten yang pucat, ketika menoleh kebelakang tadi pasti mbak Santi dengan wajah mengerikannya berjalan menyeret kaki kanannya dengan pelan.

Sreeek
Sreeek
Kami saling pandang satu sama lain, ketika suara langkah yang di seret semakin dekat di belakang kami.

"JANCOOOK ..."
Teriakan Dista yang berlari bersama kami di pekatnya kabut malam, aku tak menyalahkan teriakan kotornya karena berkat teriakan kotornya lariku kembali bersemangat.

"Asu" Umpat Juminten sambil terus berlari di sampingku.
Semakin kencang kami berlari, suara tawa cekikikan di antara tingginya pepohonan di sekitar kami semakin keras terdengar.
Dalam hati sebenarnya aku juga menyalahkan Eva, karena kenekatannya yang haus akan hal berbau mistis menjerumuskan kami dalam situasi ini.
Dari awal dia sudah tau bahaya yang akan di hadapi, ia terlalu percaya bisa menyelesaikan masalah yang sedang kami hadapi.
Seandainya Eva jujur dari awal mungkin aku masih di rumah sekarang ini, percuma juga menyesalinya toh semua sudah terlanjur terjadi, aku sudah lelah terus berlari menghindar karena ketakutan terhadap wujud hantu mbak Santi.
"Jancok lah" Umpatku meluapkan kesal, dengan menghentikan lariku.

"Loh Shep lapo?" (Loh Shep ada apa?) Tanya Juminten yang juga berhenti karena sadar aku telah berhenti.
"Kesel Aku Jum" (Lelah Aku Jum) Jawabku, menepis rasa ketakutan dalam diriku meski sebenarnya lututku masih gemetaran.

Dista berbalik dengan tatapan heran ke arahku, ia memandangi wajahku yang kesal penuh amarah.
"Wes kesel aku Mbak, melayu teros, demit asu iku ora kirane mingat selagine awak dewe gurung mati" (Sudah lelah aku Mbak,lari terus setan itu tidak akan pergi selama kita belum mati) Ujarku meluapkan kekesalan.
Juminten terkekeh mendengar umpatanku, pasalnya jaraang sekali aku berkata kotor.

"Dadi eleng jaman SMA Shep" (Jadi ingat waktu SMA Shep) Kata Juminten sambil tertawa.
mengingat waktu kami masih sekolah dulu ketika aku tidur di kelas waktu jam istirahat, dua teman sekelasku beradu mulut dengan suara keras.
Memperebutkan seorang pemuda idaman mereka, aku yang terbangun karena keributan mereka berjalan santai mendekati mereka.
Tanpa bicara kedua tanganku memegang kepala mereka berdua, lalu kudorong kuat hingga dahi mereka saling beradu keras.
Aku merasa lelah terus berlari dengan ketakutanku sendiri, muak dengan semua hal di luar nalar yang terjadi pada kami.
Terus berlari di saat ketakutan datang pada kami tidak akan menyelesaikan petaka yang sedang kami hadapi, aku kembali teringat perkataan Eva, saat perjalanan menuju ke rumah Mbah Harjo orang yang belum pernah kenal dan temui hingga saat ini
Eva bercerita saat bermeditasi mencoba mencari jawaban, kenapa arwah Mbak Santi menghantui desa kami saat malam.
Mbak santi di jadikan tumbal pesugihan oleh orang tuannya, sedangkan yang mengantar Mbak Santi ke rumah Mbah Harjo adalah Cak Johan.
Cak Johan merayu Mbak Santi memasang susuk agar kue jualannya semakin laris, atas perintah Pak Anam ayah Mbak Santi.
Cak Johan tergiur oleh rayuan Pak Anam yang memberikan beberapa juta uang padanya,
padahal ia tidak tahu jika akan di jadikan tumbal pesugihan Pak Anam.

Dan kedatangan kami di sini sekarang, bukanlah suatu kebetulan belaka, Pak Anam sudah merencanakan semua ini sebelum kematian Mbak Santi, karena hari kelahiran kami berenam.
Senin, Kamis, Jum'at dan Minggu.

Aku lahir di hari minggu, sedangkan Dista lahir pada hari senin malam, sedangkan yang lain juga lahir di hari pada hari tersebut.
Pak Anam harus memenuhi syarat yang di ajukan, dengan mengorbankan gadis yang belum menikah sebagi tumbal.

Eva yang mencoba mencari jawaban dikelabui Mbah Harjo, dengan alasan harus datang kemari untuk melepas susuk yang di tanamnya pada Mbak Santi.
Sejauh kami berjalan dalam pekatnya kabut malam di tengah hutan, kami hanya berputar putar lalu kembali ketempat terakhir kali kami berhenti.
"Awak dewe iki mek muter muter, tok" (Kita hanya berputar putar saja) Umpat Dista dengan melempar ranting pohon yang sudah kering di tangannya.
Kami berhenti di tempat semula terakhir kali aku menghentikan lari dari mbak Santi, yang tiba tiba muncul dengan suara langkah kaki di seretnya.
Kami kebingungan entah jalan mana lagi yang harus pilih, kesekian kalinya kami melanjutkan perjalan untuk mencari ketiga teman kami yang terpencar, ujung ujungnya kami selalu kembali ketempat ini.
Dista memutuskan untuk berdiam di sini terlebih dahulu, saat pagi nanti kami akan kembali mencari mereka kembali.
Kusandarkan kepala di pundak Dista, dengan kaki selonjor di atas paha Juminten yang duduk di sebelahku.
Kakiku terasa panas karena saking lamanya berjalan di tengah hutan ini, dalam hati aku mendoakan ketiga temanku yang terpisah, semoga saja mereka dalam keadaan baik baik saja.
"Jum awakmu ngompol ta?" (Jum kamu ngompol?) Tanyaku pada Juminten, ia nampak kelelahan.

"Ora ndeng" Jawab Juminten cepat, dengan menoleh kearahku.

"Shep" Panggilan Dista tiba tiba matanya nampak sembab, saat aku berpaling memandangnya.
"Opo Mbak?" (Apa Mbak?) Jawabku sambil bertanya heran ke arahnya, air matanya mulai mengalir membasahi pipi tirusnya.

"Sepurane yo, gara gara aku awakmu karo liyane dadi koyok ngene" (Maaf yah, gara gara aku kamu dan yang lainnya jadi seperti ini)
Ucap Dista sambil mengusap air matanya, dengan sorot mata penyesalan saat memandang wajahku.

"Koen duduk Mbak, ku" (Kamu bukan kakak, ku) Jawabku kesal, dengan mengerakan kepalaku yang tadinya bersandar di bahunya.
"Koen duduk Mbak, ku" (Kamu bukan kakak, ku) Jawabku kesal, dengan mengerakan kepalaku yang tadinya bersandar di bahunya.
"Mbakku, Dista iku kuat ora cengeng koyok awakmu, Dista panutanku mulai cilik sampek gede iku ora koyok ngene" (Kakakku, Dista itu kuat tidak cengeng sepertimu,
Dista panutanku sedari kecil sampai besar tidak seperti ini) Lanjutku dengan nada kesal kearahnya.
Dista nampak terkejut mendengar makianku padanya, ia nampak menyeka air matanya sambil tersenyum padaku.
"Ora ono seng nyalahno dapuranmu Dis" (Tidak ada yang menyalahkan dirimu Dis) Sahut Juminten sambil tertawa, "Bener jare Shapi, awakmu iku kudu kuat keadaan koyok ngene awakmu malah nanges, terus aku karo Shapi kate manut sopo?"
(Benar kata Shepia, kamu itu harus kuat keadaan seperti ini kamu malah menangis, terus aku dan shepia mau mengikuti siapa?) Lanjut Juminten.
Kuacungkan jempol tangan kiriku ke arahnya sambil tersenyum bangga, karena Juminten masih punya semangat untuk keluar dari masalah yang kami hadapi.
"Wes cukup Shepia ae seng nangisan, awakmu ora usah melok melok" (Sudah cukup Shepia saja yang cengeng, kamu jangan ikut ikut)
Kata Juminten menyemangati Dista dengan candaan yang tidak kusukai, kuhentakkan kaki yang sedari tadi di atas pahanya dengan memasang wajah masam padanya.
"Ayo pecahno masalah iki terus moleh" (Ayo pecahkan masalah ini terus pulang) Kata Dista kali ini ia nampak kembali bersemangat.

===

Sinar matahari pagi dari timur menembus celah kabut dalam hutan, hanya sebentar rasanya saat kami terlelap.
Kami terbangun karena sinar mata hari yang menyilaukan mata, kuamati sekeliling lalu kuambil botol air minum yang isinya tingal separuh sisa semalam.
Kuminum air mineral dalam botol sebelum melangkah mengikuti Dista yang sudah berjalan di depan, Juminten yang berjalan di belakang Dista sedang menendang nendang pelan dedaunan kering yang berserakan di bawah pohon.
Meski sebenarnya kesal dengan tingakah Juminten, aku tetap diam sambil memperhatikan kakinya yang terus menendang dedaunan, layaknya orang tidak ada kerjaan.
"He mambu menyan ora?" (Hei bau kemenyan tidak) Tanya Juminten ia nampak menajamkan penciumannya, mengikuti bau samar kemenyan yang tercium.
"Iyo" Jawab Dista cepat, tangannya sibuk mengelus tengkuknya, sambil menoleh ke arah sumber bau kemenyan.
Entah apa yang membuat dua orang ini malah berbalik mencari sumber bau kemenyan yang tercium, padahal tujuan awal adalah mencari ketiga teman kami yang terpencar, terbersit di pikiranku
tentang nasib Ajeng dan Melisa mereka berdua tipe yang gampang panik saat menghadapi suatu masalah.
Kami terus berjalan mengikuti sumber bau kemenyan yang semakin tercium dengan jelas, melewati rimbunnya semak belukar seandainya tidak memakai jaket mungkin sekujur badanku sudah gatal.
Sampai ahirnya kami bertemu jalan setapak di tengah hutan ini, kami terus mengikuti jalan setapak yang menuju pohon besar, yang berbeda dari pohon lainnya.
Di bawah pohon besar di depan kami saat ini, seseorang baru saja melakukan sebuah ritual.
Terbukti dengan adanya benda mistis yang di letakkan lada batu besar berbentuk kotak, di bawah pohon ini.
Kemenyan yang sudah di bakar di atas loyang, di sampingnya puluhan batang dupa yang telah habis terbakar, bunga yang sering di gunakan untuk pergi pemakaman berserakan di atas batu tersebut.
Lalu beberapa botol kecil minyak wangi juga ada di atas batu.
Aku mulai menutup hidung menghindari bau kemenyan, yang semakin menyengat. kami bertiga terus mengamati sekeliling area yang kuyakini sebagai tempat ritual persembahan atau pemujaan ini.
Aku terkejut saat mengetahui beberapa lembar foto yang di letakkan di samping bunga dalam wadah dari daun pisang, berbentuk kotak, yang terletak di sela sela akar pohon besar dengan beberapa dupa yang masih menyala.
Dengan langkah pelan sedikit gemetaran, aku terus mendekat ke arah berapa lembar foto di bawah pohon.
Tanganku semakin gemetaran ketika mengambil lembaran foto, dengan berjongkok di bawah pohon besar ini aku mulai mengamati selembar demi selembar foto yang saat ini kupegang.
Gemetar di tanganku semakin tak karuan, ketika mengetahui foto yang saat ini kupegang adalah foto kami, hanya foto Eva yang tidak ada dalam 5 lembar foto yang saat ini kupegang.
Dista dan Juminten menghampiriku yang duduk bersimpuh di tanah, karena sekujur badanku lemas Dista merebut 5 lembar foto yang kupegang, ia mulai mengamati satu persatu foto kami.
Kemudian ia berikan pada Juminten di sampingnya, Dista mencari cari sesuatu di samping tempat pemujaan ini, dengan wajah penuh amarah tangannya mengambil batang pohon sepanjang satu meter yang ia temukan.
"Jancok, jancok, taek asu kabeh" (Sial, sial, kotoran hewan semua) Umpatan kekesalannya, ia tunjukan dengan memukuli sesajen di atas batu
Dista semakin membabi buta ketika Juminten membantunya mengacak acak semua sesajen, bahkan Juminten yang sudah emosi merobek kain putih yang sengaja di ikatkan melingkari pohon.
Aku terus berdoa meminta pertolongan pada yang maha kuasa, semakin jelas sekarang kalo kami di jadikan tumbal oleh seseorang.

Gerimis.
Gerimis ringan yang tiba tiba datang menghentikan Dista dan Juminten, yang sedang kesetanan memporak porandakan sesajen di sekeliling pohon besar ini.
Lalu gerimis berganti dengan hujan deras di sertai angin kencang, membuat pepohonan di sekeliling kami bergoyang goyang keras.

Kami merapatkan diri bersadar di bawah pohon, meski badan sudah basah kuyup oleh derasnya hujan, badanku mulai mengigil kedinginan
Mataku tertuju pada seorang bocah perempuan mengenakan gaun putih polos, dengan betelanjang kaki ia berlarian sambil menari dalam derasnya hujan.
Lalu ia nampak menoleh padaku yang memperhatikannya sejak tadi, anak perempuan itu berdiri mematung ke arahku, sorot matanya yang memandang ke arahku dengan tatapan kosong, tiba tiba darah keluar dari kedua kelopak matanya mengalir deras di pipinya.
Mataku nanar memandangnya tubuhku tak bisa di gerakkan, nafasku terasa tertahan dalam dada dengan mata terus tertuju pada gadis kecil yang sedang menangis itu.
semua terasa hening suara air hujan yang jatuh membasahi dedaunan dan tanah, tak terdengar di telingaku.

Aku ingat, sepertinya aku pernah mangalami peristiwa ini tapi entah kapan aku lupa, kupejamkan mataku rapat.
Kusebut Tuhanku dengan meminta pertolongannya, sepersekian detik kemudian semua kembali normal, aku menoleh pada Dista dan Juminten di sampingku, apakah mereka juga mengalami hal yang sama seperti yang kualami barusan, pikirku bertanya pada diri sendiri.
Gadis kecil yang kulihat tadi adalah Mbak Santi waktu kecil, lalu apa maksudnya dengan terus menerus menampakkan diri padaku.

Tanganku mengambil selembar foto yang sudah basah oleh air hujan, ini adalah foto ajeng yang di upload di sosial media miliknya.
Amarahku naik saat tau di balik foto Ajeng ada tuliskan nama lengkap Ajeng lengkap dengan tangal lahirnya serta pasaran hari jawa yang di tulis dengan tinta merah.
Tanganku mengepal erat, aku tidak mau mati di sini.
Kuputuskan untuk kembali ke bangunan yang tampat kami terakhir berpencar, berharap Eva masih menunggu di sana.

"Mbak" Kataku Lirih lalu menoleh pada Juminten di sebelahku, "Jum ayo mbalek nang omah mambengi" Lanjutku pada mereka berdua.
"Ladub Shep" Jawab Juminten cepat dengan tatapan penuh arti padaku, yang di sertai Angukan Dista.

Kami berjalan di tengah derasnya hujan mencari jalan menuju ke rumah yang telah hancur semalam.
"Awak dewe tenan di dadekno tumbal iki" (Kita beneran di jadikan tumbal) Kata Juminten di sela perjalanan kami, dengan menunjukan kertas putih bertuliskan nama lengkap Eva.
Tak terasa air mataku meleleh, hatiku terasa sakit saat mengetahui semua ini apa salah kami padanya sehingga ia menjadikan kami tumbal, bahkan anak perempuannya sekalipun.
"Mugo mugo arek arek selamet" (Semoga teman teman masih selamat) Kata Dista ia nampak merasa bersalah, dengan semua yang terjadi.

"Ancene asu, ngerti kok tempilingi aku melok urun ngidoni Anam Dis"
(Emang binatang, kalo tau kamu hajar aku ikutan Dis) Kata Juminten dengan nada kesal.

==

Hujan telah reda meninggalkan dedaunan dan tanah yang telah basah oleh guyuran hujan, kami sudah sampai di depan bangunan selam.
Tanpa rasa takut Juminten menerobos masuk terlebih dahulu di ikuti Dista di belakangnya, tak ada tanda tanda keberadaan Eva di sini hanya tas miliknya yang tergeletak di samping tembok bobrok karena usia bangunan ini.
Kami terus mencari Eva, bahkan beberapa kali Juminten dan Dista berteriak memanggil namanya, putus asa karena usaha kami tak membuahkan hasi, aku duduk di tembok yang telah roboh sambil berharap cemas memikirkan mereka.
Aku terkejut saat pundak kiriku di tepuk pelan dari belakang, aku menoleh cepat kearah belakang melihat siapa yang menepuk pundakku, sedangkan Dista dan Juminten sedang memeriksa tas Eva di depanku saat ini.
"Va?" Panggilku saat tahu di belakangku saat ini adalah Eva yang tiba tiba muncul.

"Teko endi ae kon iku" (Dari mana saja kamu) Tanya Dista pada Eva yang berdiri di belakangku.
"He Va, awakmu iku opo'o luwe ta, iki loh rotimu tasmu kok tinggal nek kono" (Hei Eva, kamu kenapa lapar kah, ini ada roti dalam tas yang kamu tinggal di sana) Kata Juminten melihat wajah pucat Eva, sambil menunjuk ke arah tas Eva yang di pungutnya tadi.
Lama Eva tak menjawab ia hanya diam berdiri dengan tatapan kosong ke arah kami.

