B i n t a n g Profile picture
Mar 13, 2020 378 tweets >60 min read Read on X
Siap dengan cerita baru?

KAFAN HITAM SUSAN Image
Lumajang 4 Mei

Gerimis !

Puluhan pemuda dan penduduk menyeret paksa, seorang wanita berusia 36 Tahunan. Suana Riuh di malam hari dengan gerimis kecil yang membasahi bumi,
salah satu dari mereka menendang tubuh wanita tak berdaya, dengan tali mengikat tangannya.

Wanita itu di seret memasuki ladang perkebunan pepaya, dalam gelapnya malam.
Salah satu dari warga menyiramkan minyak dari dalam jerigen, ke tubuh wanita malang tersebut.
Tubuh tak berdaya yang terkapar di tanah itu, kini basah oleh minyak.
Kembali ia di seret paksa, lalu tubuhnya di ikat pada sebuah batang pohon manggis, tanpa rasa belas kasihan puluhan orang tersebut terus mencaci wanita yang hanya bisa pasrah dengan nasibnya.
"Mati koen dukun santet" (Mampus kamu dukun santet) makian salah satu pemuda.

Lolongan anjing di malam hari, menjadi saksi peristiwa di malam hari itu. Tubuh lemah tak berdaya di bakar hidup-hidup, tanpa bisa melakukan perlawanan.
Para pemuda dan penduduk yang termakan hasutan, masih mencaci maki tubuh wanita yang menggeliat kesakitan dalam besarnya kobaran api yang membakar tubuhnya, sebelum mereka membubarkan diri.
Seorang wanita yang tertuduh menjadi dalang kematian istri muda, kepala desa mengunakan ilmu hitam dengan santet.
===

"Biyen seneng bareng karo kowe, biyen susah tetep karo kowe, saiki wes bedo kowe ro wong liyo .." Siti sedang bernyanyi dalam kamar mandi.
"Siti ndang ! selak telat" (Siti cepat ! keburu telat) Teriak Mak Turah mengingatkan Siti, karena terlalu lama dalam kamar mandi.
"Hok a, hok e, ayo Mbak Sit tarek .." sahut Nindy Sepupuku anak Lek Sudar
"Segampang kuwi caramu .." Lanjut Nindy gemas ikut bernyanyi bersama Siti, sambil menunggu antrian mandi.
"Sak tenane ati iki ora lilo, yen nyawang slirahmu nyanding wong liyo .." Suara Siti dari dalam kamar mandi kuyakin saat ini ia sedang berjoget di dalam sana.

"Segampang kuwi caramu ... " Sahut Nindy lagi.
Suasana di pagi hari yang ramai, di saat antri mandi. Karena rumah kami berdempetan dan hanya mempunyai satu kamar mandi, sudah umum bagi kami di desa ini, jika saudara kandung dari tunggal nenek tinggal bersebelahan.
Bahkan dapur kamipun menjadi satu dalam dua rumah.

Dengan satu kamar mandi terpisah dari rumah, yang terletak di belakang bersanding dengan kandang sapi milik Ayahku, dan Lek Sudar Ayah Nindy.
"Loh Mbak Yuri tas tangi?" (Loh Mbak Yuri baru bangun?) Tanya Nindy padaku, saat aku bersandar di tiang penyangga kandang sapi milik Ayahku.
"Lha ketok'e matamu aku tas turu, opo joging?" (Lha yang kamu lihat baru bangun, atau habis joging?) Sahutku balik bertanya dengan nada malas.
Nindy membenarkan letak handuk di bahunya, seraya berkata "huuu di tekoni jawab'e ketus, pantes gak rabi-rabi" (Huu di tanya baik-baik jawabnya ketus, pantas tidak segera menikah) Sahut Nindy.
Aku yang mendengar ucapan Nindy segera mengambil sabun cair, di dalam gayung yang kupegang saat ini lalu menyemprotkan ke arahnya.

"Cok'i" Teriak Siti yang baru keluar kamar mandi, karena sabun cair yang kusemperotkan malah mengenainya.
"Bweekk, gak kenek" Ucap Nindy sambil menjulurkan lidahnya mengejek ke arahku.

"Pedes cok, mataku" (Pedas sial, mataku) Sahut Siti dengan mata terpejam, karena rasa perih di matanya.
"Waduh sorry Sit, gak sengojo" (Waduh sorry Sit, tidak sengaja) Ujarku, agar ia tak marah padaku.

"Sosoren taek'e meri" (Seruput saja kotoran anak itik) Umpat Siti dengan nada kesalnya.
Doh, ngono ae nesu Sit." Jawabku santai, menahan tawa karena ulah Siti yang terus mengutukku dengan makiannya.

"Untumu, sampek aku picek piye?" (Gigimu, sampai aku buta gimana?) Ujarnya panik.
"Yo gak piye piye" (Ya tidak gimana-gimana) Jawabku dengan tertawa yang tak bisa kutahan lagi.

"Mbok yo wes rek, ndang ados, ndang kerjo mesti kok eker-ekeran ae" (Sudah, cepat mandi, terus kerja mesti berantem terus) Sahut Ibuku dari dapur,
ia sibuk memasak untuk bekal ayahku yang sudah pergi menggarap sawah, di pagi buta tadi.

"Motoku picek iki loh Lek Sar," (Mataku buta nih, Bibi Sar,) jawab Sitti masih marah-marah, lalu membilas matanya dengan air dari kran.
"Koen iku ancene mandek, mandekno, ae senengane, nek endi ono wong picek kenek sabon Sit" (Kamu itu terlalu membesar-besarkan, di mana ada orang buta karena sabun)
"Ancene ratu derama kok, Lek Sari, Siti Iku" (Emang ratu derama kok, bibi Sari, Siti itu) Sahut Nindy dari dalam kamar mandi.

Siti naik pitam, ia menggedor pintu kamar mandi yang terbuat dari bahan seng itu.
"Buk, iki lak dino minggu seh, nyapo kerjo" (Buk, ini kan hari minggu, ngapain kerja) Kataku dari luar, pada Ibuku yang sedang memasak.
"Iyo yo, yowes engkok terno bontot'e bapakmu nek ngunu" (Iya ya, yasudah nanti anterin bekal ayahmu saja kalo gitu) Jawab Ibu dari dalam, aroma kuah sayur sop yang ia masak membuat lapat perutku.
"Ngerti ngunu, gak katene ngomong aku nek iki dino minggu" (Tahu begitu, gak bakalan bilang aku kalo hari ini minggu) Sahutku malas, karena harus ke sawah mengantar bekal untuk ayahku.
"Eee .. Koen kepingin dadi maling kandang yo ! wani nang wong tuwek" (Eee ... Kamu mau jadi maling kandang ya ! berani sama orang tua) Ujar ibuku, yang tau-tau sudah berdiri di pintu dapur, penghubung kandang dan dapur rumah.
Mendengar perkataannya, aku sedikit heran karena seharusnya malin kundang, bukan maling kandang.

"Malin kundang, Buk" Sahutku menjelaskan, dengan mengangkat handuk dan gayung berisi peralatan mandiku.
Selepas mandi lalu sarapan, aku mengajak Siti sepupuku menemani mengantar bekal ke sawah, untuk ayahku.

"Yur, ayo ndang selak panas !" (Yur, ayo cepat keburu panas!" Teriak Siti dari luar.
"Sek .." Sahutku dari dalam rumah, belum sempat kuselesaikan makan, Siti sudah memanggil dari luar.

"Suwe koen iku kah," (Terlalu lama kamu itu) jawab Siti, menghampiriku ke dalam rumah "kene tak tulungi" (sini aku bantuin)
Lanjutnya, sambil berdiri ia ikut makan di piring yang sama denganku saat ini.

Kelakuannya memang semaunya sendiri, sejak kami kecil ia selalu meminta snack yang kubeli dari warung seharga 500,- perak.
Dan akupun tak keberatan karena kelakuannya, selain karena masih sodara sendiri, ia adalah anak Lek Yanto, pamanku yang merantau ke kalimantan, sedangkan Siti menetap bersama kami dalam rumah dua rumah yang menjadi satu ini.
Kadang ia di rumahku, kadang ia di rumah Nindy.

Dengan rantang berisi nasi, sayur sop, serta dadar jagung, buatan ibuku tadi pagi. Kami berdua menyusuri jalan setapak menju sawah milik keluargaku.
Nyanyian Siti menemani perjalan kami, melewati galengan sawah, pemandangan serba hijau disetiap arah mataku memandang, hamparan sawah terbentang luas.

"Lek Rudi .." Teriak Siti memanggil, nama Ayahku yang sedang mencangkul sawah.
Mendengar namanya di panggil, Ayahku melepas caping lebar yang di kenakannya, lalu melambaikan ke arah kami dari kejauhan.

Dengan lahapnya Ayah memakan bekal yang kuantarkan untuknya, sambil berteduh di pondok tengah sawah.
Dua orang paruh baya memikul cangkul dan sabit di tangan kanannya, dan yang satunya memikul rumput untuk pakan sapi peliharaannya, sedang berjalan beriringan,
menyusuri galengan tengah sawah menuju ke arah kami. Aku mengenal mereka, Pak Jamal dan Pak Muklis.

Mereka tengah mengobrol serius di tengah perjalan menuju kemari,
dari mereka aku sedikit tahu bahwa semalam ada peristiwa orang di bakar di kampungku.

Mengetahui beritanya yang tak seharusnya kudengar, ayah menyuruh kami lekas pulang.

Terik matahari meninggi, mataku menyipit akibat silau dari sinarnya.
"He Yur, mosok iyo, ono wong di obong mambengi?" (Hei Yur, masa iya, ada orang di bakar semalam?) Tanya Siti, di sela perjalan kami melewati galengan sawah.
"Gak Roh." Jawabku cepat, aku hanya ingin lekas pulang karena terik matahari serasa membakar kulitku.

Siti yang berjalan di depanku berhenti, lalu menoleh ke belakang seraya berkata "lha jare wong loro iku maeng opo?"
(Loh kata dua orang tadi itu apa?) Siti mulai penasaran.

"Kandani gak roh, kok ngeyel" (Dibilang tidak tahu, kok masih ngeyel) Jawabku semakin kesal.
Lalu angin datang kencang datang, ranting kering besar, pohon sengon di sebelah kiri kami, jatuh karena terpaan kencang angin yang baru saja datang.

Bruuuk ...
Sontak kami sama-sama terkejut karenanya, pohon sengon besar yang tumbuh di tengah persawahan, yang hanya berjarak dua petak sawah di sebelah kiri kami saat ini, membuat kaget karena ranting besarnya patah.
Siti yang di depan kudorong, menyuruhnya lekas berlari kami berlari dengan kaki menyaruk-nyaruk tanah.
"Loh Yur, tulungi sek tala, sikelku kebelekok iki cik," (Loh, Yuri, tolongin dulu, kakiku terpendam ini sial) seru Siti yang terhenti karena kaki kanannya menancap di lumpur sawah, "Yuri, goblok, colo, gendeng."
Umpatnya sambil melempar lumpur sawah yang basah padaku yang mendahuluinya.

Langkahku terhenti saat benda lembek basah, mengenai punggungku. Aku berbalik ke arahnya.
Amarahku memuncak saat lumpur yang membuatku jijik menempel di punggungku.

