Hujan !
Aku berteduh menghindari serbuan air hujan, di sebuah ruko pertokoan bersama sofi tetangga samping rumah sekaligus teman sedari masih kanak kanak.
"Kok iso se, Shep ora ngowo mantel iku" (kok bisa tidak bawa mantel) kata Sofi, dengan badan mulai menggigil kedinginan.
Lalu lalang kendaraan di tengah guyuran hujan, menjadi hiburan tersendiri bagiku.
Motor matic melaju kencang di tengah kepadatan kendaraan lain, si pengendara nampak mendoyongkan badan sedikit ke depan, tanpa mengunakan mantel.
Aku dan Sofi tercekat, pandangan nanar kami tertuju pada orang yang mengendarai skuter matic kencang tadi. Darah yang keluar dari tubuh orang itu, mengalir terbawa air hujan sebelum ia terpental ke atas, karena menabrak gundukan tanah.
Cepat cepat ku naiki motor, lalu menarik tangan Sofi untuk segera menaiki motor, ku putuskan secara sepihak dengan memilih pulang dengan badan basah kuyup.
Deg..
Sedangkan jaket hijau, beserta helm di kenakan serasa tak asing bagiku.
Tubuhnya terkapar di bawah roda depan truck, sesekali berkejut dengan darah yang terus mengalir.
Pekik ku lirih, aku tak berani menatap lama ke arahnya, meski sedari tadi ku paksakan untuk tidak melihat ke arah di mana tubuh terkapar tak berdaya itu, rasa penasaranku lebih besar, lalu berubah menjadi rasa bersalah.
Suara Sofi dengan berbagai pertanyaannya, ku hiraukan begitu saja, bahkan Sofi sampai memukul punggungku keras.
terdengar sahutan salam dari dalam rumah, bu Anam membuka pintu lalu menanyakan maksud kedatangan kami.
Bu Anam tersenyum ramah seraya berkata "Santi durung muleh, Nduk" Jawabnya.
Deg...
"Anu... Mbak Santinya biasa pulang jam berapa, bu De" Tanyaku, dengan nada pelan.
"Biasa'e jam yaene wes muleh" (Biasanya jam segini sudah pulang) Jawab bu Anam.
Duar..
kekagetanku mendegar penuturan Sofi bagai di sambar petir di sore hari, mataku melotot ke arah Sofi di samping bu Anam.
"Gurung mesti mbak santi mati" (belum tentu santi mati) gerutuku.
"Opo yo... kok gegeran ae" suara ibu menyambut kepulanganku, sambil membuka pagar rumah, saat melihatku dan Sofi.
Selesai mandi dan keramas, kebiasaan ku adalah meminum kopi bekas ayahku.
Sambil membawa cangkir kopi ayah, aku menghampiri ibu di ruang depan.
Wiu.. Wiu.. Wiu.. Wiu..
Suara ambulan dari kejauhan mendekat lalu, memasuki gang kecil yang hanya cukup untuk ukuran satu mobil.
Ku cengkeraman erat tangan ibu, agar ia tak beranjak dari duduknya.
Ayah yang baru saja datang dari njagong bersama warga sekitar, membuka pintu.
Melihat aku yang bersembunyi di balik punggung ibuku, ia menutup pintu kembali.
Gunjingan para tetangga sekitar, setelah rombongan berlalu pun semakin menjadi.
Gerimis
Sejak sore, setelah pemakaman mbak Santi gerimis engan berlalu.
"Buk ora ono tahlilan ta" Tanyaku, saat kami bertiga di ruang tengah menonton Tv. (apa tidak ada tahlilan?)
"Yo mbak santi lah," jawabku asal.
"Emboh, senengane ngeriwuk'i ae" Ibu menimpali.
Aku beranjak menuju kamar, gerimis sedari sore belum juga reda, ayah dan ibuku sudah tidur sejak jam 9 tadi.
biasanya jam 9 malam aku sudah terlelap, di depan tv.
Samar samar, ku dengar suara langkah kaki berjalan dari arah gang depan, menuju ujung gang di mana rumah pak Anam ada di sana.
Sreeek... Sreeekk.. Sreeek..
Suara itu terdengar makin jelas, dengan langkah seperti sedang di seret.
Ia nampak berhenti, didepan rumahku saat itu,
Lama tak bergerak, ia berdiri mematung di depan rumahku.
Dengan tangan gemetaran, kuraih gorden jendela, kamarku perlahan.
Dengan tangan masih gemetaran ku singkap perlahan.
Deg...
Kedua tanganku menutup mulutku rapat, seakan tak percaya dengan apa yang ku dengan mataku saat ini.
Di depan pagar besi rumahku, sosok mbak Santi telah berdiri mematung, dengan wajah hancur, serta bola mata kirinya tergelantung menjuntai kebawah.
Darah terus menerus, mengucur dari mulut serta lubang matanya.
"IBUUUUUUUUUUUUUUUUUKKKKK......."
Teriakan beserta tangisku yang pecah di kesunyian malam.
Lampu rumahku menyala, Ayah dan ibu tergopoh berlari ke kamarku.
Saat kedua orang tuaku sibuk menenangkan ku di kamar.
Suara air mengucur dari kran tempat pencuci piring berbunyi.
Lalu suara tuas kompor yang di putar, dari arah dapur menambah keheranan kami.
Kali ini suara itu berasal dari pagar depan rumah kami.
"Ya Allah Gusti..... " Pekik ibu sambil memelukku yang sedang menangis.
Aku meringkuk di pelukan ibu, tangisku tumpah di dadanya. Ayah mulai panik dengan keadaanku saat itu, tanpa berfikir panjang ayah membopongku menuju kamar nya di ikuti ibu.
Tangisku belum berhenti, meski aku tidur di tengah kedua orang tuaku.
Gak tuku jajan a. (Tidak beli kue?)
Suara itu, aku mengenalinya itu suara mbak Santi.
Mbak Santi berjualan kue jajanan pasar saat pagi dan sore hari.
Gak tuku jajan ta.
Berulang ulang ia ketuk pintu rumahku di malam hari itu.
Bukan hanya aku, ibu tampak terkejut ketika mendengar suara ketukan pelan di pintu rumah kami.
Suara langkah pelan di seret, di dalam rumah kami, ia berjalan menyusuri ruang depan lalu melewati ruang tengah dan berhenti di depan pintu kamar di mana saat ini kami berada.
Lek, aku nawakno jajan ora ser tuku ta. (Bibi aku menjajakan kue tidak berminat beli kah?)
Pintu kamar di ketuk amat pelan, suara mbak santi juga terdengar berat dan serak.
Berkali kali ku sebut asma Allah, sambil terus menangis.
Ibu yang sedari tadi memelukku, mengangkat kelapa ke arah pintu.
Kawatir denganku, ayah mengambil minyak angin di laci kamar, lalu mengoleskan di leher dan sela sela hidung.
Beberapa kali ibu menenangkan ku, dengan perlakuan lembutnya.
Sajadah di gelar di samping tempat tidur, selesai sholat tahajud ayah meniup gelas berisi air putih tadi sebelum membaca sesuatu.
Dulu ketika ketakutan atau phobia ku kumat, kakek sering datang menjenguk lalu menyuruh mengambil air dalam gelas, setelah berdoa lalu meniup 7 kali ke arah gelas berisi air tersebut, aku di suruh meminumnya.
Pagi harinya sampai jam 10 siang aku belum bangun, para tetangga resah akan kejadian semalam.
Semua pintu warga desa di ketuk, mbak Santi menjajakan kue nya ke setiap rumah warga malam itu.
Sampai sekarang Sofi masih meringkuk ketakutan di kamar nya.
Aku bangun dengan badan terasa pegal.
Mendengar aku memanggilnya, ibu yang belanja sayuran di depan tergopoh memasuki rumah, khawatir jika terjadi sesuatu lagi padaku.
Setiap pagi dan sore, ayah pasti menyisakan kopinya untukku.
"Emooh" ( Tidak ) Jawabku asal.
(kok tidak di bangunin pagi sih, jadi telat kerjanya) Gerutuku yang mengetahui, pukul 10 lebih di jam dinding.
(Tidak usah kerja badan kamu sakit) Jawab ibu, ia nampak sibuk mempersiapkan pengorengan, di atas kompor.
(Mandi dulu shep) Kata ibu, saat aku menghampirinya, lalu mengambil tempe yang di tiriskan. Aku tak menghiraukan kicauan ibu, mulut ku sibuk mengunyah tempe goreng.
(Wajahmu seperti lap) maki ibu, sambil menarik kaos putihku agar aku lekas mandi.
(anaknya siapa dulu) Jawab ku ketus, ibu nampak cengegesan mendengar jawabanku, secara wajah manisku tak jauh beda dengan ibuku, tapi watak dan sifatku sangat persis dengan ayahku.
"Hmmmm" Jawab ibuku asal.
"Mambengi iku opo tenan, mbak Santi?" (tadi malam itu apa benar mbak santi?) Tanyaku lagi.
(Tidak tau ibu tidak ditakutin)
"Lha ibuk kok gemeteran" (ibu kok gemetar) Sahutku asal.
"Engkok bengi mbak Santi nek mampir maneh yo opo buk" (Nanti malam kalo mbak Santi mampir lagi gimana) Tanyaku lagi.
"Wes saiki koen adus ta, ora" (Sekarang kamu mandi atau tidak) Jawab ibu, kali ini ia nampak mengacungkan sutil ke arahku.
buru-buru aku lari ke arah kamar mandi.
Sore hari, aku hanya bermalas malasan di depan tv, degan selimut menutupi bagian bawahku.
Sedari tadi bunyi notifikasi, pesan spam dari kepala tokoku terus berbunyi.
"Buk aku kate di lereni" (Bu aku mau di berhentikan kerja) Tanyaku datar.
(beneran kalo di berhentikan kerja ngak tau waktu, diam di rumah kan gemuk suka banget sengsara.) Jawab ibu menjewer telingaku pelan.
"Gundul'mu lha melbu tabunganmu karo nek kene iki opo" (Kepala mu kan masuk tabungan sama sini) Sahut ibu, sambil menggelitik perutku.
===
Sehabis sholat berjamaah di mushola depan, banyak sekali yang membicarakan hantu mbak Santi semalam.
(Kamu tidak di hanti mbak santi?) Tanya Juminten, menoleh ke belakang ke arahku.
"Ora" Jawabku singkat.
(Sofi sampai stres) Kata mbak Ocha lirih.
"Ngunu iku mesti tuku jajane mbak Santi sek Cha"
(kalo gitu harus beli kue mbak Santi dulu) Jawab juminten.
(Kamu beli sendi saja)
jawab mbak Ocha, sedikit kesal.
"Heee angetmu aku membengi di dok.. dok.. di pekso kongkon nuku jajane ngetmu"
(Semalam aku di paksa membeli kuenya) Kata Juminten.
(Kamu beli?) Tanyaku dan mbak Ocha hampir bersamaan.
"Ora lah gendeng a nuku jajane demit"
(ya tidak lah gila kali beli kue sama hantu) Jawab Juminten.
(Kalo wajahnya tidak hancur ku paksa untuk beli kan kue nya enak) Kata Juminten asal.
Aku dan mbak Ocha saling pandang mendengan penuturannya.
"Cocotmu Jum" Sahutku dongkol.
Sreeek... Sreeek..
Suara langkah pelan di belakang kami.
Kami bertiga berhenti mendengar suara yang tak asing.
tengkuk kami serasa di tiup dari belakang, jantung ku sudah berdetak kencang.
Semakin mendekat.
Mbak Ocha memegang erat tanganku, sedangkan Juminten nampak terkejut saat ia menoleh ke belakang.
HUAAAAAAA....
Teriakan kami bertiga serentak dengan lari sekencang kencangnya.
Jantung kami berdebar tak karuan, seiring nafas yang masih ngos ngosan.
(kamu sih ngomongin segala) Kata mbak Ocha kesal.
"Yo mosok eroh cha nek Santi teko sek sore"
(mana ku tau kalo santi datang masih sore) Jawab Juminten enteng, ia sibuk memandang keluar jendela.
Jgreeeeengg....
Aku dan mbak Ocha saling berpelukan dengan mukena yang masih terpakai.
Tak ada sepatah kata pun dari mulut kami, Juminten berdiri mencoba memeriksa.
Suara ketukan dari luar rumah, badan ku semakin gemetaran mendengarnya.
Juminten meloncati meja bergabung bersama kami.
Huuuu Huuuu Huuuu...
Suara tangisan dari luar rumah.