"Arek iki stres gara gara turu karo pocongan mambengi ta?" (Ini anak stres karena tidur bareng pocongan semalam?)
Tanya Dista karena Eva hanya berdiri mematung, dengan wajah pucat serta tangan dinginnya yang menyentuhku tadi, membuat penasaran di benakku saat memandang wajahnya.
"Gendeng tenan koyok e arek iku, Dis" (Beneran gila sepertinya dia itu, Dis) Sahut Juminten yang memandang keanehan di wajah Eva.
Lama Eva diam tak menjawab semua pertanyaan kami, lalu tiba tiba ia berkata. "Aku wes ora iso metu tekan kene, tapi awakmu kabeh iso, cepet jukuk en kotak seng di pendem nek kuburan mburine ringin"
seng di pendem nek kuburan mburine ringin" (Aku sudah tidak bisa keluar dari sini, tapi kalian semua bisa, cepat ambil kotak di dalam kuburan belakang pohon beringin) Terang Eva dengan wajah dingin, cahaya di wajahnya tidak seperti dulu.
"Awakmu opo o Va?" Tanyaku lirih pada Eva, aku khawatir dengan keadaannya.

"Aku gak popo Shep, sepurane ora iso ngeterno awakmu metu tekan kene" (Aku tidak apa apa Shep, maaf tidak bisa mengantarmu keluar dari sini)
Jawab Eva kemudian memelukku erat sambil tersenyum.
Entah apa dari kata katanya yang jelas, saat ini tubuh Eva terasa sangat dingin saat memelukku.
"Awakmu ora eroh Ajeng karo Melisa?" (Apa kamu melihat Ajeng bersama Melisa?) Tanya Dista pada Eva, yang melepaskan pelukannya padaku.
Eva menunjuk sebuah pohon besar di balik bangunan besar yang telah rusak ini.

"Nek kono?" (Di sana?) Juminten memperjelas pertanyaan Dista tadi pada Eva, yang di balas angukan pelan Eva.
Dengan berlari karena tak ingin kehilangan teman kami lagi, Dista bersama Juminten berlari memutari bangunan menuju pohon yang di maksud Eva tadi.
"Cepet Shep, selak kasep" (Cepat Shep, sebelum terlambat) Kata Eva padaku "Aku ngenteni kene ae" (Aku menunggu di sini saja) Lanjut Eva, kemudian ia duduk di tempatku duduk tadi.
Aku berlari menyusul Dista dan Juminten yang lebih dulu menuju ke arah pohon yang di maksud Eva, setelah memastikan Eva akan menungguku menjemput dua rekan kami lagi.
Aku berdiri kaku melihat ke arah pohon, mataku tak percaya dengan yang kulihat saat ini.
Tangisku pecah saat dengan jelas kupastikan tubuh yang tergelantung dengan tali yang melilit di leher, itu adalah Ajeng.
Anjeng tergantung dengan seutas tali tambang yang melilit lehernya, dengan mata melotot serta lidah yang menjulur keluar tubuhnya tergantung di antara 9 mayat perempuan yang bernasib sama sepertinya, dengan ratusan lalat yang menghinggapi tubuhnya.
Aku kembali bersimpuh dengan tangan menutup mulutku, seakan tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini.

"Jancok, opo maneh iki" (Sial apa lagi ini) Umpat Dista tak percaya dengan semua yang di lihat dengan matanya.
Kami masih tak percaya dengan apa yang saat ini berada di depan mata, Ajeng mati tergantung di antara 9 gadis lain dengan tali yang melilit leher mereka.
Binggung dengan semua yang tiba tiba terjadi, meratapi nasib yang telah terjadi pada kami dengan tangisan kehilangan, karena Ajeng benar benar telah meninggal.

Jika Ajeng meninggal, lalu di mana Melisa sekarang bukankah semalam mereka berlari bersama.
"Terus yo opo iki, opo di kubur saiki ae?"
(Terus sekarang bagai mana, apa di kubur sekarang saja?) Kata Juminten pada kami, ia nampak tak tega melihat Ajeng yang mati tergantung.
Aku mengehentikan langkah Juminten dan Dista yang akan bergegas menurunkan mayat Ajeng, hawa jahat yang tiba tiba kurasakan terpaksa menghentikan mereka.
Ada semacam bisikan dalam hati, jika kami lebih mendekat lagi ke arah pohon di mana Ajeng tergantung saat ini, akan datang hal yang tidak kami inginkan terjadi.
Juminten menepis cepat tanganku yang menahannya, aku menggelengkan kepala padanya saat Juminten menoleh padaku dengan tatapan penuh tanda tanya.
Pada akhirnya aku tak bisa menghentikan Juminten yang terus melangkahkan kakinya menuju pohon besar di depan kami.
Dista merasakan kecemasanku, yang menghentikan niatnya berteriak keras menghentikan Juminten yang semakin mendekat ke arah pohon, "Jum, mbalek" Teriak Dista keras agar Juminten mengurungkan niatnya.
"Arrgg .." Belum sempat Juminten sampai ke pohon, ia mengerang sambil berguling - guling di tanah memegangi wajahnya.
Aku dan Dista berlari cepat menghampiri Juminten yang terlihat kesakitan, sambil memegangi wajahnya. Kutarik kerah jaketnya sambil berjalan mundur di bantu Dista yang juga terlihat panik dengan yang Juminten alami saat ini.
Dista memapah Juminten yang terus mengusap wajahnya, ia mencoba menenangkan Juminten dari kepanikannya.

Kami kembali menuju depan bangunan yang rusak tempat Eva sedang menunggu tadi, mataku mulai mencari keberadaan Eva.
Seluruh penjuru bangunan sudah kudatangi guna mencari keberadaannya, namun tak pernah kutemui sosok Eva.

Deg.

Jantungku serasa berhenti mengingat Eva yang tadinya bersamaku, tubuh dingin dan muka pucatnya.
Angin menerpa pelan tubuhku kupejamkan mata untuk sesaat, pikiran dan keinginanku hanyalah pulang bersama teman temanku dengan selamat dengan selesainya masalah hantu mbak Santi yang membuat resah warga setiap malam.
Namun yang terjadi sekarang ini di luar perkiraan kami, kami datang dengan canda dan tawa dan sekarang satu persatu temanku meninggalkan dengan mengenaskan. Di tambah lagi keberadaan Melisa yang sampai sekarang entah di mana.
Masih jelas terasa saat Eva memelukku tadi, memori ingatanku kembali mengingat ucapan Eva waktu memelukku tadi.

"Mbak" Panggilku pada Dista yang mengolesi wajah Juminten dengan lotion dingin, berharap bisa meredakan rasa panas di wajahnya.
"Opo Shep?" (Iya Shep?) Tanya Dista menoleh padaku, tanganya sibuk mengolesi lotion di wajah Juminten.
"Awak dewe kudu ngolek'i kuburan, terus njukuk kotak seng di pendem" (Kita harus mencari kuburan, terus mengambil kotak yang di kubur di dalamnya) kataku lirih padanya.

"Kuburan?" Tanya Dista masih tak mengerti maksudku.
"Iyo sebab nek njero kotak iku, onok barang seng digawe numbal awak dewe" (Iya sebab dalam kotak itu, ada barang yang di buat untuk menumbalkan kita) Lanjutku menerangkan.
Dista nampak berpikir sejenak kemudian ia berdiri lalu mengambil punggungnya, kemudian melucuti semua pakaian yang di kenakannya.
Setelah selesai berganti pakaian membantu Juminten berdiri, seraya berkata,"Jum poisisine awak dewe iki di dadekno tumbal, mati nek kene dadi tumbal opo ngelawan terus moleh bareng?"
Ucap Dista pada Juminten yang duduk di depannya.

"Yo ngelawan lah" (Tentu saja melawan) Jawab Juminten cepat, rasa panas di wajahnya nampak mereda.
"Shep aku wes siap, aku percoyo awak dewe iso moleh bareng" (Shep aku sudah siap, aku percaya kita bisa pulang bersama) Ucap Dista lirih sambil mengepalkan tangannya.
Kami mulai berjalan menyusuri hutan berharap secepatnya menemukan kuburan di tengah hutan ini, kumakan roti yang kami beli di mini market waktu perjalan kemari untuk sekedar mengganjal perut.
Lelah kaki melangkah kami hanya berjalan tak tentu arah, tanpa tanda yang jelas di mana letak kuburan yang di maksud Eva tadi, sedangkan hari semakin sore.
Kami berhenti karena kaki sudah tak sanggup lagi melangkah, dalam keputus asaan karena tak kunjung mendapatkan petunjuk untuk menemukan kuburan di tengah hutan ini, karena tidak mungkin bagi kami untuk menjelajahi seluruh hutan dalam waktu singkat.

Sunyi.
Waktu seakan kembali berhenti telingaku berdenging nyaring, aku sampai menutup kedua telingaku untuk meredakan bunyi dengungan di telinga.
Dari balik pohon di depan sana mbak Santi tiba tiba muncul sambil melambaikan tangannya ke arahku, kali ini ia tidak menampakkan wujud mengerikannya.
Gaun putih bersih yang di kenakannya saat ini bergoyang pelan karena terpaan angin, ia terlihat menunjuk ke atas sebuah perbukitan kecil di sebrang kami saat ini.
"Nek kono Shep, Cepet" (Di sana Shep, Cepat) Nada suara mbak Santi amat pelan, namun sangat jelas terdengar telingaku.
Suasana kembali normal seperti semula namun anehnya, hanya aku yang merasakan kehadiran mbak Santi beberapa detik yang lalu.
"Mbak Dis, Jum nek kono panggene" (Di sana tempatnya) Kataku sambil menunjuk ke atas bukit, Dista dan Juminten memandangku heran seraya menautkan kedua alis mereka.
"Opo ne" (Apanya) Tanya Dista mencoba memperjelas.

"Kuburane!" (Kuburannya!) Kataku setengah berteriak, mencoba meyakinkankan mereka berdua.
"Ngenteni opo? Ayo budal" (Nunggu apa? Ayo berangkat) Sahut Juminten yang mulai bergegas melangkahkan kaki lebih dulu.
"Yakin ta, nek kono pangene?" (Yakin di sana tempatnya?) Tanya Dista yang masih ragu.

"Aku mesti percoyo karo Shepia" (Aku selalu percaya pada Shepia) Jawab Juminten pelan.
===

Setelah melewati sungai kecil di tengah hutan, jalan setapak yang berada di tengah dua gapura model kuno dengan tangga kecil terbuat dari semen yang tersusun rapi sampai ke atas bukit.
Membuat rasa penasaran kami semakin yakin, tentang adanya sesuatu di atas sana.

Juminten beberapa kali membasuh peluh di keningnya saat menaiki tangga. Sedangkan Dista sudah berjalan jauh di depan kami, tak memperdulikan rasa lelahnya.
Waktu serasa semakin cepat, ketika mencapai puncak bukit. Hawa aneh mulai menjalari tubuh kami, sebentar lagi petang akan datang.
Lapangan kecil dengan tembok setinggi satu meter melingkari seluruh area, dengan pohon bambu yang tumbuh lebat di luar tembok.
Darahku berdesir ketika angin menerpa tubuhku. Merasakan betapa mengeringkannya tempat ini, di tengah lapangan kecil ada dua pohon kamboja serta gundukan tanah dengan dua patok kayu sebagai tanda, kalo itu adalah kuburan.
Tanpa melewati pintu dengan meloncati pagar pembatas, Dista dan Juminten sudah berada di dalam mengabaikan pintu masuk tempat tersebut.
Kudorong pintu pelan, dan tepat dugaanku. Kalo pintu ini sengaja di tutup tanpa di konci, karena tidak ada pengait kuncinya.
"Loh ora di konci ta?" Tanya Juminten ke arahku, yang baru saja masuk lewat pintu menyusul mereka.

"Ora" Jawabku singkat.
"Tiwas mencolot cok" (Sia-sia meloncat) Sahut Dista sambil menepuk bahu Juminten.

Juminten di bantu Dista menggali kuburan dengan tangan, kucari sesuatu untuk mempermudah dalam menggali.
Pertama kali sampai mata kami hanya tertuju pada dua patok kayu yang kami yakini adalah kuburan, tanpa menyadari jika di tempat ini baru saja di lakukan ritual pemujaan.
Banyak sekali bunga tuju rupa yang masih nampak segar berceceran di bawah pohon kamboja, masih tercium wangi segar dari macam macam bunga tersebut.
Dengan batang bambu yang kutemukan kami bertiga terus menggali, sedangkan petang telah datang. Dista menyalakan dua senter yang kami bawa untuk menerangi pekerjaan kami saat ini.
Semakin cepat kami menggali karena hawa dingin serta suara binatang malam bersahut sahutan di antara pepohonan, sesekali suara burung hantu terdengar. Membuatku berhenti sejenak untuk menggali karena tengkukku terasa seperti di tiup.
Jelas terasa sekali aura keseraman tempat saat malam, berkali kali hal aneh terjadi. Seperti suara yang mirip milik Ajeng yang memanggil nama kami bertiga untuk meminta pertolongan.

"Dista tulungono aku .." (Dista tolong aku)
"Shepia tolong kuburen aku .."
(Shepia tolong kuburkan aku)
"Ella aku ono kene tolong susulen aku" (Ella aku ada di sini tolong jemput aku)
Suara itu terdengar jauh namun amat jelas, meski sebenarnya kami sadar dengan suara itu nyawa kami lebih penting saat ini. Kami harus menemukan kotak hitam yang di maksud Eva, sebelum tengah malam.
Sekian lama kami menggali akhirnya kami menemukan kotak yang di maksud Eva, kuangkat kotak hitam dari kayu berukuran sedang tersebut.
Kami bertiga membuka bersama di samping lubang kuburan. aku terkejut saat mendapati isi kotak kayu yang di bungkus kain putih di depan kami saat ini.
Boneka pocong lengkap dengan tali pengikatnya, berukuran kecil berjumlah 6 buah berjejer rapi dalam kotak. Bekas darah yang telah mengering sengaja di siramkan pada boneka pocong dalam kotak ini.
Senter di arahkan ke kotak, kubuka satu persatu boneka pocong tersebut. Dista tersentak kaget saat tau di dalam boneka adalah tanah liat yang telah menghitam beserta bunga kantil yang di lilit kertas bertuliskan, nama kami di masing masing boneka.
Dista kembali tersentak kaget sampai ia terjungkal tercebur ke dalam lubang kembali karena melihat sosok mbak Santi yang tiba tiba muncul di belakangku, Juminten bersimpuh di tanah dengan badan lemas saat kehadiran mbak Santi.
Sunyi.

Kami diam membisu dengan badan kaku, tak bisa bergerak. Wajah kesedihan serta sorot mata sayu memandang ke arah kami saat ini.
"Tolong" Ucap Mbak Santi lirih, jelas sekali air matanya mengalir perlahan.

Lama dari tak ada yang menjawabnya, antara percaya atau tidak dengan kemunculannya yang secara tiba tiba.
Aku yang tadi sempat berbalik badan karena merasa ada yang aneh dengan kejadian saat ini. Terbelalak kaget saat mbak Santi berdiri tepat di depanku saat ini, Badanku ikut melemas tak percaya dengan apa yang saat ini kulihat.
"To-long opo?" (To-long apa) Kata Dista lirih dari dalam lubang dengan terbata.

"Aku ora iso tenang nek kene" (Aku tidak bisa tenang di sini) Jawab mbak Santi pelan dengan menunduk.
Ingin sekali aku bertanya padanya, banyak yang ingin kusampaikan padanya, tak tega hati ini melihat wajah kesedihannya.
Air mataku ikut keluar bersamanya "Tuntunen yo, Mbak" ucapku lirih.
Mbak Santi tersenyum tipis mengangguk pelan, lalu hilang secara perlahan menjadi asap putih
"Loh he, cok tulungono aku disek. Aku nyemplung kuburan iki loh" (Loh hei, sial tolongin aku dulu. Aku tercebur lubang kuburan) Kata Dista panik menghentikanku, karena aku dan Juminten bergegas berlari setelah mbak Santi menghilang.
"Lali mbak" (Lupa Mbak) Jawabku seraya berbalik, mengulurkan tangan padanya membantunya naik.

"Taek aku kate kok tinggal a?" (Sial aku mau kalian tinggal?) Umpat Dista kesal.
Kami berlari menuruni anak tangga mencari jalan, keluar hutan ini. Syarat tumbal pesugihan telah kami batalkan, dengan melepas nama kami yang di tulis di dalam boneka pocong yang kurusak.
Semoga Melisa masih selamat, kami berlari menyusuri jalan setapak.
Deru suara mobil yang kami dengar perlahan semakin menjauh, setelah keluar dari jalan setapak kami menemui jalan besar di tengah hutan, jalan bekas ban mobil dengan rumput liar di tengahnya.
Mobil pick up baru saja melewati jalan ini sebelum kami datang.

Suara jeritan keras perempuan tiba tiba terdengar, semakin lama semakin banyak suara jeritan yang kami dengar.
Sosok gadis di depan berdiri membelakangi kami dari rambut lurus dan jaket yang di kenakannya sama sekali tak asing bagi kami, kuarahkan senter untuk memperjelas siapa penglihatan kami.
"Mel .." Panggilku lirih karena kuyakin ia adalah Melisa.
Dista bergegas cepat menghampirinya. Di tariknya tangan Melisa yang masih berdiri mematung dengan badan gemetaran, Melisa linglung semua pertanyaan kami padanya hanya di jawab dengan pandangan kosong beserta mulutnya yang membisu.
Juminten menepuk pipi serasa mengoyangkan badan Melisa, agar ia sadar dari linglungnya.
Kutuntun Melisa untuk duduk menepi lalu memberikan botol air mineral padanya, agar ia tenang.
"Mel ..." Ucapku lirih, dengan kalem kuhapus air mata yang meleleh di pipinya, rasa trauma yang di alami membuat jiwanya terguncang.
"A-jeng di seret Lek Anam Shep" Ucap Melisa lirih dengan bibir bergetar, tangisannya semakin deras saat ia mencoba mengingat apa yang di alaminya semalam.
Kupeluk erat tubuh Melisa sambil terus kubisikan semua akan baik baik saja.
"Asu Anam iki" (Dasar Anam binatang) Umpat Dista kesal, ia geram menahan marah karena apa yang di lakukan pak Anam pada kami.
Kami lega karena Melisa terselamatkan meski ia menderita trauma berat, akibat peristiwa yang di alaminya semalam.
Tanganku terasa di sentuh pelan lalu seperti di tarik pelan meski sebenarnya aku bisa mengehentikan langkahku, yang mulai berjalan pelan hatiku memilih menuruti tarikan pelan di tanganku.
Terasa halus hingga aku tersadar dengan apa yang kulihat saat ini. Dua bocah perempuan sedang menarik pelan tanganku dengan senyuman mereka yang membuat hati tenang sekaligus bertanya tanya, siapa sebenarnya mereka ini.
Aku terus berjalan pelan tak sadar dengan apa yang kualami saat ini. Dista dan Juminten yang membantu Melisa berjalan, mengikutiku berkali kali mereka memanggil namaku namun yang kulakukan justru terus berjalan mengikuti dua bocah di depanku saat ini.
"Shep, he arek iki kesurupan ta?" (Shep he anak ini kesurupan kah) Kata Dista mencoba menghentikanku yang terus berjalan tanpa menghiraukannya.
"Iku lak sepeda e awak dewe" (Itu kan motor kita) Ucap Juminten yang mengarahkan senter ke arah motor yang sengaja kami tinggal dua hari yang lalu.
"Loh iyo" (Lah benar) Sahut Dista bergegas mendahuluiku menuju motor kami.