"Jiancok ! koen bocah laknat" Umpatku sambil memungut lumpur yang kukumpulkan, di tangan kananku lalu kulempar sekuat tenaga ke arahnya.
Lumpur yang kulempar mengenai bagian depan bawah dadanya, Siti mulai membalas dengan lumpur yang ia kepal lebih besar ke arahku.

Akhirnya kuterkam Siti hingga kami berdua bergulat, berguling di tengah sawah.
Kami berdua pulang dengan badan penuh lumpur, bahkan rambut kami pun tak luput dari lumpur sawah. Baju cerah yang tadi kami kenakan, kini berwana lumpur.

Ibuku mulai mengomel, karena kelaukan kami mirip anak kecil.
===

Malam.

Malam ini sangat berbeda dengan malam sebelumnya masih jam setengah sembilan malam, suara lolongan anjing bersahut sahutan.
Perasaanku mulai tidak enak, hawa yang kurasakan saat ini amat berbeda, Bulu Kuduku mulai meremang. Kuputuskan tidur bersama Siti dan Nindy di rumah sebalah milik Lek Sudar.
Dengan bantal dan selimut yang saat ini bawa, aku melewati dapur karena dapur kami menjadi satu, sangat menguntungkan bagiku.

Glodaaak ..
Langkahku terhenti saat melewati dapur, suara benda jatuh dari atas mengejutkanku.

Suara cicitan tikus dari arah atas, membuat nafas yang sempat kutahan tadi, kuhembuskan cepat. Lalu mempercepat langkah.
Lega rasanya saat sampai di rumah Lek Sudar, buru-buru kumasuki kamar Nindy dan Siti yang memang punya ranjang bertingkat.

Siti mendapat ranjang di bawah, sedangkan Nindy di atas. mirip anak panti asuhan.
kulempar selimut dan bantal ke ranjang atas, di mana Nindy saat ini sedang bermain gawainya. Pelan pelan kunaiki tangga di samping ranjang.

Siti sedang berdandan memakai masker di depan kaca rias,
ia tidak mempedulikan kehadiranku, mungkin perasaannya masih kesal karena kejadian di sawah siang hari tadi.

"Rono'an .." (Sana an dikit) Kataku pada Nindy, meminta bagian ranjangnya untuk tidur bersama.
"Senengane nganggu ae iki kah" (Sukanya ganggu aja ini ah) Jawab Nindy sambil bergeser ke samping tembok.

Lolongan anjing di malam hari membuat suasana semakin mencekam, di malam hari ini.
Duk

Duk

Duk

Aku terkejut, saat mendengar suara tembok di pukul pelan dari luar. Aku dan Nindy saling berpandangan sebentar, dalam benak kami saling bertanya.
Siti yang sedari tadi merias wajahnya dengan masker, mendonggakkan kepala ke arah kami berdua, "opo iku mau?" (apa itu tadi) Tanya Siti padaku dan Nindy.
"Ndak weroh." Jawabku lirih.

Siti buru-buru menaiki ranjang, tapi bukan ranjang tidurnya, melainkan ranjang tidur atas tempat aku dan Nindy berada saat ini.

Lap.
Tiba-tiba lampu padam, kami bertiga yang berbaring bersama dalam satu ranjang, semakin terasa sempit.

Suara lolongan anjing semakin terdengar riuh di malam hari, suasana malam ini sangat aneh, dan sangat mencekam.
"To-long ... "

Deg. Jantungku terasa berhenti berdetak, kami bertiga terkejut bersamaan.

Suara wanita minta tolong dari luar rumah yang hanya di batasi dinding, terdengar pelan dan sangat jelas.
Keringat dingin mulai keluar membasahi kening, wajah, serta lengan kami.
Hawa sumuk bercampur dingin yang kami rasakan saat ini, membuat batin ini semakin tertekan dengan suara yang berasal dari luar, entah suara siapa.
yang jelas masing masing dari kami engan untuk beranjak dari ranjang.

Dalam gelapnya kamar karena lampu mati, jemari kakiku terasa menyenggol sesuatu di ujung ranjang, seperti betis seseorang berbalut kain tipis.
Karena gelap, kucoba meraba kanan kiriku, badan Nindy di sebalah kiriku sedang gemetaran. Sedangkan di sebalah kananku, Siti yang berbaring mengarah padaku memegang erat tanganku yang akan merabanya.
Tak berapa lama lampu kamar kembali menyala, alangkah kaget bercampur ketakutan. saat mata kami bertiga melihat ke ujung ranjang.

Sosok pocong dengan kain kafan hitam sedang duduk di tepi ranjang, bersandar di tembok.
AAA ...

Kami bertiga berteriak bersamaan dengan memejamkan mata.

Bruaak ..

Ranjang yang saat ini kami tempati, ambruk ke bawah, karena tak kuat menahan getaran serta bobot berlebih dari berat kami bertiga.
Bruaak ..

Ranjang tidur yang kami tempati, ambruk ke bawah bersamaan dengan teriakan kencang kami bertiga.

Sampai-sampai ranjang di bawah ikut ambruk sampai kelantai, karena tekanan berat bobot kami bertiga.
Pintu kamar tempat kami tumpang tindih saat ini tengah terbuka lebar, Mak Turah Nenek kami membukanya secara spontan, sebelum ia tergopoh menuju kamar kami karena suara teriakan keras kami.
Kami jatuh kebawah dengan posisi saling tindih, dan apesnya Siti yang tadi di sebelahku, harus tertindih badan kami berdua. Beruntung Siti masih sadar, tanganya memukul punggung kami berdua berulang kali, diselingi suara erangannya menahan sakit.
"Astagfhirullah .." Ucap Mak Turah, saat mendapati ranjang susun telah ambruk.

Lek Sudar, dan Lek Tina, ayah ibu dari Nindy tak kalah kaget. Bagai mana bisa ranjang kokoh yang terbuat dari kayu berkualitas bisa ambruk seperti sekarang ini.
"Lapo bengok bengok, tengah wangi koen iku rek?" (Ngapain kalian berteriak, di malam hari?) Tanya Lek Sudar heran, menatap kami bertiga yang masih shock, karena penampakan pocong berkafan hitam tadi.
"Ono pocong, Pak" (Ada pocong, Pak) Jawab Nindy sambil beranjak bangkit.

"Pocong ?" Tanya Mak Turah heran, ia beradu pandang dengan Lek Tina dan Lek Sudar yang berdiri di belakangnya.
"Iyo, Mak" Sahutku cepat, meyakinkan Mak Turah agar mereka percaya pada kami, yang bernasip sial malam ini.

"Goroh tok ae, paling yo guyon." (Bohong saja, palingan juga bercanda) Kata Lek Tina tidak percaya, karena saking seringnya kami bertiga bercanda.
"Di Omongi kok ora percoyoan ! peyan iku buk" (Di bilangin kok tidak percaya ! dasar Ibuk) kilah Nindy sambil berlalu keluar kamar.

(Suara motor berhenti di depan rumah)

tok

tok

tok
Tak berapa lama, suara ketukan keras di pintu. dari suaranya kami mengenal siapa yang sedang mengetuk pintu saat ini.

Mak Turah berserta yang lain, beranjak ke depan. Sementara aku dan Siti masih lemas,
penampakan pocong masih terngiang di pikiran kami berdua.

"Bokongku, mejen Yur." (Pantatku, sakit Yur.) Ucap Siti lirih, sambil memegangi bokongnya.
Aku engan menjawabnya, lebih baik bergabung bersama yang lain di depan sana sekarang ini, dari pada pocongan itu datang lagi.

Di depan sana sekarang, Yerin sedang bercerita pada Lek Sudar dan Mak Turah.
Namanya mirip orang korea, sepupuku Yerin yang berpenampilan layaknya anak punk ini, memang lahir di korea.

Lek Sumi ibu dari Yerin. Menjadi TKW di korea, entah kenapa bisa Yerin berada di Indonesia sekarang ini, aku pun masih penasaran sebenarnya.
Karena Lek Sumi, tidak pernah pulang lagi semenjak menjadi TKW di korea, aku pernah bertanya pada ibu. Beliau menjawab waktu masih bayi, Yerin di letakkan dalam kardus lalu dikirim ke Indonesia.
Sungguh jawaban yang tak masuk akal bagiku, meski begitu aku mempercayainya, karena ibu yang bercerita meski dengan nada candaan recehnya.
Yerin sendiri terbilang sangat nyeleneh penampilannya, karena gadis muda yang usianya di bawahku satu tahun itu. Banyak tato menghiasi lengan tangan, serta punggungnya. Lalu kedua daun telinganya penuh tindik, meski berpenampilan punk.
Bagiku gayanya terbilang cukup berkelas untuk gadis desa seusia kami, kulit putih cerah punya usaha salon sendiri meski di modali oleh kedua orang tuanya di Korea.
Dan satu lagi, yang sangat membuatku iri padanya. Yerin sudah 11 kali menolak lamaran pemuda yang ingin meminangnya, sedangkan diriku, di usia ke 25 Tahun ini, tak ada satupun yang datang melamarku.
"Gays ! Bokongku loro iki" (Gays ! Pantatku sakit) Seru Siti yang sudah berdiri di sampingku saat ini.

"Mbak, Aku mau curhat" Kata Yerin manja sambil berlari menghampiriku, saat mengetahui aku juga berada di rumah Nindy.
"Ululu .. Tayang, Tanyang." Sahut Siti dengan merentangkan kedua tangannya serta bibir yang di buatnya manyun ke depan, berharap Yerin berkenan membalas niatnya untuk berpelukan.
"Gilo ! Sit" (Jijik ! Sit) Kata Yerin sambil menampel kedua tangan Siti ke arahnya.

"Owh anak'e kadal. Di sayang kok ndak gelem" (Owh anaknya kadal. Di sayang kok tidak mau) umpat Siti kesal karena candaannya tak mendapat sambutan dari Yerin.
"Delok'en rupamu dikek kunu loh, Sit" (Lihat wajahmu dulu sana loh, Sit) Kata Yerin, karena wajah Siti yang putih mengenakan masker wajah.
Karena ranjang tempat tidur di kamar ambruk, kami memutuskan tidur di ruang tengah.

Siti tidur di atas kursi panjang berbahan spons di atas kami. Sementara kami bertiga tiduran di bawahnya, Yerin mulai bercerita.
Yang awalnya kukira Yerin akan bercerita tentang pemuda yang sedang dekat dengannya, malah bercerita tentang pocong yang ia lihat waktu makan bakso di warung Mbak Milah, penjual bakso dan kopi yang ramai di desa kami.
Lek Sudar memasukkan motor Yerin, karena malam ini ia putuskan menginap bersama kami. Yerin sendiri sudah punya rumah dan hidup serba berkecukupan, karena biaya hidupnya di tompang kedua orang tuanya meski jauh.
Yerin mulai melanjutkan ceritanya yang sempat tertunda, karena Lek Sudar memasukkan motor.
**

Selepas Isya tadi, Yerin bersama Lala teman yang bekerja di salon miliknya. Mampir ke warung bakso milik Mbak Milah, saat itu warung agak ramai oleh pengunjung.
Yerin duduk di meja kosong bekas pengunjung yang sudah beranjak pergi. Posisi duduk Yerin saat itu, menghadap ke luar.

Karena warung milik Mbak Milah terbuat dari anyaman bambu, tanpa jendela.
Di sebrang jalan ada kebun pisang milik salah seorang warga yang berhadapan langsung dengan warung bakso milik Mbak Mila, yang hanya di batasi oleh jalan aspal penghubung desa.
Yerin sibuk memainkan gawainya, sementara Lala sedang berdiri di samping rombong bakso, memesan bakso untuk mereka berdua.