(Pergi mbak jangan ganggu sumpah, aku tidak pernah berbuat salah)
"Gak, tuku jajan a," suara yang terdengar amat pelan, serak nan pilu.
Hiks... Huuu... Hu.....
Suara langkah di seretnya semakin mendekat.
Bau busuk menyengat tercium sampai ke dalam rumah.
Menyisakan Juminten, yang ketakutan seorang diri.
Teriakan juminten sehabis magrib mengundang warga mendatangi rumahku.
Juminten melakukan bahasa isyarat ke arahku, saat mengetahui aku terbangun.
(Diluar)
Suara lirih Juminten sambil menunjuk ke luar jendela.
Bau anyir darah menusuk hidung, tak peduli dengan kelakuan Juminten yang terus mengintip dari balik jendela kamarku
Badanku mulai gemetaran lagi, saat bau amis darah tercium sangat menyengat.
kata mbak Ocha lirih, saat terbangun karena gemetar badanku.
Aku hanya mengangguk pelan, tak tau harus berbuat apa, mulut kami berdua komat kamit membaca surat Al-Quran.
Mbak Ocha bangun, karena selimut yang menutupi kami di tarik oleh Juminten.
Ku geser pelan badan ku di sisi Juminten, mbak Ocha mencengkeram baju ku dari belakang.
Aku berjongkok di bawah Juminten, pelan pelan dengan tangan gemetaran ku buka gorden jendela kamar.
Beberapa kali Juminten memukul tanganku, agar aku melepaskan betisnya.
Ucap Juminten memukul tangan kiriku.
Suara beserta kilatan petir di malam hari, memperjelas wajah mbak Santi yang menoleh ke arah kami.
Jantungku serasa copot, kami bertiga meloncat ke kasur dengan teriakan secara bersamaan.
Aku tak bergeming ketika ayah menyuruhku lekas mengambil air wudhu, badanku masih gemetar dipelukan ibuku.
Deraian air mataku belum juga berhenti, hingga adzan sholat subuh.
Juminten dan mbak Ocha pamit pulang ke rumah masing masing menjelang pagi, dari penuturan Juminten semalam, aku dan mbak Ocha pingsan ketika hantunya mbak Santi memasuki rumah, Juminten menjerit keras mengundang warga ke rumahku.
Aku menggeleng pelan, ibu menaikan selimut sampai pundakku, seraya berkata "Sofi tambah nemen Shep," aku terkejut mendengarnya, ku singkap selimut yang menutupi badanku.
Mas Yoga dan pak Rusdi, sedang adu mulut dengan pak Anam, mereka berdua menceritakan kejadian dua malam ini, pada pak Anam.
Begitu pula yang di alami pak Rusdi dan keluarganya
(Jat sudah kamu piriksakan belum ketimbang makin parah)
Lek Jat nampak menggosok keningnya keras, lalu berkata "Duwek teko endi, mbak Eni"
"Shep motomu kok aboh ngono Nduk" Kata lek Tutik, ibu Sofi.
"Kekan nangis iki mesti" ia mengamati mataku "Sofi nek kamare" kata lek Tutik menunjuk kamar Sofi, lalu bergabung bersama lek Jat ibuku di depan.
(Setiap malam mbak Santi datang)
Jawab Sofi seraya menangis, aku pun tak kuasa menahan air mata ku saat melihat kondisinya.
Sofi menganguk pelan, ku suapi perlahan ke mulutnya.
Sofi memuntahkan makanan yang ku suapkan padanya, cepat cepat ku beraihkan sisa muntah di mulutnya.
Panggilan masuk dari Bagas kepala toko tempat kami bekerja, "Koen iki niat kerjo ta ora, di chat ora di bales, di tlpn ora di angkat, karepmu yo opo se, Sof"
Suara Bagas dari sebrang.
"JANCOK KOEN IKU" belum sempat Bagas menyelesaikan perkataannya, aku sudah menyela dengan makian yang ku tujukan padanya.
"Shep misui sopo awakmu iku" (Shep kamu mengumpat kesiapa) kata lek Tutik dari luar, yang mendengar umpatanku.
(Mengumpat orang tidak punya otak) Jawab ku asal.
"Kate nang puskesmas ta, rek" (Mau ke Puskesmas yah) Tanya Juminten, saat menghampiri kami.
"Engkok tak sosol saiki keadaan sek Gunting" (Nanti aku nyusul ) Kata Juminten, dengan wajah serius.
"Oalah wes ganti ta" (Oh udah ganti yah) kata Juminten lalu tertawa.
"kok eblas lambemu jum" Jawabku, seraya memasuki mobil duduk di samping Sofi.
Ku kepalkan tangan kananku ke arah nya, seraya berkata "kon ojo ngarai Jum" (kamu jangan bikin gara gara Jum) dengan tatapan serius kepadanya.
(Bercanda, serius terus seperti mbak Santi lama lama)
Canda Juminten saat mobil melaju pelan.
"Nyocot" umpatku asal.
Entah apa yang di maksud Juminten, saat aku dan mbak Ocha menunggu Sofi di puskesmas, Juminten menerangkan panjang lebar soal keputusan warga.
"Jarene wong tuwek biyen se, iyo Shep" (kalo kata orang tua dulu iya) Jawab mbak Ocha ragu.
(Terlalu lama) (Tidak sampai 40 hari sudah stres duluan)
Ayah dan ibuku menyusul, ibu khawatir denganku ibu menemani kami tidur di puskesmas, sedangkan ayah pulang karena harus menghadiri tahlilan di mushola.
Lek Jat bercerita panjang lebar mengenai rencana warga, ia nampak gelisah dengan keadaan Sofi anak ke 2 nya.
BERSAMBUNG
Apa karena waktu kecelakaan mbak Santi waktu itu, kami sengaja acuh meski mengenalnya.
Bukan salah Sofi, jika harus melihat kondisi mbak Santi meninggal secara mengenaskan.
Bukankah orang yang sudah meninggal itu sudah tidak ada hubungan dengan dunia ini lagi, lalu kenapa setiap malam mbak Santi datang mengetuk pintu rumah setiap warga.
Nada pesan di gawaiku berbunyi, kubuka pesan yang Juminten kirimkan padaku, ia akan menyusul ke puskesmas dengan segudang berita yang ia bawa.
Sambil menemani Sofi ku coba menangkan diri di sampingnya.
Aku lupa !
Setengah berlari kuhampiri ibu depan ruang inap.
Ibu menautkan kedua alisnya seraya berkata, "yo opo se Shep, ora ngowo p*****t?" (gimana sih tidak bawa ***** ) ke arahku.
"Ndang tuku" (cepat beli) Kata Ibu, mengambil dompet dari tasnya, lalu memberikan uang pecahan padaku.
"Napo Shep" (Kenapa) Tanya mbak Ocha padaku, ia nampak segar seusai mandi.
"Halangan Cha" Sahut ibuku cepat.
Tak berapa lama Juminten datang, wajahnya nampak sumringah.
"Dari pada nangis koyok Ocha karo awakmu" Jawab Juminten asal.
"Martabak, aku lak apik'an ora koyok Shepia elek'an" (Martabak, aku kan baik tidak seperti Shepia jelek) Canda Juminten.
"Lapo, aku ae sek tas teko" (Ngapain, aku aja baru datang) Kata Juminten langsung duduk di sebelahku.
"Ora rokok an mas" Jawab Juminten sopan.
"Age Mbak, seng kaos putih"
(Buruan mbak yang kaos putih) Rayunya lagi, kali ini rayuan itu di tunjukan padaku yang memakai kaos putih, dua pemuda ini menghalangi jalanku dan Juminten.
Satu teman nya yang duduk di atas motor parkiran berjalan menghampiri kami.
Telingaku mulai berdenging, aku benar benar risih oleh tingkah mereka berdua, yang terus memaksa.
Kuamati tinggi badan mereka berdua, 162 Cm rata rata.
Sedangkan tinggiku 168 Cm, lalu kuamati sekelilingku.
Emosiku meluap, mengingat semua masalah yang sedang kuhadapi, dan sekarang dua pemuda yang entah dari mana datangnya menggangguku.
Ku tepis tangannya sekali lagi, yang akan mencolek lenganku.
Reflek kutendang perut pemuda berambut pirang di kuncit kebelakang, tanganku meraih tempat sampah dari plastik di sebelahku.
Berkali kali kutendang perut, serta kepala, secara bergantian ke arah mereka yang tersungkur di paving. Beberpa kali mereka mengerang, akibat perut yang ku injak memanfaatkan bobot badanku.
Meski beberapa kali juru parkir gagal, mencoba menghentikanku untuk berhenti menganiaya kedua pemuda itu.
Sedangkan Juminten yang melihatku nampak melongo.(Nganga)
Gerimis datang lagi.
Konsentrasiku buyar, saat kudengar suara ketukan pelan di pintu depan rumah.
Tanpa sadar ku kenakan mukena berniat mendoakannya lagi karena saking kagetnya dengan kedatangan mbak Santi, lupa kalo sebenarnya aku sedang halangan.
Aku merangkak keluar kamar, menghampiri juminten.
"Iyo ono ndek ngarep" (Iya ada di depan) Jawab Juminten lirih.
Terlihat bayangan berdiri di depan pintu, dari ruang tamu.
(kamu ngapain katanya halangan, ngapain pake mukena) Menatap heran kearahku, mengenakan atasan mukena
"Lali ah" (Lupa) Jawabku asal.
Tak menghiraukan Juminten aku sibuk, mencari gawaiku.
"Ora tuku jajan ta, rek"
(Tidak beli kue kah)
Suara mbak Santi membuat jantungku kembali berdetak kencang, kemarin sore ia datang sehabis magrib seperti sekarang.
Tok... Tok.. Tok...
Sreeek... Sreeek... Sreeek....
Langkah pelan mbak Santi yang menyeret kakinya menjauh dari rumahku.
Suara teriakan melengking mbak Mila istri mas Yoga tetangga sebelah rumahku.
Mendengar itu, aku dan Juminten saling memandang.
Aku dan Juminten langsung ikut berlari keluar rumah, mengikuti mas Yoga pak Rusdi dan Ustad Kholil guru ngajiku sewaktu kecil.
Ayah dan lek Jat juga datang setelah selesai tahlilan, "Susul ibuk ae Nduk" Kata ayah ketika melihatku, ia nampak khawatir kalo terjadi apa-apa padaku juga.
Deg....
Juminten yang menyetir motor nampak terkejut, saat melewati gapura kecil gang rumah kami.
Jeda sejenak 😂 minum dlu haus soalnya
"Sido buk, tapi mampir omah'e mbah kakung disik" (Jadi buk, tapi mampir kerumah mbah kung dulu) Jawabku, menepis ketakutan di wajahku.
Dulu ibu mati matian menolak keinginanku, untuk bekerja. Ia khawatir jika terjadi sesuatu padaku, aku merengek kukuh dengan pendirianku ingin tetap bekerja.
***
Mata sayunya memandang ke arahku yang berdiri mematung memperhatikannya. Kakiku terasa berat ketika ingin menghampirinya, dari matanya ia seperti meminta tolong padaku.
"Ssssstttt...." Suara Juminten memberi isyarat lirih padaku.
"Mbak Santi teko kene" (mbak santi datang kesini) Lanjutnya lirih.
Aku baru sadar saat terbangun, tidur berbantalkan tas berisi barang bawaan yang di bawa ibu dari rumah. Sedangkan di sisiku mbak Ocha terlelap, serta Juminten yang tidur dibelakangku.
Mungkin ibu dan lek Tutik tidur di dalam menemani Sofi.
Sunyi !
Jika biasanya beberapa orang masih berlalu lalang di sekitar kami, malam ini sangat sepi bahkan suara orang sedang mengobrol pun tak terdengar.
Suara langkah kaki yang diseret seperti sebelumnya,
Sreekk.. Sreekk...
Suara pelan kaki di seretnya semakin mendekat ke arah kami.
Sreekk... Sreekk...
Hee.... Hee... Hiks... Heee...
Ya Allah... Berkali kali ku sebut Asma Allah dalam hatiku.
Di sana.
Mbak Santi bersandar di tembok, berjalan pelan dengan menyeret kaki kanannya kearah kami.
Suara rintihan tangisan mengiringi langkah pelannya.
Hiks.. Huuu... Hiks....
Aku menangis pelan, dengan sesekali sesenggukan.
TOLOOOOOONG...
Suara keras Juminten di malam itu, membuyarkan istirahat seluruh penghuni puskesmas.