Di sebelah motor kami seseorang sedang duduk di kegelapan malam, dengan nyala rokok yang menemaninya.
"Mbah Darkun?" Kata Dista setelah yakin orang yang duduk beralaskan tikar tersebut adalah Mbah Darkun.
"Sepurane Nduk, Mbah ora iso nulungi nyusul awakmu kabeh, seng iso tak lakoni namung ngenteni awakmu kabeh mbalek merene. Aku percoyo mesti onok salah siji tekan awakmu seng iso mbuyarno kelakuane Harjo"
(Maaf nak, Kakek tidak bisa menolong menyusul kalian semua, yang bisa kakek lakukan hanyalah menunggu kalian kembali kesini. Kakek percaya salah satu dari kalian bisa menghentikan yang di lakukan Harjo)
Jawab Mbah Darkun pelan, sambil mengawasi sekeliling hutan.

"Seng endi jenenge Harjo iku Mbah?" (Yang mana Harjo itu Mbah?) Tanya Dista penasaran.
"Harjo iku pengabdi Nyi Rukmi" Jawab Mbah Darkun, orang yang bersekutu dengan jin penguasa hutan ini.

"Terus Nyi Rukmi iku sopo Mbah?" (Terus
Nyi Rukmi itu siapa Mbah?) Tanyaku penasaran.
"Kuburane onok nek nduwur gunung cilik tengah alas ini Shep" (Kuburanya ada di atas bukit tengah hutan ini) Jawab mbah Darkun.

Tiba tiba angin kencang datang dari dalam hutan, di susul suara jeritan keras yang menyayat hati.
Sraaak ...

Sraaakk ...

Semakin kencang angin yang berdatangan membuat pohon besar di sekitar kami bergoyang goyang keras.
Suara Jeritan kembali bersahut sahutan, jeritan yang amat menyayat hati seakan mereka yang menjerit sedang di siksa dengan kejam.
Kembali kulihat mbak Santi bersama Ajeng dan Eva di sebelahnya, lalu di belakang mereka puluhan gadis yang sedang memandang ke arahku.
Air mata tak bisa kutahan melihat Ajeng dan Eva berada di antara mereka, Juminten dan Dista juga menyaksikan apa yang kulihat saat ini.
Perih hati ini harus kehilangan mereka aku berharap ini hanyalah mimpi buruk sebagai bunga tidurku saja. Tak rela rasanya jika mereka menjadi kebiadaban pak Anam.
Masing-masing dari mereka mengenakan borgol rantai di kedua tangannya begitupun dengan Mbak Santi dan Ajeng lalu Eva berjalan pelan ke arah kami.
Dari belakang muncul nenek tua yang kami lihat waktu pertama kali di bangunan tua yang telah roboh, tangan kanan kenan Nenek yang kami yakini bernama Nyi Rukmi menjambak keras rambut Eva, hingga kepala Eva mendongak ke atas ia nampak kesakitan.
Aku menjerit keras di sertai tangisan memanggil nama Eva, saat Nyi Rukmi menyeret rambut Eva masuk kedalam hutan di kegelapan malam yang membuatnya meronta kesakitan.
Jeritan tangis suara puluhan wanita yang kuyakin mereka juga korban tumbal pesugihan tempat ini, kembali bersahut sahutan.

Suasana kembali sunyi dengan menghilangnya bayangan puluhan gadis beserta jeritan tangisan yang sudah menghilang.
"Jum awakmu kancanono Melisa nek omae Mbah Darkun yo" (Jum kamu temenin Melisa di rumah Mbah Darkun yah) Pinta Dista pada Juminten.

"Ora, pokok e aku melok" (Tidak, pokoknya aku ikut) Jawab Juminten tegas.
"Sopo seng njogo Melisa engkok" (Siapa yang menjaga Melisa nanti) Lanjut Dista, wajar jika Dista khawatir dengan keadaan Melisa saat ini.
"Yo wong tuwek iku lah, seng jelas aku tetep melok" (Ya orang tua itu lah, yang jelas aku tetap ikut) Jawab Juminten bersikukuh, sambil menunjuk ke arah Mbah Darkun.
Juminten tek rela jika hanya aku dan Dista yang pergi mencari kediaman Mbah Harjo, membebaskan jiwa para korban tumbal yang ada di hutan ini.
Dengan berbagai pertimbangan akhirnya kami memutuskan menitipkan Melisa pada mbah Darkun. Lalu atas petunjuk dari mbah Darkun kami melanjutkan perjalanan menuju kediaman Mbah Harjo dukun yang di maksud.

===
Sunyi

Kami menyusuri desa yang di maksud Mbah Darkun, hanya mendapat info kalo rumah yang di tinggali mbah Darkun adalah rumah tua model joglo.
Jujur kami binggung dengan semua ini, apa lagi kami tergolong awam tentang tumbal pesugihan.
Hal yang paling tidak masuk akal mulai berdatangan, hawa aneh saat mulai menyusuri jalanan desa.
Desa di tengah tengah pegunungan yang membentang baikan tembok, dengan misteri yang belum kami ketahui.
Dari sekian banyaknya rumah yang berjajar layaknya desa kuno, karena setiap rumah tidak menggunakan penerangan cahaya dari aliran listrik, bahkan kebanyakan rumah masih memakai kayu dan dinding dari anyaman bambu.
Di setiap depan rumah selalu terdapat sesajen yang di letakkan begitu saja oleh sang pemilik rumah.

Pandanganku mulai kabur darah keluar dari hidung, tubuhku ambruk di jalan tanah desa ini.
"Loh Shep awakmu opo'o?" (Loh Shep kamu kenapa?) Kata Juminten saat mengetahui aku yang tiba tiba jatuh.
"Shep!" Suara keras Dista sudah tak terdengar di telingaku tubuhku mulai dingin, darah terus keluar dari hidungku. Berkali kali Dista menyeka dengan tisu namun darah terus mengalir.
Juminten yang panik dengan keadaanku, berlari mencari pertolongan dengan mengedor rumah penduduk sekitar.
Dista menyandarkan tubuhku di badannya, ia juga khawatir jika terjadi sesuatu padaku. berbagai cara ia lakukan agar darah berhenti mengalir dari hidungku.
Aku benar benar sadar saat ini, tapi tubuhku tak bisa kugerakkan.

Dista yang tadinya panik dengan keadaanku, tiba tiba ambruk mengalami hal yang sama seperti diriku.
Darah juga mengalir dari hidungnya dalam keadaan benar benar sadar namun tak kuasa mengerakan tubuh, kami terkapar di jalan tanah.
Sedangkan Juminten, tadi sebelum terkapar di tanah aku masih sempat melihatnya berteriak meminta pertolongan sambil menendang pintu rumah penduduk, karena penghuni rumah tak kunjung menjawab atau membuka pintu untuknya.
Pikiranku mulai kacau rasa ketakutan semakin besar menjalari tubuhku, apa kami bertiga akan mati bersama menyusul Eva dan yang lain dalam keadaan seperti ini. Terbesit di benakku,
bagai mana reaksi kedua orang tuaku nantinya jika kami meninggal seperti ini.

Berkali kali kusebut asma Allah meminta pertolongan darinya, kupasrahkan diriku hanya kepadanya.

Hening!
Terus kupanjatkan doa satu keyakinan dalam diriku adalah takdir bisa di rubah, hanya kematian yang tidak bisa kuhindari.
Jika memang di ditakdirkan mati seperti ini, aku sudah iklas dengan kepasrahan tak ada yang bisa bisa menolong kami selain Kuasa-Nya.
Suatu kesalahan bagi kami yang datang kemari tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu, kami hanya gadis biasa tanpa kharomah istimewa.
Apa kami harus tersiksa seperti ini lebih dahulu sebelum menghadapi maut, pikiranku mulai kacau jiwaku memberontak kerena tak adil bagiku jika harus mati dalam keadaan seperti ini.
Allah.

Terus kucoba mengerakan tubuhku, dalam hati menyebut asma Allah.

Allah.
Aku terbangun dengan nafas tersengal kubasuh keringat yang membasahi kening dan wajahku, darah yang mengalir di hidungku juga sudah berhenti. Kutarik badan Dista lalu menyandarkannya pada tembok kayu rumah penduduk setempat.
Lalu aku berlari mencari Juminten perasaanku tidak enak ketika memikirkannya, Juminten terkapar tak berdaya di depan pintu rumah penduduk. Kubuka tas Juminten mencari botol air mineral tenggorokkanku terasa kering.
Setelah meminum air dalam botol kubasuh keringat di dahi Juminten dengan tenang, kusandarkan kepalanya di pangkuanku. Berkali kali kubasuh wajahnya dengan air yang kutuangkan di telapak tangan.
Aku panik karena usahaku tiada hasil, meski mencoba menirukan gaya kakek atau ayahku, dengan membaca doa sebisaku lalu membasuh wajah Juminten dengan air yang telah kutiup sebelum membacakan doa, dengan hasil yang tetap nihil.
Akhirnya kumasukan air dalam mulutku lalu mengulangi membaca doa yang kuingat, setelah itu kusemburkan di wajah Juminten sebagai usaha terakhirku.
Juminten tersentak bangun, berkali kali ia beristighfar. lalu kami bergegas ke tempat Dista yang kutinggalkan tadi.

Ku-ulangi lagi cara yang sama pada Dista, menyemburnya dengan air dalam mulutku.
Dista terkejut bangun dengan nafas tersengal, aku tersenyum senang saat ia bangun lalu memakiku karena menyemburnya.

"Konyol awakmu iku, aku kok idoni" (Konyol kamu itu, aku kamu ludahin) Umpat Dista agak kesal karena cara anehku.
"Guduk awakmu tok, aku yo di sembur karo Shapi" (Bukan kami saja, aku juga di sembur Shapi) Juminten menimpalinya, mereka berdua memandangku tak ramah.
"Luwih konyol maneh seng kecemplung kuburan, karo seng raine kepanasan" (Lebih konyol yang masuk lubang kuburan, sama yang wajahnya kepanasan) Jawabku mengelak, karena tatapan tak ramah mereka berdua.
Aku terkejut, saat mataku tertuju pada sosok pocongan yang berdiri pojokan rumah penduduk meski samar karena terhalang oleh kabut. Namun sangat jelas sosok pocong itu sedang memperhatikan kami.
Berbeda denganku, Dista nampak kesal dengan kehadiran pocong tersebut, dengan ia mengambil batu lalu melempar keras ke arah pocongan tersebut sambil berkata,
"Aku wes ora wedi jancok" (Aku sudah tidak takut sial) Makinya ke arah pocongan sambil melemparkan batu.

Juminten tak kalah sangar ia nampak santai dengan mengambil sebilah bambu kuning panjang satu meteran di rumah penduduk,
ia berjalan mendekati pocongan tersebut. "Aku wes kesel, pocongan kirek" (Aku sudah capek, pocongan sialan) Umpat Juminten sambil memukulkan bambu di tangannya,
sebelum terkena pukulan Juminten pocongan dengan kain kafan lusuh itu sudah menghilang terlebih dahulu.

Aku memandang mereka berdua dengan wajah heran, mungkin saking seringnya di hantui mereka menjadikan urat ketakutan mereka berdua putus.
"Kenek gepuk ora, Jum?" (Kena pukul tidak, Jum?) Tanya Dista pada Juminten yang berdiri di tempat pocongan tadi.

"Ora i ilang disek Dist" (Tidak keburu hilang duluan) Jawab Juminten sambil terus memukulkan bambu di tangannya.
"Berarti pocongan asli iku yo" (Berarti pocongan asli itu yah) Kata Dista masih tak percaya.

"Koyok'e, lha ilang berarti lak pocongan asli" (Sepertinya keburu hilang duluan berarti kan pocongan asli) Jawab Juminten lagi.
Gusti pekikku melihat tingkah kedua orang ini, karena bisa bisanya mereka melakukan hal konyol di situasi yang mencekam ini.

Kabut semakin pekat malam menjadi semakin panjang, jam tanganku tak berfungsi dengan normal.
Bau bunga melati bercampur kemenyan kembali tercium, entah dari mana asal bau berasal.

Bulu kuduku meremang hal tak masuk akal berulang kali terjadi, seperti sosok sundel bolong yang tiba tiba muncul di hadapan kami saat ini.
Aku berterimakasih pada hantu yang menyerupai wujud mbak Santi, karena dia menguji mentalku sebelum kesini.
Meski sedikit terkejut, aku mencoba bersikap biasa saja saat mata melototnya memandang kami.
Aku bergidik ngeri saat punggung bolongnya di penuhi belatung yang berjatuhan, bau busuk tercium menyengat di hidung.
Lalu menghilang saat Aku melemparkan botol air mineral yang kubawa, karena tak tahan dengan bau busuk dari punggungnya, Juminten dan Dista menoleh ke arahku menatapku heran karena melemparkan botol air mineral.
Kenapa aku tidak boleh melemparnya,
sedangkan mereka boleh pikirku.

Dari depan kami sekarang dua bayangan sedang berjalan menuju ke arah kami, semakin lama semakin mendekat.
Dari balik tebalnya kabut yang menyelimuti desa ini, sepasang muda mudi berjalan santai mereka sedang mengobrol ringan.
Sementara kami bertiga terkejut dengan datangnya mereka berdua, mereka berhenti di depan kami.

"Kalian sedang apa di sini?" Tanya si pemuda berkulit putih tinggi di samping gadis yang usianya lebih tua dariku.
Lama kami tak menjawab apa mereka berdua benar benar orang pikirku.

"Iku wong asli ta duduk?" Tanya Juminten sambil menyenggol lenganku, aku menggeleng pelan sedangkan aku sendiri ragu mereka berdua ini orang asli.
"Jelas kami ini orang asli" Sahut gadis itu ketika mendengar suara bisik kami.

"Oh .." Jawab Dista santai, ia nampak lega karena menemui orang di desa mati ini.
"Kalian sedang apa di sini? Di sini sangat berbahaya" Lanjut Gadis tersebut, wajah cantiknya sangat serasi sekali bersanding dengan pemuda di sampingnya. Benar benar pasangan yang serasi pikirku.
Kami memperkenal diri, lalu menjelaskan dengan panjang lebar maksud kedatangan kami kesini.
Gadis yang bernama Utari Wardana tersebut tersenyum pada kami, ia menjelaskan sesuatu pada kami kalo ingin membebaskan jiwa korban pesugihan tak semudah yang kami kira.
Mbak Utari terkesima mendengar ceritaku ia putuskan membantu kami, meski ia sendiri sedang sibuk.
Mbak Utari menuturkan kalo desa ini bukan dihuni oleh bangsa manusia.

"Jadi dua temanmu di jadikan tumbal pesugihan?" Tanya Utari setelah mendengar ceritaku.
"I-iya Mbak" Jawab Dista tergagap karena sorot mata tajam gadis cantik bernama Utari di depan kami saat ini.
"Lalu apa tujuan kalian datang ke desa ini?" Lanjut Utari, sorot mata tajamnya tak menghilangkan kecantikan di wajahnya. Mata kami tak berkedip saat menatapnya, bahkan sekelas artis papan atas saja tak sebanding jika mereka di sejajarkan.
"Untuk menyempurnakan teman kami yang di jadikan tumbal, Mbak" Ujarku menjelaskan.

Mendengar jawabanku, Utari nampak sedikit heran, beberapa kali ia menoleh pada pemuda yang bernama Alfan di sampingnya.
"Apa hubungannya dengan desa ini? Jika kalian ingin menyempurnakan jiwa teman kalian, bukan di sini tempatnya." Ucap Alfan memperhatikan kami bertiga yang kebingungan, "siapa yang menyuruh kalian kesini?" Lanjutnya sembari bertanya.
"Mbah Darkun" Jawab Juminten.

"Orang itu sengaja menyesatkan kalian" Kata Utari pelan, kali ini ia memandang ke arahku lama.
Kami tersentak kaget mendengarnya, bagai mana bisa orang yang kami percaya bisa membantu mengatasi masalah saat ini. Malah menjerumuskan kami kedalam masalah yang lebih rumit.
Kami teringat akan Melisa yang bersama Mbah Darkun, jangan jangan. Semua yang terjadi saat ini karena ulah kakek tua itu.
Atau mungkin dia lah sebenarnya Mbah Harjo itu sendiri.
Aku panik saat sadar Melisa bersama Mbah Darkun, harusnya aku sadar dari awal dengan kehadirannya yang membuat pikiranku jangal.
"Kamu! yang bernama Shepia ikut aku, jika ingin menyempurnakan teman temanmu" Ucap Utari yang tiba tiba membuyarkan pikiranku.
"Tapi Mbak, Teman saya...."