Para pengunjung yang sedari tadi duduk menikmati semangkuk bakso mereka,
mulai beranjak satu demi satu setelah menghabiskan pesanan mereka.
Sampai Akhirnya tinggal Yerin, Lala, serta Mbak Milah dan suaminya.

Suasana yang tadinya sedikit ramai oleh obrolan para pengunjung, kini menjadi sepi.
Setelah berbasa-basi sebentar dengan Mbak Milah, Lala membawa dua mangkuk Bakso pesanan mereka.

Yerin mulai menyantap bakso di mangkuknya, Lala yang duduk di sebelahnya mencolek beberapa kali lengan Yerin.
Saat Lala sedang mengambil saus dan sambal yang terletak sebelah meja mereka, sekilas Lala melihat bayangan hitam sedang berdiri di bawah pohon pisang, di kebun pisang sebrang jalan.
Karena hanya nampak sekilas Lala tak terlalu mempedulikannya, ia berpikir mungkin pantulan dari bayangan pohon pisang.

Gadis yang mengenakan hijab itu, kini mulai ikut melahap baksonya.
Angin bertiup pelan ke arah kebun pisang, membuat daun pohon pisang bergoyang-goyang pelan.

Lala mulai memperhatikan, ke arah kebun pisang dengan dedaunan yang sedang bergoyang pelan di depan mereka.
Kembali Lala mencolek lengan Yerin di samping kirinya, "iko opo seh Yer?" (itu apa sih Yer?) Tanya Lala pelan, sambil menunjuk dengan sendok ke arah kebun pisang.

Sekilas Yerin melihat bayangan hitam yang tengah berdiri tegak di tengah kebun pisang,
di antara daun pisang yang sedang bergoyang pelan.

Yerin dan Lala semakin mempertajam penglihatan mereka berdua ke arah kebun pisang. Mereka masih tak percaya dengan penglihatan mereka.
Memang tampak sangat mirip dengan pocongan, serta tali yang terikat di atas kepalanya. Bahkan bayangan itu nampak berdiri dengan sendakap ke arah warung.
"Mosok Iyo, Pocong?" (Masa iya, pocong) Tanya Yerin pada Lala, saat mereka beradu pandang sebentar.

Mereka berdua masih belum percaya, dengan apa yang mereka lihat saat itu. Semangkuk bakso di hadapan mereka tak mereka sentuh lagi.
Mereka berpikir mungkin ada orang yang sengaja mengerjai, dengan membuat sosok yang menyerupai pocongan.

Suasana menjadi hening sesaat, bahkan saat ini suara anjing yang melolong di kejauhan terdengar, peristiwa yang jarang sekali terjadi di desa ini.
Meski nama Desa Siluman tempat mereka tinggal saat ini, sudah tersohor dengan sebutan desa yang paling banyak memiliki dukun teluh yang tinggal di sini. Namun mitos santet di desa ini belum sepenuhnya terbukti dengan benar.
Beberapa saat kemudian, saat mereka melihat ke arah bayangan pocong yang berdiri di tengah kebun pisang itu telah hilang.

Beberapa kali Yerin mengelus tengkuknya pelan, ia tak bernafsu untuk melanjutkan makannya yang sempat tertunda.
"Mbak, tuku baksone" (Mbak beli baksonya)

Suara dari arah belakang Yerin saat ini, warung Mbak Milah terletak di depan rumahnya. Dan di samping kiri warung depan rumah ada pintu yang terbuat dari bambu, yang sengaja di biarkan terbuka.
Suara pembeli yang tiba-tiba terdengar, muncul dari arah sana. Entah dari mana orang itu lewat tahu-tahu sudah terdengar suara dari arah belakang Yerin dan Lala saat itu.
"Mbak, baksone bungkus" (Mbak, baksonya di bungkus)

Kembali suara itu terdengar, Yerin sengaja tak menoleh ke belakang. Karena ia sibuk memperhatikan jam di gawainya.
"Pirang bungkus Mb .." (Berapa bungkus Mba) Suara Mbak Milah, wanita penjual bakso itu tak melanjutkan pertanyaannya.

Mbak Milah pemilik warung tengah pingsan bersama sang suami,
saat menyadari yang datang membeli bakso mereka bukanlah orang melainkan sosok pocong.

Lala yang tadinya menoleh ke belakang, kini duduk menunduk sambil memegang sendok dan garpu di tanganya, dengan gemetaran.
Yerin yang mengetahui temannya yang sedang duduk sambil gemetaran di sebelahnya.
Merasa heran Yerin menoleh ke belakang di mana suara pembeli bakso itu berasal.
Yerin terkejut. Dengan mata terbelalak kaget, ia menyaksikan sosok pocong yang tengah berdiri di depan pintu sebelah warung sedang menoleh ke arahnya.
Sosok pocong berkain kafan hitam, dengan wajah hangus serta bola mata kanan yang hanya menyisakan warna putih, bagian wajah kirinya hangus terbakar.
Kini tengah berdiri menoleh ke arahnya, dari mulut pocongan itu keluar darah hitam yang terus menetes membasahi kain hitam yang membalut tubuh hangusnya.
Badan Yerin gemetar tak karuan, ia menyaksikan dengan matanya sendiri, sosok pocong itu terus melihat ke arahnya.

Badannya semakin lama semakin lemas, gemetar di badannya tak sangup ia hentikan.
Semakin lama Yerin dan pocong hitam itu saling berpandangan, tubuh Yerin semakin lemas hingga ia ambruk bersandar di meja, dalam keadaan pingsan.

Mendengar cerita Yerin saat itu, aku ikut tersentak kaget.
Sama seperti penampakan pocong hitam yang muncul di kamar kamar kami tadi.
Teror Malam Radio Tua.

Kami bertiga yang mendengar cerita Yerin amat terkejut, pocong hitam yang di ceritakannya sama seperti yang kami temui di kamar tadi.
Esok hari di tempat kerja, aku sering melamun memikirkan pocong hitam yang kami temui.
Tacik, pemilik usaha tempatku bekerja sekarang, sering menegurku karena terlalu seringnya melamun.
Bahkan waktu rekan kerjaku mengajak menanyakan stok ukuran besi padaku, aku tak menjawab karena pikiranku agak kacau memikirkan pocong semalam.
Pasirian, Lumajang Jawa Timur.

Sore hari sebelum pulang kerja tacik masih mengomel padaku, menegurku agar tak melamun lagi saat bekerja.
Omelan tacik hanya lewat telinga kanan, dan keluar telinga kiriku.
Di keramaian jalan raya, aku yang mengendari motor sendiri ingin lekas pulang.
Di tengah-tengah kepadatan kendaraan yang berjubel, karena beberapa mobil parkir di sisi jalan, membuat sedikit kemacetan di area taman Pasirian.
Taman Pasirian ini seperti alun-alun kota, namun yang membedakan adalah jika alun-alun kota sangat besar dengan lapangan luas, tapi Taman Pasirian ini seperti ukuran mininya,
jika sore hari akan penuh oleh pengunjung yang mampir untuk sekedar meminum kopi, atau mengajak sanak family mereka bermain di taman kecil ini.
Pikiranku melayang jauh karena masih terbayang terus sosok pocong hitam yang kutemui semalam.
Dan lagi aku merasa sedang sendiri di antara hingar bingar kepadatan kota kecil ini.
Tiiinn .. Tiiinn .. Tiiinn ..

Bunyi klakson mobil di belakang saat ini membuyarkan lamunanku, tadi saat kendaraan berjubel aku terpaksa menghentikan laju motor,
karena tak ada celah untuk menyalip kendaraan di depan.

Teriakkan orang-orang yang di tujukan padaku, membuat wajahku mulai memerah karena menahan malu, bisa-bisanya aku melamun saat berkendara.
"Mbak Yuri !" Seru seseorang yang tiba-tiba mensejajarkan laju motornya di sebelahku, dia adalah Yerin saudara sepupuku.

"Hmmm .. " Jawabku pelan, kali ini kucoba untuk konsentrasi pada jalanan.
"Mampir nang omah, Mbak" (Mampir kerumah, Mbak) Lanjut Yerin dengan senyuman lebar menampakkan giginya yang di pagari kawat putih, atau behel.

"Waduh .." Ucapku, karena rumah yang di tinggali Yerin sendirian.
Merupakan rumah kuno peninggalan warga desa yang sudah pindah ke luar kota.

"Ayo Lah Mbak, ndak mesakno aku?" (Ayo dong Mbak, tidak kasihan sama aku?) Lanjut Yerin merengek.
Karena malas berdebat dengannya, ujung-ujungnya nanti juga aku tetap di paksa tidur di rumahnya malam ini. "Yowes, pokok Siti melok turu kunu. Terus soal mangan .."
(Yasudah, kalo Siti juga ikut tidur di rumah kamu. Terus soal makan .."

"Rebes Mbak" Sahut Yerin, memotong kata-kataku yang belum sempat kulanjutkan.
Yerin menarik gas motornya kencang, lalu ia menghilang di antara kendaraan yang memadati jalanan besar di sore hari ini.

Selepas sholat maghrib, aku ijin pada ibu, dan bapak. Untuk mengginap di rumah Yerin malam ini,
dan ternyata Siti belum pulang sejak sore.

Siti sendiri merupakan atlet Voli di kampung kami, seminggu 3 kali adalah latihan rutin bersama rekan satu team Volinya.
"Nandi Mbak?" (Mau kemana Mbak?) Tanya Nindy padaku, yang mulai menghidupkan mesin motor.

"Nginep nek Umae Yerin, melok'a?) Jawabku serta menawarkan padanya menginap di rumah Yerin malam ini.
"Ndak ! wong mari di ketok i pocong kok" (Tidak, kan habis dihantui pocong) Kata Nindy, sambil memberi alasan.

"Ancene koen lecek" (Memang kamu penakut) sergahku, lalu melajukan motor menyusul Siti yang kuyakin masih berada digunungan,
(Bukit kecil tempat latihan Voli, karena fungsi aslinya adalah sebagai tempat pengungsian dari letusan gunung Semeru)

Dan benar dugaanku, Siti masih di gunungan ia beberapa kali mengusap keringat di wajahnya dengan handuk kecil.
Siti terlihat paling mencolok di antara temannya, karena postur tubuhnya yang ideal, di tambah dia atlet voli. Membuat banyak kaum adam menaruh hati padanya.
"Nyapo?" (Ngapain?) Tanya Siti yang melihatku berjalan menghampirinya.

"Nginep nek omae Yerin ayo" (Nginap di rumah Yerin yuk) Ajakku padanya.
"Yo opo yoh, aku sibuk'e" (Gimana yah, aku sibuk soalnya) Jawab Siti, aku tau ia sedang berpura-pura sibuk.

"Gak usah kakean alasan, dapuranmu sok penting ae" (Tidak usah banyak alasan, seperti orang sibuk saja)
Kataku sambil mendorong kepalanya pelan kebelakang.

"Cok'i" (Sialan) Siti memukulkan handuk yang tadinya melingkar di belakang lehernya padaku.

"Gelem mangan enak opo gak?" (Mau makan enak atau tidak?) Tanyaku lagi,
kali ini aku bujuk dia dengan makanan gratis untuk alasan.