Mengetahui sesuatu terjadi padaku ibu memelukku, wajah ibu yang biasanya tenang kini mulai panik ketika melihatku yang menggigil ketakutan.
Sambil menunggu kedatangan kakek yang sudah menuju ke tempat kami, ibu memelukku sambil menangis.
Kakek murka ketika melihat tubuhku menggigil di pelukan ibu.
Ibu bangkit ketika kakek menarik tubuhku dari dekapannya, lalu menyandarkan pada Juminten.
Wajah kakek terlihat serius saat memijat jemari kakiku, serta ke dua telapak tanganku.
Juminten menyeka keringatku, berkali kali ia nampak meniup leherku, sebelum menyibakkan rambutku.
Mulutnya membaca doa doa ayat Al-Quran. Tangan kiri kakek menyangga tubuhku, lalu menyuruh meminum air dalam botol yang kakek sodorkan ke arah mulutku.
"Ibuuukkk" Kataku lirih, aku tak ingin jauh darinya.
Ibu menceritakan kejadian yang kami alami setiap malam.
Kakek hanya berucap, agar mendoakan almarhum mbak Santi agar tenang di alam sana.
Kakek memaki ayah dengan kata kata kasarnya, karena dianggap tidak becus menjagaku.
"Lha angetmu aku gendeng ta," (kamu pikir aku gila) Jawabku bertanya balik.
Aku tersenyum melihatnya, lalu memukul pundaknya pelan.
Kakek nampak berbincang serius dengan ayah serta lek Jat, esok pagi akan kakek berniat memugar makam mbak Santi, dalam benakku memikirkan wajah murka kakek di hadapan keluarga pak Anam.
Terimakasih udah menyempatkan membaca ceritaku 🙏
Terimakasih juga pada @Dev4horor yang selalu membinaku dalam menulis 😍
Sampai jumpa besok 😂
Lalu ditempelkan di atas pintuh tiap rumahku, terutama di balik pintu kamarku.
"Hmmmm...." Jawab kakek melihatku.
(Tidak usah di bongkar kuburannya Mbak Santi bikin heboh desa nanti)
Kakek heran dengan penuturanku, ia nampak berfikir sejenak sebelum menjawab.
(Seumpama di bongkar, mau diapain lagi nanti, mau di sucikan bagaimana lagi, pasti sudah banyak belatungnya)
"Yo di kubur ulang, ngae coro N*, supoyone ora dadi molo"
(Di kuburkan ulang dengan cara **, biar tidak jadi petaka)
Dari selentingan kabar yang kudengar, mbak Santi di kuburkan dengan cara yang tak lazim. Seperti halnya mengubur bangkai binatang.
"Shep kate nandi awakmu iku" (Shep mau kemana kamu itu)
Tanya ibu, saat aku mengeluarkan vario putihku.
Jawabku, seakan tak peduli dengan wajah ibu yang mulai geram karena ulahku.
Kata ibu mencegah niatku, yang akan kelayapan di siang hari.
"Njalok duwek kok, malah di salami" (minta uang kok malah berjabat tangan)
Sahutku ketus, karna kutahu ibu sengaja pura pura tak mengerti maksudku.
Sahutku ketus, karna kutahu ibu sengaja pura pura tak mengerti maksudku.
"Ora due duwek" Jawab ibu melengos.
"Buuuukk" Suara beratku, saat niatku tak di kabulkannya.
"Jaketan! Awas koen moleh sore." (Pakai jaket, awas pulang sore hari)
Kata ibu, sambil menyodorkan jaket padaku.
Jawabku memelas, lalu mengambil jaket dari uluran tangannya.
Jawab ibu, lalu mulai menyapu pasir dari bekas roda motorku.
Juminten ada nama ibunya, sedangkan nama aslinya adalah Ella.
Tanyaku pada mak ten, di depan pintu rumahnya.
"Ngeluyur kaet isuk, Nduk" Jawab mak ten, mengeringkan rambut panjangnya, wanita paruh baya itu nampak habis keramas.
Karena ibu mas Roni, adalah kakak kandung ibuku.
Ku pelankan laju motorku lalu, parkir seenakku, memarkir motor di tengah tengah bengkel.
"Shep, sek nangisan ta, ora" (Shep masih cengeng tidak)
Goda pak Huri kepala tukang di bengkel ini.
"Ora nangis ora mbois yo Shep" (Tidak nangis tidak keren ya shep.)
Mas Roni menimpali.
Ini lah alasan kenapa aku malas pergi bermain, karena mereka selalu mengolokku dengan kata nangisan (cengeng)
(Shep, liat sini) (Yang suapin yang) Lanjut Juminten, yang mulai disuapi bekal makanan Diki, kuli bengkel las mas Roni.
Juminten menyuruhku menemuinya, karena ada hal yang akan dibicarakan serius.
Kata Juminten, sengaja mempraktekkan kemesraannya pada sang kekasih, ia sengaja mengejekku dengan melakukan hal seperti itu.
Jawabku saat melihat tingkah menjijikan mereka.
Semua mahluk penghuni bengkel ini, tak kalah terkutuknya dengan mbak Santi pikirku.
"Shep, wes maem urung Nduk" Tanya Bude Nah ibu mas Roni, dari pintu dapur rumahnya.
"Sambel tomat karo tempe, Nduk" (Sambal tomat sama tempe) Jawab Bude Nah singkat, tangannya melambai ke arahku.
"Ngalem pesek iki" (Manja pesek ini) Kata mbak Ita merangkulku menuju dapur rumahnya.
Mas Roni berbicara dengan pelan, bahwa ia punya kenalan dukun yang lumayan sakti, sore ini mereka akan pergi ke rumah dukun tersebut,.
Jelas saja ibu mengijinkan kami pergi, secara mas Roni yang ijin pada ibuku. kami ber 6 pergi dengan mini bus kepunyaan Dimas pacar Sofi.
Aku, mbak Ita, Juminten, mas Roni, Dimas dan Budi.
Kami di persilahkan memasuki rumah yang kesemuanya terbuat dari papan kayu, oleh wanita pemilik rumah sekaligus istri Mbah Dul dukun yang di maksud.
Kata wanita bernama mbah Mik dengan senyum seperti dipaksa, melihat ke arah pergelangan tangan kiriku, tempat di mana gelang rantai kecil berbahan emas putih, dengan bandol kubus dadu.
Aku ingat, kakek mewanti wantiku untuk tidak pernah melepas gelang ini, dari tanganku, gelang rantai berwarna putih denga ujung pangkalnya di lilit rajah kecil buatan kakek semalam.
Sedari kecil jika ibu memakaikan anting emas atau cincin emas padaku.
Mendengar syarat tersebut aku lebih memilih tidak melepaskan gelangku, meski harus menunggu di luar.
Setelah suntuk menunggu, karena saking lamanya mereka di rumah mbah Dul si dukun. Perjalanan pulang mas Roni bercerita tentang gelangku.
dari kakek, yang di taruh pada gelang yang ku pakai bisa membawa malapetaka, bagi mbah Dul.
"Gelangmu, iso ngarai omahe mbah dul mumbul, Shep" (Gelang kamu bisa bikin rumah Mbah Dul porak poranda)
Aku bingung tak tahu harus menjawab apa, yang kutahu hanya menghormati dan mematuhi pesan kakekku.
Aku dan Juminten turun di depan gang kami, kulihat jam digawaiku pukul 9 Malam.
Mendengar penuturan ibunya, wajah Juminten pucat pasi.
"Napo Jum?" (Kenapa?)
Tanyaku yang melihat keanehan di wajahnya, Juminten nampak berfikir sejenak berkali kali ia mengatur nafas.
Jawab Juminten, keringatnya berjatuhan dengan nafas yang masih memburu Juminten mencoba menjelaskannya padaku.
Ku sumpal kedua telingaku dengan selimut di kamar Juminten, masih belum hilangkah hantu mbak Santi pikirku.
Kami terkejut mendengar benda jatuh dari arah dapur, keras sekali bunyi suaranya.
Tiba tiba suasana menjadi sunyi, hanya suara binatang malam yang terdengar, gorden jendela kamar tiba tiba bergerak, seperti di terpa angin pelan dan sangat aneh tak ada tanda angin masuk kekamar waktu itu.
Gelap hanya bayangan kami berdua yang terlihat di kegelapan, kami memilih diam saat itu.
Ku pertajam pendengaranku, suara ketukan itu lagi pikirku, tapi bukan rumah ini yang di ketuk.
Pelan Juminten merangkak pelan di atas kasurnya, tangannya mencoba mengapai gorden di jendelanya dengan gemetaran.
Suara dari arah dapur kembali terdengar, ku sandarkan tubuhku di pojok tembok kamar.
Aku terkejut mendengar suara ketukan pintu yang berasal dari pintu rumah Juminten saat ini.
Berulang kali suara ketukan pelan terus berbunyi, bau amis darah kembali tercium.
Juminten sibuk mencari cari sesuatu dari dalam saku celananya.
Suara tangisan beserta sesenggukan, yang amat familiar bagiku, itu suara mbak Santi.
Pilu !
Aku ikut menangis karena terhanyut mendengar tangisannya, kucengkeram erat selimut.
Entah apa yang dilihatnya di depan sana, sebelum tak sadarkan diri di lantai kamar.
Kusebut asma Allah lirih dalam tangisanku.
Sreeek.... Sreeeek... Sreeekk...
Jantungku bergetar, tangis tak bisa kuhentikan mendengar suara kaki yang di seretnya.
Deg.
Semakin mendekat, suara seretan kakinya mendekat.
Mulutku tercekat, lidahku terasa kelu, ingin sekali aku berteriak, tak ada yang bisa kuperbuat.
Mataku nanar melihat ke arah jendela kamar, bayangan yang selalu kulihat setiap malam kini berada di luar jendela.
Sekali lagi gorden kamar tersingkap pelan ke atas, ku telungkupkan kepalaku sambil memejamkan mata erat.
Aku tak ingin melihatnya.
"Jum, Jum, tangio wes subuh" (Jum, bangun sudah subuh)
Kataku, mengoyangkan tubuh Juminten di lantai.
Terus ku coba mengingat kejadian semalam, rasa takutku akan kedatangan mbak Santi memang belum sepenuhnya hilang, berbeda dengan sebelumnya.
Apakah ada suatu perkara di dunia yang masih belum ia selesaikan, sehingga selalu bergentayangan setiap malam.
Kenapa harus kami para tetangganya yang harus ia teror.
"Shep, turu nek endi membengi awakmu iku?" (Tidur dimana kamu semalam)
"Di keloni Juminten" (Tidur sama Juminten) Jawabku singkat, lalu buru buru aku memasuki rumah.
"Turu omah e Bude ta, Nduk" (Tidur di rumah Bude ya, Nak) Sapa ayahku, saat mengetahuiku, memasuki rumah.
"Yah," kataku pelan sambil memeluknya.
"Hmmm.." Jawab ayah sambil mengelus pelan tanganku yang melingkar di dadanya.
"Duwek terus, gae opo seh" (uang terus, buat apa sih)
Jawab ayah, mengambil nafas panjang.
"Masa Allah, Shepia..." Jawab ayah kaget, mendengar semua keinginanku.
Dan benar ayah mengikuti kekamarku, duduk di sampingku yang tidur tengkurap, ayah mengelus pelan kepalaku.
"Oalah iyo, iyo, ojo nesuan tala" (Iya, iya, jangan suka marah)
"Bah" Jawabku singkat, dengan suara yang kubuat seperti sedang menahan tangis. (ini jurusku)
"Yo ora yah, gae nyalon wes entek" (Ya tidak yah, buat kesalon sudah habis)
Jawabku, pusang wajah melas ke arahnya.
Di tambah lagi hidup kami juga jauh lebih berkecukupan, ketimbang keluarga lainnya.
"Shepia..!" Ibu berteriak ke arahku, yang mulai menuntun pelan motorku.
"Awakmu kate metu ora jaketan?" Jawab ibu dengan suara mulai marah.
Ku ambil jaket levisku dari pundak ibu, sambil cengegesan ku raih tangannya, lalu kucium pelan punggung tangannya.
Lanjutku, seraya mencium kedua pipi
"Gurung Shep, bugah'en ae" (Belum Shep, bangunin saja)
Ku naiki kasurnya pelan, lalu ku sobek sedikit kertas ku pelintir kecil sampai memanjang di ujungnya.
Pelan pelan ku putar, Juminten mulai gusar karena sensasi geli di hidungnya, ku putar cepat pangkal kertas dengan ujung yang memasuki lubang hidungnya.
Juminten bangun dengan terkejut, berkali kali ia bersin, sambi mengosok keras hidung nya.