"Mas Alfan akan membantu ke rumah dukun itu, dan kamu ikut aku. Karena aku butuh kamu untuk menjadi kunci tempat itu." Utari menyela perkataanku, membuat hatiku semakin bimbang, siapa yang harus kupercaya saat ini.
"Aku harus ikut kemana pun dia pergi
..." Kata Dista menyahut, tapi Dista sudah menunduk menghindari tatapan tajam mata Utari yang beralih memandangnya.
"Kalian hanya punya dua pilihan, percaya padaku atau tinggal di sini bergabung bersama penghuni alam lain. dan di luar sana kalian di nyatakan mati" Cerca Utari.
Kami diam dalam diam hati bimbang mana yang harus kami pilih, sedangkan untuk keluar dari desa ini saja kami tak tahu jalannya.
Di tambah lagi kemunculan dua orang yang sama sekali belum kami kenal.
"Kalian pasti bimbang, pertemuan kita bukan karena kebetulan. Tuhan menjawab doamu, dan temanmu Santi datang padaku untuk membantu kalian." Ujar Utari dengan nada tegasnya, dengan mata memandang ke arahku.
"Yowes Shep manut o ae" Kata Juminten lirih sambil menyenggol lenganku, dengan sikutnya.

Aku binggung harus menjawab apa, entah apa yang harus aku lakukan. Tiba tiba Utari mengarahkan telunjuknya ke arah belakangku, mahluk tua dengan baju compang camping.
Tertawa keras ke arah kami.

Kami bertiga terkejut karena nenek tua yang berdiri di belakang kami saat ini, adalah Nyai Rukmi.
Ia terkekeh, membuat kami semakin bertanya tanya. Kenapa Nyai Rukmi masih mengincar kami, padahal syarat tumbal sudah kami hancurkan.
Badanku lemas rasanya saat tatapan Nyai Rukmi mengarah padaku, wajah keriput penuh bercak darah di wajahnya.

Utari dan Alfan berbalik melangkah meninggalkan kami, membantu kami saat ini hanya menambah masalah baginya.
"Mbak, Bantu kami" Kataku memohon, aku sudah kehabisan akal untuk menyelesaikan masalah ini.

Utari menghentikan langkahnya saat mendengar ucapanku, seraya berkata. "Apa kalian sadar, kalo kalian hanya tiga gadis ingusan.
Datang kemari tanpa bekal ilmu yang kalian miliki, bahkan kalian tidak tahu bahaya yang akan alami di tempat ini" Utari berbalik memandangku, "antara lugu dan tolol memang tak jauh berbeda, dan kalian ini tipe orang tolol." Lanjut Utari.
Kami pergi kesini hanya dengan bondo nekat alias bekal kenakatan semata, tidak sadar dengan bahaya besar yang sedang menunggu kami.
"Jadi bagaimana apa yang kau pilih? Kau hanya membuang waktu di sini" Ucap Utari dengan suara dingin.

"Iya Mbak, tolong bantu kami" Kataku lirih, dengan bibir bergetar.
"Mas Alfan akan mengantar kalian berdua, sedangkan aku dan Shepia, akan pergi kerumah Harjo" Kata Utari tegas, untuk mencari kendi tempat mengurung jiwa teman kami yang di jadikan tumbal.
Kami berpisah di pertigaan jalan, dengan pohon besar yang tumbuh di tengah jalan, Dista, dan Juminten yang di temani mas Alfan keluar dari desa ini. Untuk mencari Mbah Darkun alias Dukun Harjo.
Sedangkan aku mengikuti Utari yang berbelok ke kanan, masih sempat aku menoleh pada kedua kedua temanku yang mengikuti Mas Alfan, Dista seakan tak rela jika harus jauh dariku.
Sedangkan Juminten tersenyum padaku sambil melambaikan tangannya, aku berharap pilihan yang terakhir ini adalah pilihan yang benar.
Dan perpisahan kami sekarang adalah awal untuk kami bersama kembali, semoga Melisa masih sempat di selamatkan.
===

Semakin jauh kami berdua berjalan di tengah desa tanpa penghuni ini, tidak ada siang, tidak ada malam, sama sekali tak terasa udara di sekelilingku.
Kami terus berjalan di pekatnya kabut tebal yang menghalangi pandangan, semakin jauh melangkah semakin ganjil yang yang kurasakan.
Karena di sekelilingku saat ini, tiba tiba muncul banyak orang berlalu lalang dengan kesibukan mereka.
Banyak anak kecil berlarian mengelilingiku, mereka bermain kejar mengejar satu sama lain, seperti anak kecil di jaman tahun 90 an.
Aneh. Hanya itu yang kupikirkan saat mengamati mereka, kehadiran kami seperti tak di terima di sini. Pandangan mereka yang mengisyaratkan kebencian saat melihat ke arah kami yang berjalan ditengah mereka, membuat hatiku makin gusar.
Langkah kaki semakin kupercepat di belakang Utari yang nampak santai, menanggapi tatapan penduduk desa ini.

Utari berhenti di depan sumber air, dengan air yang mengucur deras ke bawah jurang tanpa dasar, karena terhalang oleh kabut.
"Pegang tanganku" Ucap Utari menoleh padaku sambil mengulurkan tangannya.

Meski binggung akhirnya kupegang erat tangannya, kemudian ia menghentakkan kaki kanannya ke tanah tiga kali.
Aku tersentak kaget, saat tanganku di tariknya kuat sambil berlari ke arah jurang.

"AAA ...."
Aku berteriak kencang saat tubuh kami terjun dari atas jurang, darah seakan berkumpul di atas kepalaku saat ini.

"Shepia bangun!"
Aku sadar saat suara Utari membangunkan dengan menepuk pipiku.
Kutarik nafas dalam dalam, aku pikir telah mati karena terjun dari jurang bersamanya tadi.
Semakin heran lagi ketika aku sadar, aku berada di lapangan kecil tempat kami menggali kuburan semalam.

"AAA ..." Aku tersentak kaget saat sadar tidur memeluk pohon kamboja di samping lubang kuburan, bekas galianku semalam.
"Apa kau ini tipe orang yang selalu heboh?" Tanya Utari padaku yang panik karena bangun di tempat aneh ini.

"Ngak panik gimana, Aku bangun di samping kuburan" Selaku memberi alasan.
Kakiku terus mengikuti langkah Utari didepanku, menyusuri hutan pinus, tak lama kemudian, sampailah kami di pinggir jalan yang sering di lalui kendaraan bermuatan kayu.
Aku tak bertanya mau kemana tujuan kita, atau bertanya tentang sesuatu yang ada di pikiranku pada Utari, karena memang sifat dasarku canggung saat bersama orang baru.
"Kendi itu ada di simpan di bawah kolong tempat tidur Harjo, semua tergantung padamu. Aku hanya membantumu menunjukkan jalan dan ingat satu hal, jangan pernah kau ceritakan siapapun tentang yang kau lihat nanti"
Kata Utari memperingatkanku.

===

Malam di sebuah desa.

Kami berdua berdiri memandangi rumah besar yang di kelilingi tembok papan kayu berbentuk runcing di ujungnya,
membuat rumah tersebut hanya terlihat atapnya saja karena terhalang oleh pagar kayu tersebut.

Utari mulai menjelaskan panjang lebar padaku, tentang kendi yang di simpan di rumah tersebut berserta pantangannya.
"Ngomong ngomong, kamu belum mandi berapa hari Shep?" Tanya Utari setelah menjelaskan padaku.

"Empat hari mbak hehehe ..." Jawabku sambil cengegesan.
Sunyi!

Suasana malam kian sepi, ditambah gerimis ringan di malam hari.
Aku masih menunggu intruksi dari Utari untuk memasuki rumah tua kediaman Mbah Harjo, dukun yang membantu pak Anam.

Utari masih berdiri tenang sorot matanya terus memperhatikan rumah Mbah Harjo, gerimis tak membuatnya pergi menepi untuk berteduh.
Gadis berambut panjang yang dikepang lurus ke bawah di sampingku saat ini. Hanya diam sambil terus menatap rumah Joglo di ujung jalan sana.
"Kamar dengan pintu coklat tua, berukiran aksara jawa. dengan dua bulan sabit, di kamar itu kendi yang kumaksud di simpan di bawah kolong tempat tidur." Utari mulai menjelaskan panjang lebar.
Aku mengangguk pelan pertanda mengerti.

"Jangan sampai salah kamar" Lanjutnya tegas.

"Iyo Mbak" Sahutku pelan pertanda mengerti maksudnya.
"Sebentar lagi bulan akan berubah warna merah, waktumu hanya 10 menit, sebelum bulan kembali kewarna semula" Kata Utari memperingatkanku.

"10 Menit?" Ucapku bertanya pada Utari.
Utari menganguk seraya berkata. " Nyai Rukmi mendiami salah satu kamar di rumah itu" Lanjut Utari.

Aku mulai bersiap, dadaku berdebar tak karuan.
Emosiku meluap, sesekali mataku memandang ke arah langit, memastikan jika bulan akan segera berubah menjadi warna merah.
"Tenangkan emosimu" Ucap Utari, lalu memegang pergelangan tangan kiriku " Gelang ini. Apa kau keturunan keluarga Ramlan?" Tanya Utari heran.
"Ha .." Jawabku sambil mengerenyitkan dahi, tanda tak mengerti maksudnya.

"Apa kau keturunan keluarga Ramlan?" Utari mengulangi pertanyaannya lagi.
Aku menggeleng tak mengerti dengan maksud pertanyaannya, yang kutahu gelang yang sekarang kupakai adalah pemberian dari kakekku.

"Ini pemberian dari kakekku" Jawabku sambil memperhatikan gelang yang di maksud Utari.
"Pernah dengar peribahasa, harimau di tengah kumpulan domba? Dan saat serigala datang harimau itu ikut lari ketakukan" Kata Utari sorot matanya memperhatikan gerak gerikku, yang masih tak paham dengan perkataannya.
"Apa maksudnya Mbak" Tanyaku kemudian.

"Kau memiliki Trah Ramlan yang mengalir di darahmu. salah satu keluarga yang paling di segani, tetapi karena kau sendiri tidak tahu siapa dirimu, kau ikut lari ketika seekor serigala datang" Jawab utari.
Aku binggung harus menjawab apa, lagi pula saat ini yang kupikirkan bukanlah siapa diriku. Melainkan ketenangan temanku yang telah menjadi korban pesugihan Pak Anam.
Bulan perlahan, mulai memerah. Aku menatap mata Utari sebelum ia mengangguk pelan pertanda ini lah saatnya aku bergegas mengambil kendi yang di maksud Utari.
Kulangkahkan kaki berlari cepat menuju gerbang pintu kayu dengan pagar tinggi pembatas jalan dan halaman rumah. Sebelum aku sampai di pintu tebal dari kayu yang melekat di pagar, pintu itu sudah terbuka pelan.
Segera kumasuki pintu penghubung jalan dan halaman depean rumah.

Banyak sekali patung aneh dari kayu dengan berbagai macam ukuran, dan kesemuanya memiliki warna hitam pekat.
Kursi duduk yang mengelilingi mejanya pun, sangat aneh menurutku, karena berbentuk antik seperti kursi kuno.
Deg, mataku terbelalak ketika sadar salah satu patung perempuan yang mengenakan topeng mengeluarkan air mata darah dari celah mata topeng.
Darah itu terus menetes ke lantai.

Kreeekk ...

Suara gagang pintu berputar kebawah, dengan pintu rumah yang mulai terbuka pelan.
Lututku mulai lemas, hawa dingin serta suara burung perkutut dalam sangkar yang di taruh pada pengait tembok saling bersahut sahutan.
Menambah suasana semakin mencekam, berkali kali angin berhembus pelan menerpa tubuhyang berbalut jaket jeans kesayanganku.
Tak ingin menyia nyiakan waktu lagi, aku bergegas memasuki rumah joglo ini.

Pandanganku langsung mengarah pada lukisan besar di ruang tamu rumah ini. Lukisan seorang nenek yang sedang duduk menyilangkan kakinya,
dengan banyak gadis remaja memakai baju putih berjajar di belakang si Nenek.

Yang aneh adalah si nenek yang duduk di kursi paling depan sedang tersenyum,
sedangkan para gadis di belakangnya nampak tertekan dengan wajah sedih salah satu di antara gadis dalam lukisan ada yang sedang menangis, dengan leher di lilit rantai.
Greeekk ...

Salah satu lukisan di dinding kayu, sebelah kiri yang tak kalah menyeramkan tiba tiba bergerak, hampir jatuh.
Deg. Jantungku kembali serasa berhenti karena wajah dalam bingkai lukisan itu, adalah Nenek tua yang kami temui di bangunan tua malam itu.
Makin kaget lagi, saat wajah dalam lukisan itu tersenyum aneh. Seakan akan sedang menanti kedatanganku.

Nafasku tertahan, kala mendengar suara langkah kaki di luar rumah, suara langkah kaki yang terus berjalan memutari rumah.
Tak ..

Tak ..

Tak ..

Lampu yang menerangi ruangan nyala redup, seiring bunyi tongkat yang di pukulkan ke dinding kayu rumah ini.
Tuk

Tuk

Tuk

Kemudian ia seperti memukulkan ujung tongkatnya di lantai depan yang terbuat dari marmer.
Wanita tua berbadan bungkuk itu sedang berdiri di luar pintu rumah ini.

Aku merasakan saat ini kami sedang saling berhadapan, dengan pintu tertutup yang menghalangi pandanganku pada nenek itu,
bedanya dia leluasa mempehatikanku dari luar rumah, sedangkan aku berdiri gemetaran karena ketakutan.

Pyaaar ...
Dengan langkah pelan aku melangkah mundur, sebelum kakiku menyengol vas bunga sebesar di samping pilar tengah yang membuatku terkejut.

Kututup mulutku rapat rapat, agar jeritan ketakutanku tak keluar.
Brakk
Braakk
Braaakk ..

Kembali aku terkejut karena kaget, saat suara gedoran keras dari salah satu pintu kamar.
Lalu suara tawa terkikih muncul dari dalam kamar tersebut yang tertutup rapat oleh pintu.

Grasaaakk ...

Kali ini mataku menatap ke langit langit rumah, di mana suara keras itu berasal. Meski mataku terus tertuju ke atas,
mencari apa penyebab timbulnya suara tersebut. Namun sama sekali tak kujumpai sesuatu di atas sana.

Hawa di dalam rumah ini semakin membuat lemas seluruh tubuhku,
semakin lama rasa takut menjalari seluruh tubuhku.

Tubuhku ambruk ke lantai, kakiku tak kuasa menompang berat badanku.
Kupejamkan erat mataku, berkali kali kusebut nama Tuhanku, meminta pertolongan atas kuasanya, agar hati ini kuat menekan rasa takutku.

Tubuhku seperti di bebani beban berat, membuatku semakin melemas.
Sekilas terlihat bayangan pintu yang di maksud Utari saat kupejamkan mataku. Kupaksakan tubuhku berdiri dengan merangkak pelan, memegang erat pilar kayu yang menyangga atap rumah ini.
Allah.

Kusebut kesekian kalinya asma Allah meski sulit, meski terasa berat, dengan susah payah aku mencoba berdiri.
Pintu coklat tua yang kulihat tadi, berada di ujung ruang tengah. Kakiku terasa berat untuk melangkah, pandanganku terasa kembali kabur saat jemari tengahku menyentuh lubang hidung.
Untuk kesekian kalinya aku mimisan, Kulangkahkan pelan kakiku meski berat, teringat waktuku hanya sebentar di sini.

Kudorong keras pintu dengan badan mulai limbung, darah semakin banyak keluar dari hidungku. Saat terus kucoba memaksa tubuhku.
Pengap.

Pintu terbuka cepat cepat kumasuki kamar pengap ini, yang kucari hanya ranjang tidur di kamar ini.
Lututku bertumpu pada lantai, kudoyangkan badanku kebawah mencari kendi yang di maksud Utari.

Tanganku mencoba meraih kendi di bawah kolong tempat tidur, dengan cepat ku tarik saat jemariku meraihnya.
Kupegang erat kendi yang di bungkus kain merah seperti tempat abu dupa di depanku saat ini, pelan kuangkat sedikit tinggi. Lalu kuhempaskan keras kebawah, hingga terpecah berserakan dengan abu menodai jaket dan celanaku.
Hening!

Mataku terpejam aku masih duduk bersimpuh di lantai kamar. bayangan Eva muncul di hadapanku saat ini. Eva memeluk erat tubuhku, perasaan haru bercampur sedih saat melihat ia tersenyum bangga padaku.
Begitu dalam tatapan matanya saat memandangku, tak ada lagi canda tawa di antara kita, tak ada lagi cerita yang kusampaikan padanya saat aku dalam masalah. Tak ada lagi nyanyian merdunya.
Tangisku pecah, aku sadar, aku telah kehilangan seorang sahabat yang membelaku di saat semua orang menjauhi diriku.
"Va!" Pekikku air mataku terus berlinang, hatiku tak rela melepas kepergianya, meski samar sangat terasa gengaman tangan hangatnya, ia berusaha mengusap air mata di pipiku.
Bayangan para gadis bermunculan keluar, senyuman mereka ke arahku seakan mengucapkan tanda terimakasih.

Mbak Santi melambaikan tangan padaku dengan senyuman simpulnya,
Ajeng nampak bangga dengan usahaku seperti dulu, saat bermain petak umpet ia selalu mengacungkan jempolnya padaku, saat aku bersembunyi di dalam rumah.

"Selamat Jalan" Ucapku lirih melepas kepergian mereka.
Eva berdiri, ia kembali tersenyum padaku. meninggalkan semua kenangan kita, "selamat jalan Va" kembali suaraku mengiringi kepergiannya, seorang sahabat terbaik dalam hidupku.
Akh ..

Aku tersentak saat sebuah tangan menyisakan tulang dan kulit mencekikku dari belakang, kuku panjangnya terasa tajam saat menyentuh kulit leherku.
Tubuhku terasa terangkat pandanganku mulai kabur, sekilas kulihat dari celah jendela bulan sudah kembali memutih.

Sakit, sangat sakit sekali yang kurasakan saat ini, nafasku terasa berhenti di tenggorokan.
Lalu tubuhku terasa ringan, rasa sakit yang amat terasa begitu sakit yang kurasakan tadi tiba tiba menghilang.