"Gateli, ancene penghasut ! tak adus sek tapi." (Sial, dasar tukang hasut ! yaudah aku mandi dulu) Seru Siti kemudian ia mulai berkemas.
"Adus nek omae Yerin ae lah, koen adus koyok luluran susu ae" (Mandi di rumah Yerin aja, kamu mandi kayak lulusan susu) Lanjutku, karena aku tahu jika Siti mandi sangat lama. Karena sambil beryanyi.
"Salenku piye?" (Baju gantiku gimana?) Tanya Siti menoleh padaku yang berdiri belakangnya.

"Gampang nek Yerin akeh" (Gampang punya Yerin banyak) Jawabku singkat.
Kami bergegas menuju rumah Yerin yang tak jauh dari gunungan kampung, rupanya ia telah menunggu kedatangan kami berdua, usaha salon yang ia dirikan setahun yang lalu,
yang bertempat di rumahnya sendiri. Dengan merenovasi bagian kamar depan rumahnya sebagai salon usahanya.

"Tayang, Tayang, kangen yah sama Mbak Siti seng ayune sundul langit iki"
(Sayang, Sayang, Kangen yah sama Mbak Siti yang cantiknya sampai ke langit ini) Ujar Siti menggodanya saat melihat Yerin yang menghampiri kami di depan rumahnya.
"Gilo, gilo duh, salah mambu keringet" (Jijik, Jijik ah, bau keringat pula) Kata Yerin sambil mendorong pelan tangan Siti yang akan memeluknya, "adus sek kono loh, Sit" (Mandi dulu sana, Siti)
"Dus'ono ageh" (Madiin gih) Jawab Siti memasang wajah manja.

"Koyok koceng ae" (Seperti kucing saja) Jawab Yerin sambil terkekeh.

Kami bertiga mulai memasuki rumah tua yang di tinggali Yerin sendirian.
Aku sampai heran, berani sekali ia tinggal sendiri di rumah tua ini.

Siti sudah bergegas menuju kamar mandi, sementara Yerin pergi ke dapur melanjutkan masaknya yang sempat tertunda tadi.
Sambil menunggu Yerin, aku mulai mengamati isi rumah ini.
Kamar dengan pintu tua yang terletak di samping kiri tembok penghubung ruang tengah, dan dapur memikat perhatianku saat ini.
Dengan langkah pelan kudekati kamar yang tertutup pintu bercat kuning tua dengan warnanya yang telah pudar, gagang pintu yang terbuat dari besi yang berbentuk melingkar untuk tuas pegangan jari tangan,
membuat rasa penasaranku semakin besar ingin tahu apa isi di dalam kamar ini.

Tanpa sadar tanganku mulai mengelus pelan bagian pintu, kemduian kudorong pelan pintu didepanku saat ini.
Krieeet ..

Suara decitan dari pintu yang kudorong paksa, rupanya sudah lama kamar ini tidak di buka. Banyak sekali barang barang kuno yang di letakkan begitu saja dalam kamar ini,
serta sarang laba-laba yang yang sudah lama di tinggalkan oleh pembuatnya membuat pemandangan di kamar ini semakin menyeramkankan.
Samar, karena gelap aku tak begitu tahu benda apa saja yang ada dalam kamar ini, yang jelas, di atas ranjang tanpa kasur dalam kamar ini banyak sekali benda saling tumpang tindih.
Di atas meja sisi kanan ranjang, ada sebuah radio tua dengan cangkir besar terbuat dari bahan seng, berwarna doreng menyerupai motif baju tentara.

Radio yang terletak di atas meja itu, membuat rasa penasaranku makin besar.
Pasalnya radio klasik kuno itu, jarang sekali di jumpai pada jaman modern saat ini.

Kakiku mulai melangkah pelan memasuki kamar hendak mengambil radio tua itu, karena rasa keingin tahuanku.
Namun langkahku jauh memasuki kamar, langkahku terhenti karena terkejut, saat mendengar suara Yerin yang mengagetkanku yang mulai memasuki kamar.
"Mbak lapo?" (Mbak ngapain?) Suara Yerin yang membuatku terkejut, ia sedang membawa nampan berisi 3 cangkir kopi susu.

Di belakang rumah Yerin ada sebuah pegon tua peninggalan pemilik rumah dahulu, pegon itu semacam cikar yang di tarik oleh dua ekor sapi.
Dulu sewaktu aku kecil banyak kujumpai cikar yang di gunakan mengangkut batu merah, atau rumput. Bahkan di desaku ini, sudah umum orang yang memiliki cikar.
Selesai mandi Siti duduk di kursi panjang bersebelahan denganku, "Yur, gitaran ayok timbang bosen" (Yur, main gitar yuk ketimbang bosen) kata Siti sambil mengoleskan cream pemutih pada wajahnya.
Ide yang sangat menarik pikirku, dari pada nantinya Yerin curhat persoalan cintanya pada kami, kuambil gitar milik Yerin yang tergantung di tembok.

Lalu menyerahkannya pada Siti, didepanku saat ini.
"Yo koen lah, aku ndak iso gitaran ndeng" (Ya kamu lah, aku tidak bisa bermain gitar) Kata Siti mengelak, sebenarnya aku tau ia tidak bisa bermain gitar.
"Ngeletek ae wedus" (alah kambing) ujarku padanya dengan nada mengejek, "nyanyi opo?" (Lagu apa?) Lanjutku setelah mengambil posisi duduk di kursi, dengan gitar bertumpu di pahaku yang siap kumainkan.
"Kartonyono medot janji, Mbak" Sahut Yerin semangat.

"Ndak onok maneh a" (Tidak ada lagi kah) Tanyaku sambil memandanginya.
"Oke" Lanjutku, lalu meminkan nada 'C' untuk memulai nada lalu 'F' setelah nada pertama.

Yerin dan Siti bernyanyi bersamaan, dengan gitar yang kupetik, untuk mengiringi nyanyian mereka.
"Kartonyono neng ngawi medot janjimu .." kupetik nada 'C' 'G' lalu 'Am'

"Ambruk opo" (Rubuh apa?) Tanyaku menyemangati mereka yang sedang bernyanyi.
"Ambruk cagak ku nuruti angen-angenmu .." Suara mereka semakin bersemangat.

"Budalo malah tak dudui dalane .."

"Liwat endi Sit?" (Lewat mana Sit?) Timpalku lagi.
"Metu kono belok kiri lurus wae .. " Sahut Siti dengan bernyanyi riang, sambil bergaya menirukan penyanyi aslinya.

kresek ...

Kresek ..

Kresek ..
Tiba-tiba terdengar suara gemeresek, atau mirip suara tv dengan suara rusak, membuat kami terkejut bersamaan, sekaligus membuyarkan nyanyian kami di malam hari, suara itu berasal dari dalam kamar yang tadi kubuka.
Kami saling berpandangan heran sejenak, lalu melihat ke arah kamar karena sumber suara itu berasal dari dalam kamar itu.

Yerin dengan cepat menutup korden jendela depan, di depan rumah adalah jalan umum.
Yang menghungkan desa dan kecamatan, jalan yang tadinya masih ramai oleh kendaraan kini nampak sunyi.

Bahkan lampu rumah para tetangga sudah padam, menyisakan lampu yang tergantung di depan rumah mereka yang sengaja di biarkan masih menyala.
Kresek

Kresek

Kembali kami terkejut oleh suara dari dalam kamar, kuyakin suara itu berasal dari radio tua yang kulihat tadi.
Suara radio usang sedang mencari frekuensi, lalu lampu rumah tiba-tiba redup, tidak padam, namun hanya redup seperti kekurangan daya listrik.
Lalu suara dari dalam kamar yang berasal dari radio mulai terdengar jelas, suara wanita penyiar yang berasal dari radio, yang tadinya samar karena bunyi gemeresek semakin lama semakin jelas terdengar di telinga kami.
Keringat mulai membasahi badan kami bertiga yang mendengarnya, Yerin nampak gemetaran mendengar suara radio yang sedang menyiarkan berita, saat ini.
Pelan-pelan kutaruh gitar di atas meja yang tadi sempat di pangkuanku. Siti memandangku dengan tatapan bertanya, cahaya lampu rumah semakin lama semakin meredup secara perlahan.
Aku tahu Siti juga penasaran dengan suara radio yang tengah melantunkan tembang kenangan, sama sepertiku karena juga penasaran sejak aku melihatnya tadi, aku mengangguk pelan kerahnya. Pertanda setuju dengan yang ada di pikirannya saat ini.
Kami berdua mengendap pelan ke arah kamar, Yerin yang tadinya menolak karena takut kini membuntut di belakang kami juga.
Siti memegang ujung bagian bawah kaosku yang berjalan di depannya, tangannya sedikit gemetaran. Rasa takut bercampur penasaran yang kami rasakan, membuat kami memberanikan diri mendekat ke arah kamar sumber dari suara radio yang masih menyiarkan berita lama.
Karena logat bahasanya sama sekali tak sama dari bahasa indonesia saat ini.

Pelan, sambil menahan gemetaran di tanganku yang sudah memegang tuas pintu.
"Ndang bukak en Yur" (cepat buka Yur) Ucap Siri lirih sambil mendorong pelan tubuhku, karena aku masih ragu untuk membukanya.

"Koen ae" (Kamu saja) Jawabku cepat, lalu berbalik dan menarik Siti ke posisiku semula.
"Jancok .." Pekik Siti, sambil menahan tumbuhnya dari tarikanku.

"Koen ae lah cik" (Kamu saja lah sial) Kataku, karena tiba-tiba nyaliku menciut mendengar siaran radio yang membahas korban pembantaian PKI jaman dahulu.
"Aku ndak wani jancok" (Aku tidak berani sialan) Siti beralasan.

"Ndak wani napo ngejak goblok" (Tidak berani ngapain ngajak) Timpal Yerin dari belakang.

"Asu" Umpat Siti kesal, kemudian ia mulai memberanikan diri mendorong pintu secara perlahan.
Klung
Klung
Klung

Kembali kami terkejut, sebelum Siti berhasil membuka pintu kamar, dari arah luar terdengar suara lonceng klontong yang biasanya di pakaikan di leher sapi.
Semakin lama suara itu semakin mendekat, Klung .. Klung .. Sapi siapa malam-malam begini lepas pikirku.

Yerin mencengkeram lenganku, pelan Kulangkahkan kaki menuju jendela kaca depan,
lalu kusibak perlahan gorden kain yang menghalangi pandangan dari luar rumah.
Secara bersamaan Siti di sebelahku, juga melakukan hal yang sama, suara radio telah berhenti.
Berganti dengan suara lonceng dua ekor sapi yang saat ini tengah menyeret cikar besar, di jalan depan rumah.

Kami kembali terkejut, pasalnya cikar yang sedang berjalan pelan di luar sana sekarang berbeda dengan cikar yang kami temui pada umumnya.
Cikar itu berhias roncean bunga di kedua sisi papan kayu. dan sapinya tergolong aneh, kedua sapi itu berwarna hitam dengan empat kaki berwarna putih, seperti sapi kembar.
Dan di atas kedua kepala sapi terdapat hiasan sebatang kayu kecil yang di tancapkan dengan bunga mawar di atasnya. bagian badan sapi juga di hiasi banyak roncean bunga.
Yang membuat kami bertiga semakin heran adalah, di belakang cikar tersebut banyak pria tua berbaju serba hitam sedang berjalan mengikutinya.

Keringat terus keluar dari badan kami, membasahi kaos yang kami kenakan saat ini.
Jantung mulai berdebar, tak percaya dengan apa yang saat ini sedang kami saksikan. puluhan orang berbaju hitam yang berjalan di belakang cikar berwajah pucat.