Aku tertawa bangga atas perbuatanku padanya.
Umpatan kekesalan Juminten padaku, tawaku semakin keras saat melihatnya bersin untuk terakhir kalinya.
"Age turuo maneh tak idek, wetengmu mariki" (Coba tidur lagi kuinjak, perutmu habis ini)
"5 menit ae" ( 5 menit saja) Jawab Juminten dengan suara kantuknya.
Juminten bangun dengan wajah kesal, "Sek isuk Shep, ambekne kate nandi seh" (masih pagi Shep, emangnya mau kemana) Tanya Juminten, sambil memberi alasan.
"Tak adus dikek" (mandi dulu) Kata Juminten pelan, aku sudah menarik tangannya, "Gak usah ngunu ae wes ayu" Jawabku. (Tidak usah gitu aja sudah cantik)
Ku lempar kunci motorku padanya, "Aku seng nyetir?" Tanya Juminten heran. (Aku yang nyetir)
Ku ambilkan jaket beseball merahnya, agar Juminten tak nampak seperti orang hilang.
Sebelum ia sempat menyisir rambutnya, aku sudah menariknya keluar kamar.
(Sarapan nek njobo mak" (Sarapan di luar mak) Jawabku.
"Seng goblok iku awakmu" (yang bodoh itu kamu) Sahut Juminten sambil mendorong kepalaku ke belakang.
Karena aku lupa menaruh konci varioku, dan memang aku sendiri anaknya pelupa.
"Lapo kok ndadak merene, awakmu Shep" (Kenapa mendadak kesini, kamu) Tanya Eva, setelah kami berdua di persilahkan masuk ke rumahnya.
"Golek tempat seng nyaman ae loh, aku kate cerito serius soal e" (cari tempat yang nyaman aja lah, aku mau cerita serius soalnya)
"Nek kene" (Di sini) Tanya Eva mulai berbicara, saat kami duduk, sedangkan juminten melanjutkan tidurnya saat melihat bantal di sampingnya.
Sebelum aku mulai bercerita, ibu Eva mengantarkan tiga gelas sirup dingin.
Tak lupa juga aku menceritakan sedetail mungkin yang kualami, mulai dari awal saat bersama Sofi melihat langsung kecelakaan mbak Santi, waktu itu.
"Ngene loh Shep, asline arek iku ancene matine ora wajar, terus di dikubur yo, ngae coro ngasal, ora di suceni padahal arek iku ngawe susuk."
Jawab Eva, dengan nada ragunya.
Lanjutku.
"Ketok'e Santi iku kate njalok tolong awakmu" Kata Eva, dengan wajah serius.
"Timbang awakmu terus di hantui gelem?" (Ketimbang kamu terus dihantui, mau?) Kata Eva.
"Tulungono aku, opo'o Va" (Bantu aku, kenapa Va) Lanjutku merengek, memasang wajah melas ke arah Eva.
"Age tala, Va koen iku senengane ngudo ae" (Ayo lah, Va kamu itu sukanya mengoda saja) Kataku ketus.
"Emboh" Sahutku asal, meski aku sendiri belum tau apa yang di rencanakan Eva untuk membantuku, setidaknya aku tau Eva akan membantuku.
====
"Sssttt...." Eva memberi tanda untuk diam.
Eva menyalakan dua lilin di letakkan di atas teplek, dengan korek apinya.
Ibuku berkali kali menelfon, karena khawatir, aku menjawab kalo malam ini tidur di rumah Isna menemaninya-
Di luar angin berhembus pelan menerpa dedaunan, Eva menyuruh Isna mematikan semua lampu rumahnya tak terkecuali lampu halaman depan rumah.
"Santi kate teko ta?" (Santi mau datang?)
"Mbak Jum iki meden medeni ae" (Mbak Jum nakut nakutin aja) Kata Isna pada Juminten.
"Is, kamu tidur aja dulu" Perintah Eva, pada Isna.
"Iyo Mbak, howone ngarai ngantok" (Iya mbak, hawanya bikin kantuk)
"Emboh" Jawabku, lalu memperhatikan sekeliling.
Malam.
Suara angin yang menerpa pepohonan membuat pohon rambutan di sebrang jalan mengeluarkan suara gemerisik.
Kata Juminten menunjuk becak tua yang biasa di gunakan Cak Johan bekerja, di bawah pohon rambutan.
Suara angin angin tiba tiba menghilang, malah pohon rambutan di sebrang jalan itu, bergoyang dengan sendirinya.
Kami berdua terkejut mendengar suara tangisan dari kejauhan, tangisan ini, tangisan mbak Santi seperti semalam.
Hiks... Hiiii... Hiiii....
Mataku tertuju pada sosok perempuan berbaju putih di depan rumah Isna. Juminten juga terlihat terkejut saat melihatnya.
Hiii.... Hiiii... Hiiii....
Ku tutup kedua telingaku saat mendengar suara tangisannya kembali.
Suara benda jatuh dari arah belakang.
Tuk... Tuk.... Tuk... Tuk.... Tuk....
Suara kuku di ketuk ke kaca.
Kriiiiiiiitttt....
Deg..
Jantung serasa berhenti berdetak saat mata kupejamkan erat, tengkukku seperti di tiup dari belakang.
Juminten merangkak kedepan, dengan pelan ia mencoba memperjelas pendengarannya akan ketukan pelan kuku yang mengetuk kaca.
Aku hanya memperhatikan tingkah Juminten yang penasaran dengan suara ketukan kuku.
Juminten semakin mendekat ke arah kaca.
Akh.....
Entah apa yang harus kulakukan saat ini.
Selesai wudhu aku sedikit tenang, lalu hendak kembali ke depan menyusul Eva dan Juminten dengan wajah pucat karena melihat mbak Santi menampakkan sosok hancurnya kembali.
BERSAMBUNG
Malam semakin panjang, begitu juga dengan kejadian demi kejadian terus bermunculan.
Suasana menjadi hening, ku atur nafas yang terasa sesak di dada. Berkali kali Juminten membasuh keringat di keningnya.
Siapa juga yang malam malam begini sedang di luar, pikir kami.
Dengan wajah pucat kami berdua menekan rasa ketakutan, hanya karena rasa penasaran oleh suara obrolan yang semakin jelas terdengar di telinga.
Deg.
Becak di kayuh pelan memasuki gang rumah Isna, lalu di kursi penumpang depan becak yang sedang melaju pelan.
"Loro gendeng!" (Sakit Gila) Kata Juminten pelan, menahan suaranya agar tak memulai keributan di antara kami.
Suara sesuatu jatuh dari atas pohon rambutan, kami berdua yang sedari memperhatikan mbak Dista yang berbicara sendirian, menoleh ke arah pohon rambutan karena mendengar suara jatuh dari sana.
Aku Berharap ini hanya bunga tidur semata.
Di bawah pohon rambutan, sosok tubuh dengan wajah hancur sedang merayap keluar dari kegelapan.
Juminten menelan ludah saat melihat mbak Santi yang merayap dari bawah pohon rambutan.
Dista berdiri kaku memandang ke arah mbak Santi yang terus merangkak pelan ke arahnya.
Allah Hu Akbar.
Allah Hu Akbar.
Dista menghabiskan 3 gelas teh dan satu gelas kopi yang belum sempat kami minum sebelumnya, ia nampak kehausan.
"Kirek" (Anjing) Umpat Dista, saat Juminten menceritakan kejadian yang baru saja ia alami.
"Iyo Mbak, soal e Cak Johan mau isuk di kubur" (Iya mbak, soalnya baru tadi pagi cak Johan dikuburkan) Kataku, memperjelaskan.
Aku dan Juminten berpandangan lalu mengangguk pelan, secara bersamaan.
"Terus Eva iki lapo" (Terus Eva ini ngapain) Tanya Dista saat melihat Eva, yang masih bersila di depan dua lilin.
"Lapo topo nek njero omah, kok gak nek penger kali metro opo, kuburan kono" (Ngapain bertapa di dalam rumah, kenapa tidak di pinggir sungai atau kuburan sekalian)
Belum sempat kami menjawab suara benda jatuh, dari arah dapur mengagetkan kami.
Clek... Clek... Clek..
Deg.
Bunyi pisau dapur yang ditekan ke arah papan telenan, "bukak Jum" Suara Dista lirih.
Tangan kiri Dista mendorong pintu, mengantikan Juminten di depannya yang akan membuka pintu, untuk melihat ada apa sebenarnya dari dapur saat ini.
Bunyi pintu yang di dorong sedikit, dari celah pintu yang sedikit terbuka itu, sosok tubuh dengan badan setengah bungkuk, sedang berdiri menghadap ke arah kompor di depannya, dengan posisi membelakangi kami.
Ku tutup mulutku rapat rapat dengan kedua tanganku, seakan tak percaya dengan apa yang ku lihat saat ini, badanku mulai lemas menyaksikannya.
Dista yang terlihat masih menguasai dirinya menyeret tubuh Juminten yang terduduk lemas di lantai, aku lebih dulu berjalan ke ruang depan karena tak kuasa melihat hal yang sama sekali tak masuk akal bagiku.
Aku terkejut saat mendengar suara ketukan dari balik pintu dapur, kejadian yang sangat susah untuk dinalar dengan akal sehat kami.
Sreeek... Sreeeekk... Sreeekk....
Meski berkali kali kucoba bersikap tenang, tapi gemetar di kakiku tak bisa membohongi jika sebenarnya aku sangat ketakutan.
Suara langkah kaki mbak Santi yang di seret kembali terdengar seperti film dokumenter yang di putar berulang kali saat malam.
Allah.
Suara seretan kakinya terdengar pelan namun sangat jelas terdengar, mbak Santi sedang berjalan menyeret kaki kanannya di samping rumah menuju depan.
Hiks.... Hiiii... Hiiii... Hiiii...
Tuk... Tuk.. Tuk.. Krieeett......
BRAAAAKKKK....
Pintu di gedor keras dari luar, Dista memandang heran ke arahku, aku menggeleng pelan menangapi tatapan herannya.
Kali ini suara pintu dapur yang tarik pelan, kuseret pelan Juminten sambil merangkak di balik tembok ruang depan, entah apa yang kulakukan yang jelas malam itu terasa amat panjang bagi kami.
Pelan, begitu pelan suara pintu depan yang di ketuk, sekilas bayangan dari celah bawah pintu, berdiri sosok perempuan di balik pintu menghadap ke arah rumah.
Dista merangkak pelan ke arah kami, lalu bersandar di tembok di sebelahku, yang menghadap ke arah luar.
Tok... Tok.. Tok...
Eva yang meditasi semalaman di depan lilin yang sudah padam sejak lama, kini tengah duduk di kursi memperhatikan kami bertiga yang saling peluk satu sama lain.
"Mbak, Mbak, tangi he, wes awan" (mbak bangun sudah siang) Isna menepuk pelan kami bertiga secara bergantian.
Aku dan Dista bergantian memasuki kamar mandi, masih terbayang di ingatanku, tentang mbak Santi yang menghantui kami.
"Asline yo opo seh, Santi kok iso dadi medi ngono iku?" (Aslinya gimana sih, Santi bisa jadi hantu begitu?) Tanya Dista heran ke arah kami.
"Ancene iyo, Mbak Santi ngedor lawang ben bengi" (emang iya, Mbak santi mengetuk pintu tiap malam) Isna menimpali.
"Terus solusine yok opo iki Va?" (Terus solusinya gimana ini Va?) Tanya Dista pada Eva.
Mereka beralih memandang ke arahku.
"Yo awak dwe lah, Shep" (Ya kita lah) Jawab Dista singkat.
"Aku seng ngomong nang Lek Eni, mariki" (Aku yang bilang sama Bibi Eni, habis ini) Jawab Dista pelan.
"NDANCOK, a" (Sial) Sahut Dista kesal, lalu menarik tanganku untuk berdiri.
===
Bahkan saat melewati depan rumahku, Dista masih nyelonong tanpa menoleh ke arah rumahku.
"Iyo Mbak, lha samean melaku padane kate gegeran ae" (Iya Mbak, kamu jalan seperti mau berantem saja) Sahutku kesal.
Pintu rumah pak Anam di gedor batu seukuran kepalan tangan, yang di pungut Dista di pinggir jalan tadi, aku mengawasi sekeliling karena kelakuan brutal kakakku ini, mengundang tanya di benak para tetangga yang mulai memperhatikan kami.
"Opo buktine? Ojo asal ngomong koen iku" (Apa buktinya jangan asal bicara kamu) Sahut pak Anam dengan nada marahnya.