Saat cengkeraman tangan dengan kuku panjang di leherku, terlepas.
Mahluk tua itu terhempas keras ke kiri, ketika seseorang gadis jelita memasuki kamar ini.
Sorot mata tajamnya mengisaratkan kebencian ketika melihat tubuh Nyai Rukmi.
"Cih, kau cepat bangun aku benci melihat orang lemah seperti mu" Ucap gadis yang saat ini telah berdiri di sampingku yang tengah terkapar kehabisan tenaga.
Siapa lagi Gadis yang datang saat ini pandaganku mulai redup, sebelum mataku benar benar terpejam masih kudengar ia berkata. "Aku Disa Anindya Malik Ramlan"

Lalu semua terasa gelap.
Rumah kediaman Mbah Harjo.

Rumah utama kediaman Mbah Harjo bersama ketiga istrinya.
Melisa terikat di sebuah kamar gelap kediaman rumah Mbah Harjo, darah merembes dari ujung bibirnya serta kedua pipinya lebam akibat tamparan dukun tua bernama Harjo tersebut.
Mbah Harjo terpikat oleh kecantikan gadis asal kota malang yang kini ia sekap dalam kamar, Mbah Harjo berniat menjadikan Melisa Istri ke-empatnya.
Melisa menolak tegas niatan Mbah Harjo, meskipun dengan jaminan keselamatan dirinya dari tumbal pesugihan pak Anam. Lebih baik mati menyusul temannya dari pada harus menjadi budak birahi dukun tua bangka di depannya saat ini.
"Pengen dadi bojoku opo ora?" (Mau jadi istriku tidak) Tanya Mbah Harjo alias Mbah Darkun dengan memaksa.

"Ora Sudi Jancok" (Tidak sudi sialan) Jawab Melisa cepat,
ia kukuh dengan pendiriannya lebih baik mati dari pada harus menjadi istri dukun tua di hadapanya sekarang.
Air matanya merembes membasahi pipinya menahan tamparan demi tamparan tangan mbah Harjo, ia bulatkan tekad tetap kukuh pada pendiriannya.
Merasa usahanya sia-sia, juga tangannya mulai pegal karena memukuli wajah Melisa. pria tua tersebut keluar kamar dengan wajah penuh amarah.

"Kopine Pak" (Kopinya Pak) Kata istri pertama Mbah Harjo, sambil membawa nampan dengan segelas kopi panas.
Pyaaar ..

Mbah Harjo menampel kopi yang di bawa istrinya, dengan penuh amarah pria tua bermuka lusuh tersebut berkata,
"nyengkreh soko ngarepku, wadonan goblok" (Minggir dari hadapanku, perempuan bodoh) Hardik Mbah Harjo pada istrinya.

Kemudian ia memasuki salah satu kamar yang di khususkan untuk ritual, ia mulai bersila di depan meja untuk melakukan pemujaan pada sekutunya.
Mulut dukun tua tersebut komat kamit membaca suatu mantra berbahasa jawa kuno, kemudian ia mengambil kemenyan yang sudah di tumbuk halus di kolong meja di hadapannya saat ini, lalu menaburkan pada arang yang telah di bakar.
Setelah itu ia memejamkan matanya, pakaian serba hitam yang di kenakannya saat ini sudah berbaur dengan asap kemenyan, yang ia bakar tadi.

Mbah Harjo tak bisa konsentrasi pikirannya mulai kacau, terus terbayang wajah cantik Melisa di pikiranya.
Segera ia berdiri tak melanjutkan ritualnya lagi, lalu bergegas keluar kamar kembali, menuju kamar di mana saat ini Melisa yang sedang di sekap.

Mbah Harjo mengunci pintu kamar, matanya terus menatap wajah Melisa yang ia ikat di kursi.
Nafsu bejatnya tidak dapat ia kendalikan, dukun tua itu mulai menanggalkan satu persatu baju yang ia kenakan, dengan tersenyum menyerigai ke arah Melisa.

Sedangkan Melisa mulai menangis kembali, karena ia sadar apa yang akan di lakukan dukun bejat itu.
===

Tempat Dista dan Ella (Juminten) saat ini.

Dua gadis sedang berjalan tergesa ditemani seorang pemuda gagah yang menuntun jalan mereka menuju kediaman utama Mbah Harjo.
"Shepia ora popo kan Mas?" (Shepia tidak kenapa kenapa kan Mas?) Tanya Dista pada Alfan dengan wajah khawatir.

Sebagai seorang kakak Dista sangat peka dengan nalurinya, ia bisa merasakan jika adik perempuannya dalam kesulitan.
Dan rasa khawatirnya saat ini begitu besar pada Shepia, ia merasakan bahwa sesuatu sedang terjadi pada adik sepupunya tersebut.

"Mbak Utari pasti menjaganya, bukan tanpa alasan Mbak Utari mau menolong kalian" Jawab Alfan menepis rasa khawatir Dista.
Mereka bertiga terus melanjutkan perjalan setelah keluar dari desa gaib, karena ulah Mbah Harjo yang menyesatkan kedua gadis yang saat ini bersama Alfan.
Suasana malam dengan gerimis ringan, menemani perjalanan mereka melewati perkampungan menuju rumah mbah Harjo.

Langkah mereka bertiga terpaksa terhenti, saat empat pria yang sedari tadi berdiam di pos ronda memperhatikan mereka.
"Arep nyandi to cah ayu?" (Mau kemana gadis cantik) Sapa pria setengah baya pada Dista dan Juminten dengan sarung yang di lilitkan di leher.
"Mau ke rumah Mbah Harjo, Pak" Jawab Alfan Sopan.

"Kowe meneng wae, Aku ra tekon nang awakmu" (Kamu diam saja, Aku tidak bertanya padamu) Hardik pria tersebut dengan mata melotot ke arah Alfan.
"Wes wengi kie cah ayu ngasuh disik neng kene, tak golekne seng anget anget" (Sudah malam ini cantik istrahat dulu di sini, kami carikan yang hangat) Ucap salah satu pria berkumis tebal yang duduk di pos.
"Semerep daleme Mbah Harjo Pak?" (Tau kediaman mbah Harjo Pak?) Tanya Juminten dengan sopan, memakai bahasa jawa halusnya.
"Oalah, Mbah Harjo to? Iki mau wonge ngongkon aku nyegat awakmu" (Oalah, Mbah Harjo yah? Ini tadi beliau menyuruh kami menghentikan kalian) Jawab pria paruh baya itu lagi.
"Jum" Panggil Dista lirih sambil mencolek pundak Juminten di depannya.

Alfan yang merasa situasi mulai tidak kondusif, berjalan ke depan untuk melindungi dua gadis yang bersamanya sekarang.
Juminten mengangguk pelan sambil tersenyum, mengerti maksud Dista.

Empat pria paruh baya suruhan Mbah Harjo, berjalan mendekat ke arah Alfan yang berdiri di depan Dista dan Juminten,
menghalangi keempat orang tersebut berharap semua bisa di bicarakan secara baik baik.
"Maaf Pak, kedatangan kami hanya berniat untuk ..." Kata kata Alfan terhenti saat kerah baju bagian belakangnya di tarik keras oleh Dista dan Juminten secara bersamaan.
"Minggiro! Koen iku ngarai suwe ae" (Minggir! kamu itu hanya menghalangi dan bikin lama saja) Teriak Dista sambil menarik kerah baju Alfan, kemudian ia berlari cepat ke arah empat pria, yang menghalangi mereka sambil melepas jaket.
Juminten berlari sambil terkekeh di samping Dista, pasalnya sudah lama ia tak melakukan kegilaan bersama Dista semenjak mereka tumbuh dewasa.
Dista meloncat tinggi dengan kaki mengarah langsung ke rahang pria paruh baya, yang melilitkan sarung di lehernya.

Buuakk ..
Tendangan atlit Taekwondo yang sampai sekarang masih aktif dalam organisasinya, mendarat tepat di rahang pria tersebut.
Mengakibatkan beberapa gigi lepas dari gusinya, sebelum pria itu ambruk ke tanah tak sadarkan diri.
Mengetahui temannya tumbang hanya dengan sekali tendangan, ketiga pria paruh baya lainya terkejut tak percaya.

Sebelum mereka bertiga bersiap melakukan pukulan balasan, Juminten sudah menendang keras pria berkumis lebat tepat di arah kemaluannya,
pria itu langsung roboh tersungkur di tanah karena rasa ngilu bercampur sakit yang teramat sangat di bagian vitalnya.

Terlalu cepat dan mudah bagi Dista, untuk menumbangkan orang suruhan Mbah Harjo,
dua rekan pria yang sudah tumbang yang kini masih berdiri kaku karena kaget tak percaya kini sudah ambruk, menyusul rekannya.
"Waduh .." Ucap Alfan lirih karena tak menyangka dua gadis yang seharusnya ia jaga, malah balik menjaganya dari empat pria yang tadinya berniat mencegatnya.
"Ayo Mas kesuwen, perasaanku ora enak iki. Pokoke nek sampek adekku kenek opo-opo awakmu tak idek nek kene" (Ayo Mas kelamaan, perasaanku sudah tidak enak. Pokonya kalo sampai terjadi apa-apa dengan Adikku kamu aku injak di sini)
Ucap Dista sinis, sambil memungut jaket yang tadi ia lempar.

"Jum uwes, koen iku lapo seh" (Jum sudah, kamu itu ngapain sih) Kata Dista pada Juminten, yang menendangi empat pria sedang tak sadarkan diri karena mereka berdua.
"Sek aku gurung puas" (Sebentar aku belum puas) Sahut Juminten, dengan kaki terus menginjak injak tubuh empat pria yang tak sadarkan diri.
"Koen iku gendeng ta?" (Kamu sudah gila?) Tanya Dista yang heran dengan tingkah Juminten.

"Ancene kirek, sampek mangkel i aku" (Emang binatang, sampai kesal aku di buatnya)
Sahut Juminten setelah menendang keras perut pria berkumis lebat, melampiaskan semua emosinya.

"Wes Ayo ndang cok, koen iku tambah ngarai suwe ae" (Sudah ayo cepat sialan, kamu membuat semakin lama) Umpat Dista agak kesal.
"Sek tah, wong iki ancene jancok, kudu di idek sek ben kapok. Macem macem karo awak dewe" (Sebentar lah, orang ini emang sialan, harus di kasih pelajaran biar kapok) Jawab Juminten sibuk, dengan menendangi empat orang tersebut secara bergantian.
"Yo ayo cok, tak tulungi" (Ya ayok sialan, aku bantuin) Sahut Dista mulai ikutan menendangi tubuh empat yang tak sadarkan diri.

Alfan tercekat melihat kelakuan kedua gadis yang menendangi empat orang dengan penuh emosi,
terbesit di pikirannya kalo kedua gadis yang saat ini lebih mengerikan dari pada rumah keluarga Wardana, tempatnya bekerja.
===

Dista, Juminten serta Alfan sudah berdiri di depan pintu rumah Mbah Harjo.

Braaakk ...

Dista menendang keras pintu yang tertutup rapat dari dalam, mengakibatkan pintu rusak.
Juminten bergegas memasuki rumah mbah Harjo, ia pukulkan bambu di tangannya ke meja kaca di ruang tamu rumah mbah Harjo seraya berteriak, "woy wong tuwek laknat metuo." Teriak Juminten keras.
Sedangkan di dalam kamar mbah harjo karkejut, mendengar pintu yang di didobrak paksa beserta suara kaca pecah.

Baju yang baru saja ia lepas, kini ia kenakan kembali.
Dista yang mengetahui rumah sedang sepi, bergegas mencari ke segala kamar. Di susul Juminten dan Alfan yang juga ikut berpencar ke seluruh rumah, mencari Mbah Harjo berada.
Dista mendobrak pintu kamar dengan keras, setelah ia mengawasi orang dalam kamar tersebut hanya ada,
istri pertama Mbah Harjo yang menggendong anaknya yang masih bayi dengan ketakutan kala melihat Dista.

Buaaakk ...
Sorot mata Dista memandang keji istri pertama mbah Harjo, sebelum Dista melangkah suara pukulan mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara.

Dista berbalik, ia berlari ke arah Alfan yang terjengkang karena pukulan Mbah Harjo.
Tanpa basa basi, Dista menyerang mbah Harjo, pria tua yang hanya mengenakan celana kain seperti sarung berwarna hitam, yang sengaja di lilitkan karena baru saja ia lepaskan,
tanpa mengenakan baju. Kini terjengkang ke belakang akibat tendangan Dista yang mengenai dadanya.
Juminten yang tiba tiba muncul, memukuli Mbah Harjo membabi buta dengan bambu yang ia anggap seperti jimat, mulut meracau tak karuan
"Wong Jancok, dukon picek ... " (Orang sialan dukun buta ...) Hingga mbah Harjo, merangkak kepalanya penuh darah yang mulai mengalir membasahi wajah tua lusuhnya.
Dista memasuki kamar, tangannya mulai melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Melisa.

Melisa memeluk Dista erat, tangisan kerasnya menandakan kelegaan hatinya atas kedatangan Dista dan Juminten yang menolong di saat yang tepat.
Hampir saja Mbah Harjo memperkosa dirinya, Dista menenangkan Melisa yang sedang ketakutan.

Di luar Juminten memukuli Mbah Harjo tanpa henti, hingga tumbuh pria tua itu diam tak bergerak.
Juminten menyeka keringat di keningnya, ia berhenti karena merasa capek sendiri.

"Wong tuwek asu" (Orang tua jahanam) Umpat Juminten dengan kekesalannya.
Dista memapah keluar tubuh lemas Melisa.
Kekacauan yang timbul di rumah Mbah Harjo membuat para tetangga sekitar rumah berdatangan, Alfan mulai menceritakan perihal yang terjadi saat ini.
Juminten yang kelelahan masih menyempatkan menendang tubuh Mbah Harjo, sebelum ia membantu Dista memapah Melisa.

Suasana menjadi semakin riuh, karena banyak warga terus berdatangan ke rumah Mbah Harjo.
Dista mulai menghubungi keluarga di malang, menjelaskan kronologi kejadian yang mereka alami.

Berkali-kali Juminten menghubungi Shepia ia nampak cemas, dengan kabar dari satu orang temannya yang belum di ketahui.
Penduduk geram mengetahui kelakuan Mbah Harjo, mereka mengikat tubuh pria tua tersebut pada tiang rumah.

===

Esok hari Jam 10 Pagi.
Para keluarga dari Malang sudah sampai di tempat tempat Dista dan Juminten berada.

"Yo opo seh, Nduk" (Gimana sih, Nak) ucap Bu Eni, Ibu kandung dari Shepia ia histeris ketika mengetahui anak gadis satu satunya tak ada kabar.
Kedua orang tua Ajeng, Bu Ririn sampai pingsan ketika anak gadisnya di nyatakan meninggal.

Lalu keluarga Eva meratapi kepergian anak gadisnya, mereka tak percaya Eva sudah tiada.

Melisa mulai menceritakan pelariannya bersama Ajeng semalam.
Malam saat mereka berdua berlari.

Melisa berlari mengikuti Ajeng meraka sama - sama panik, dengan pocongan yang tiba tiba jatuh dari atas.
Kedua gadis berlari di tengah gelapnya hutan berselimut kabut pekat, kaki meraka yang lelah terus di paksa untuk berlari.

Hingga akhirnya Melisa terjatuh karena kakinya tersandung akar pohon, senter yang ia genggam terlempar.
Akh ..

Melisa terkejut, karena kakinya di tarik dari belakang. Ia meronta saat sebuah tangan mencengkeram erat kakinya, mulutnya ingin berteriak tapi suara nya tak keluar.
Perlahan tubuhnya di seret ke belakang, meski ia meronta keras, tangan seseorang tak terlihat jelas karena gelapnya malam semakin erat mencengkeram pergelangan kakinya.
Ajeng yang menyadari Melisa tak bersamanya, berbalik matanya terbelalak kaget, saat Melisa di tarik dari belakang oleh seseorang.
Langkah kakinya yang semula gemetaran menahan ketakutan yang menjalari tubuhnya.

Kini ia paksakan berlari menolong temannya, ia kepalkan erat tangannya memukul ke arah sosok pria yang tak jelas wujudnya di kegelapan malam.
Buaak ..

Pukulan Ajeng tepat sasaran, pria itu jatuh tersungkur. Ajeng membantu Melisa bangkit, sebelum tangan pria itu menjambak rambut Ajeng.
"Mel melayu disek!" (Mel lari dulu!) ujar Ajeng setengah berteriak.
Melisa diam sesaat hatinya bimbang, antara lari atau melawan balik.
Melisa melemparkan tasnya ke arah pria yang menjambak Ajeng.
Sebelum Melisa sempat melawan balik, Ajeng mendorongnya keras menyuruhnya berlari, "ndang mlayu!" seru Ajeng keras.

Ajeng melawan balik pria yang kini sudah bergulung - gulung di tanah bersamanya.
Sementara Melisa dengan berat hati berlari menuruti permintaan Ajeng, ia sempat menoleh ke belakang jauh dalam benaknya ia ingin melawan orang tersebut bersama Ajeng.
Jatuh bangun Melisa berlari dalam hutan, tanpa penerangan cahaya tanpa tahu arah dan tujuan, kaki yang yang telah lelah ia paksa terus berlari dan berkali kali ia jatuh tersandung akar pohon.
Hingga kesekian kalinya ia terjatuh, pandangannya menatap seorang wanita dengan gaun putih yang berdiri di depannya.