Braaak ...

Braaak ...
Akh, suaraku tertahan, pintu dapur yang menghubungkan ladang singkong di belakang rumah dengan dapur. Seperti di gedor keras dari luar.

Braaak ..
Sekali lagi suara benturan keras yang berasal dari pintu dapur terdengar, Yerin di belakangku gemetaran sambil memegangi pundakku beserta wajah pucatnya.

Sraaakk ..
Kali ini suara itu berasal dari kamar yang di buat usaha salon oleh Yerin. Suara benda berjatuhan mulai terdengar.

Lalu suara yang kuyakin dari kursi putar, yang terpasang roda kecil di bawahnya mengelinding pelan sebelum menabrak dinding lalu berhenti.
Braaak ...

Sekali lagi suara dari pintu dapur membuat badanku mulai melemas, Siti memegang pergelangan tanganku. Pelan ia melangkah sambil gemetaran ke arah dapur, hatiku sudah was-was.
Genggaman erat tangan Siti tak bisa kutampik, karena sekujur badanku sudah terasa lemas. Apa lagi saat ini kembali terdengar lolongan anjing yang saling bersahut-sahutan dari kejauhan di malam hari.
Pelan kami berjalan beriringan menuju arah dapur, Siti terus berjalan pelan di depan.

Ketika sudah sampai di ruang tengah, dengan jelas kami melihat pintu belakang dapur telah terbuka lebar.
Sunyi. Seketika suasana menjadi sunyi, dari arah pintu yang sudah terbuka yang kami lihat hanya rembulan di langit malam, serta kabut malam yang terlihat karena cahaya lampu kuning di belakang rumah.

Gloodak ..
Pandangan kami berbalik kebelakang secara bersamaan seketika, karena bunyi benda jatuh dari ruang tengah tempat kami duduk tadi, kulihat gitar yang tadi kutaruh di atas meja sudah terjatuh ke lantai.
Meski heran karena aku masih ingat betul, tadi kuletakkan gitar itu di tengah meja bagaimana mungkin sekarang terjatuh.

Siti yang berdiri di sampingku tiba-tiba berucap lirih "Maaaak .." badanya yang bersandar di tembok kini tengah merosot pelan kebawah.
Kemabali pandanganku beralih pada pintu dapur yang tadi terbuka.

Deg.

Jantungku terasa berhenti berdetak, kulihat saat ini tepat di tengah pintu yang terbuka sosok pocong hitam sedang berdiri menatap ke arah kami bertiga.
Air mataku keluar deras, membasahi wajahku, sama seperti Siti. Badanku yang sudah lemas kini terduduk lemas di lantai, lalu kututup wajahku dengan kedua telapak tanganku.
"He Mbak, wes ilang poconge" (Hei Mbak, udah hilang pocongnya) Ucap Yerin sambil menggoyangkan pundakku.

"Loh, Nandi Siti?" (Loh, kemana Siti?) Tanyaku heran, karena tak kulihat sosoknya lagi yang tadi di sampingku.
"Lha iku" Jawab Yerin sambil menunjuk Siti yang berada di ujung pintu dapur, ia nampak sedang mengawasi sesuatu.

"He Sit, koen iku lapo?" (He Sit, kamu itu ngapain?) Tanyaku heran,
karena di pintu itu tadi sosok pocong hitam menampakkan wujud mengerikannya.

"Lecek ae atek kepo koen iku Sit" (Penakut aja pake penasaran kamu itu Sit) Sahut Yerin.

"Dari pada koen, sangar tapi lecek. Awak kebek tato tapi, mewek"
(Dari pada kamu, tampang sangar tapi penakut, Badan banyak tato tapi cengeng) Jawab Siti tak kalah sengit.

"Podo lecek'e ae eker-ekeran" (Sama-sama penakut saja ribut) Kataku menengahi.
"Opo maneh koen Yur, di ketok'i pocong ae nangis" (Apa lagi kamu Yur, melihat pocong saja menangis) Kata Siti mengejekku, "nyeleh senter'e Yer, kate tak golek'i poconge"
(pinjam senternya Yer, mau aku cari pocongnya) Lanjut Siti dengan meminjam senter pada Yerin.

"Koen wes gendeng, nyapo ngolek'i pocong?" (Kamu sudah gila, ngapain mencari pocong?)
Tanyaku heran, jika sebagian orang lebih memilih lari, Siti malah ingin memburu pocong tersebut.

"Kate kok gae opo seh, terus nek wes ketemu pocong kate kok kapakno?" (Mau kamu buat apa,
terus kalo sudah ketemu pocongnya mau kamu apain?) Tanya Yerin pada Siti.

"Kate tak tulungi mbukak tali poconge, mesakne kafan e sampek ireng koyok ngunu iku"
(Mau aku bantuin buka tali pocongnya, kasihan kafannya sampai hitam begitu) Jawab Siti dengan nada santai.

"Stres arek iki," kataku sambil terkekeh karen jawabannya. "Kate kok kumbahno?" (Mau kamu cuciin?) Tanyaku lagi.
Siti menutup kembali pintu dapur rumah Yerin, kemudian ia mengambil tali tambang yang di tata melingkar di tiang dapur.
"Pocong dancok, medeni pas wong ndak siap" (Pocong sialan, nakutin waktu orang tidak siap) Maki Siti, dengan nada tinggi ia nampak kesal.

"Nek pocong tekone ngenteni awakmu siap, iku jenenge duduk setan, tapi pocong kate kenduren goblok!"
(Kalo pocong datang menunggu kamu siap, itu namanya bukan pocong, tapi pocong mau hajatan bodoh!) Maki Yerin karena tingkah aneh Siti.
"Carpak kakeh jiah," (Banyak omong kamu) sahut Siti, "Salahe ngompol, ndak isin jare" (Pake acara ngompol, tidak mau) Lanjut Siti asal, lalu menuju ruang tengah.

"Sopo ngompol Sit?" (Siapa yang mengompol Sit?) Tanyaku penasaran.
"Yerin, iku delok'en lak teles celonoe" (Yerin, iku lihat saja pasti basah celananya) Jawab Siti bangga.

Aku kembali terkekeh karena memang betul kata Siti, Yerin mengompol dan sedang menahan malu.
"Jancok koen Sit, ngunu ae di omongno" (Sialan kamu Sit, gitu aja di bicarain) Sangah Yerin karena Siti terlalu jujur.

Aku mendekat ke arah Siti ia sedang membakar terasi yang di sunduk dengan lidi panjang, "cekelen, tak bakare" (pegang, biar kubakar)
Kata Siti padaku, sambil mendorkan terasi yang ia pegang padaku.

"Gae opo seh?" (Buat apa sih?) Tanyaku heran padanya, karena setahuku membakar terasi di malam hari bisa mengundang mahluk tak kasat mata.
"Wes tala, aku duwe ide jitu Yur pokok e awakmu terimo beres ae" (Sudah lah, aku punya ide jitu Yur, pokoknya kamu terima beres saja) Kata Siti dengan wajah serius.
"Terimo beres batokmu" (Terima beres jidatmu) Jawabku kesal, meski aku mengelak Siti tetap memaksaku memegang pangkal lidi dengan terasi yang ia bakar dengan korek api.
Bodohnya diriku, mempercayai Siti malam ini. Siti membakar terasi dengan mulut komat kamit pelan, ingin sekali aku bertanya doa apa yang sedang ia baca sekarang ini.
"Cangkemmu, moco opo Sit" (Mulut kamu membaca apa Sit?) Pertanyaan Yerin mewakili diriku yang penasaran doa apa yang sedang di baca Siti.

Layaknya seorang dukun, Siti masih terus fokus dengan doa yang ia baca.
Semerbak bau terasi yang ia bakar memenuhi ruangan, bulu kuduku meremang, tangan kananku mulai mengusap leher bagian belakang.
"Seng genah Yur, taek koen iki" (Yang benar dong Yur, sialan kamu ini) Kata Siti dengan nada marah, karena aku memegang pangkal lidi dengan tangan gemetaran.
Tak lama bau daging terbakar tiba-tiba tercium sangat jelas, bukan bau terasi lagi yang tercium.

"Engkok nek poconge teko, di taleni bareng-bareng yo" (Nanti kalo pocongnya datang kita ikat bersama-sama yah) Tegas Siti padaku dan Yerin.
Kami berdua mengangguk secara bersamaan, kuyakin kali ini Siti akan melakukan hal yang sangat menakjubkan.

"Terus nek wes di taleni, kate di kapakno Sit?" (Terus kalo sudah di ikat, mau di apain Sit?) Tanya Yerin polos.
"Di gantung nek patung gajah mada pertelon" (Di gantung di patung gajah mada pertigaan) Jawab Siti.

Buukk ...
Kami terkejut saat mendengar suara benda jatuh di luar rumah.

AAA ...

Di susul suara teriakan melengking, dari arah luar.
Karena aku duduk di belakang jendela, dengan mudah kusibak korden kamar setelah berbalik badan, lalu mengamati halaman depan rumah, sunyi tak ada apa pun di luar sana.
"Ono opo, Mbak?" (Ada apa, Mbak?) Tanya Yerin padaku ia nampak gemetaran, menekan rasa takut yang mulai menjalari tubuh.
"Jarene bapakku, nek kepingin delok demit kudu mudo blejet rek" (Kata bapakku, kalo ingin melihat hantu harus telanjang bulat) Ujar Siti, ia mulai melucuti satu-persatu pakaian yang melekat di bajunya.
"Haaa .." Aku kaget mendengar ide konyolnya, siapa juga yang ingin melihat pocongan, dan lagi sejak kapan Lek Yanto mengajari Siti hal aneh begini. Bapak anak sama-sama gilanya pikirku.
"Gendeng arek iki" (Gila ini anak) Pekik Yerin saat melihat Siti mulai telanjang, kami berdua tak habis pikir dengan kelakuan mahluk ciptaan tuhan yang penuh ide gila ini.
Belum sempat Siti melepas celananya, pintu depan di samping saat ini di dobrak dari luar.

Braak ..

Braaak ..
Meski sempat terkejut, aku mencoba untuk tetap tenang, dengan membaca doa yang kuhafal agar teror pocong malam ini segera berakhir.
Keringat dingin mulai membanjiri tubuhku, rasa takut semakin jelas karena gemetar di badanku, tak kunjung mereda.

Dari penuturan Siti, kami harus bertiga harus membuka tali pocong agar setan pocong itu tidak lagi menggangu.
Braaak ..

Pintu depan terbuka lebar beserta sosok pocong yang seperti di lempar dari luar untuk mendobrak pintu, pocong hitam itu menggeliat di lantai.
Deg, jantung terasa berhenti berdetak, kami bertiga terkejut secara bersamaan melihat sosok pocong terbujur di lantai sesekali badannya bergerak.
Tak butuh waktu lama, pikiran yang sedari tadi kucoba untuk tetap tenang.
Kini buyar tak karuan, karena sosok berbalut kain hitam itu sedang menggeliat seperti menahan kesakitan.

AAA ...
Teriakan kami bertiga pecah di malam kesunyian malam.

Dengan cepat aku berdiri, kakiku berjingkrak tak karuan karena panik bercampur ketakutan.
Kami bertiga terus berteriak karena takut.