Setelah puas mengacak acak rumah pak Anam Dista keluar dengan buku catatan kecil di tangannya.
"Lapo koen mesem mesem" (Ngapain kamu senyum senyum) Tanya Dista padaku yang tersenyum sendiri di belakangnya.
"Tenane?" (beneran?) Tanya ibuku heran.
"Iyo ta, Shep?" (Benarkah, Shep?) Tanya ibuku lagi padaku.
"Untumu a, Shep" (Gigimu Shep) Dista menimpali, ia sudah mengambil nasi di piringnya.
"Genah e, seng endi seng bener?" (Jelasnya, yang mana yang benar?) Ibuku bertanya memperjelas.
"Kate nandi seh rek, kok dolen ae" (Mau kemana sih kok main saja) Jawab ibuku dengan nada menolak.
"Yo koen barang pek, Nopek" (Ya kamu juga) Sahut Dista, Nopek adalah nama panggilan Melisa.
Juminten kembali mengenakan jaket tebalnya, seraya menenteng helm bermereknya.
"Ngae satria maneh?" (make satria lagi?) Tanya Juminten padaku.
"Dis, adik e di jogo loh" (Dis, adiknya di jaga yah) Kata ibuku sebelum kami pergi.
"Shep, ojo lali pesene ibuk" (Shep, jangan lupa pesan ibuk) Kata ibu padaku, aku hanya menganguk pelan setelah mencium kedua pipinya.
Harapan kami hanya agar teror mbak Santi cepat berakhir dengan usaha terakhir kami ini.
Beberapa kali kami singah serta istirahat di pom bensin untuk melepas penat sebentar, bokongku sudah terasa panas selama perjalanan yang kami tempuh.
===
Tengah malam.
Kami berdua sudah hilang semangat juang untuk meneruskan perjalanan, "Jum" Suaraku lirih.
Kami bertiga diam tak menjawab candaannya, bahkan saat Ajeng mulai memotret kami beberapa kali pun, kami masih dengan posisi yang sama.
"He, ayok berangkat" Suara Dista mengajak kami untuk memulai perjalanan kembali.
Shep, Jum, Melisa ayok berangkat" Lanjut Dista pada kami bertiga yang sama sekali tak bergerak.
"Jangan ngulur waktu lah" Sahut Eva yang berdiri di samping Dista.
Kami bertiga masih diam tak bergerak, meski tak tidur, kami sengaja memejamkan mata.
"Shep?" Suara Juminten bertanya padaku.
"Mbakmu, bendino mangan pohong katek bahasa indonesia barang" (Kakak kamu, setiap hari makan singkong aja make bahasa indo)
"Jancok koen Jum" Umpat Dista dengan nada kesal.
Kali ini kami bertukar posisi, Dista memboncengku karena kasihan, perjalanan di lanjutkan.
Beberapa kali helm yang kukenakan beradu dengan helm Dista akibat rasa kantuk yang tak bisa kutahan.
Pejalanan semakin jauh memasuki daerah pedesaan, kulirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kiriku.
===
Pukul 3 dini hari.
Dengan senang hati kami menerima niat baiknya.
Di rumah berdinding dari anyaman bambu milik kakek yang bernama Mbah Darkun dan istrinya Mak Ijah, kami di jamu dengan alakadarnya.
Laju motor kami pelan karena jalan yang di lalui tanah kering di tengah persawahan.
"Opo" Sahutku, sambil terus kosentrasi karena jalan yang kami lalui semakin sulit.
"Golek sikep, Jum" Sahutku asal, menimpali perkataan konyolnya.
(Mencari Jimat, Jum)
"Batokmu" Umpatnya kesal.
Kami terasa aneh di mata orang orang yang sedari tadi kami jumpai, sedang mengarap sawah.
Hari semakin sore saat memasuki hutan, dan hal yang kutakutkan benar terjadi.
"Jancok" Dista menendang rerumputan karena kesal, hanya ada jalan setapak yang mengarah jauh ke dalam hutan sedangkan petang hampir tiba.
"Lanjut opo mbalek moleh ae?" Eva menimpali, ia juga nampak ragu karena yang kami tuju bukan rumah dukun tapi hutan belantara.
"Aku lanjut, dari pada moleh gak oleh hasil" (Aku lanjut, dari pada pulang tanpa hasil) Dista mulai bersiap menyalakan senter di tangannya.
"Awakmu yok opo Mel?" Tanya Eva melirik ke arah melisa.
"Awakmu Jum" Kali ini Dista yang bertanya pada Juminten yang duduk di belakangku.
"Moleh" (Pulang) Jawabku kesal sambil melengos, padahal ia juga tahu meski aku ingin pulang aku sudah kalah dalam hak suara dalam kelompok gila ini.
"Pek, nopek" Kataku pada Melisa yang berjalan di depanku.
Mendengar Melisa memanggilku dengan sebutan Shapi, kakiku reflek menendang bokongnya pelan.
"Banyumu sek ono a?" (Air mineralmu masih ada?) Tanyaku lagi.
Nafas kami tersengal karena berlari menuju cahaya kuning yang kami lihat tadi dengan keringat yang sudah membasahi tubuh kami.
Di depan kami sekarang berdiri rumah gedung megah ditengah hutan, di terangi cahaya lampu dari nyala api di tiap sudut rumah.
Aku sempat berpikir, sejak memakai gelang ini rasa takutku sedikit hilang.
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling rumah besar di depan kami, rumah yang nampak antik pikirku.
Aku terkejut, ketika melihat di bawah pohon di samping rumah ini, seorang nenek dengan rambut di sangul mengenakan pakaian kebaya lengkap dengan stelan jariknya berdiri di bawah pohon sawo memandang ke arah kami saat ini.
Dista dan yang lain secara serempak memandang ke arah pohon sawo, di mana nenek tua itu berdiri.
Suara tawa yang berasal dari si nenek tersebut membuat bulu kuduku berdiri, nenek itu nampak berjalan pelan ke arah kami saat ini.
Kakiku terasa berat untuk melangkah mundur, rasa takut menjalari tubuh kami saat ini.
Dista menendang paksa pintu rumah, Juminten menarik tanganku untuk ikut bersama lainya yang sudah berlari kedalam rumah.
Kami terjebak di sebuah bangunan tua yang sudah hancur, aku menerangi Dista yang sedang mencoba membetulkan senternya dengan panik, dengan cahaya dari nyala senter yang kupegang dengan gemetaran.
Eva mulai mencari sesuatu dari dalam tasnya, Melisa menyinarinya dengan lampu flash dari gawainya.
Dista mengarahkan senternya pada Ajeng yang sedang berjongkok ketakutan, seraya menjawab.
"Kan awakmu seng ngejak sampek tekan kene" (Kan kamu yang mengajak sampai di sini) Kata Ajeng, bibirnya bergetar ketakutan.
Aku dan Juminten tak ingin ikut dalam pertengkaran mereka, percuma saja berengkar sedangkan keadaan sudah menjadi seperti ini.
BUUKK ..
akh ...
Kami terus berlari tak tentu arah, dalam hutan yang gelap oleh pekatnya malam.
Kumuntahkan isi perutku, karena tak tahan dengan bau busuk yang sangat menyengat mengingat pocongan yang tiba tiba jatuh di tengah kami tadi.
"Loh, nandi Ajeng karo Nopek?" (Mana Ajeng dan Nopek?) Tanya Dista heran padaku dan Juminten yang bersandar di pohon dekat kami, Kami baru sadar kalo hanya bertiga.
Rasa mualku mulai reda, meski gemetaran karena rasa takut belum juga hilang dari tubuhku.
Juminten mengeluarkan botol air mineral lalu membukanya sebelum ia ulurkan padaku. Ia mencoba tenang meski aslinya aku pun tahu ia sangat ketakutan.
Juminten mengambil senterku, ia mengarahkan senter ke arah belakang waktu kami berlari tadi.
Hening.
Sreeek
Sreeek
Sreeek
Suara kaki yang di seret kembali terdengar, di tengah hutan berselimut kabut tebal malam ini.
Sreeek
Sreeek
Terdengar pelan namun sangat jelas, suara itu di belakang kami saat ini.
Badan kami sama gemetaran keringat kembali bermunculan di dahiku.
Dista memegang senter dengan gemetaran yang ia arahkan kedepan.
Juminten nampak terkejut ketika menoleh ke belakang, ia kemudian mencoba menenangkan diri. Sembari memberi kode padaku dan Dista.
Sreeek
Sreeek
Suara semakin dekat tepat di belakang kami, kami saling menahan nafas sebelum mengambil ancang ancang untuk kembali berlari.
Sreeek
Sreeek
"JANCOOOK ..."
"Asu" Umpat Juminten sambil terus berlari di sampingku.
"Loh Shep lapo?" (Loh Shep ada apa?) Tanya Juminten yang juga berhenti karena sadar aku telah berhenti.
Dista berbalik dengan tatapan heran ke arahku, ia memandangi wajahku yang kesal penuh amarah.
"Dadi eleng jaman SMA Shep" (Jadi ingat waktu SMA Shep) Kata Juminten sambil tertawa.
Mbak santi di jadikan tumbal pesugihan oleh orang tuannya, sedangkan yang mengantar Mbak Santi ke rumah Mbah Harjo adalah Cak Johan.
Cak Johan tergiur oleh rayuan Pak Anam yang memberikan beberapa juta uang padanya,
Dan kedatangan kami di sini sekarang, bukanlah suatu kebetulan belaka, Pak Anam sudah merencanakan semua ini sebelum kematian Mbak Santi, karena hari kelahiran kami berenam.
Aku lahir di hari minggu, sedangkan Dista lahir pada hari senin malam, sedangkan yang lain juga lahir di hari pada hari tersebut.
Eva yang mencoba mencari jawaban dikelabui Mbah Harjo, dengan alasan harus datang kemari untuk melepas susuk yang di tanamnya pada Mbak Santi.
Kusandarkan kepala di pundak Dista, dengan kaki selonjor di atas paha Juminten yang duduk di sebelahku.
"Ora ndeng" Jawab Juminten cepat, dengan menoleh kearahku.
"Shep" Panggilan Dista tiba tiba matanya nampak sembab, saat aku berpaling memandangnya.
"Sepurane yo, gara gara aku awakmu karo liyane dadi koyok ngene" (Maaf yah, gara gara aku kamu dan yang lainnya jadi seperti ini)
"Koen duduk Mbak, ku" (Kamu bukan kakak, ku) Jawabku kesal, dengan mengerakan kepalaku yang tadinya bersandar di bahunya.
Dista nampak terkejut mendengar makianku padanya, ia nampak menyeka air matanya sambil tersenyum padaku.
===
Sinar matahari pagi dari timur menembus celah kabut dalam hutan, hanya sebentar rasanya saat kami terlelap.
Terbukti dengan adanya benda mistis yang di letakkan lada batu besar berbentuk kotak, di bawah pohon ini.
Lalu beberapa botol kecil minyak wangi juga ada di atas batu.
Gerimis.
Kami merapatkan diri bersadar di bawah pohon, meski badan sudah basah kuyup oleh derasnya hujan, badanku mulai mengigil kedinginan
Aku ingat, sepertinya aku pernah mangalami peristiwa ini tapi entah kapan aku lupa, kupejamkan mataku rapat.
Tanganku mengambil selembar foto yang sudah basah oleh air hujan, ini adalah foto ajeng yang di upload di sosial media miliknya.
Tanganku mengepal erat, aku tidak mau mati di sini.
"Mbak" Kataku Lirih lalu menoleh pada Juminten di sebelahku, "Jum ayo mbalek nang omah mambengi" Lanjutku pada mereka berdua.
Kami berjalan di tengah derasnya hujan mencari jalan menuju ke rumah yang telah hancur semalam.
"Ancene asu, ngerti kok tempilingi aku melok urun ngidoni Anam Dis"
==
Hujan telah reda meninggalkan dedaunan dan tanah yang telah basah oleh guyuran hujan, kami sudah sampai di depan bangunan selam.
"Teko endi ae kon iku" (Dari mana saja kamu) Tanya Dista pada Eva yang berdiri di belakangku.
"Arek iki stres gara gara turu karo pocongan mambengi ta?" (Ini anak stres karena tidur bareng pocongan semalam?)
"Aku gak popo Shep, sepurane ora iso ngeterno awakmu metu tekan kene" (Aku tidak apa apa Shep, maaf tidak bisa mengantarmu keluar dari sini)
Entah apa dari kata katanya yang jelas, saat ini tubuh Eva terasa sangat dingin saat memelukku.