Melisa terkejut, ia tak percaya dengan seseorang yang kini berdiri di depannya. "M-mbak Santi?" lirih Melisa.
Air matanya mulai berlinang, memikirkan nasibnya saat ini. Sosok perempuan yang setiap malam datang mengetuk pintu setiap rumah saat malam datang kini berdiri di depannya.
"Liwat kono Mel" (Lewat sana Mel) Kata Mbak Santi, tangannya menunjukan arah pada Melisa. Wajahnya begitu teduh senyumannya menghiasi bibir tipis gadis yang dulu pernah saling bergurau dengannya.
Senyuman Mbak Santi padanya, seperti menambah kekuatan untuk Melisa. Ia bergegas berlari ke arah yang di tunjukan Mbak Santi padanya.
"Mbak, suwun .." (Mbak, Makasih ..) Melisa menghentikan larinya, ia sempatkan menoleh ke belakang mengucapkan terimakasih pada Santi, yang di balas angukan pelan beserta senyuman ramahnya.
Mbah Harjo di paksa menunjukkan letak jenazah Ajeng oleh Pak Yanto, Ayah Ajeng sekaligus kepala desa.

Rombongan menuju hutan bambu yang di maksud dukun Harjo, isak tangis para kelurga mengiringi langkah mereka menuju lokasi korban.
Juminten mencari - cari Dista dan Alfan yang tiba - tiba menghilang, ia nampak heran dengan hutan bambu sangat berbeda dengan pertama kali mereka datang. Panggilan Mak Ten,
Ibunya tak ia hiraukan pikirannya jauh menerawang waktu pertama kali datang.

Berarti selama ini dugaannya benar, waktu pertama kali masuk ke desa mereka sudah memasuki alam lain.
===

Di tempat lain.

Dista mengutuk Alfan dengan makian kasarnya, ia tak sabar dengan kabar adik sepupunya saat ini.

Dengan terpaksa karena Dista terus menekan Alfan ia mengantar Dista ke tempat Utari saat ini.
"Pokok'e nek sampek adekku ilang awas ae" (Pokoknya kalo sampai adikku hilang awas saja) ujar Dista di sela perjalan mereka berdua ke tempat Utari berada, Alfan yang mendengar peringatan Dista sedikit bergidik.
Ingatannya kembali berputar mengingat, kelakuan bar-bar Dista pada Mbah Harjo dan 4 centengnya semalam.

"Sabar to Mbak, ojo emosi ae" (Yang sabar Mbak, jangan emosi terus) MbakJawab Alfan menenangkan Dista agar tak emosi.
Telinga Alfan terasa panas akibat Dista terus mengumpatnya dengan makian kata kotornya.

Utari sedang duduk bersantai di sebuah warung makan, ia tahu Alfan akan datang menemuinya. Ia tidak menyadari jika Dista ikut bersama Alfan.
"Heh Mbak, endi adekku" (Heh Mbak, mana adikku) cerca Dista yang sempat berlari memasuki warung ketika melihatnya.

"Sabar to Mbak, duduk dulu kita bicara baik-baik" ucap Alfan pelan,
Utari menghela nafas panjang kemudian tersenyum tenang ke arah Dista.

Utari menenangkan Dista yang tersulut emosi karena tak mendapati adiknya bersama Utari.
Setelah Dista agak tenang, Alfan memesan beberapa minuman dan makanan. Utari mulai menceritakan kejadian yang di alaminya ketika bersama Shepia.

***
Tamu Tak di undang.

Utari berdiri mengawasi dari luar rumah kedua Mbah Harjo, ia pusatkan konsentrasinya menahan kekuatan gaib dari Nyai Rukmi.
Wujud bungkuk nenek tua mengenakan baju adat jawa tersebut, tersenyum menyerigai ke arahnya.
Sementara Shepia sudah memasuki rumah mencari kendi tumbal pesugihan yang mengurung jiwa para tumbal.
Suasana menjadi senyap, keringat terus menetes membasahi dahi Utari. Badanya seperti terikat nafasnya tersengal, angin kencang tiba-tiba datang.
Utari terkejut matanya menatap seorang gadis sedang berjalan santai di depannya, "Trah Suryono?" ucap Utari lirih.

Utari tak percaya dengan kedatangan anak angkat kelima Trah Suryono yang tiba-tiba muncul.
Banyak pertanyaan di benaknya, bagaimana mungkin salah satu orang terpenting sepertinya berada di sini.

Gadis yang memakai jaket merah panjang bernama, Disa Anindya Malik Ramlan tersebut mengehentikan langkahnya,
ia menoleh ke arah Utari.

Darah mengalir pelan membasahi kening Utari, tubuhnya tak bisa di gerakkan.
Disa memandang Utari dengan sorot mata merendahkan lawannya,
lesung di kedua pipinya muncul saat senyuman dingin Disa ke arahnya membuat darah yang keluar dari ubun-ubunnya semakin deras mengalir.
"Kau sudah terlalu jauh membawanya" ucap Disa lirih, sorot mata tajamnya memaksa Utari untuk bertekuk lutut di depannya.

Meski Utari mencoba menahan, akhirnya ia harus tumbang tergeletak di tanah tak sadarkan diri.
Disa berjalan pelan memasuki rumah tua milik Mbah Harjo, rumah yang sengaja tak di huni, hanya di gunakan untuk ritual di saat tertentu.
Suara jeritan serta tangisan dari para korban tumbal, terngiang di telinganya.
Disa tau di mana Shepia saat ini berada, sosok buruk rupa Nyi Rukmi sedang mencekik leher Shepia dari belakang.
Nafas Shepia tertahan karena cengkeraman tangan tua mahluk tua tersebut, bau busuk yang berasal dari badan Nyi Rukmi tercium menyengat.
Tubuh ringkih wanita tua dengan badan terus meneteskan darah berbau busuk dari lehernya, kini terlempar ke samping setelah sebuah dorongan kuat dari kekuatan gaib yang Disa keluarkan.
Disa berdiri angkuh bersandar di tembok kamar, sementara Shepia lemas sebelum ia tak sadarkan diri Disa masih sempat mencelanya dengan sebutan 'orang lemah' lalu menyebutkan namanya.

Disa berjongkok di samping Shepia yang-
tidur di lantai, sedangkan Nyi Rukmi terkekeh keras.

"Minggat!" Kata Disa tegas, sorot matanya mengisaratkan kebencian pada mahluk tua tersebut.
Lalu lantai rumah bergetar hebat, marmer yang semula di tata rapi kini mulai retak debu mulai berjatuhan dari atas, guncangan dahsyat terjadi malam itu.
Sosok Mahluk dengan badan penuh api merah menyala, mencengkeram tubuh Nyi Rukmi saat ini.

"Minggat opo tak tak sampurnakno?" (Pergi apa aku sempurnakan?) ucap Disa dingin, tangan kirinya mengelus pelan kepala Shepia di bawahnya.
===

Hutan Bambu tempat para korban pesugihan di kubur.

Bu Eni nampak menangis histeris karena hanya jenazah putrinya yang tidak ditemukan, Sofi yang ikut dalam rombongan itu,
menenangkan Bu Eni, sementara Ayah Shepia membantu mengangkat jenazah para korban yang di kubur di tengah hutan bambu.

Berkali-kali Bu Ririn pingsan karena melihat tubuh kaku Ajeng, tangisan kehilangan para korban terus terdengar.
Gemah takbir terus berkumandang saat satu persatu lubang di gali.

Kakek Shepia nampak tenang, ia tau tidak selamanya bisa menyembuyikan keberadaan cucu gadisnya.

Juminten berkali kali mengumpat Dista yang menghilang bersama Alfan.
Malam di saat semua temannya berlari ketakutan, Eva juga terkejut karena penampakan pocong yang tiba-tiba jatuh di tengah-tengah mereka.

Mata Eva beradu pandang dengan Shepia yang tengah berlari menjauh, karena tangannya di tarik oleh Dista.
Dalam diam Eva mencerna semua kejadian, demi kejadian yang mereka alami. Berlari menjauh tidak akan menyelesaikan semua masalah yang sudah terjadi.
Timbul rasa bersalah karena ia yang menuntun semua teman-temannya, masuk dalam perangkap licik Pak Anam bersama Mbah Harjo.

Kini Eva sadar. Saat pertama kali datang ke desa sebelum memasuki hutan,
mereka sudah masuk dalam permaianan Mbah Harjo.

Air mata sebagai tanda penyesalannya, mengalir membasahi kedua pipinya. Dalam duduk meringkuk,
memeluk kedua lututnya, Eva mulai mengutuk dirinya sendiri.

Rasa bersalah akan nasib kelima temannya, yang di haruskan mati sampai besok malam.
Serta teriakan kesakitan dari para gadis korban tumbal pesugihan, untuk Nyai Rukmi membuat hatinya semakin menciut.

Malam semakin sunyi, Eva yang masih terpuruk karena rasa bersalahnya menangis keras, dalam kegelapan malam.
Ingatan Eva kembali mengingat masa lalunya, bersama Shepia. Meski beda kelas dan Eva lebih tinggi satu tingkatan, kisah persahabatan mereka berdua selalu ia kenang.
Eva yang memiliki latar belakang seorang Anak indigo, tentang agama yang di anutnya. Menjadikan dirinya di kucilkan dalam pergaulan.
Hanya Shepia yang mengulurkan tangan padanya, menerimanya layaknya seorang saudara kandung sendiri.
Kini ia sadar, tentang sebuah jalan yang akan pilih. Berlari menyelamatkan dirinya sendiri, atau berkorban demi kelima temannya. Ia kepalkan erat kedua tangannya, lalu mengusap sisa air matanya yang telah berhenti mengalir.
Eva beranjak dari duduknya, pocongan yang yang tadi muncul hanyalah siasat Mbah Harjo agar kami terpencar, dan saat kami berpencar karena rasa panik bercampur ketakutan di sanalah teror kiriman akan di lancarkan, oleh Mbah Harjo.
Dalam diam Eva memandangi langit pekat, tanpa taburan bintang di malam hari. Senyuman bahagia menghiasi bibir tipisnya, ia sudah membulatkan tekad.

Eva bergegas berlari keluar dari bangunan tua yang telah roboh,
ia berlari tanpa penerangan cahaya. seolah tau arah arah tujuannya saat ini.

Seandainya temannya tadi tidak berlari, seandainya mereka masih berkumpul, tidak terpencar. Mungkin mereka berenam masih selamat sampai saat ini.
Namun ia hanyalah manusia biasa,
ia tidak bisa menyalahkan keadaan yang sudah terlanjur terjadi.

Yang harus ia lakukan saat ini adalah. Bagimana caranya menyelamatkan mereka meski dengan taruhan nyawanya sendiri.
Eva sudah sampai di sungai kecil, di sebrang sungai. Sudah terlihat gapura kecil dengan lumut yang tumbuh menjalar di tiap bagian gapura.

Eva semakin mempercepat larinya, menyeberangi sungai dengan bebatuan di tengah sungai, dengan air jernih.
Keringat yang keluar membasahi keningnya, nampak tak di dihiraukan oleh Eva.

Tangga kecil yang mengarah ke atas bukit, dengan pohon bambu yang tumbuh lebat di samping kiri kanan anak tangga.
Membuat suasana malam semakin angker.

Di atas bukit, tanah lapang dengan pagar setinggi satu meter yang mengelilingi tanah tersebut. Menjadikan pembatas antara tempat ritual dengan pohon bambu di sekitar tempat itu.
Seorang pria paruh baya sedang duduk bersila, di depan gundukan tanah kuburan dengan batu nisan kayu yang telah lapuk termakan usia, menandakan usia kuburan tersebut sudah puluhan, bahkan ratusan tahun silam.
Pak Anam sedang melakukan ritual pesugihan, ia baru saja selesai menanam kotak berisi syarat perjanjian. Yang telah ia isi dengan nama-nama korban tumbal pesugihannya pada Nyai Rukmi.
Bermacam macam bunga ia tabur di segala penjuru tempat, bau asap kemenyan yang ia bakar mulai tercium di segala arah.

Terakhir yang harus ia lakukan adalah, menyembelih ayam cemani (Ayam hitam) untuk ritual terakhir.
Darah dari ayam cemani harus ia minum sebagai tanda bahwa ia telah menandatangani kontrak pesugihan dengan Nyai Rukmi. Dan setiap 2 tahun sekali Pak Anam harus menyerahkan nyawa 1 Gadis pada Nyai Rukmi.
Sebelum Pak Anam sempat menyembelih ayam cemani yang hendak gorok dengan pisau di tangannya, Eva yang tiba-tiba datang menendangnya dari belakang.
Pria paruh baya itu tersungkur ke tanah, ayam yang hendak ia jadikan syarat sebagai tanda persetujuannya dengan Nyai Rukmi, lepas dari tangannya dan hilang di rimbunnya hutan bambu dalam kegelapan.
"Wong tuwek asu ! ora duwe utek" (Orang tua tak tahu diri ! tidak punya otak) Umpat Eva emosi, kemudian ia menendangi semua barang yang sudah di tata Pak Anam di atas kuburan tua itu.
Bunga, Bahkan arang yang terbakar di cobek, tak luput dari tendangannya.
Pak Anam segera berdiri dengan pisau terhunus pria tua itu, bernafsu membunuh Eva yang merusak semua rencananya.
Dengan Cepat, Eva menghindari tusukan pisau Pak Anam. Kaki kanannya menendang perut Pak Anam, mengakibatkan tubuh pria paruh baya itu, terpelanting menabrak pohon kamboja di samping kuburan.

Hening !
Tubuh Pak Anam tak bergerak bersandar di pohon kamboja, Eva mengira Pak Anam telah pingsan karena tendangan kakinya tadi.
Tiba-tiba Pak Anam terkekeh keras, Eva terkejut mendengar suara tawa Pak Anam, ia sadar itu bukan suara Pak Anam. Melainkan suara tawa Nyai Rukmi yang merasuki tubuh Pak Anam.
Eva terbelalak kaget, saat tubuh Pak Anam berdiri cepat seolah tubuhnya ditarik oleh sebuah tali yang memaksanya untuk berdiri.
Kini tubuh kurus Pria paruh baya tersebut tengah berdiri lunglai, dengan kepala melihat ke bawah, Serta suara tawa terkekeh terus keluar dari mulutnya.

Eva berjalan mundur pelan-pelan, ia sadar Nyai Rukmi telah merasuki tubuh Pak Anam.
Sebelum Eva bersiap mengambil ancang-ancang. Dengan cepat Nyai Rukmi yang tiba-tiba sudah di depannya telah mencekik lehernya, kaki Eva meronta tangannya mencakari tangan yang mencekiknya.
Berharap tangan pria tua tersebut terlepas dari lehernya.
Tak lama Tubuh Eva telah melemas, tangannya yang semula mencakari lengan Pak Anam, kini terjuntai ke bawah.

Eva meninggal di tangan Nyai Rukmi.
Pak Anam yang telah tersadar, masih linglung karena nyawanya belum pulih.
Namun matanya terbelalak kaget, saat mengetahui wujud bungkuk Nyai Rukmi yang berdiri di hadapannya saat ini, tengah tersenyum menyerigai ke arahnya.
Pak Anam mulai berteriak histeris, kala Nyai Rukmi menyeret tubuhnya.

Tak ada pertolongan untuknya, teriakan keras terakhir Pak Anam di malam itu, menjadi saksi kematian pria paruh baya yang belum sempat menyempurnakan kontrak pesugihannya dengan Nyai Rukmi.
===

Hutan Bambu. Tempat para korban pesugihan Nyai Rukmi di kubur.

Gemuruh takbir masih dikumandangkan, puluhan orang yang menyaksikan penggalian untuk mencari jenazah yang di kubur, terus bersahut sahutan.
Satu persatu tubuh kaku para gadis yang sengaja di tumbalkan kini telah di angkat, beberapa polisi beserta tim medis tengah bersiaga memantau jalannya pencarian para korban.
Keluarga dari malang pun tak luput dari emosi, "Jancok dukun picek" (Sialan dukun buta) terdengar umpatan salah satu pihak keluarga yang menjadi korban.

Juminten yang sedari tadi mencari-cari keberadaan Dista yang menghilang nampak kesal.
Berkali-kali ia tekan tombol panggilan untuk menghubungi Dista dan Shepia, namun suara perempuan yang sama dari dalam ponselnya terus terdengar, menandakan kedua nomor yang ia hubungi tidak aktif.
"Jancok lah, Dista iki sak karepe dewe, ngene iki lak maleh aku seng di takok i aneh-aneh engkok, ancene kirek tenan kok" (Sialan, Dista semaunya sendiri, kalo begini aku yang nantinya di tanya aneh-aneh, memang Dista anjing)
Gumam Juminten kesal, meski hatinya lega karena sampai saat ini ia masih hidup. Namun ia binggung bagaimana menjelaskannya nanti saat semua pertanyaan yang di ajukan padanya nanti.
Sedangkan Shepia sampai saat ini tidak di temukan, lalu Dista tiba tiba menghilang begitu saja.

Tidak mungkin juga Melisa yang di tanyai dengan kondisinya sampai saat ini hanya bisa menangis, karena trauma berat.
Kakek Shepia sedang berbicara serius dengan Bu Eni Ibu Shepia, beliau menuturkan pada Bu Eni jika Shepia sekarang masih baik baik saja.
Kakek Shepia memandang teduh ke arah Juminten, seraya tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Juminten yang dari awal tak berani menatap wajah kakek Shepia karena semacam aura yang terpancar dari sang kakek,
yang membuatnya engan melihat bahkan terkesan aura kharisma dari sang kakek mengharuskannya, menunduk jika melihat kakek Shepia. Kini lega karena tahu maksud kakek sahabat karibnya saat itu.
Dista yang tiba-tiba muncul mendorong keras orang-orang yang menghalangi jalanya, sontak para orang dewasa yang berdiri menonton jalannya pencarian para korban tedorong kedepan karena dorongan Dista.
Beberapa wartawan yang sedari tadi bersiap berlarian kerah Dista, karena ingin mengorek informasi darinya.

"Kate takok opo kon cok !" (Mau tanya apa kalian sial !) Maki Dista kasar, dengan dengan nada marah.
Mata Dista berkaca-kaca saat mengetahui keluarga ada di sini saat ini. Tak ada ucapan apa pun dari mulutnya Dista diam membisu, ia berlari bersujud di kaki Bu Eni.
Dista menangis keras sambil memegangi kaki Bu Eni, berkali kali ia meminta maaf pada Ibu Shepia. Karena telah melalaikan tanggung jawabnya sebagai seorang kakak, yang seharusnya menjaga adiknya.
Bu Eni yang sedari tadi menangis kini memeluk Dista, Ibu satu anak itu menyeka air mata Dista, ia tak menyalahkan Dista atas menghilangnya anak gadisnya.
Kakek Shepia telah menjelaskan padanya, bahwa Shepia sedang baik-baik saja saat ini.