Yerin dengan cepat memasuki kamarnya, setelah meloncati pocongan, aku yang ikut kalang kabut tak sengaja menginjak perut pocong yang terbujur di lantai.
Setelah kami berdua memasuki kamar, pintu kami tutup rapat-rapat dari dalam. Badan kami berdua bersandar di pintu, agar pocongan itu tidak mengikuti masuk ke dalam kamar.

Braaak
Braak
Braaak
"Bukak cok, aku ojo di tinggal," (Buka sialan, jangan tinggalkan aku,) teriak Siti dari luar, "Cok bukak jancok" (Sial buka sialan) Suara Siti melemah.
Lalu suasana menjadi sunyi, perlahan kucoba membuka mengintip keluar dari celah lubang kunci.

Deg, aku terkejut melihat Siti yang pingsan di lantai berjajar dengan pocong hitam di sampingnya.
Ku tutup mulutku rapat, agar tidak menimbulkan suara karena terkejut, aku lega Siti pingsan setidaknya ia baik-baik saja meski tidur di lantai bersama pocongan di sebelahnya.
Badanku masih gemetaran tak karuan, sedangkan Yerin sudah tengkurap menutupi badannya dengan selimut.
Keberanian yang kukumpulkan sejak tadi kini buyar, saat pocongan itu datang kedua kalinya.
Badanku sudah terasa lemas, aku tertidur bersandar di pintu kamar.
===

Esok paginya, kami bertiga mengecek semua keadaan rumah. Tak ada keanehan yang terjadi, dan pintu yang semalam terbuka masih tertutup rapat.
Dan Siti mengutuk kami berdua karena meninggalkannya semalam.
Ramai.

Suara dari luar rumah, para tetangga sedang membicarakan pagebluk atau penyakit yang datang karena hal mistis.
Tiga warga dusunku meninggal secara bersama tadi pagi sesudah subuh, dari kabar yang kudengar dari orang tua dahulu pagebluk ada penyakit yang datang ke desa setiap hari akan ada warga yang meninggal karena sakit.
Kami bertiga memilih menetap di dalam rumah, satu rombongan pengantar jenazah sudah berangkat pagi ini, pukul 9 Siang.
Tacik terus menelponku, aku berbohong dengan alasan sakit. Untuk sementara tidak pergi bekerja, karena kemarin aku terus melamun, tacik percaya saja dengan alasanku.
Siti tak ada berhentinya memaki kami berdua, "Taek koen iki" (Sialan kalian ini) ucapnya kasar.

"Horor koen iku Sit" (Horor kamu itu Sit) kata Yerin terkekeh.
"Iyo ancene horor, turu di keloni pocong jancok" (Iya emang horor, tidur di temani pocong sialan) Jawab Siti kesal.
Aku sempat terkejut mendengar penuturannya, apa semalam dia sadar. "Membengi awakmu semaput ngunu Sit" ( Semalam kamu pingsan gitu Sit) Sahutku.
"Aku etok-etok semaput cok" (Aku pura-pura pingsan sial) Jawab Siti cepat, aku terkekeh mendengar alasannya.

Menjelang siang ibu menyusulku ke rumah Yerin, karena aku tak kunjung pulang hingga siang hari.
Ibu juga bercerita tentang pagebluk yang menyerang desa kami, ibu menyarankan Yerin menginap di rumahku, karena meski rumah kami dekat ibu khawatir dengan keadaan Yerin nantinya.
"Jo, sopo mati?" (Jo, siapa yang meninggal?) Teriak Siti saat melihat Jono teman sebaya kami.

"Mbak Sri" Jawab Jono singkat.

Kami bertiga saling pandang heran, hari ini 3 orang meninggal secara bersamaan.
Wulan Perawat Puskesmas Desa.

Baru saja aku turun dari motor, Nindy memanggil namaku keras. Ia mengajakku pergi ke rumah Mbak Sri yang tadi subuh meninggal, karena masih menunggu sanak saudara di luar kota, maka pemakamannya di tunda sampai sore hari.
Nindy mengajakku untuk melayat sekaligus membantu menyiapkan tahlilan di rumah Mbak Sri.

Setelah berganti baju, dengan di temani oleh Nindy kami berdua bergegas ke rumah Mbak Sri.
Rumah Mbak Sri nampak ramai oleh pelayat, beberapa orang sedang berbincang ringan di depan rumah.

Nindy terus mengekor di belakangku, setelah menaruh beras dan gula yang kami bawa, serta mengucapkan bela sungkawa pada keluarga.
Kami berdua duduk di antara para pelayat.
Selentingan kabar yang kudengar dari para pelayat, Mbak Sri tiba-tiba meninggal padahal kemarin masih sempat bercengkerama dengan para tetangga.

"Yur, Nindy, rene" (Yur, Nindy kesini) Panggil Wulan,
seraya melambaikan tangan ke arah kami.
Beruntung sekali ada Wulan di sini pikirku, jadi kami berdua tak harus mendengar obrolan tentang Mbak Sri dari ibu-ibu di sini.

Kami berdua mengikuti Wulan menuju halaman belalang rumah Mbak Sri,
bukannya membantu untuk menyiapkan keperluan atas meninggalnya Mbak Sri. Kami malah ngerumpi bersama untuk mendengar cerita Wulan.

Wulan mulai menikmati kue yang di bawa Nindy dari dapur rumah Mbak Sri tadi, tubuh Wulan tidak gendut.
Tapi lebih tepatnya berisi makanya badanya sedikit melebar ke samping.

Buak ..
Belum sempat Wulan menelan gigitan terakhir kue di tangannya, Wulan tersedak karena Nindy yang berdiri bersandar di belakangnya memukul keras punggung Wulan.

Entah apa maksud kelakuan Nindy dengan memukul Wulan saat ini,
yang jelas saat ini Wulan sedang terbatuk.

"Koen iki di penakno dadek kurang ajar ! Ndang cerito" (kamu ini di enakin malah kurang ajar ! Buruan cerita) Seru Nindy sambil melotot, lalu mendorong Wulan dari belakang.
"Sabar po'o Nin" (Sabar kenapa Nin) Kataku menyela.

Buak ..

Lagi-lagi Nindy memukul punggung Wulan yang sedang meminum air teh, untuk meringankan tenggorokannya, gelas yang Wulan pegang tumpah karena pukulan Nindy.
"Remek boyokku Nin" (Remuk punggungku Nin) Kata Wulan memelas, bukanya rasa belas kasihan yang ia terima Nindy kembali memukul punggung Wulan ketiga kalinya.
"Ndang, timbang koen nyusul Mbak Sri" (Buruan, ketimbang kamu menyusul Mbak Sri) Ancam Nindy pada Wulan.

"Mambengi iku pas moleh teko puskesmas pocong ireng teko nang omah," (Semalam sepulang dari puskesmas pocong hitam datang ke rumah)
Wulan mulai bercerita, "terus njalok di dus'i mak kanti 'Mak kanti aku gurung di dusi, tolong samean dusi aku Mak' suarane iku jelas nek ngarep omah Yur" (terus minta di mandiin Mak Kanti 'Mak Kanti aku belum di mandiin,
tolong mandiin aku' suaranya itu jelas di depan rumah Yur) Cerita Wulan sambil memandangku, Mak Kanti ibu Wulan sering di panggil warga untuk membantu memandikan mayat perempuan.

Lebih Jelasnya seperti ini penuturan dari cerita Wulan.
***

Pukul 11 Malam, wulan pulang dari puskesmas. Biasanya Wulan selalu membawa kunci serep rumahnya, namun malam ini ia lupa membawa kunci serepnya.

Berkali-kali Wulan mengetuk pintu rumahnya, pukul 11 tadi malam adalah hari yang sial bagi Wulan.
Jika malam kemarin ia terbiasa pulang larut malam, berbeda dengan malam ini, Wulan nampak panik karena dari tadi ia mengetuk pintu dengan keras tak juga ada jawaban dari dalam rumahnya, bahkan bapak dan adik laki-lakinya pun tak menampakkan diri pada Wulan.
Tangan Wulan mulai menekan kuat, daun pintu rumahnya, hawa dingin mulai ia rasakan.

Sambil terus berusaha membuka pintu rumahnya, ia berteriak memanggil Mak Kanti dari luar, berharap wanita paruh baya itu lekas membukakan pintu untuknya.
Sunyi, tak ada jawaban dari dalam rumah. Suara keras Wulan di malam hari hilang begitu saja, hanya suara lolongan anjing dari kejauhan yang Wulan dengar di malam sepulang ia bekerja.
Badan Wulan mulai gemetaran, ketakutan mulai menjalari tubuhnya. kemudian tengkuknya seperti tertiup dari belakang.

Wulan terkejut, tangan kirinya mulai mengusap leher bagian belakangnya, ia tak berani menoleh ke belakang saat itu.
Perasaan yang tengah dirasakannya di malam itu, ada seseorang sedang berdiri di belakangnya.

Baju putih bersih khas, perawat yang ia kenakan mulai basah oleh keringat yang terus keluar dari tubuhnya.
Padahal malam itu hawa yang sedang ia rasakan sangat dingin.

Deg, lagi ! tengkuk Wulan terasa kembali di tiup kedua kalinya dari belakang.

"M-Maaaakk" Ucap Wulan lirih, rasa ketakutan yang ia rasakan malam itu, sangat berbeda dengan ketakutan waktu di puskesmas.
Wulan sudah terbiasa melihat kematian seseorang di puskesmas tempat ia bekerja, bahkan gangguan demi gangguan yang ia alami di puskesmas membuat mental keberaniannya semakin besar.

Namun yang sedang ia alami saat ini, bukanlah ketakutan biasa.
Bau daging busuk tiba-tiba tercium, Wulan semakin panik dengan kejanggalan yang sedang ia alami saat itu.

Gagang pintu kembali ia tekan keras, hasilnya gagang pintu rumahnya malah patah karena saking kerasnya tekanan tangan Wulan.
"Maaak ... " Teriak Wulan, kali ini Wulan tak kuat menahan rasa takutnya. Pintu tua sebagai jalan utama antara ia dan rumahnya saat itu sama sekali tak bergerak.

Wulan yang berdiri tepat di depan pintu rumahnya dengan lutut gemetaran,
mulutnya melantunkan beberapa doa yang ia hafal, agar mahluk yang sedang berdiri tepat di belakangnya segera menghilang.

Kembali Wulan mendorong pintu rumahnya, kini ia terjengkang ke lantai. Saat pintu rumahnya ia dorong dengan sekuat tenaga.
Wulan sedikit lega, karena pintu rumahnya telah terbuka, lalu tanpa melihat ke luar rumah. Wulan kembali menutup pintu rumah rapat-rapat.

Ketakutan yang ia rasakan tadi mulai berangsur menghilang.
Setelah mengatur nafas yang sempat tersengal karena rasa panik bercampur ketakutan yang ia rasakan, Wulan bergegas menuju kamar Ibu dan bapaknya.

Kamar tidur Mak Kanti dan Pak Tomo suaminya tanpa pintu,
hanya di halangi oleh selambu hijau daun yang di paku di kedua sisinya, di depan kamar.

Wulan menyibakkan kelambu kamar ibunya, kedua orang tuanya tengah terlelap dalam tidur.
Wulan berjalan menuju kamarnya, baru saja ia duduk di kasur tidurnya untuk segera berganti pakaian.

Jendela kamar yang terbuat dari kayu yang menutupi keseluruhan lubang jendela kamarnya, di ketuk secara beruntun dari luar.
Tok, tok, tok, tok, tok, tok....