"Nek kono?" (Di sana?) Juminten memperjelas pertanyaan Dista tadi pada Eva, yang di balas angukan pelan Eva.
Tangisku pecah saat dengan jelas kupastikan tubuh yang tergelantung dengan tali yang melilit di leher, itu adalah Ajeng.
"Jancok, opo maneh iki" (Sial apa lagi ini) Umpat Dista tak percaya dengan semua yang di lihat dengan matanya.
Jika Ajeng meninggal, lalu di mana Melisa sekarang bukankah semalam mereka berlari bersama.
(Terus sekarang bagai mana, apa di kubur sekarang saja?) Kata Juminten pada kami, ia nampak tak tega melihat Ajeng yang mati tergantung.
Kami kembali menuju depan bangunan yang rusak tempat Eva sedang menunggu tadi, mataku mulai mencari keberadaan Eva.
Deg.
Jantungku serasa berhenti mengingat Eva yang tadinya bersamaku, tubuh dingin dan muka pucatnya.
"Mbak" Panggilku pada Dista yang mengolesi wajah Juminten dengan lotion dingin, berharap bisa meredakan rasa panas di wajahnya.
"Kuburan?" Tanya Dista masih tak mengerti maksudku.
"Yo ngelawan lah" (Tentu saja melawan) Jawab Juminten cepat, rasa panas di wajahnya nampak mereda.
Sunyi.
"Kuburane!" (Kuburannya!) Kataku setengah berteriak, mencoba meyakinkankan mereka berdua.
"Aku mesti percoyo karo Shepia" (Aku selalu percaya pada Shepia) Jawab Juminten pelan.
Setelah melewati sungai kecil di tengah hutan, jalan setapak yang berada di tengah dua gapura model kuno dengan tangga kecil terbuat dari semen yang tersusun rapi sampai ke atas bukit.
Juminten beberapa kali membasuh peluh di keningnya saat menaiki tangga. Sedangkan Dista sudah berjalan jauh di depan kami, tak memperdulikan rasa lelahnya.
"Ora" Jawabku singkat.
Juminten di bantu Dista menggali kuburan dengan tangan, kucari sesuatu untuk mempermudah dalam menggali.
"Dista tulungono aku .." (Dista tolong aku)
(Shepia tolong kuburkan aku)
"Ella aku ono kene tolong susulen aku" (Ella aku ada di sini tolong jemput aku)
Kami diam membisu dengan badan kaku, tak bisa bergerak. Wajah kesedihan serta sorot mata sayu memandang ke arah kami saat ini.
Lama dari tak ada yang menjawabnya, antara percaya atau tidak dengan kemunculannya yang secara tiba tiba.
"Aku ora iso tenang nek kene" (Aku tidak bisa tenang di sini) Jawab mbak Santi pelan dengan menunduk.
Air mataku ikut keluar bersamanya "Tuntunen yo, Mbak" ucapku lirih.
"Taek aku kate kok tinggal a?" (Sial aku mau kalian tinggal?) Umpat Dista kesal.
Deru suara mobil yang kami dengar perlahan semakin menjauh, setelah keluar dari jalan setapak kami menemui jalan besar di tengah hutan, jalan bekas ban mobil dengan rumput liar di tengahnya.
Suara jeritan keras perempuan tiba tiba terdengar, semakin lama semakin banyak suara jeritan yang kami dengar.
Kutuntun Melisa untuk duduk menepi lalu memberikan botol air mineral padanya, agar ia tenang.
Kupeluk erat tubuh Melisa sambil terus kubisikan semua akan baik baik saja.
Di sebelah motor kami seseorang sedang duduk di kegelapan malam, dengan nyala rokok yang menemaninya.
"Seng endi jenenge Harjo iku Mbah?" (Yang mana Harjo itu Mbah?) Tanya Dista penasaran.
"Terus Nyi Rukmi iku sopo Mbah?" (Terus
Nyi Rukmi itu siapa Mbah?) Tanyaku penasaran.
Tiba tiba angin kencang datang dari dalam hutan, di susul suara jeritan keras yang menyayat hati.
Sraaakk ...
Semakin kencang angin yang berdatangan membuat pohon besar di sekitar kami bergoyang goyang keras.
Suara Jeritan kembali bersahut sahutan, jeritan yang amat menyayat hati seakan mereka yang menjerit sedang di siksa dengan kejam.
Suasana kembali sunyi dengan menghilangnya bayangan puluhan gadis beserta jeritan tangisan yang sudah menghilang.
"Ora, pokok e aku melok" (Tidak, pokoknya aku ikut) Jawab Juminten tegas.
===
Kami menyusuri desa yang di maksud Mbah Darkun, hanya mendapat info kalo rumah yang di tinggali mbah Darkun adalah rumah tua model joglo.
Hal yang paling tidak masuk akal mulai berdatangan, hawa aneh saat mulai menyusuri jalanan desa.
Pandanganku mulai kabur darah keluar dari hidung, tubuhku ambruk di jalan tanah desa ini.
Dista yang tadinya panik dengan keadaanku, tiba tiba ambruk mengalami hal yang sama seperti diriku.
Berkali kali kusebut asma Allah meminta pertolongan darinya, kupasrahkan diriku hanya kepadanya.
Hening!
Terus kucoba mengerakan tubuhku, dalam hati menyebut asma Allah.
Allah.
Ku-ulangi lagi cara yang sama pada Dista, menyemburnya dengan air dalam mulutku.
"Konyol awakmu iku, aku kok idoni" (Konyol kamu itu, aku kamu ludahin) Umpat Dista agak kesal karena cara anehku.
Juminten tak kalah sangar ia nampak santai dengan mengambil sebilah bambu kuning panjang satu meteran di rumah penduduk,
Aku memandang mereka berdua dengan wajah heran, mungkin saking seringnya di hantui mereka menjadikan urat ketakutan mereka berdua putus.
"Ora i ilang disek Dist" (Tidak keburu hilang duluan) Jawab Juminten sambil terus memukulkan bambu di tangannya.
"Koyok'e, lha ilang berarti lak pocongan asli" (Sepertinya keburu hilang duluan berarti kan pocongan asli) Jawab Juminten lagi.
Kabut semakin pekat malam menjadi semakin panjang, jam tanganku tak berfungsi dengan normal.
Bulu kuduku meremang hal tak masuk akal berulang kali terjadi, seperti sosok sundel bolong yang tiba tiba muncul di hadapan kami saat ini.
Kenapa aku tidak boleh melemparnya,
Dari depan kami sekarang dua bayangan sedang berjalan menuju ke arah kami, semakin lama semakin mendekat.
"Kalian sedang apa di sini?" Tanya si pemuda berkulit putih tinggi di samping gadis yang usianya lebih tua dariku.
"Iku wong asli ta duduk?" Tanya Juminten sambil menyenggol lenganku, aku menggeleng pelan sedangkan aku sendiri ragu mereka berdua ini orang asli.
"Oh .." Jawab Dista santai, ia nampak lega karena menemui orang di desa mati ini.
"Jadi dua temanmu di jadikan tumbal pesugihan?" Tanya Utari setelah mendengar ceritaku.
Mendengar jawabanku, Utari nampak sedikit heran, beberapa kali ia menoleh pada pemuda yang bernama Alfan di sampingnya.
"Orang itu sengaja menyesatkan kalian" Kata Utari pelan, kali ini ia memandang ke arahku lama.
Atau mungkin dia lah sebenarnya Mbah Harjo itu sendiri.
"Mas Alfan akan membantu ke rumah dukun itu, dan kamu ikut aku. Karena aku butuh kamu untuk menjadi kunci tempat itu." Utari menyela perkataanku, membuat hatiku semakin bimbang, siapa yang harus kupercaya saat ini.
..." Kata Dista menyahut, tapi Dista sudah menunduk menghindari tatapan tajam mata Utari yang beralih memandangnya.
Di tambah lagi kemunculan dua orang yang sama sekali belum kami kenal.
Aku binggung harus menjawab apa, entah apa yang harus aku lakukan. Tiba tiba Utari mengarahkan telunjuknya ke arah belakangku, mahluk tua dengan baju compang camping.
Kami bertiga terkejut karena nenek tua yang berdiri di belakang kami saat ini, adalah Nyai Rukmi.
Utari dan Alfan berbalik melangkah meninggalkan kami, membantu kami saat ini hanya menambah masalah baginya.
Utari menghentikan langkahnya saat mendengar ucapanku, seraya berkata. "Apa kalian sadar, kalo kalian hanya tiga gadis ingusan.
"Iya Mbak, tolong bantu kami" Kataku lirih, dengan bibir bergetar.
Dan perpisahan kami sekarang adalah awal untuk kami bersama kembali, semoga Melisa masih sempat di selamatkan.
Semakin jauh kami berdua berjalan di tengah desa tanpa penghuni ini, tidak ada siang, tidak ada malam, sama sekali tak terasa udara di sekelilingku.
Karena di sekelilingku saat ini, tiba tiba muncul banyak orang berlalu lalang dengan kesibukan mereka.
Utari berhenti di depan sumber air, dengan air yang mengucur deras ke bawah jurang tanpa dasar, karena terhalang oleh kabut.
Meski binggung akhirnya kupegang erat tangannya, kemudian ia menghentakkan kaki kanannya ke tanah tiga kali.
"AAA ...."
"Shepia bangun!"
Kutarik nafas dalam dalam, aku pikir telah mati karena terjun dari jurang bersamanya tadi.
"AAA ..." Aku tersentak kaget saat sadar tidur memeluk pohon kamboja di samping lubang kuburan, bekas galianku semalam.
"Ngak panik gimana, Aku bangun di samping kuburan" Selaku memberi alasan.
===
Malam di sebuah desa.
Kami berdua berdiri memandangi rumah besar yang di kelilingi tembok papan kayu berbentuk runcing di ujungnya,
Utari mulai menjelaskan panjang lebar padaku, tentang kendi yang di simpan di rumah tersebut berserta pantangannya.
"Empat hari mbak hehehe ..." Jawabku sambil cengegesan.
Suasana malam kian sepi, ditambah gerimis ringan di malam hari.
Utari masih berdiri tenang sorot matanya terus memperhatikan rumah Mbah Harjo, gerimis tak membuatnya pergi menepi untuk berteduh.
"Jangan sampai salah kamar" Lanjutnya tegas.
"Iyo Mbak" Sahutku pelan pertanda mengerti maksudnya.
"10 Menit?" Ucapku bertanya pada Utari.
Aku mulai bersiap, dadaku berdebar tak karuan.
"Apa kau keturunan keluarga Ramlan?" Utari mengulangi pertanyaannya lagi.
"Ini pemberian dari kakekku" Jawabku sambil memperhatikan gelang yang di maksud Utari.
"Kau memiliki Trah Ramlan yang mengalir di darahmu. salah satu keluarga yang paling di segani, tetapi karena kau sendiri tidak tahu siapa dirimu, kau ikut lari ketika seekor serigala datang" Jawab utari.
Banyak sekali patung aneh dari kayu dengan berbagai macam ukuran, dan kesemuanya memiliki warna hitam pekat.
Deg, mataku terbelalak ketika sadar salah satu patung perempuan yang mengenakan topeng mengeluarkan air mata darah dari celah mata topeng.
Kreeekk ...
Suara gagang pintu berputar kebawah, dengan pintu rumah yang mulai terbuka pelan.
Pandanganku langsung mengarah pada lukisan besar di ruang tamu rumah ini. Lukisan seorang nenek yang sedang duduk menyilangkan kakinya,
Yang aneh adalah si nenek yang duduk di kursi paling depan sedang tersenyum,
Salah satu lukisan di dinding kayu, sebelah kiri yang tak kalah menyeramkan tiba tiba bergerak, hampir jatuh.
Nafasku tertahan, kala mendengar suara langkah kaki di luar rumah, suara langkah kaki yang terus berjalan memutari rumah.
Tak ..
Tak ..
Lampu yang menerangi ruangan nyala redup, seiring bunyi tongkat yang di pukulkan ke dinding kayu rumah ini.
Tuk
Tuk
Kemudian ia seperti memukulkan ujung tongkatnya di lantai depan yang terbuat dari marmer.
Aku merasakan saat ini kami sedang saling berhadapan, dengan pintu tertutup yang menghalangi pandanganku pada nenek itu,
Pyaaar ...
Kututup mulutku rapat rapat, agar jeritan ketakutanku tak keluar.
Braakk
Braaakk ..
Kembali aku terkejut karena kaget, saat suara gedoran keras dari salah satu pintu kamar.