Mereka tidak bisa selamanya menyembunyikan Shepia, sudah waktunya bagi mereka merelakan Shepia mengikuti takdir besar yang di gariskan keluarga Ramlan.
"Cok, moro-moro ngilang ae" (Sial, tiba-tiba menghilang saja) Umpat Juminten menendang pantat Dista yang bersimpuh bersama Bu Eni, ia nampak tak peduli dengan reuni kecil keluarga ini.
Pak Anam di temukan tewas dengan kepala terputus dari badanya di dalam hutan bambu, beserta isi perutnya berserakan di sekeliling tubuhnya, seperti di paksa keluar dari lubang lehernya yang terputus.
Tiga tahun setelah kejadian Arwah Penasaran Santi. yang menjadikan 6 gadis muda dalam petaka besar.

Seorang gadis duduk di meja rias, dua orang wanita sedang merias pengantin wanita.
Orang-orang berlalu lalang dengan kesibukan masing masing menyiapkan acara pernikahan.

Juminten nampak sedang membantu menata kue-kue di piring untuk hidangan para tamu.
Dista yang telah selesai di rias di hari pernikahannya, bak seorang ratu berjalan pelan menghampiri Juminten.
"Nyingkrih'o awakmu melaku, koyok Mbok Mban ae, ora nyerimpeti ta ngunu iku?" (Pergi sana, kamu berjalan seperti lumbuk saja, apa tidak susah berjalan seperti itu) Kata Juminten, saat mengetahui Dista menghampirinya.
Dista memeluk Juminten erat, terbesit rasa rindu pada seorang adik yang dulu manja padanya. Sampai di hari pernikahannya saat ini sosok adik manja yang selalu ia lindungi tiada kabar keberadaannya.
Acara pernikahan Dista di adakan sangat meriah, dengan adat jawa.

Siang itu, acara kesenian reog ponorogo yang di adakan untuk memeriahkan pernikahan sekaligus khitanan anak Mas Roni berlangsung ramai oleh banyaknya penonton yang memadati lokasi.
Sedan putih keluaran terbaru menepi di pinggir jalan, lalu seorang gadis muda berjaket hitam berbahan parasit keluar dari dalam mobil.
Gadis bermata bulat bening, serta wajah yang ditutupi masker putih, berjalan memasuki tenda pernikahan. Tudung jaket yang menutupi kepalanya menyembunyikan identitas dirinya saat ini.
Para tamu yang yang sedang duduk di meja panjang menikmati hidangan yang di sajikan, terheran dengan kedatangan gadis tersebut, bahkan ia nampak melewati dua gadis yang bertugas sebagai penerima tamu yang duduk di depan tenda.
Gadis itu terus berjalan di tengah-tengah para tamu yang berhenti memakan hidangan di depan mereka, mata mereka terus memperhatikan langkah gadis berjaket hitam tersebut.
Juminten dan Melisa yang sedang berfoto dengan kedua mempelai menatap nanar, ke arah gadis yang berjalan ke arah mereka.

Suasana riuh tiba-tiba menjadi hening saat kedatangan gadis ini.
Bahkan kedua mempelai yang duduk di kursi pernikahan diam membisu mengikuti para tamu undangan yang diam seribu bahasa.

Gadis itu menaiki tangga kecil tempat dua mempelai serta Juminten, Sofi dan Melisa saat ini berada.
"Sopo Awakmu?" (Siapa kamu) Tanya Dista yang memakai baju pengantin dengan adat jawa pada gadis yang saat ini sedang berdiri di depan mereka.
Mata Juminten berbinar, mulutnya terbuka lebar bersamaan tudung jaket yang menutupi kepala gadis itu di lepas, rambut hitam lurus panjangnya kini tergerai.

"SHAAAPIII ..." Teriak Juminten keras, berlari memeluk Shepia yang tiba tiba datang saat ini.
Air matanya tak terbendung lagi, rasa rindu pada seorang sahabat yang telah lama hilang, kini ia tumpahkan dalam tangisan dengan memeluk Shepia.

Melisa dan Sofi tak kalah terkejut, mereka juga berlari ikut memeluk Juminten dan Shepia.
Dista mendorong pemuda yang saat ini menjadi suaminnya, ia bergegas berdiri tak menghiraukan para tamu undangan yang kebingungan karena mereka berteriak histeris dengan kedatangan Shepia.
"Sek cok, gantian iki adekku" (Sebentar sial, gantian ini adikku) Dista menarik Sofi dan Juminten yang memeluk-
Shepia dari depan.

Mereka berlima berteriak, serta tangis haru dalam kebahagiaan yang telah lengkap dengan kedatangan Shepia yang telah mereka nantikan.
Sebuah kisah perjalanan hidup yang tidak akan pernah mereka lupakan.
Tentang perjuangan, arti sebuah ikatan persahabatan, tentang sebuah kebersamaan dalam suka dan duka yang mereka lalui. Akan tetap menjadi cerita hingga di masa tua mereka nanti.
Geger Makam Santi.

Pagi hari di desa Jati Sari, geger karena makam Santi di bongkar tanpa sepengetahuan perangkat desa dan warga. Meski beberapa warga mengusulkan agar jenazah Santi kembali di sucikan.
Pak Kades dan beberapa perangkat desa datang ke lokasi kuburan Santi, beberapa warga nampak berkerumun karena laporan pak Imam.
Kuburan Santi sudah ambles ke bawah pagi hari itu, Pak Kades menyuruh dua orang untuk membongkar makan Santi pagi itu. Karena merasa curiga dengan keadaan tanah makam yang seperti habis di gali.
Dua orang suruhan pak Kades segera mencangkul kuburan Santi. Karena tak ingin menimbulkan keramaian lagi, beberapa warga yang berkumpul di suruh bubar sejenak, sambil menunggu kabar.
Dari penuturan Juminten yang ia dengar dari Ibunya, waktu makam Santi di bongkar, yang ditemukan justru pelepah pohon pisang. Jasad Santi tidak ada di dalam lubang kuburnya,
Pak Kades dan perangkat desa beserta beberpa warga yang menyaksikan hal itu amat terkejut.

Atas perintah Pak Kades, salah satu aparat desa menemui keluarga Pak Anam.
Di Rumah Pak Anam hanya ada Bu Anam seorang diri. Sementara Pak Anam sudah dari kemarin belum pulang dari penuturan Bu Anam, Pak Anam sejak kemarin malam belum pulang kerumah.
Sementara Didik, kakak laki-laki Santi sedang terbaring sakit di atas ranjang tidurnya, tak jelas sakit apa yang di deritanya. Badan Didik membiru di sekujur tubuhnya, bahkan panas badanya tak kunjung turun sejak tiga hari ini.
Anas, perangkat desa yang di utus pak kades menjelaskan jika jasad Santi tidak ada dalam kuburannya.

Mendengar jasad anak gadisnya tidak berada di tempatnya, Bu Anam kaget sampai pingsan beberapa kali.
Wanita paruh baya yang mengenakan hijab tersebut tak kuasa menahan beban hidupnya, di saat genting begini suami tak berada di sampingnya, Pak Anam hanya berkata padanya kalo keluar kota untuk beberapa hari.
Gunjingan para tetangga yang terus mencibir keluarganya, karena Santi anak gadisnya menjadi setan yang bergentayangan setiap malam.
Sepulang Anas dari rumahnya, Bu anam tak kuasa menahan tangisnya. Wanita berhijab tersebut terduduk sambil menangisi nasip keluarganya.

"B-Buukk .." Suara serak, pelan Didik dari kamarnya.
Bu Anam masih belum beranjak dari duduknya, meski ia mendengar suara Didik memanggilnya, Bu Anam butuh beberapa saat untuk menguasai emosinya dan menghapus air matanya saat bertemu Didik di kamarnya nanti.
Dalam kamar tubuh Didik kejang, mata didik melotot pemuda 29 Tahun yang belum menikah tersebut, seperti sedang melihat hantu yang mendatanginya.

Bu Anam melangkah pelan menuju kamar Didik yang sedang terbaring tak berdaya saat ini.
Jika dulu kamar Didik sangat bersih dengan berang-barang yang di tata rapi. Berbeda dengan saat ini, kamar Didik berbau amis dari daging busuk bercampur kotoran serta air seni yang terus menerus keluar dari tubuh Didik.
Melihat tubuh Didik yang mengejang, Bu Anam mempercepat langkahnya menghampiri Didik, meski berkali-kali Bu Anam mengucapkan kalimat Syahadat untuk mengiringi kepergian anak lelakinya, Didik tetap diam membisu dengan mata melotot.
Pemuda itu meninggal secara tidak wajar.

Bu Anam kembali menangis dengan memeluk tubuh Didik yang sudah tidak bernyawa, setelah puas dengan tangisannya meratapi nasip keluarganya,
dan cibiran para tetangga yang menghujat keluarganya. Membuat Bu Anam tak kuasa menanggung beban hidupnya, tidak ada yang memberikan pertolongan untuknya,
dengan pandangan mata kosong wanita paruh baya itu mengakhiri hidupnya dengan gantung diri dalam rumahnya.

Bu Juminten tetangga depan rumahnya, mencoba menanyakan kabarnya.
Karena sejak kemarin pagi setelah kabar jasad Santi hilang dari kuburannya Bu Anam sama sekali tak terlihat keluar rumah, bahkan di dalam rumahnya pun nampak sepi seperti tak berpenghuni.
Meski engan berurusan dengan keluarga Pak Anam, Mas Roni, Pak Soleh dan beberapa orang datang karena Bu Juminten yang panik saat bau busuk tercium dari dalam rumah Pak Anam.
Setelah pintu di buka paksa, beberapa orang masuk untuk memastikan keadaan keluarga Pak Anam, karena sedari tadi mereka memanggil tak ada jawaban dari dalam rumah.
Setelah kemarin jasad Santi yang menghilang dari kuburannya, kini Bu Anam dan Didik di temukan meninggal dalam rumah, sementara Pak Anam masih tak di ketahui keberadaannya.

===
Malam di saat semua warga lebih memilih berdiam di dalam rumah, Pak Anam mengendap-endap keluar rumahnya.

Pria paruh baya itu menuju kegelapan malam, menuju jalan setapak yang mengarah ke sungai.
Sengaja ia tak membawa senter untuk menerangi jalannya, agar warga tak curiga dengan kepergiannya.

Sesampainya di kuburan desa ia segera menuju ke makam Santi putrinya.

Pak Anam mulai menggali tanah kuburan Santi dalam kegelapan malam.
Pria paruh baya itu tak menghiraukan bau busuk menyengat dari lubang kubur yang ia gali, beberapa kali Pak Anam membasuh keringat di dahi yang mulai menggangu pandangannya,
setelah jasad Santi ia angkat lalu mengganti dengan pelepah pisang yang ia bawa dari sungai tadi.

Tubuh yang sudah membiru serta mengeluarkan bau busuk menyengat dari tubuh kaku Santi, yang berbalut kain kafan putih yang sudah lusuh.
Pak Anam akan membawa jasad Santi ke tempat ritual lalu menguburkannya di sana, bersama 6 gadis yang juga sedang ia jadikan tumbal pesugihan.

===
Pagi hari bertepatan dengan kematian Bu Anam yang bunuh diri serta Didik anak lelakinya.

Pak Kasim Ayah dari Melisa gadis yang pergi ke kota Klaten Jawa tengah, mendapat kabar dari Melisa putrinya.
Belum sempat kekagetan tetangga keluarga Pak Anam yang mengetahui Bu Anam dan anaknya Didik meninggal, kini mereka kembali terkejut ketika mendapat kabar dari ke lima gadis yang pergi ke Klaten dua hari lalu,
kejadian ini masih ada keterikatan Pak Anam di dalamnya, karena Dista dan Ella menceritakan kejadian yang sangat tidak masuk akal. Pak Anam menjadikan ke lima gadis yang masih tetangganya untuk di jadikan tumbal pesugihan.
Perasaan campur aduk, kelima orang tua gadis yang akan di jadikan tumbal pesugihan Pak Anam.

Istri Pak Kades menangis histeris sepanjang perjalanan, menyusul ke klaten karena Ajeng Anak pertamanya di kabarkan meninggal saat menolong Melisa.
===

Hutan bambu tempat di kuburnya para gadis korban pesugihan ramai di kunjungi penduduk.

Dari pengakuan Mbah Harjo dukun yang menjadi pelantara antara Pak Anam dan Nyai Rukmi, jika puluhan gadis dari daerah yang berbeda juga di kubur di hutan bambu ini.
Dari sekian banyak jenasah korban pesugihan yang di kubur di tanah terlarang ini, hanya satu orang gadis yang sampai saat ini tidak di temukan keberadaannya.
Mbah Harjo yang di kawal ketat oleh 5 Polisi, menjadi bulan-bulanan Ella atau Juminten yang emosi karena satu temannya di nyatakan menghilang.

Beberapa kali polisi mencoba menenangkan Ella dari emosinya,
saat polisi lengah Ella kembali berulah dengan menendang perut Mbah Harjo dengan tumitnya, tak sampai di situ. Ketika Mbah Harjo mengerang kesakitan karena tumit Ella mendarat di perutnya.
Ella kembali menendang wajah Mbah Harjo keras, hingga darah keluar dengan deras dari lubang hidung pria paruh baya tersebut.
Terlambat, meski Mbah Harjo memohon belas kasihan dari pihak keluarga, bahkan ia bersedia mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Ella kembali memukulkan tangannya ke arah wajah Mbah Harjo, namun kali ini usahanya gagal karena polisi menahan pukulannya.

Dista yang melihat Ella sedang kalap dengan badan di tahan oleh polisi,
menangis di pangkuan Bu Eni bibinya, Ibu dari Shepia gadis yang sampai sekarang belum di temukan keberadaannya.
Pak Mahmudi ayah Ella yang membantu menggali mencari korban, kaget saking paniknya ayah Ella itu sampai naik ke atas tak melanjutkan membantu menggali, karena jasad Santi yang menghilang di temukan di tempat ini.

===
"Wes tala buk, ojo nangis ae" (Sudahlah buk, jangan menangis terus) Ucap Suami Bu Eni Ayah dari Shepia.

Wanita berusia 42 Tahun tersebut masih terus menangisi putri semata wayangnya.
"Iklasno Nduk" Kata Abah Muklis Mertua Bu Eni sekaligus, kakek Shepia.

"Iklas seng koyok opo maneh Pak?" (Iklas yang bagai mana lagi Pak?) Tanya Bu Eni dengan air mata terus bercucuran menangis putrinya.
Abah Muklis sadar, meski Shepia bukan anak kandungnya, Bu Eni sangat menyayangi gadis yang ia titipakan 16 tahun yang lalu.

Selama ini ia telah menutupi keberadaan Shepia dari saudara kandungnya,
karena ia berharap lebih baik jika Shepia menjalani kehidupan normal bersama Bu Eni dan Farid sebagai ayah dan ibu Shepia.

Abah Muklis kembali teringat akan peristiwa nahas 16 tahun yang lalu,
peristiwa mengerikan yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.

Kini ia harus mengiklaskan cucu gadisnya, karena dari awal Shepia hanya di titipkan. Bukan di berikan padanya,
maka jika sudah tiba waktunya Shepia di ambil oleh saudaranya, ia dan kedua orang tua angkat Shepia harus mengiklaskannya.
"Sabar Nduk, Shepia mesti moleh. Anakmu ora kirane lali karo awakmu seng ngopeni kaet cilik." (Sabar Nak, Shepia pasti pulang. Anakmu tidak akan pernah lupa kepadamu yang sudah membesarkannya sedari kecil.)
Kata Abah Muklis sambil mengelus punggung menantunya.

Di balik wajah khawatirnya, Abah Muklis tersenyum karena ia sadar cucunya sekarang sudah berada di tempat aman dan bersama kakak kandung perempuannya.
Episode Of Shepia.

Sheeepia .. Bangun, katanya mau ke malang hari ini?" Suara Mbak Ayu di siang hari membangunkan tidurku,

Ku kucek pelan kedua mataku, aku masih ingin bermalas-malasan di atas kasur.
Karena baru seminggu ini aku bisa menghirup udara bebas, setelah apa yang di lakukan Mbak Ayu padaku.

"Eh .." Aku terperanjat kaget, mengingat hari ini adalah hari istimewa. Bukan bagiku,
tapi bagi Dista kakak sepupuku karena di hari ini, ia melangsungkan pernikahan.

Cepat-cepat aku meloncat dari kasur, lalu berlari kecil menuju kamar Mbak Ayu.
"Sugeng Enjing Non" (Selamat pagi) Sapa Bu Ines Abdi ndalem rumah besar milik Mbak Ayu.

"Iya, Buk" Kataku membalas sapaan lembutnya.
Sebenarnya aku tak ingin di perlakuan istimewa di rumah ini, tapi mbak Ayu bilang kalo aku harus menempatkan posisiku sebagai mana semestinya.

3 Tahun yang lalu setelah kejadian Arwah Penasaran Santi. Aku di titipkan di keluarga ini,
dengan harapan di usiaku yang menginjak dewasa ini, bisa meneruskan tradisi Trah Ramlan yang mengalir dalam darahku.

Meski Mbak Ayu sudah seperti kakak kandungku sendiri, tapi gemblengan yang kuterima darinya jauh di luar perkiraanku.
Berbagai ritual kujalani, mulai dari puasa pati geni, senin kamis, puasa mutih selama 40 hari, dan akhirnya aku di asingkan di berbagai hutan yang tak pernah kuketahui namanya.
Yang lebih parah lagi, aku di kubur hidup-hidup menjalani, hidup di antara dua alam. Alam dunia dan alam kubur.