Wulan terkejut mendengarnya, ia bergegas cepat berganti pakaian.
Setelah berganti pakaian, Wulan meloncat ke kasurnya lalu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tebal.

Duk ..
Duk ..

Duk ..

Suara pukulan benda tumpul dari pintu depan rumah, tempat Wulan masuk tadi.
Duk ..

Duk ..

Wulan menajamkan pendengarannya, suara hantaman benda tumpul itu terus terdengar dengan jelas di telinganya.

Meski takut, Wulan mulai penasaran dengan suara yang berasal dari pintu depan rumahnya.
Kini Wulan sudah berdiri bersandar di balik pintu kamarnya, telinganya ia tempelkan pada pintu kamar tempat ia bersandar saat ini.

Duk ..

Duk ..

Duk ..

Suara itu masih terdengar sangat jelas, suara apa itu, batin Wulan malam itu.
"Maaak, Maaak tulong dusono aku Mak!" 
(Maaak, Maaak tolong mandikan saya Mak!)

Deg, Wulan terkejut badanya sedikit menjauh dari pintu kamarnya, ia tak percaya dengan pendengaranya.
"Maaak Kanti .. Tulung sampeyan dusi aku Mak" (Maaak Kanti .. Tolong mandikan saya Mak)

Kembali suara itu terdengar dari luar rumah, di susul suara benda tumpul yang terus menerus di pukulkan pada pintu.
Wulan mendengar suara langkah kaki tergesa dari dalam rumahnya, Wulan yakin ini adalah suara langkah kaki ibunya.

Yakin kalo itu suara langkah kaki berasal dari ibunya, Wulan segera membuka pintu kamarnya,
karena kamar wulan paling depan. Dan bersebelahan langsung dengan pintu masuk rumah.

Maka saat Wulan membuka pintu kamarnya, ia benar-benar di buat tak percaya dengan apa yang saat ini sedang ia saksikan, dengan kedua matanya sendiri.
Pintu rumah Wulan merupakan pintu dengan dua bagian, pintu model gaya lama karena pintu rumahnya tak bermotif.

Dan saat ini yang sedang ia saksikan di depannya,
pintu sebelah kanan tengah terbuka lebar menyentuh dinding pembatas antara ruang tamu dengan kamarnya.
Sedangkan pintu sebelah kiri masih dalam posisi tertutup seperti semula.
Di bagian paling menegangkan ini, Wulan sedikit menahan ceritanya.
Sedangkan aku dan Nindy yang mendengar ceritanya ikut gemetaran.

"Terus?" Ucap Nindy penasaran.
"Tak lanjut, tapi nek sampek koen di ketok'i engkok bengi ojo salahno aku yo?" (Aku lanjutin, tapi kalo nanti malam kalian di datangi jangan salahkan aku ya?) Jawab Wulan dengan nada serius ke arah kami berdua.
"Nyocot! wes ndang lanjutno" (Berisik! buruan lanjutin) Sahutku penasaran, dengan melempar bungkus kue ke arahnya.

Kembali ke cerita wulan.

Pintu sebelah kiri yang masih tertutup seperti semula,
dengan pocongan hitam yang terus menghantam kepalanya ke arah pintu.

Sosok pocong hitam yang terus membenturkan kepalanya ke pintu, menimbulkan suara Duk, Duk, Duk.
Membuat badan Wulan yang melihatnya secara langsung, merosot pelan ke lantai beruntungnya saat itu tubuh Wulan masih bersandar di tembok kamar.

Badan Wulan lemas, ia ingin menolak tak percaya, namun yang ia lihat malam itu begitu terlihat nyata.
Pocong hitam itu terus membenturkan kelapanya pada pintu rumah, "Maaak Kanti, tolong dusi aku Mak" (Maaak Kanti, tolong mandikan saya Mak) Suara parau berat, serasa ada sesuatu yang menahan suaranya.

Wulan tak sanggup menggerakkan badannya,
saat pocong hitam itu berhenti membenturkan kepalanya pada pintu, dan kini beralih memandang ke arah Wulan yang tengah lemas bersandar pada tembok menghadap ke arah pintu luar.

Mak Kanti ibu Wulan, tergopoh keluar kamar.
Wanita paruh baya itu juga nampak kaget tak percaya dengan yang ia lihat saat ini.

"Maaak, tulong dusono aku" (Maaak, tolong mandikan saya) Suara berat yang mengusik pendengaran siapa saja yang mendengarnya.
Mak Kanti berusaha menekan ketakutannya, "sampean sopo Nduk?" (Kamu siapa Nak?) Tanya Mak Kanti memberanikan diri dengan bibir bergetar, ketakutan juga sedang menjalari tubuhnya malam itu.
"Susan! Maaaakk" Suara berat yang berasal dari pocong hitam itu, tengah berdiri di tengah-tengah pintu. Menampakkan wajahnya yang terbakar di sisi kirinya.
Mak Kanti terkejut mendengarnya, wanita paruh baya itu nampak menyeka air matanya yang telah meleleh keluar membasahi pipinya.

Perlahan bayangan pocong hitam itu menghilang, Mak Kanti tertatih menghampiri Wulan yang lemas duduk di lantai.
Wanita paruh baya yang juga ibu dari Wulan tersebut, terlihat mencoba mengangkat tubuh lemas Wulan.

"Maaaak"
Belum sempat tubuh Wulan terangkat, Mak Kanti menoleh ke arah sumber suara, lebih tepatnya Mak Kanti mendongakkan kepalanya ke atas, karena suara itu berasal dari langit-langit rumah tanpa plafon.

Mak Kanti terkejut, lalu roboh di samping Wulan.
Mak Kanti tak sadarkan diri saat melihat pocong hitam yang sedang duduk kayu penyangga atap rumah, kembali memanggilnya.

Sedangkan Wulan memejamkan mata, ia tak sadar kalo celanya tidurnya telah basah oleh air kencingnya sendiri.
"Koen ngompol?" (Kamu mengompol?) Tanya Nindy keras pada Wulan, beserta tawa keras Nindy mengejek Wulan.

"aku ndak goroh Nin!" (Aku tidak berbohong Nin) Jawab Wulan kesal.

Perasaanku mulai tidak enak, kembali kurasakan kehampaan di tengah keramaian.
Apa lagi yang akan terjadi kali ini, aku mulai mengingat-ingatNama Susanti nama pocongan hitam yang sudah meneror kami.
Semakin lama kupikirkan semakin terasa berat isi kepalaku saat ini.
Siapakah Susan ini, apa ada hubungannya dari cerita yang kudengar di sawah tempo hari? banyak sekali pertanyaan dalam benakku saat ini.
Maling Rojo Koyo.

Menjelang Sore bapak menyusul kami, ibu mengantikanku untuk membantu di rumah Mbak Sri.

"Engkok mbengi ojo keluyuran loh, Yur" (Nanti malam jangan kelayapan loh, Yur) Kata Bapak waktu perjalanan pulang.
"Lha napo Pak?" (Kenapa Pak?) Tanyaku heran, karena biasanya jika sehabis magrib aku dan Siti pergi main, untuk sekedar melepas penat.

"Akeh maling sapi, tunggok omah ae. Rasah nandi-nandi" (Banyak maling sapi, jaga rumah saja. Tidak usah kemana-mana)
Lanjut Bapak dengan mimik wajah khawatir, mungkin Bapak takut 3 ekor sapi kami menjadi korban pencurian hewan ternak.

"Pakde Rud, jarene sapine Pak Toha ilang mambengi, iyo gak?" (Paman Rudi, katanya sapinya Pak Toha hilang semalam, Benarkah?)
Panggil Nindy sambil bertanya, selentingan kabar yang kami dengar, semalam sapi milik pak Toha hilang.

Lengkap sudah kemalangan yang menimpa desa kami. Belum hilang teror pocong hitam, muncul pagebluk di desa kami. Dan lagi sekarang di tambah maling sapi.
Di perjalanan waktu pulang sehabis melayat, Siti sedang menenteng sebuah pancing serta beberapa ikan tangkapannya di sungai.

"Arek wedok pengaweane mancing" (Anak gadis kerjaannya mancing) Ujar bapak sambil menggeleng pelan,
saat melihat Siti yang baru saja selesai memancing di sungai.

"Dari pada pengaweane macak karo gendaan tok, Lek" (Dari pada kerjaannya berhias dan pacaran saja, Lek) Kilah Siti santai.
"Mbak, tak masakno yo" (Mbak, tak masakin yah) Ucap Nindy bersemangat, karena melihat 3 ekor ikan gabus dan beberapa ikan wader tangkapan Siti.

"Sit, koen di golek'i Aldo" (Sit, kamu di cari Aldo!) Seru Yerin saat melihat kami, memasuki halaman rumah.
"Oh iyo, aku onok ide rek" (Oh iya, aku ada ide kawan) Kata Siti, ia sedang berpikir untuk menjelaskan ide briliant pada kami lagi.

"Gak usah golek pekoro ah Sit, idemu mesti mateni kancane." Sergahku agar Siti tak kembali berulah.
"Gak, engkok nek Aldo karo Rina merene tak jelasno." Jawab Siti serius, kami tak terlalu menganggap omongan Siti. Sebab kemalangan akan selalu menimpa kami saat mengikuti rencananya.
"Polah terus ae kah," (Banyak tingkah saja) cibir Yerin ketika Siti sudah memasuki rumah, Siti nampak mengambil peralatan mandinya.

"Ngunuo awakmu yo sayang karo Siti" (Begitupun kamu juga sayang sama Siti) Ucapku sambil terkekeh.
Aku malas mandi sore ini, jadi kuputuskan untuk mencuci muka lalu memakai wewangian agar badanku nampak segar.

Setelah memasak mie instant, ibu tidak memasak hari ini karena sibuk membantu di rumah Mbak Sri.
"Ngae mek sitok?" (Cuma bikin satu?) Tanya Yerin melihat mie dalam mangkuk yang kubawa ke depan.

"Ngae dewe lah, manja eram" (Bikin sendiri lah, manja sekali) Gerutuku, sambil berlalu ke depan.
Karena makan mie di sore hari akan terasa lengkap dengan melihat pemandangan dari depan rumah.

Siti menghampiriku yang tengah duduk di pagar kecil depan rumah, pagar kecil terbuat dari-
bahan semen yang tersambung langsung dengan rumah, sering di gunakan untuk duduk teman-temanku saat datang bertamu.

"Yur!" Panggil Siti, lalu duduk di kursi membelakangiku.
"Hmm, napo? Kate njaluk pisan yo" (Hmm, ngapain? Mau minta juga yah) Jawabku sengit, karena biasanya Siti akan meminta apa pun yang kumakan.

"Gak, engkok bengi melek'an yo" (Tidak, nanti malam begadang yah) Ajak Siti.
"Ndak, aku kesok kudu kerjo" (Tidak, aku besok harus kerja) Tolakku santai dengan beralasan besok harus kerja.

"Ndak usah kerjo wes Yur, ambekne gelem eram dadi babune uwong koen iku" (Tidak usah bekerja Yur, kok mau saja jadi budak orang lain)
Kata Siti asal, aku yang mendengarnya jadi kesal sendiri. Mentang-mentang Lek Yanto bapaknya mencukupi lalu berkata seenaknya sendiri.

Selepas magrib ibu, dan bapak belum juga pulang. Aldo dan Rina teman Siti baru saja sampai di rumah kami.
Mereka bertiga sedang berdiskusi dengan Siti sebagai pencetus ide rencana mereka.

