1. Saya punya pengalaman soal kemenyan. Ada teman, Mangkubumi. Dia suka tirakat. Terakhir tirakat 90 hari, dapat jin, nama jinnya Maghribi. Dia punya tiga jin. Main ke rumah, bareng kawannya, polisi. Pas pulang, jinnya gak mau ikut. Minta tinggal di rumah saya.
2. Hari berikutnya, dia memaksa saya, agar memulangkan jinnya. Tapi jinnya gak mau. Akhirnya dia berpesan agar setiap malam Jumat, dikasih kemenyan sebelum jam 12 malam. Tapi lama-lama sy malas juga. Kenapa harus diperbudak jin? Akhirnya jinnya pergi.
3. Saya biarkan pergi. Mangkubumi (kerja di area Alam Sutera, Tangsel) ini seperti Bunga, perempuan Kediri, tinggal di Rungkut, Surabaya. Dia pun punya kemampuan "melihat". Di temlen, Bunga tak cantumkan identitas diri sdh berkeluarga. Memang itu trik dia tuk menggaet lelaki.
4. Mangkubumi dan Bunga, diberi kemampuan "melihat" tapi tak dibekali spritiualitas Islam yang baik. Sehingga hal-hal ghaib, dianggap sebagai tameng. Beriman kepada yang ghaib itu bukan begitu caranya. Ini masuk di dalam alihah muqayyadah masuk, masuk perangkap al-syirk al-khafi.
5. Ghaibiyah itu harusnya bisa terkubur jika anasir rububiyah sudah melekat pada diri seseorang. Orang yang didikte jin, jelas sudah menegasikan Tuhan Allah dan melakukan sesembahan kepada tuhan-tuhan kecil, alihah muqayyadah. Manusia harusnya yang mendikte jin.
6. Pengalaman lain, ketika diajak Mas @Helmy_Faishal_Z (waktu itu menteri) keliling ke Jatim, silaturahmi ke para kiai sepuh, saya menemukan ada kiai yang memelihara jin. Saya tanya ke Pak Yai, kenapa memelihara jin? Dijawab jinnya sudah saya Islamkan semua. Saya dikte mereka.
7. Manusia itu al-insanu hayawanun nathiq. Kita masih termasuk golongan hewan jika masih ada sikap rakus, buas, didikte nafsu, nafsu seks dan nafsu berkuasa meskipun sudah jelas plonga-plongo. Orang seperti ini bukan manusia karena kehilangan nalar. Nalare nyugsep.