Mentalku benar-benar di uji di sana, berbagai mahluk dunia lain datang secara bergantian.
Dari sana ketakutan serta air mataku telah lama habis, karena setiap malam bisikan godaan padaku membuat air mataku habis untuk sebuah ketakutan, bahkan untuk ketakutan dari sebuah kematian pun sudah wajar menghantuiku.
Aku harus lebih kuat, demi mereka yang selalu menunggu kepulanganku, demi Eva yang mengorbankan dirinya untuk kami.

Demi ayah dan ibuku yang selalu mendoakan diriku tanpa kabar selama 3 Tahun ini.
Aku kangen kalian semua, hari ini aku akan menemui mereka. Setelah sekian lama tak bertemu, bagaimana kabar Juminten, Sofi, Melisa, dan Dista di Malang sana.
Dan yang lebih utama kabar Ibuku dan ayahku, apakah mereka masih terus menangisi diriku seperti dahulu, saat masih bersama mereka. Jika aku pergi bermain terlalu jauh dari rumah, Ibu akan memarahiku.
Aku kangen perhatiannya, kangen pelukannya, kangen tutur kata lembutnya.
Kangen pada sosok pria yang selalu datang mengulurkan tangannya jika aku menangis, kangen masa-masa kecil hingga aku tumbuh dewasa di tengah tengah mereka.
"Shep, itu ilernya hapus dulu, atau mandi dulu sana" Ucap Mbak Ayu saat aku memasuki kamarnya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Tanpa menjawab pertanyaannya, aku menghampiri ia yang sedang duduk depan meja mengoreksi data bisnis keluarganya.
Bahkan aku juga baru tahu kalo 4 bisnis keluargaku sampai sekarang di jalankan olehnya, tentu saja atas permintaan Disa.
"Sekalian aja buat mandi" Ucap Mbak Ayu, kalem saat melihatku yang tengah menyemprotkan parfum kesukaannya pada badanku.

"Huuu ..." Sahutku sambil memanyunkan bibir kedepan.
"Kamu ngak mau di antar pake sopir aja, Dek?" Tanyanya lagi.

"Budal dewe kendel kok Mbak" (berangkat sendiri berani kok Mbak) Jawabku asal, lalu memakai semua peralatan kosmetik di meja riasnya.
Mendengar jawabanku, Mbak Ayu melemparkan bantal ke punggungku.

"Wihh Shapi wes ayu rek, kate pacaran yo" (Wih Shepi udah cantik, mau berangkat pacaran yah) Itu bukan suara kami, tapi suara Senja.
dia lah gadis yang ikut andil dalam mengajariku mencari jati diri.

Nama lengkapnya adalah Senja Dewi Asmarani. Tak seperti namanya yang bagus dan paras wajahnya yang cantik,
kelakuannya justru terbilang sangat absurd menurutku, kota asalnya adalah Probolinggo ia kemari untuk sekedar mampir.

"Ayo gelot a ! Mbak" (Ayo baku hantam saja ! Mbak) Ujarku kesal, karena ia meledek.
"Yo gak ilok, murid ngejak gelot gurune iku" (Ya tidak baik, murid mengajak berantem gurunya itu) Jawabnya sambil terkekeh.

"Dek, nanti kalo udah sampai kabarin Mbak, kamu tunggu saja di malang, 2 hari lagi Mbak jemput" Ucap Mbak Ayu pelan padaku.
"Oke, aku juga ngak sabar kepingin ketemu Fanny Sastro itu Mbak." Jawabku santai.

"Wih, mau mengetes ilmu sama Fanny yah" Sahut Senja mengodaku.
"Yo iyo lah, rugi dong mbak kalo ngak di coba, wes aku di wolak walik, di buak merono di buak merene, sampek ndas dadi sikil, sikil dadi ndas."
(Ya iya lah, rugi dong mbak kalo tidak di coba, sudah aku ini di bolak balik, di buang ke sana, di buang kesini, sampai-sampai kaki jadi kepala, kepala jadi kaki) Kataku bercanda.
"Ayo tos, dikek Shep" (Ayo tos dulu Shep) Kata Senja lantang, sambil memelukku dari belakang.

"Sini sebentar, Dek" Kata Mbak Ayu dengan suara khasnya yang kalem.
Aku menghampirinya, lalu ia menyuruh aku duduk di kasur lebarnya dengan duduk membelakanginya, sambil menguncit sedikit rambutku di sisi kiri atas kepalaku, "inget pesennya Mbak, loh yah." ucap Mbak ayu pelan. "Tetep dadi adik Mbak seng nurut." Lanjutnya.
Setelah berbincang panjang lebar, tanpa mandi terlebih dahulu aku menuruni anak tangga rumah besar milik Mbak Ayu, menuju garasi mobil bagian belakang.
"Mobilnya udah siap Mbak, yakin gak mau di antar saja?" Kata Mas Dio, sopir pribadi yang selalu menemani Mbak Ayu pergi kemanapun.
"Berangkat sendiri aja Mas" Jawabku ramah, dari sekian banyak pekerja di rumah ini, hanya Mas Dio yang memperlakukan diriku sewajarnya.
Dari jauh sudah terdengar suara sound system, pertanda ada sebuah acara yang sedang di langsungkan. Laju mobil kupelankan, lalu berhenti di pingir jalan, di tengah keramaian lalu lalang para pengunjung karena antusias
melihat kesenian reog ponorogo yang sedang di gelar.

Ku atur nafas dalam-dalam, dari balik kaca hitam sedan yang kukendarai dengan jelas kulihat, kakak sepupuku Dista sedang bersanding bersama Bayu pemuda yang telah menaklukkan hatinya yang keras.
Aku tersenyum bangga, karena yang kulihat mereka tetap baik-baik saja sampai sekarang.

Sengaja kukenakan masker penutup mulut dan hidung, serta tudung jaket agar kehadiranku tak terlalu mencolok.
Suara sound system membuat hatiku jengkel, kubuka pelan pintu mobil. Pandanganku mencari diesel sumber tenaga listrik di acara pernikahan serta khitanan anak Mas Roni keponakanku.

Konsentrasiku mengarah pada diesel, "mati" ucapku lirih.
Seketika diesel telah mati seperti keinginanku, kembali aku bergegas memasuki tarub tempat acara berlangsung.

Ternyata dugaanku salah, tatapan mata para tamu undangan malah tertuju padaku yang tengah berjalan di tengah-tengah mereka,
apa harus aku buat mereka semua pingsan sekaligus. Pikiranku mulai bimbang.

Di atas sana Dista sedang duduk dengan agun bagai seorang permaisuri raja jawa, dengan senyuman yang ia paksa.
Aku kembali tersenyum melihatnya, karena sifat Dista yang doyan marah-marah. Kini harus ia paksa menutupinya agar terlihat lebih lembut di hari pernikahannya.

Aku sudah berdiri di depan kursi tempat Dista dan Bayu suaminya duduk, Juminten, Sofi,
dan Melisa memandangku heran. Karena mereka tak mengenali wajahku yang tertutup masker. serta tudung jaket yang kukenakan.

"Awakmu Sopo?" Tanya Dista memandangku dengan tatapan heran, penuh tanda tanya.
Tanpa menjawab, segera kubuka tudung jaket beserta masker yang menutupi wajahku.

"SHAAAPI .." Teriak Juminten lantang, ia berlari menghampiriku lalu memelukku erat, Sofi dan Melisa yang kaget seolah tak percaya dengan
kehadiranku saat ini. Berlari memelukku juga.

Air mata bahagia Dista saat mengetahui diriku benar-benar hadir di hari kebahagiaannya,
"Sek cok ! gantian iki adekku" (Sebentar sialan ! gantian ini adikku) Serunya dengan menarik Sofi dan Melisa yang memelukku.

"Aku kangen kalian" Kataku lirih, sambil memeluk mereka secara bersamaan.
"Ibuk endi, Jum?" (Ibuk mana, Jum?) Tanyaku kemudian setelah kami berpelukan bersama.

"Ayo melok aku, Lek Eni onok nek pawon" (Ayo ikut aku, Bibi Eni ada di dapur) Jawab Juminten.
Sosok yang selalu kurindukan, di dapur sana ibuku sedang membantu menata piring-piring di atas geek lebar dalam dapur, sesekali ia mengusap keringat di dahi dengan lengan tangannya.
Tak terasa rasa cengengku datang kembali, tangis yang kutahan ahirnya tumpah, air mataku mengalir ketika melihat sosok wanita yang selalu sabar menghadapai kenakalanku.
Bibirku bergetar, "IBUUUUKK .."
Teriakku memanggilnya, tak peduli dengan banyak nya orang di sekitarku.

Ibuku menoleh karena suara panggilanku padanya, meski ia sempat ragu mendengarnya karena sudah 3 tahun ini aku pergi meninggalkannya.
Aku berlari menghampirinya, dia adalah wanita yang membesarkan diriku dengan penuh kasih sayang, meski aku tahu kenyataan yang sebenarnya dia tetap Ibuku.

Aku bersimpuh memeluk kakinya, begitu besar rasa rinduku padanya.
Ibu tak kuasa menahan tangisnya sambil memelukku, ia berkali-kali menyeka air mataku.
Ya, aku masih tetap anak gadisnya yang cengeng seperti dulu.
Sehabis magrib aku, Ibu, dan ayahku melepas rindu di rumah kami.
Setelah tiga tahun pun sifatku tak berubah, aku suka meminum kopi bekas ayahku.

Aku menceritakan semua hal pada mereka, Juminten yang penasaran tiba-tiba masuk kerumah bergabung bersama kami.
***

Perlahan mataku mulai terbuka, samar karena suasana gelap. Dan kuyakin saat ini aku sedang berada di dalam mobil, saat kesadaranku mulai kembali,
di sampingku saat ini seorang gadis sedang menyetir mobil dengan kecepatan tinggi melewati jalanan malam, di tengah guyuran hujan.
"Kau sudah bangun?" Tanya gadis di sebelahku pelan, sambil menoleh ke arahku.

"Samean sopo Mbak?" Aku balik bertanya karena heran, aku tahu, gadis di sampingku saat ini yang tiba-tiba muncul saat aku berada di rumah Mbah Harjo.
Mendengar pertanyaanku ia malah tersenyum kecut, sorot mata tajamnya yang kembali memperhatikan ke arah depan membuatku sedikit takut.

"Seandainya si tua bangka itu menepati janjinya, pasti sekarang kau sudah tahu siapa dirimu" Ucapnya dengan nada sinis.
"Maksud'e opo Mbak?" (Maksudnya gimana Mbak?) Kembali aku bertanya karena sama sekali aku tak mengerti maksud ucapannya.

"Kau ! Shepia Andhira Malik Ramlan" Serunya, sorot matanya memandang tajam ke arahku.
Tubuhku terkejut mendengar jawabannya, "Eh .." Hanya kata itu yang keluar dari mulutku, karena kaget mendengarnya.

"Kau adalah adik kandungku, di malam pembantaian keluarga kita. Mama sengaja membuatmu mati sementara, agar Suryono tak membawamu juga."
Mendengar perkataannya yang sangat serius, kuyakin gadis yang sempat berkata bahwa dirinya adalah Disa Anindya Malik Ramlan sebelum aku pingsan di rumah Mbah Harjo tadi,
tidak berbohong, karena entah bagaimana caranya aku bisa tahu perkataan seseorang jika ia sedang berbohong.
"Yang kau anggap kedua orang tua kandung, dan Muklis yang kau anggap sebagai kakekmu, mereka hanya orang lain. dan pernahkah kau merasa jika dirimu sangat berbeda dengan remaja lainnya?" Disa melanjutkan perkataannya.
Karena binggung dan aneh aku menggeleng kepala pelan, semua yang kudengar darinya membuat sesak dadaku secara tiba-tiba.

"Kopi yang kau minum setiap hari, adalah rasa takut untuk menyembuyikan siapa dirimu sebenarnya.
Harta keluarga yang kutitipkan pada Muklis atas namamu, serta perjanjian yang telah ia ingkari. Jika umurmu menginjak 18 Tahun kau harus kembali pada dirimu sendiri,
tapi keluarga yang mengasuhmu menolak atas takdir Ramlan yang mengalir dalam darahmu." Jelas Disa panjang lebar.

"Jika kau masih tak percaya, lihat ini" Kata Disa, tangan kirinya mulai menutup kedua mataku.
***

Seperti melihat kilas balik kejadian di masa lalu, aku sedang berdiri di depan rumah besar.
Di malam itu, nampak keluarga kecil pemilik rumah besar di depanku saat ini, tengah bercengkerama.
Disa kecil sedang berlarian sambil menggendong boneka beruang di pelukannya, Pria gagah yang kuyakin itu adalah ayah kandungku sedang berbicara pada wanita yang menggendong gadis kecil berusia 4 Tahunan
yang telah terlelap di pangkuannya, dan aku kembali yakin itu adalah ibu kandung. Paras cantik menurun pada Disa dan diriku saat ini.

Air mataku kembali keluar menahan haru, dan kenyataan bahwa keluarga ini sebenarnya adalah tempatku untuk pulang.
Tak bisa kugambarkan perasaanku saat ini, begitu nyata yang kulihat saat ini. Semakin deras air mataku mengalir, ingin sekali kaki ini melangkah menghampiri mereka.

Dari langit malam yang cerah, meluncur sebuah cahaya merah menukik tajam ke arah rumah.
Duuuaarr ...

Cahaya itu terpental sebelum masuk ke area rumah, sebuah dinding yang tak kasat mata menahan hantaman keras cahaya merah itu, hingga menimbulkan bunyi keras.
Kembali mataku tercekat, ratusan bola merah seukuran bola kasti kembali datang dari langit malam, bola-bola dengan cahaya merah terang itu sedang menuju ke rumah ini.
Aku mulai menutup kedua telinga karena tak tahan dengan suara ledakan yang terpantul menabrak dinding gaib rumah besar ini.

Duaar ...
Ketakutanku kembali datang, lalu suasana menjadi sunyi. Karena ratusan bola merah yang datang terpantul jauh setelah menabrak dinding pelindung gaib.
Belum selesai aku mengatur nafas yang tak beraturan di dadaku, kali ini, datang lagi dengan jumlah yang lebih besar bahkan ribuan cahaya bola merah, layaknya hujan bola api dari langit malam.
Suara dentuman dari ribuan hujan bola api, mengakibatkan telingaku berdengung kencang. Bukan aku saja yang panik akan peristiwa yang sedang terjadi saat ini, di dalam rumah, mereka tak kalah panik.
Sepersekian detik kemudian, Pria gagah yang kuanggap sebagai ayahku roboh ke lantai, darah mulai menggenangi lantai ia menghembuskan nafas terakhirnya seketika dengan kening berlubang.
Disa kecil menjerit keras, ia melempar boneka beruang yang tadi di peluknya, berlari menghampiri ayah kami lalu memanggil nama ayah seraya menggoyangkan tubuh ayah yang roboh di lantai.

Kraaaaakkk ...
Suara keras tiba-tiba muncul, seorang wanita dengan tinggi badan di atas rata-rata sedang berjalan pelan memasuki rumah, kuku panjangnya menimbulkan bekas goresan di dinding rumah, sengaja mahluk dengan tanduk melingkar mirip tanduk rusa,
bahkan mahluk itu mempunyai ekor panjang yang bergerak pelan mengikuti irama kakinya yang berjalan.

Dan yang membuatku merasa aneh, Mama yang mendekap erat aku yang terlelap di gendongannya, tak menyadari kehadiran mahluk itu.
Dari luar, sebuah sedang berhenti tepat di depan gerbang pagar besar rumah ini.

Wanita tua dengan rambut di sanggul keluar dari pintu belakang mobil, kini ia tengah berjalan memasuki rumah.
Mahluk yang menyerupai wanita berbadan tinggi sudah berdiri di belakang Mama kami yang tengah bersimpuh di lantai, badanya gemataran tak karuan. Kuyakin ia juga merasakan ketakutan.
"Mamaaaa .. " Teriakan keras beserta tangisku, ketika wanita ayu yang kuakui sebagai Ibu kandungku mulai roboh sambil terus mendekap diriku di masa lalu.
Tak ada yang mendengar suara kerasku, aku seakan di paksa menyaksikan kilas balik kematian keluarga kandungku sendiri.
"Ndoro, setungale mboten di beto?" (Juragan yang satunya tidak di bawa juga?) Tanya wanita yang tadi menemani nenek tua dengan nada pelan penuh hormat.
"Bayi iku wes mati, karepku umpomo iseh urep mesti tak gowo pisan" (Anak itu sudah meninggal, seumpama masih hidup pasti akan kubawa juga) Dengan suara parau ia menjawab.
Kemudian, nenek itu menuntun Disa kecil yang sedang menangis keluar rumah.

"Melu Ibuk yo Nduk, tak belajari dadi menungso seng di sembah karo liyane" (Ikut Ibuk ya Nak, aku didik dirimu biar menjadi manusia yang dihormati oleh lainnya)
Disa tak menjawab ajakan nenek yang saat ini sedang menuntunnya keluar melewati pintu rumah besar, Disa masih sempat menoleh ke dalam rumah di mana kedua orang tuanya
dan adik kecilnya sedang tergeletak di lantai tak bernyawa.

Tangisku semakin keras, melihat kedua kilas balik kedua orang tua kandungku meninggal dengan cara aneh, di depan mataku sendiri.
"Kau sudah paham sekarang siapa dirimu sekarang?" Tanya Disa ketika aku mulai kembali sadar dengan kenyataan.

Aku tak ingin menjawabnya, perih rasanya hati ini. Memikirkan nasip kedua orang tuaku,
dan kali ini aku juga harus kehilangan kedua temanku sekaligus.

"Jika dua tahun yang lalu, si tua bangka itu menjelaskan kebenaran siapa dirimu sebenarnya, mungkin kau tidak akan selemah ini sekarang." Lanjut Disa.
"Aku akan menitipkanmu pada keluarga Arthawidya." Lanjutnya.

SEKIAN 🙏
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with S h e p i a

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!