"Ddduttt" Suara Kentut dan Ulama yang Pura-pura Tuli
Ada seorang ulama besar dari Khurasan dijuluki al-Asham (si tuli), karena pernah menutupi aib seorang perempuan. Kisahnya (termaktub dlm Qomi’ al-Thugyan dan Nashaih al-Ibad) seperti berikut ini:
Syekh Hatim (w. 237 H.) merupakan ulama tersohor yang sering disowani masyarakatnya. Masyarakat yang sowan, terkadang ingin menanyakan sebuah hukum terhadap sebuah permasalahan, terkadang curhat masalah kehidupan, terkadang hanya ini meminta restu dan doa untuk sebuah harapan.
Suatu hari ada seorang perempuan sowan kepada beliau, sebelumnya sudah ada beberapa orang yang sudah berada di majelis beliau.
Saat giliran perempuan itu hendak bertanya atau curhat kepada sang ulama dan memulai pembicaraannya, tiba-tiba perempuan itu kentut dengan suara yang kencang.
Dduuuuut… Sontak saja, seluruh ruangan menahan tawa. Dan perempuan itu sangat malu bermuram rupa. Lebih-lebih tambah malu lagi apabila Syekh Hatim mendengar kentutnya yang menggelegar itu.
Tiba-tiba Syekh Hatim berbicara, wahai perempuan apa yang kamu katakan tadi, keraskan suaramu karena aku tidak mendengar ucapanmu itu. Ucapan Syekh Hatim ini mempunyai maksud menutupi aib perempuan itu agar tidak malu,
dengan seakan-akan beliau tidak mendengar (pura-pura tuli) terhadap apapun yang diucapkan perempuan itu, termasuk kentutnya. Padahal beliau mendengar semua.
Berkat pura-pura tuli tersebut, perempuan itu lega, sangat senang dan bahagia, ternyata sang Syekh tidak mendengar kentutnya. Sejak saat itu, syekh Hatim dijuluki masyarakat “Syekh Hatim al-Asham (yang tuli)”. Julukan tersebut meskipun seolah merendahkan tp justru mengagungkan.
Hal ini karena beliau rela berpura-pura tuli hanya untuk mentutup aib seseorang.
Pertanyaannya: Apakah kita termasuk yang senang menutup aib kita sendiri dan aib orang lain? Ataukah sebaliknya, senang mengumbar aib diri bahkan aib orang lain? Allahu ‘Alam.
Dalam bidang akidah, mengapa Ahlus Sunnah diwakili oleh dua kelompok besar: Asy’ariyah dan Maturidiyyah?
A THREAD
1. Kedua mazhab akidah ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hanya perbedaan ringan yang mudah
ditakwil untuk dipertemukan.
2. Imam Abul Hasan al-Asy’ari giat membela akidah. Pengikutnya sangat banyak. Penerusnya secara bersambung meneruskan dan mengembangkan mazhab asy’ari, seperti Ibnu Mujahid.
“Pakaian perempuan apapun bentuknya,” tulis koran media cetak Al-Azhar itu, “tidak bisa menjadi justifikasi atau pembenaran dari pelecehan seksual.”
(((Utas)))
1. Mendukung kaum perempuan dalam menuntut hak-hak mereka terhadap pelaku yang mencederai kehormatan mereka, bukan justru menghakimi mereka atau menganggap ringan luka perasaan mereka.
2. Setiap individu hrs bersikap proaktif dg apa yg terjadi di lingkungannya. Bersikap diam & tutup mulut pd pelaku pelecehan seksual adl tindakan yg dimurkai. Yang wajib dilakukan adl mencegah pelaku berbuat & bahkan menyerahkannya ke pihak yg berwenang agar diproses sesuai hukum
Alasan Kenapa Berdiri Ketika Mahallul Qiyam Dianjurkan
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki menyebutkan bahwa ada beberapa aspek mengapa berdiri ketika pembacaan maulid sangatlah disukai dan dianjurkan oleh para ulama:
(((Utas)))
- Berdiri ketika maulid telah banyak dilakukan oleh khalayak dan disukai oleh para ulama timur dan barat. Apa yang disukai oleh muslimin maka di sisi Allah adalah baik dan apa yang dianggap buruk oleh muslimin maka di sisi Allah adalah buruk.
- Berdiri untuk orang yang memiliki keutamaan sangatlah disyariatkan dan telah ditetapkan oleh dalil-dalil yang banyak. Seperti contohnya ialah kitab yang disusun oleh Imam Nawawi yang diberi nama Raf'ul Malam ‘anil Qoil bi Istihsanil Qiyam.
Nabi Nuh melewati seorang nenek yang sedang meratapi anaknya yang mati.
"Apa yang terjadi?," Nabi Nuh bertanya
"Anakku mati, dan umurnya belum 300 tahun," jawabnya sambil terisak
Nabi Nuh menghibur, "Tak usah menangis.
(((Utas))))
Aku sesungguhnya diberitahu, akan ada sekelompok kaum yang umurnya hanya sampai 60 atau 70 tahun. Bayangkan jika kamu dan anakmu di antara mereka. 300 tahun menjadi umur yang cukup panjang."
Si nenek kaget.
"Jika aku bagian dari mereka, maka aku akan habiskan hidupku untuk bersujud pada Allah."
Belajar Menghargai Waktu dari para Ulama Terdahulu
Para ulama terdahulu mengerti betul arti waktu & merasa rugi bila terlewat dalam amal & karya. Ada yg sampai tidak ikut menguburkan jenazah anaknya & ada pula yg sampai terjungkal menemui ajalnya.
Simak kisah menariknya di sini
Waktu merupakan satu dari sekian banyak nikmat agung yang diberikan Allah swt kepada manusia. Menurut Syekh Abdul Fattah Abu Ghudah, waktu atau zaman termasuk salah satu jenis nikmat pokok seperti halnya nikmat sehat dan nikmat ilmu.
Begitu istimewanya, Allah swt berulang kali menegaskan arti penting kedudukan waktu dalam Al-Quran. Tidak sedikit pula Allah swt mengambil sumpah dengan waktu. Hal ini tiada lain hanya untuk menjelaskan keagungan dan kedahsyatannya.
Di antara sifat-sifat khusus Kanjeng Nabi SAW yg disebutkan oleh Syeikh Nawawi al-Bantani dlm Syarah Bidayatul Hidayah:
Kanjeng Nabi SAW sama sekali tidak pernah mimpi basah. Beliau juga tidak pernah menguap (angop, dlm bahasa jawa).
Hewan-hewan tidak pernah berlari jika didekati beliau, alias semuanya tunduk.
Tubuh beliau tidak pernah dihinggapi lalat. Semua yang ada di belakang beliau jelas terlihat layaknya yang ada di hadapan beliau.
Bekas air kencing beliau tidak pernah terlihat, alias langsung terserap ke dalam tanah. Hati beliau tidak pernah tertidur meskipun mata terpejam layaknya orang yang sedang tidur. Beliau tidak pernah terlihat bayangannya di bawah sinar matahari.