Aku tak ingin berlama-lama dengan mereka kuputuskan untuk masuk rumah bergabung bersama Yerin dan Nindy di ruang TV.
"Mbak Siti napo iku Mbak?" (Mbak Siti ngapain itu Mbak?) Tanya Nindy padaku, "Onok-onok ae, engkok bengi ngejak melekan" (Ada-ada saja, nanti malam mengajak begadang) Lanjut Nindy, saat kurebahkan tubuh di sampingnya.
"Nind, koen kate melok Siti melekan?" (Nind, kami mau ikut Siti begadang?) Tanya Yerin.

"Melok kyok'e Mbak. Mene kan aku prei kerjoe" (Ikut kayaknya Mbak. Besok kan aku libur kerja) Jawab Nindy sambil mengunyah makanan di mulutnya.
Yerin tertawa keras, membuat Nindy heran dengan tingkahnya setelah menjawab pertanyaan Yerin.

"Emange opo'o seh?" (Emang kenapa sih?) Tanya Nindy heran, memandang Yerin dan aku di sebelahnya secara bergantian.
"Ndak, melok'o cek oleh wangsit koen" (Tidak, ikut saja biar mendapat wangsit kamu) Kata Yerin asal sambil terkekeh.

Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, Ibu dan bapak belum juga pulang. Lek Sudar bilang
jika bapak dan ibu pulang larut malam karena harus membantu acara 7 harinya Mbak Sri.

Sedangkan Mak Turah dari sore pergi memijat dan belum pulang sampai sekarang, Nenek kami ini berprofesi sebagai tukang pijat bayi dan tukang urut.
Jadi bisa larut malam pulangnya kalo sedang pergi memijat ke desa sebelah.

"Yur melok ndak, aku kate nungguk sapi nek mburi" (Yur ikut tidak, aku mau menjaga sapi di belakang) Ajak Siti, aku merasa malas untuk ikut bersamanya.
"Disik'o wes Sit, engkok aku nyusul nek ndak keturon" (Duluan saja Sit, nanti aku nyusul kalo tidak ketiduran) Jawabku, sambil terus rebahan di depan tv.

Sedangkan Yerin sudah memasuki kamarku, ia lebih memilih tidur dari pada ikut Siti.
Tinggal aku seorang diri di depan tv, menanti pulangnya kedua orang tuaku. Dalam hati aku merasa kesal, karena mereka belum pulang hingga larut malam begini.

Lek Sudar menyuruhku untuk menutup semua pintu rumah, sedangkan ia sendiri keluar untuk ronda malam.
Aku kembali teringat cerita Wulan tadi siang, tentang pocong hitam yang datang. Susan, siapa dia sebenarnya pikirku. Apakah warga desa ini juga, kenapa juga aku memikirkannya.
Merasa bosan dengan acara sinetron tv, kucoba membuka gawaiku. Baru saja aku membuka layar gawai mataku tertuju pada semua status yang di share teman sosmed. Sebuah cerita horor, karena penasaran kubaca bagian demi bagian dari kisah tersebut.
Saat membaca cerita hantu berjudul Gantung Diri setiap paragraf kubaca secara teliti, cerita itu di tulis secara detail. Hingga membuat pembacanya seolah masuk kedalam cerita tersebut.
Aku terkejut saat dari dalam kamar, gawai Yerin tiba-tiba berbunyi dengan suara lagu lama yang berjudul tingal kenangan.

Beberapa kali kupanggil Yerin, lama tak ada sahutan dari kamar. Aku bergegas menengoknya kedalam kamar.
Aku lega saat tau Yerin tidur dengan lagu yang ia putar, rupanya earphone yang ia kenakan terlepas dari gawainya.
Cleek ..

Cleekk ..

Cleekk ..

Suara gagang pintu depan sedang di putar putar, aku berpikir mungkin kedua orang tuaku sudah pulang.
Seharusnya, pintu depan sudah terbuka karena aku
memang sengaja tidak menguncinya, seandainya aku ketiduran nanti bapak dan ibuku bisa masuk tanpa meneriakiku dari luar.

"Paaakk .. Buuuk .." Panggilku, karena suara gagang pintu yang di putar terus terdengar, aku bergegas menuju pintu depan.
"Paak .. Buuk.." Kembali kupanggil kedua orang tuaku sambil berjalan ke arah pintu rumahku, namun tak ada sahutan dari luar.

Pintu kubuka pelan, tak kudapati sosok bapak dan ibuku di luar rumah. Suasana nampak sepi, aku sempat berfikir mungkin mereka
lewat pintu belakang karena aku terlambat membukakan pintu untuk mereka.

"Yuri .."

Dari belakang suara memanggil namaku, meski pelan terdengar sangat jelas di telingaku.
Belum sempat kutemukan sosok orang yang baru saja memanggil namaku, pintu belakang dari arah dapur di ketuk beberapa kali.

Kembali aku heran, di belakang sana ada Siti, Nindy dan kedua temannya, karena tadi Siti bilang ingin berjaga di kandang sapi milik Lek Sudar dan bapakku.
Langkah kaki kupercepat kearah dapur, tak lupa, kunyalakan terlebih dahulu lampu dapur sambil berjalan ke sana.

Saat aku tiba di dapur suara ketukan pintu sudah tak terdengar.
Namun kali ini, suara ketukan pintu beralih ke pintu depan rumah.

Aku terkejut saat, lampu rumah padam beberapa detik. dan suara ketukan di pintu depan masih terdengar.
Tak ingin membuang waktu lagi, aku bergegas kembali ke pintu depan. Langkah kaki kembali kupercepat seandainya Siti sedang mengerjaiku akan kubuat Siti menyesal karena menghadirkan kegelisahan di benakku saat ini.
Langkahku terhenti, sekilas kulihat dari celah pintu kamarku karena tadi pintu hanya kubuka sedikit. Tempat Yerin tidur saat ini.

Darahku berdesir saat kurasakan tengkukku, terasa di tiup dari belakang.
Jelas sekali yang kulihat tadi, sosok tubuh terbungkus kain hitam sedang dalam pelukan Yerin.

Seingatku, aku tidak mempunyai guling berwarna hitam. keringat membasahi tubuhku yang gemetaran.
Pelan Kulangkahkan kaki mundur, rasa penasaran ingin memastikan bahwa yang kulihat tadi hanyalah sekedar imajinasiku yang memikirkan sosok pocong hitam yang menghantui kami.

Dengan tangan gemetaran, kubuka secara pelan pintu kamar. sengaja tubuhku masih
menghadap ke arah depan dengan posisi menyamping kudorong secara pelan pintu kamar.

Deg, aku terbelalak kaget. Meski tak percaya dengan yang kulihat saat ini, Yerin sedang tidur memeluk pocong yang ia anggap sebagai guling.
Lututku gemetaran tak kuasa menahan berat badanku yang semakin melemas, karena yang kulihat saat ini begitu nyata.

Bau busuk tercium sangat menyengat, kakiku tak kuasa untuk kembali berjalan.
Ingin sekali aku berteriak agar Siti dan yang lain datang kemari.

BRAAAAKK ...

Suara benda jatuh menimpa atap rumahku saat ini. Pikiranku sudah kacau sedari tadi, tubuhku berangsut turun ke bawah.
Badanku seperti bukan milikku, karena semakin aku bergerak badanku semakin melemas. Hingga akhirnya aku terduduk di lantai dengan badan lunglai.

Bibirku bergetar pelan, kubaca semua doa yang kuingat saat ini. kucoba mengerakan badan dengan berjalan ngesot ke arah dapur.
Aku merasa menyesal tak menghiraukan ajakan Siti tadi, sesampainya di pintu dapur kucoba berdiri untuk membuka pintu dapur yang di kunci dengan palang kayu.

Setelah pintu dapur kubuka dengan susah payah, rupanya yang terjadi pada Siti
dan yang lain tak kalah mengerikan dari yang kubayangkan.

Siti dengan yang lain sedang duduk melingkar di geek lebar, mereka berempat sedang bermain kartu dengan wajah putih karena yang kalah akan di coret dengan bedak putih sebagai tanda.
Di antara empat orang yang sedang duduk melingkar di geek lebar itu, jumlah mereka bertambah satu.

Pocong hitam mbak Susan yang kuketahui namanya dari Wulan, sedang berdiri di samping kandang sapi milik bapakku, mengawasi mereka berempat yang sudah gemetaran karena rasa takut.
Yang membuatku heran Siti seperti tak ada habisnya membuat ulah, ia membakar kemenyan karena bau kemenyan yang berasal dari layang di bawah geek pastilah perbuatannya.
"S-sit .." Panggilku pelan dengan terbata, karena jelas sekali aku melihat sosok pocong hitam itu sedang berdiri di balik kegelapan, di samping kandang dan Siti duduk membelakanginya.
Siti menoleh namun ia sedang menangis gemetaran, entah apa yang sedang terjadi, pasti saat ini mereka berempat diam tak bergerak dengan tangan masih memegangi kartu remi.

Setelah kuamati secara seksama, ada boneka di tengah-tengah mereka.
"Jalangkung" ucapku lirih, boneka Jalangkung sesekali bergerak pelan, tak habis pikir dengan kelakuan Siti. Bermain Jalangkung sambil bermain remi? Entah lah aku tak bisa memikirkannya.
Yang jelas saat ini Rina dan Nindy sudah pingsan, lalu Aldo ikut ambruk jatuh dari atas geek, pemuda itu pingsan jatuh ke tanah.

Sementara Siti memandang ke arahku sambil menangis, ia terlihat amat ketakutan.
Dari jauh terdengar suara teriakan banyak orang "maling 'maling' maling"

Maling sapi pikirku, tak menghiraukan Siti yang sedang ketakutan karena ulahnya sendiri.
Aku tau sifat Siti tidak akan jera sampai yang ia inginkan terpenuhi.

Ingin sekali kutinggalkan Siti yang di luar sana sendirian bersama sosok pocong hitam yang berdiri di belakangnya. Tak ada yang bisa kulakukan, aku pun terlalu takut untuk melangkah keluar.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with B i n t a n g

B i n t a n g Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @ShepiaID

Nov 20, 2020
TRAGEDI PERKEBUNAN KOPI

Satu kisah akan aku ceritakan tentang kejadian yang membuat rasa trauma akan kegelapan. Dari balik bayangan malam rumor tentang angkernya
perkebunan kopi yang menjadi cerita turun-temurun di suatu desa, dan bagi kalian yang kebetulan tahu tentang letak perkebunan kopi ini tolong tetap rahasiakan!
Biarkan cerita kecilku ini yang akan menguak sedikit tentang angkernya perkebunan kopi di salah satu kota di Jawa Timur.

***
Read 157 tweets
Jan 29, 2020
ARWAH PENASARAN SANTI

Part 1
Sebelum membaca cerita fiksi ini, tolong jangan menghakimi tokoh dalam cerita. 🙏

Hujan !

Aku berteduh menghindari serbuan air hujan, di sebuah ruko pertokoan bersama sofi tetangga samping rumah sekaligus teman sedari masih kanak kanak.
Hujan semakin deras, seragam berwarna biru yang kami kenakan di sebuah mini market, telah basah oleh air hujan.

"Kok iso se, Shep ora ngowo mantel iku" (kok bisa tidak bawa mantel) kata Sofi, dengan badan mulai menggigil kedinginan.
Read 1296 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(