Generasi sekarang mungkin banyak tidak tahu, namun tidak bagi yang lahir tahun 80-an. Pada tahun 1998 terjadi tragedi berdarah yang kelak dikenal dengan peristiwa “Ninja”.
Tragedi ini adalah pembunuhan terhadap para kyai dan guru mengaji yang dituduh sebagai dukun santet. Bermula pada bulan Februari 1998, pembunuhan memuncak pada Agustus dan September 1998.
Disebut dengan “Ninja” karena para pembunuh menggunakan cadar dan beroperasi di malam hari, dengan kemampuan layaknya ninja.
Ninja tersebut memakai pakaian serba hitam dan kedapatan memakai handy-talky dalam beroperasi. Ada dua versi mengenai ninja ini.
Ada yang menyebutkan bahwa ninja tersebut adalah orang yang hanya berkostum hitam dan membawa senjata, sedangkan yang lain menceritakan bahwa sosok ninja yang mereka lihat adalah seperti ninja di Jepang dan mampu bergerak ringan
melompat dari sisi ke sisi yang tidak akan bisa dilakukan oleh manusia biasa. Mereka sangat terlatih dan sistematis. Modusnya, listrik tiba-tiba mati dan sesaat kemudian terdapat seseorang yang sudah meninggal karena dibunuh.
Keadaan mayat pada saat itu ada yang sudah terpotong-potong, patah tulang ataupun kepala yang pecah.
Telak saja, rentetan peristiwa pembunuhan menimbulkan keresahan masyarakat. Terutama para pemuka agama. Karena mayoritas korban dari kalangan mereka.
Di setiap pesantren dan rumah kyai, jaga malam dihidupkan.
Penulis, yang kala itu masih menjadi “Pondokan Sekumpul”, bersama kawan-kawan sesama santri mengkhawatirkan terjadi yang tidak diinginkan pada kyai kami, Abah Guru Sekumpul.
Karenanya, kami berinisiatif ikut berjaga bila malam hari. Tempat kumpul kami di simpang empat jalan Pendidikan, sekira 500 meter dari rumah Abah Guru Sekumpul.
Saat itulah kami sering bertemu Banser yang meronda malam.
Mereka berkeliling kota meninjau rumah-rumah kyai, memastikan keamanannya. Hampir tiap malam, kami bertemu beberapa anggota Banser meronda naik sepeda motor.
Memang, membaca sejarahnya, Banser adalah pengawal dan penjaga keamanan kyai semenjak berdirinya.
Selainnya tugasnya membela tanah air dan Pancasila.
Perjalanan panjang Banser bermula dari Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO) yang didirikan pada 24 April 1934. Kemudian pada tahun 1938 berubah menjadi Barisan Nadhlatul Oelama (Banoe),
kemudian terakhir menjadi Barisan Anshor Serbaguna (Banser).
Perkembangan selanjutnya, Banser memiliki satuan-satuan khusus dengan fungsinya masing-masing. Ada Detasemen Khusus 99 Asmaul Husana (Densus 99), Satuan Banser Tanggap Bencana (Bagana),
Satuan Khusus Barisan Ansor Serbaguna Penanggulangan Kebakaran (Balakar), Satuan Khusus Banser Lalu Lintas (Balantas), Barisan Ansor Serbaguna Husada (Basada), Barisan Ansor Serbaguna Protokoler (Banser Protokoler), dan Barisan Ansor Serbaguna Maritim (Baritim).
Loyalitas Banser terhadap kyai-kyai Aswaja tidaklah diragukan. Mereka telah terbukti berpuluh tahun menunjukkan kesetiaannya mengawal ulama-ulama Aswaja dan NKRI.
Bila kemudian ada isu yang dihembuskan Banser membubarkan pengajian, maka layak untuk dicek kembali,
benarkah yang dibubarkan itu pengajian, ataukah upaya provokasi yang berlindut dibalik label pengajian. Pun juga siapa yang menjadi pemateri acara tersebut. Apakah seorang ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah,
ataukah hanya seorang awam ilmu agama yang didandani layaknya ulama kemudian dipromosikan sebagai ulama.
Orang Kalimantan Selatan tentu masih ingat, bagaimana peran Banser pada 2018 silam,mencari data,melaporkan dan mengawal proses hukum seorang yang menghina Abah Guru Sekumpul.
“Sudah cukup ulama-ulama Aswaja kita di tanah banjar, ulama kecintaan kita dicoreng marwahnya oleh sebagian orang yang merasa paling ‘nyunnah’ itu. Harus ada yg memberikan teguran bahwa jika tidak memiliki ilmu yang cukup hendaknya diam,”
kata Ketua Banser Banjarmasin pada Jum’at (29/6/2018) kala itu, sebagaimana dikutip Islampers.com.
Karenanya, bila ada yang kemudian meneriakkan, ataupun menyebarkan opini dan mendukung hastag #BubarkanBanser kita mesti waspada, apa target mereka selanjutnya.
Jangan-jangan kyai Aswaja, NKRI dan Pancasila. Untuk itu, gencarkan hastag #BanserUntukNegeri kita perlu mereka, yang terbukti berjasa menjaga ulama kita.