Grasaaakk ...
Kali ini mataku menatap ke langit langit rumah, di mana suara keras itu berasal. Meski mataku terus tertuju ke atas,
Hawa di dalam rumah ini semakin membuat lemas seluruh tubuhku,
Tubuhku ambruk ke lantai, kakiku tak kuasa menompang berat badanku.
Tubuhku seperti di bebani beban berat, membuatku semakin melemas.
Kusebut kesekian kalinya asma Allah meski sulit, meski terasa berat, dengan susah payah aku mencoba berdiri.
Kudorong keras pintu dengan badan mulai limbung, darah semakin banyak keluar dari hidungku. Saat terus kucoba memaksa tubuhku.
Pintu terbuka cepat cepat kumasuki kamar pengap ini, yang kucari hanya ranjang tidur di kamar ini.
Tanganku mencoba meraih kendi di bawah kolong tempat tidur, dengan cepat ku tarik saat jemariku meraihnya.
Mataku terpejam aku masih duduk bersimpuh di lantai kamar. bayangan Eva muncul di hadapanku saat ini. Eva memeluk erat tubuhku, perasaan haru bercampur sedih saat melihat ia tersenyum bangga padaku.
Mbak Santi melambaikan tangan padaku dengan senyuman simpulnya,
"Selamat Jalan" Ucapku lirih melepas kepergian mereka.
Aku tersentak saat sebuah tangan menyisakan tulang dan kulit mencekikku dari belakang, kuku panjangnya terasa tajam saat menyentuh kulit leherku.
Sakit, sangat sakit sekali yang kurasakan saat ini, nafasku terasa berhenti di tenggorokan.
Saat cengkeraman tangan dengan kuku panjang di leherku, terlepas.
Sorot mata tajamnya mengisaratkan kebencian ketika melihat tubuh Nyai Rukmi.
Lalu semua terasa gelap.
Rumah utama kediaman Mbah Harjo bersama ketiga istrinya.
"Ora Sudi Jancok" (Tidak sudi sialan) Jawab Melisa cepat,
"Kopine Pak" (Kopinya Pak) Kata istri pertama Mbah Harjo, sambil membawa nampan dengan segelas kopi panas.
Mbah Harjo menampel kopi yang di bawa istrinya, dengan penuh amarah pria tua bermuka lusuh tersebut berkata,
Kemudian ia memasuki salah satu kamar yang di khususkan untuk ritual, ia mulai bersila di depan meja untuk melakukan pemujaan pada sekutunya.
Mbah Harjo tak bisa konsentrasi pikirannya mulai kacau, terus terbayang wajah cantik Melisa di pikiranya.
Mbah Harjo mengunci pintu kamar, matanya terus menatap wajah Melisa yang ia ikat di kursi.
Sedangkan Melisa mulai menangis kembali, karena ia sadar apa yang akan di lakukan dukun bejat itu.
Tempat Dista dan Ella (Juminten) saat ini.
Dua gadis sedang berjalan tergesa ditemani seorang pemuda gagah yang menuntun jalan mereka menuju kediaman utama Mbah Harjo.
Sebagai seorang kakak Dista sangat peka dengan nalurinya, ia bisa merasakan jika adik perempuannya dalam kesulitan.
"Mbak Utari pasti menjaganya, bukan tanpa alasan Mbak Utari mau menolong kalian" Jawab Alfan menepis rasa khawatir Dista.
Langkah mereka bertiga terpaksa terhenti, saat empat pria yang sedari tadi berdiam di pos ronda memperhatikan mereka.
"Kowe meneng wae, Aku ra tekon nang awakmu" (Kamu diam saja, Aku tidak bertanya padamu) Hardik pria tersebut dengan mata melotot ke arah Alfan.
Alfan yang merasa situasi mulai tidak kondusif, berjalan ke depan untuk melindungi dua gadis yang bersamanya sekarang.
Empat pria paruh baya suruhan Mbah Harjo, berjalan mendekat ke arah Alfan yang berdiri di depan Dista dan Juminten,
Buuakk ..
Mengakibatkan beberapa gigi lepas dari gusinya, sebelum pria itu ambruk ke tanah tak sadarkan diri.
Sebelum mereka bertiga bersiap melakukan pukulan balasan, Juminten sudah menendang keras pria berkumis lebat tepat di arah kemaluannya,
Terlalu cepat dan mudah bagi Dista, untuk menumbangkan orang suruhan Mbah Harjo,
"Jum uwes, koen iku lapo seh" (Jum sudah, kamu itu ngapain sih) Kata Dista pada Juminten, yang menendangi empat pria sedang tak sadarkan diri karena mereka berdua.
"Ancene kirek, sampek mangkel i aku" (Emang binatang, sampai kesal aku di buatnya)
"Wes Ayo ndang cok, koen iku tambah ngarai suwe ae" (Sudah ayo cepat sialan, kamu membuat semakin lama) Umpat Dista agak kesal.
Alfan tercekat melihat kelakuan kedua gadis yang menendangi empat orang dengan penuh emosi,
Dista, Juminten serta Alfan sudah berdiri di depan pintu rumah Mbah Harjo.
Braaakk ...
Dista menendang keras pintu yang tertutup rapat dari dalam, mengakibatkan pintu rusak.
Baju yang baru saja ia lepas, kini ia kenakan kembali.
Buaaakk ...
Dista berbalik, ia berlari ke arah Alfan yang terjengkang karena pukulan Mbah Harjo.
Melisa memeluk Dista erat, tangisan kerasnya menandakan kelegaan hatinya atas kedatangan Dista dan Juminten yang menolong di saat yang tepat.
Di luar Juminten memukuli Mbah Harjo tanpa henti, hingga tumbuh pria tua itu diam tak bergerak.
"Wong tuwek asu" (Orang tua jahanam) Umpat Juminten dengan kekesalannya.
Dista memapah keluar tubuh lemas Melisa.
Suasana menjadi semakin riuh, karena banyak warga terus berdatangan ke rumah Mbah Harjo.
Berkali-kali Juminten menghubungi Shepia ia nampak cemas, dengan kabar dari satu orang temannya yang belum di ketahui.
===
Esok hari Jam 10 Pagi.
"Yo opo seh, Nduk" (Gimana sih, Nak) ucap Bu Eni, Ibu kandung dari Shepia ia histeris ketika mengetahui anak gadis satu satunya tak ada kabar.
Lalu keluarga Eva meratapi kepergian anak gadisnya, mereka tak percaya Eva sudah tiada.
Melisa mulai menceritakan pelariannya bersama Ajeng semalam.
Melisa berlari mengikuti Ajeng meraka sama - sama panik, dengan pocongan yang tiba tiba jatuh dari atas.
Hingga akhirnya Melisa terjatuh karena kakinya tersandung akar pohon, senter yang ia genggam terlempar.
Melisa terkejut, karena kakinya di tarik dari belakang. Ia meronta saat sebuah tangan mencengkeram erat kakinya, mulutnya ingin berteriak tapi suara nya tak keluar.
Kini ia paksakan berlari menolong temannya, ia kepalkan erat tangannya memukul ke arah sosok pria yang tak jelas wujudnya di kegelapan malam.
Pukulan Ajeng tepat sasaran, pria itu jatuh tersungkur. Ajeng membantu Melisa bangkit, sebelum tangan pria itu menjambak rambut Ajeng.
Melisa diam sesaat hatinya bimbang, antara lari atau melawan balik.
Melisa melemparkan tasnya ke arah pria yang menjambak Ajeng.
Ajeng melawan balik pria yang kini sudah bergulung - gulung di tanah bersamanya.
Melisa terkejut, ia tak percaya dengan seseorang yang kini berdiri di depannya. "M-mbak Santi?" lirih Melisa.
Rombongan menuju hutan bambu yang di maksud dukun Harjo, isak tangis para kelurga mengiringi langkah mereka menuju lokasi korban.
Berarti selama ini dugaannya benar, waktu pertama kali masuk ke desa mereka sudah memasuki alam lain.
Di tempat lain.
Dista mengutuk Alfan dengan makian kasarnya, ia tak sabar dengan kabar adik sepupunya saat ini.
Dengan terpaksa karena Dista terus menekan Alfan ia mengantar Dista ke tempat Utari saat ini.
"Sabar to Mbak, ojo emosi ae" (Yang sabar Mbak, jangan emosi terus) MbakJawab Alfan menenangkan Dista agar tak emosi.
Utari sedang duduk bersantai di sebuah warung makan, ia tahu Alfan akan datang menemuinya. Ia tidak menyadari jika Dista ikut bersama Alfan.
"Sabar to Mbak, duduk dulu kita bicara baik-baik" ucap Alfan pelan,
Utari menenangkan Dista yang tersulut emosi karena tak mendapati adiknya bersama Utari.
***
Utari berdiri mengawasi dari luar rumah kedua Mbah Harjo, ia pusatkan konsentrasinya menahan kekuatan gaib dari Nyai Rukmi.
Sementara Shepia sudah memasuki rumah mencari kendi tumbal pesugihan yang mengurung jiwa para tumbal.
Utari tak percaya dengan kedatangan anak angkat kelima Trah Suryono yang tiba-tiba muncul.
Gadis yang memakai jaket merah panjang bernama, Disa Anindya Malik Ramlan tersebut mengehentikan langkahnya,
Darah mengalir pelan membasahi kening Utari, tubuhnya tak bisa di gerakkan.
Disa memandang Utari dengan sorot mata merendahkan lawannya,
Meski Utari mencoba menahan, akhirnya ia harus tumbang tergeletak di tanah tak sadarkan diri.
Disa tau di mana Shepia saat ini berada, sosok buruk rupa Nyi Rukmi sedang mencekik leher Shepia dari belakang.
Disa berjongkok di samping Shepia yang-
"Minggat!" Kata Disa tegas, sorot matanya mengisaratkan kebencian pada mahluk tua tersebut.
"Minggat opo tak tak sampurnakno?" (Pergi apa aku sempurnakan?) ucap Disa dingin, tangan kirinya mengelus pelan kepala Shepia di bawahnya.
Hutan Bambu tempat para korban pesugihan di kubur.
Bu Eni nampak menangis histeris karena hanya jenazah putrinya yang tidak ditemukan, Sofi yang ikut dalam rombongan itu,
Berkali-kali Bu Ririn pingsan karena melihat tubuh kaku Ajeng, tangisan kehilangan para korban terus terdengar.
Kakek Shepia nampak tenang, ia tau tidak selamanya bisa menyembuyikan keberadaan cucu gadisnya.
Juminten berkali kali mengumpat Dista yang menghilang bersama Alfan.
Mata Eva beradu pandang dengan Shepia yang tengah berlari menjauh, karena tangannya di tarik oleh Dista.
Kini Eva sadar. Saat pertama kali datang ke desa sebelum memasuki hutan,
Air mata sebagai tanda penyesalannya, mengalir membasahi kedua pipinya. Dalam duduk meringkuk,
Rasa bersalah akan nasib kelima temannya, yang di haruskan mati sampai besok malam.
Malam semakin sunyi, Eva yang masih terpuruk karena rasa bersalahnya menangis keras, dalam kegelapan malam.
Hanya Shepia yang mengulurkan tangan padanya, menerimanya layaknya seorang saudara kandung sendiri.
Eva bergegas berlari keluar dari bangunan tua yang telah roboh,
Seandainya temannya tadi tidak berlari, seandainya mereka masih berkumpul, tidak terpencar. Mungkin mereka berenam masih selamat sampai saat ini.
Namun ia hanyalah manusia biasa,
Yang harus ia lakukan saat ini adalah. Bagimana caranya menyelamatkan mereka meski dengan taruhan nyawanya sendiri.
Eva semakin mempercepat larinya, menyeberangi sungai dengan bebatuan di tengah sungai, dengan air jernih.
Tangga kecil yang mengarah ke atas bukit, dengan pohon bambu yang tumbuh lebat di samping kiri kanan anak tangga.
Di atas bukit, tanah lapang dengan pagar setinggi satu meter yang mengelilingi tanah tersebut. Menjadikan pembatas antara tempat ritual dengan pohon bambu di sekitar tempat itu.
Terakhir yang harus ia lakukan adalah, menyembelih ayam cemani (Ayam hitam) untuk ritual terakhir.
Bunga, Bahkan arang yang terbakar di cobek, tak luput dari tendangannya.
Hening !
Eva berjalan mundur pelan-pelan, ia sadar Nyai Rukmi telah merasuki tubuh Pak Anam.
Berharap tangan pria tua tersebut terlepas dari lehernya.
