Pemprov DKI Jakarta bersama Gugus Tugas COVID-19 DKI Jakarta menyampaikan kepada seluruh warga bahwa Jakarta akan memperpanjang status #PSBBJakarta selama 14 hari mulai 22 Mei - 4 Juni.
Perpanjangan status PSBB DKI Jakarta ini berdasarkan kajian ilmiah dari tim ahli epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI).
Makin banyak orang berada di rumah, makin kecil penularan. Sejak diberlakukan PSBB Jakarta angka proporsi warga berada di rumah meningkat sampai hampir 60%. Lalu kira-kira terlihat dalam dua minggu kemudian, pelan-pelan laporan kasus Jakarta mulai menurun.
Pada Maret 2020, angka reproduksi/ tingkat penularan awal (R0) di DKI adalah 4, artinya satu orang bisa menulari empat orang lainnya. Alhamdulillah berkat kerja sama kita semua, selama PSBB, pada 17 Mei angka reproduksi (Rt) kita mulai stabil di kisaran 1,11.
Sedikit lagi, idealnya angka reproduksi (Rt) harus ditekan di bawah satu baru bisa kita anggap terkendali.
Alhamdulillah, memang tanda-tandanya cukup baik, tapi belum tuntas.
Apresiasi kepada seluruh warga DKI Jakarta yg telah disiplin dalam mengikuti protokol kesehatan selama #PSBBJakarta. Bagi teman-teman yg selama ini belum disiplin PSBB, pilihannya ada di tangan Anda semua, mau ikut ambil tanggung jawab atau mau mengulang keadaan Maret 2020?
Perpanjangan kali ini akan bisa jadi PSBB penghabisan jika KITA SEMUA disiplin. Jangan sampai kita harus memperpanjang lagi. Jika disiplin kita kerjakan, dan insyaAllah menjadi babak baru bagi kita semua.
Mari kita sama-sama hadapi. Kita bisa! Jakarta bisa! Indonesia bisa!
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
(0/13) Teman2, utas saya soal mengapa orang miskin punya banyak anak mendapat banyak tanggapan. Terima kasih. Senang sekali bisa berdiskusi. Izinkan saya memberi beberapa tanggapan lanjutan, semoga bisa memperjelas maksud dan membuka ruang pikir kita bersama.
(1/13) Pertama, banyak yg berkisah lahir dari keluarga miskin dan dituntut ikut menopang keluarga. Utk semua yg pernah mengalami, terima kasih telah bertahan dan jangan pernah merasa sendiri. Semoga Allah beri kekuatan, keringan, kelapangan, dan tiap kesulitan jadi tabungan amal.
(2/13) Ada juga yg cerita ttg interaksi dgn tetangga atau kenalan yg hidup dalam kemiskinan. Terima kasih telah peduli dan tidak menutup mata. Dukungan seperti itu sangat berarti. Untuk bisa saling menguatkan, kita memang harus saling mengenal dulu.
(1/13) Tahun 70-an, Indonesia membangun +61.000 SD Inpres dalam +5 tahun. Anak2 dari desa sampai kota mulai mendapat akses pendidikan. Tapi, tangga itu berhenti di tingkat dasar. Tak ada SMP Inpres. Tak ada SMA Inpres. Anak2 didorong bermimpi, tapi tak tuntas disiapkan jalannya.
(2/13) Banyak yg bilang saat itu negara kekurangan dana. Ada pula yg khawatir kalau pendidikan terlalu tinggi tapi tak ada lapangan kerja, maka takut lahir pengangguran terdidik. Sistem pun terhenti di tengah jalan. Padahal justru saat itulah anak2 mulai menggantungkan harapan.
(3/13) Saat itu, Korea Selatan jg miskin dan baru pulih dari perang. Tapi mereka memilih melanjutkan pendidikan menengah dan tinggi. Awalnya tak mudah, ada sarjana yg jadi sopir. Tapi saat industri tumbuh, mereka siap. Sopir jadi supervisor pabrik. Supervisor naik jadi manajer.
🧵 (1/7) Kenapa orang miskin punya banyak anak? Pertanyaan itu sering muncul, kadang dgn nada sinis. Tapi mari jeda sejenak dan coba memahami dari sudut pandang mereka. Di dunia yg keras dan tak pasti, keputusan itu sering lahir dari naluri bertahan, bukan sekadar pilihan bebas.
(2/7) Saat dunia tidak memberi jaminan, tak ada pensiun, tak ada tabungan, tak ada negara yang hadir, anak menjadi satu2nya “aset” yg bisa diandalkan. Mereka adalah harapan terakhir, yg bisa merawat, membantu pekerjaan dan ekonomi keluarga, atau sekadar menemani di usia senja.
(3/7) Ketika masa depan tampak kabur, manusia cenderung menggenggam apa pun yang memberi makna hari ini. Anak-anak, dalam pelukan dan tawa mereka, menawarkan rasa berarti. Di tengah hidup yg sering membuat kecil hati, keluarga jadi ruang terakhir untuk merasa dibutuhkan.
[0/20] Bonus demografi sering disebut sebagai pintu emas menuju Indonesia maju, tapi benarkah akan otomatis jadi berkah? Mari kita diskusikan dalam utas berikut…
[1/20] Di negeri ini, waktu tampak sedang berbaik hati. Kita tengah memasuki fase langka, yaitu bonus demografi. Usia produktif sedang memuncak, menawarkan gegap gempita akan masa depan. Tapi, di balik janji statistik itu, ada tantangan besar yang kerap luput dari sorotan.
[2/20] Utas ini bukan hendak menyiram air pada bara optimisme. Sebaliknya, ini adalah pengingat. Bahwa hanya bangsa yang menyadari ujian-ujian besarnya, yang akan mampu menata masa depannya. Janji kemerdekaan hanya bisa ditepati jika kita tahu jalan mana yang harus diluruskan.
(1/10) Zaman terus melaju. Gelombang teknologi tak bisa dibendung. AI bukan sekadar datang mengetuk pintu ruang kelas, tapi sudah mulai melangkah masuk. Kita tidak bisa berpaling. Kita pun tak boleh tertinggal. Dunia bergerak cepat, dan sekolah tak boleh berjalan lambat.
(2/10) Anak-anak Indonesia berhak atas masa depan yang sejajar. Mereka berhak atas literasi digital, atas kecakapan teknologi terkini. Tetapi mereka juga berhak tumbuh sebagai manusia seutuhnya: berpikir jernih, berperasaan halus, dan berkarakter kuat.
0/ Dalam diskusi di UII Yogyakarta tadi ada yang menanyakan pada saya terkait Revisi UU TNI. Saya bagikan di sini poin-poin pentingnya ya. 🧵
1/ Revisi UU TNI yg baru disahkan menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah ini benar2 membawa perbaikan atau malah membuka ruang bagi tantangan baru? Ini adalah ttg menjaga profesionalitas TNI dan kemurnian demokrasi.
2/ Kita semua ingin TNI yg kuat, profesional, dan fokus pada tugas utamanya: menjaga pertahanan dan kesatuan negara. Jangan sampai revisi ini justru membebani TNI dgn tugas2 baru yg bisa mengalihkan dari fokus utamanya.