_________
Ket. foto:
Para Ulama dan Habaib bersama Sahabat Banser dan sebagian berseragam Banser menunjukkan kecintaan dan kebanggaan mereka pada Banser.
"Kisah Habib Mundzir Mencium Tangan Preman Tanjung Priok"
Dikisahkan oleh Habib Mundzir di suatu daerah Tanjung Priuk Jakarta Utara tempat yang sangat rawan dengan kriminal, pernah ada seorang preman yang hobinya mabuk, sering menyiksa bahkan tak segan-segan membunuh orang.
Ia adalah bos preman yang konon kebal dan menguasai ilmu-ilmu kejahatan.
Suatu ketika ada pemuda sekitar wilayah tersebut ingin mengadakan majelis, namun takut pada preman kejam itu. Lantas ia mengadu pada Habib Mundzir.
Habib Mundzir mendatangi rumahnya, lalu mengucapkan salam, tapi ia tidak menjawab. Ia hanya mendelik dengan bengis sambil melihat Habib Mundzir dari atas kebawah, seraya berkata, “Mau apa kamu!”
KH.M. Arwani Amin atau Mbah Arwani dikenal sebagai ulama yang ‘alim ‘allamah.
Disamping itu, beliau juga dikenal oleh masyarakat luas sebagai sosok ulama besar yang lembut dan rendah hati.
Kemuliaan akhlak dan ketawadhuan beliau tidak hanya diakui oleh masyarakat biasa, bahkan para ulama hingga wali-wali Allah pun mengakuinya.
Setiap tamu yang sowan ke rumahnya diterimanya dengan sangat baik oleh beliau, baik tamu itu berasal dari kalangan biasa, ulama, ataupun pejabat negara. Sangking hormatnya beliau kepada tamu, beliau sendiri yang menyuguhkan jajanan/hidangan ke para tamu satu persatu.
*KENAPA HABIB LUTHFI BIN YAHYA FANATIK KEPADA NU? INI JAWABANNYA*
*Oleh: Maulana Habib Luthfi bin Yahya*
Dulu saya sering duduk di rumahnya Kyai Abdul Fattah, untuk mengaji. Di situ ada seorang wali, namanya Kyai Irfan Kertijayan.
Kyai Irfan adalah sosok yang nampak hapal keseluruhan kitab Ihya Ulumiddin, karena kecintaannya yang mendalam pada kitab tersebut. Setiap kali ketemu saya beliau pasti memandangi dan lalu menangis. Di situ ada Kyai Abdul Fattah dan Kyai Abdul Adzim.
Lama-kelamaan akhirnya beliau bertanya, “Bib, saya mau bertanya. Cara dan gaya berpakaian Anda kok sukanya sarung putih, baju dan kopyah putih, persis guru saya.”
"Ngger iki Jagad taline wis pedot.
Iki wayah kucing do kerah. Rerebutan balung.
Yen pengen Selamet. Mulo sing akeh te'e ndungo, ben tentrem Dunyone.
Syarate GULO KLOPO JANUR KUNING."
___
Maknane kurang lebih:
Wong sak niki, tepo slero wis ora ono.
Konco (sejati) wis logko.
Konco iku ngancani dewe nak nembe apes.
Jaman sak niki, sambung rakete ati meh ora ono.
Saiki konco sesuk musuhan.
Saiki musuhan sesuk kancanan.
Gulo klopo niku.
Nduwe urat sing manis. Lego karo sopo wae. Rak usah mikir pie wong iku, sing penting niti awak'e dewe jejeg teteg nggondeli Allah Ta'ala.
Lintas Ziarah dan Bertawassul di KH. Nur Muhammad Magelang
Sekilas Sejarah
KH. Nur Muhammad Ngadiwongso dulu adalah Ulama sakti yang menjadi guru Pangeran Diponegoro sekaligus patih di Magelang.
KH. Nur Muhammad juga terkenal penyebar agama islam di wilayah Salaman, Kabupaten Magelang. Makamnya banyakdikunjungi peziarah dari luar daerah hingga luar Jawa.
Karomahnya
1. Pertemuan KH. Nur Muhammad dan Mbah Dalhar saat Berhaji
Kiai Ahmad Dalhar, Watucongol, Muntilan, Magelang suatu saat melakukan rangkaian ibadah haji. Ia bertemu dengan seorang lelaki yang sebelumnya belum pernah bertemu sama sekali.
Gus Baha : "Jangan terlalu membesar-besarkan hal yang berpotensi membuat orang biasa jadi susah menjalankan syariat Islam".
“Hindarilah omongan seperti misalnya saat bulan ramadhan: "Rugi, ramadhan hanya setahun sekali kok gak sholat tarawih di masjid berjama'ah."
Itu namanya tak menghargai perasaan orang.
“Di luar sana itu, ada satpam, penjaga toko, tukang ojek, tukang parkir, dan banyak pekerja di malam hari yang mungkin menangis di dalam hati. Mereka juga ingin tarawih, tapi apa daya mereka sedang bekerja.”
“Tarawih itu sunah. Sementara mencari nafkah itu wajib. Menghindari diri dari kemiskinan secara ekonomi supaya tidak menjadi beban orang lain, itu hal yang paling utama".