Eva meninggal di tangan Nyai Rukmi.
Namun matanya terbelalak kaget, saat mengetahui wujud bungkuk Nyai Rukmi yang berdiri di hadapannya saat ini, tengah tersenyum menyerigai ke arahnya.
Tak ada pertolongan untuknya, teriakan keras terakhir Pak Anam di malam itu, menjadi saksi kematian pria paruh baya yang belum sempat menyempurnakan kontrak pesugihannya dengan Nyai Rukmi.
Hutan Bambu. Tempat para korban pesugihan Nyai Rukmi di kubur.
Gemuruh takbir masih dikumandangkan, puluhan orang yang menyaksikan penggalian untuk mencari jenazah yang di kubur, terus bersahut sahutan.
Juminten yang sedari tadi mencari-cari keberadaan Dista yang menghilang nampak kesal.
Tidak mungkin juga Melisa yang di tanyai dengan kondisinya sampai saat ini hanya bisa menangis, karena trauma berat.
"Kate takok opo kon cok !" (Mau tanya apa kalian sial !) Maki Dista kasar, dengan dengan nada marah.
Mereka tidak bisa selamanya menyembunyikan Shepia, sudah waktunya bagi mereka merelakan Shepia mengikuti takdir besar yang di gariskan keluarga Ramlan.
Seorang gadis duduk di meja rias, dua orang wanita sedang merias pengantin wanita.
Juminten nampak sedang membantu menata kue-kue di piring untuk hidangan para tamu.
Siang itu, acara kesenian reog ponorogo yang di adakan untuk memeriahkan pernikahan sekaligus khitanan anak Mas Roni berlangsung ramai oleh banyaknya penonton yang memadati lokasi.
Suasana riuh tiba-tiba menjadi hening saat kedatangan gadis ini.
Gadis itu menaiki tangga kecil tempat dua mempelai serta Juminten, Sofi dan Melisa saat ini berada.
"SHAAAPIII ..." Teriak Juminten keras, berlari memeluk Shepia yang tiba tiba datang saat ini.
Melisa dan Sofi tak kalah terkejut, mereka juga berlari ikut memeluk Juminten dan Shepia.
Mereka berlima berteriak, serta tangis haru dalam kebahagiaan yang telah lengkap dengan kedatangan Shepia yang telah mereka nantikan.
Tentang perjuangan, arti sebuah ikatan persahabatan, tentang sebuah kebersamaan dalam suka dan duka yang mereka lalui. Akan tetap menjadi cerita hingga di masa tua mereka nanti.
Pagi hari di desa Jati Sari, geger karena makam Santi di bongkar tanpa sepengetahuan perangkat desa dan warga. Meski beberapa warga mengusulkan agar jenazah Santi kembali di sucikan.
Atas perintah Pak Kades, salah satu aparat desa menemui keluarga Pak Anam.
Mendengar jasad anak gadisnya tidak berada di tempatnya, Bu Anam kaget sampai pingsan beberapa kali.
"B-Buukk .." Suara serak, pelan Didik dari kamarnya.
Bu Anam melangkah pelan menuju kamar Didik yang sedang terbaring tak berdaya saat ini.
Bu Anam kembali menangis dengan memeluk tubuh Didik yang sudah tidak bernyawa, setelah puas dengan tangisannya meratapi nasip keluarganya,
Bu Juminten tetangga depan rumahnya, mencoba menanyakan kabarnya.
===
Pria paruh baya itu menuju kegelapan malam, menuju jalan setapak yang mengarah ke sungai.
Sesampainya di kuburan desa ia segera menuju ke makam Santi putrinya.
Pak Anam mulai menggali tanah kuburan Santi dalam kegelapan malam.
Tubuh yang sudah membiru serta mengeluarkan bau busuk menyengat dari tubuh kaku Santi, yang berbalut kain kafan putih yang sudah lusuh.
===
Pak Kasim Ayah dari Melisa gadis yang pergi ke kota Klaten Jawa tengah, mendapat kabar dari Melisa putrinya.
Istri Pak Kades menangis histeris sepanjang perjalanan, menyusul ke klaten karena Ajeng Anak pertamanya di kabarkan meninggal saat menolong Melisa.
Hutan bambu tempat di kuburnya para gadis korban pesugihan ramai di kunjungi penduduk.
Dari pengakuan Mbah Harjo dukun yang menjadi pelantara antara Pak Anam dan Nyai Rukmi, jika puluhan gadis dari daerah yang berbeda juga di kubur di hutan bambu ini.
Beberapa kali polisi mencoba menenangkan Ella dari emosinya,
Terlambat, meski Mbah Harjo memohon belas kasihan dari pihak keluarga, bahkan ia bersedia mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Dista yang melihat Ella sedang kalap dengan badan di tahan oleh polisi,
===
Wanita berusia 42 Tahun tersebut masih terus menangisi putri semata wayangnya.
"Iklas seng koyok opo maneh Pak?" (Iklas yang bagai mana lagi Pak?) Tanya Bu Eni dengan air mata terus bercucuran menangis putrinya.
Selama ini ia telah menutupi keberadaan Shepia dari saudara kandungnya,
Abah Muklis kembali teringat akan peristiwa nahas 16 tahun yang lalu,
Kini ia harus mengiklaskan cucu gadisnya, karena dari awal Shepia hanya di titipkan. Bukan di berikan padanya,
Di balik wajah khawatirnya, Abah Muklis tersenyum karena ia sadar cucunya sekarang sudah berada di tempat aman dan bersama kakak kandung perempuannya.
Sheeepia .. Bangun, katanya mau ke malang hari ini?" Suara Mbak Ayu di siang hari membangunkan tidurku,
Ku kucek pelan kedua mataku, aku masih ingin bermalas-malasan di atas kasur.
"Eh .." Aku terperanjat kaget, mengingat hari ini adalah hari istimewa. Bukan bagiku,
Cepat-cepat aku meloncat dari kasur, lalu berlari kecil menuju kamar Mbak Ayu.
"Iya, Buk" Kataku membalas sapaan lembutnya.
3 Tahun yang lalu setelah kejadian Arwah Penasaran Santi. Aku di titipkan di keluarga ini,
Meski Mbak Ayu sudah seperti kakak kandungku sendiri, tapi gemblengan yang kuterima darinya jauh di luar perkiraanku.
Mentalku benar-benar di uji di sana, berbagai mahluk dunia lain datang secara bergantian.
Demi ayah dan ibuku yang selalu mendoakan diriku tanpa kabar selama 3 Tahun ini.
Kangen pada sosok pria yang selalu datang mengulurkan tangannya jika aku menangis, kangen masa-masa kecil hingga aku tumbuh dewasa di tengah tengah mereka.
Tanpa menjawab pertanyaannya, aku menghampiri ia yang sedang duduk depan meja mengoreksi data bisnis keluarganya.
"Huuu ..." Sahutku sambil memanyunkan bibir kedepan.
"Budal dewe kendel kok Mbak" (berangkat sendiri berani kok Mbak) Jawabku asal, lalu memakai semua peralatan kosmetik di meja riasnya.
"Wihh Shapi wes ayu rek, kate pacaran yo" (Wih Shepi udah cantik, mau berangkat pacaran yah) Itu bukan suara kami, tapi suara Senja.
Nama lengkapnya adalah Senja Dewi Asmarani. Tak seperti namanya yang bagus dan paras wajahnya yang cantik,
"Ayo gelot a ! Mbak" (Ayo baku hantam saja ! Mbak) Ujarku kesal, karena ia meledek.
"Dek, nanti kalo udah sampai kabarin Mbak, kamu tunggu saja di malang, 2 hari lagi Mbak jemput" Ucap Mbak Ayu pelan padaku.
"Wih, mau mengetes ilmu sama Fanny yah" Sahut Senja mengodaku.
"Sini sebentar, Dek" Kata Mbak Ayu dengan suara khasnya yang kalem.
Ku atur nafas dalam-dalam, dari balik kaca hitam sedan yang kukendarai dengan jelas kulihat, kakak sepupuku Dista sedang bersanding bersama Bayu pemuda yang telah menaklukkan hatinya yang keras.
Sengaja kukenakan masker penutup mulut dan hidung, serta tudung jaket agar kehadiranku tak terlalu mencolok.
Konsentrasiku mengarah pada diesel, "mati" ucapku lirih.
Ternyata dugaanku salah, tatapan mata para tamu undangan malah tertuju padaku yang tengah berjalan di tengah-tengah mereka,
Di atas sana Dista sedang duduk dengan agun bagai seorang permaisuri raja jawa, dengan senyuman yang ia paksa.
Aku sudah berdiri di depan kursi tempat Dista dan Bayu suaminya duduk, Juminten, Sofi,
"Awakmu Sopo?" Tanya Dista memandangku dengan tatapan heran, penuh tanda tanya.
"SHAAAPI .." Teriak Juminten lantang, ia berlari menghampiriku lalu memelukku erat, Sofi dan Melisa yang kaget seolah tak percaya dengan
Air mata bahagia Dista saat mengetahui diriku benar-benar hadir di hari kebahagiaannya,
"Aku kangen kalian" Kataku lirih, sambil memeluk mereka secara bersamaan.
"Ayo melok aku, Lek Eni onok nek pawon" (Ayo ikut aku, Bibi Eni ada di dapur) Jawab Juminten.
Bibirku bergetar, "IBUUUUKK .."
Ibuku menoleh karena suara panggilanku padanya, meski ia sempat ragu mendengarnya karena sudah 3 tahun ini aku pergi meninggalkannya.
Aku bersimpuh memeluk kakinya, begitu besar rasa rinduku padanya.
Ya, aku masih tetap anak gadisnya yang cengeng seperti dulu.
Setelah tiga tahun pun sifatku tak berubah, aku suka meminum kopi bekas ayahku.
Aku menceritakan semua hal pada mereka, Juminten yang penasaran tiba-tiba masuk kerumah bergabung bersama kami.
Perlahan mataku mulai terbuka, samar karena suasana gelap. Dan kuyakin saat ini aku sedang berada di dalam mobil, saat kesadaranku mulai kembali,
"Samean sopo Mbak?" Aku balik bertanya karena heran, aku tahu, gadis di sampingku saat ini yang tiba-tiba muncul saat aku berada di rumah Mbah Harjo.
"Seandainya si tua bangka itu menepati janjinya, pasti sekarang kau sudah tahu siapa dirimu" Ucapnya dengan nada sinis.
"Kau ! Shepia Andhira Malik Ramlan" Serunya, sorot matanya memandang tajam ke arahku.
"Kau adalah adik kandungku, di malam pembantaian keluarga kita. Mama sengaja membuatmu mati sementara, agar Suryono tak membawamu juga."
"Kopi yang kau minum setiap hari, adalah rasa takut untuk menyembuyikan siapa dirimu sebenarnya.
"Jika kau masih tak percaya, lihat ini" Kata Disa, tangan kirinya mulai menutup kedua mataku.
Seperti melihat kilas balik kejadian di masa lalu, aku sedang berdiri di depan rumah besar.
Di malam itu, nampak keluarga kecil pemilik rumah besar di depanku saat ini, tengah bercengkerama.
Air mataku kembali keluar menahan haru, dan kenyataan bahwa keluarga ini sebenarnya adalah tempatku untuk pulang.
Dari langit malam yang cerah, meluncur sebuah cahaya merah menukik tajam ke arah rumah.
Cahaya itu terpental sebelum masuk ke area rumah, sebuah dinding yang tak kasat mata menahan hantaman keras cahaya merah itu, hingga menimbulkan bunyi keras.
Duaar ...
Kraaaaakkk ...
Dan yang membuatku merasa aneh, Mama yang mendekap erat aku yang terlelap di gendongannya, tak menyadari kehadiran mahluk itu.
Wanita tua dengan rambut di sanggul keluar dari pintu belakang mobil, kini ia tengah berjalan memasuki rumah.
"Melu Ibuk yo Nduk, tak belajari dadi menungso seng di sembah karo liyane" (Ikut Ibuk ya Nak, aku didik dirimu biar menjadi manusia yang dihormati oleh lainnya)
Tangisku semakin keras, melihat kedua kilas balik kedua orang tua kandungku meninggal dengan cara aneh, di depan mataku sendiri.
Aku tak ingin menjawabnya, perih rasanya hati ini. Memikirkan nasip kedua orang tuaku,
"Jika dua tahun yang lalu, si tua bangka itu menjelaskan kebenaran siapa dirimu sebenarnya, mungkin kau tidak akan selemah ini sekarang." Lanjut Disa.
SEKIAN 🙏