#BANDUNG210
Transformasi rupa Alun-alun dan Masjid Raya Bandung dalam dua abad.
-ulasan singkat-
Seiring dengan dipindahnya ibu kota dari daerah Krapyak di Dayeuhkolot (dayeuh=kota; kolot=lama), sebuah Alun-alun pun dibuat di lokasi yang telah ditentukan.
Sama halnya dengan kota-kota tradisional Jawa, sebuah alun-alun didampingi bangunan penting lainnya: pendopo dan masjid.
Pendopo Bandung didirikan di sebelah selatan alun-alun, sedangkan masjid agung dibangun di sisi barat pada 1812.
Awalnya, masjid ini bermaterial sederhana: bambu, kayu, dan rumbia. Masjid ini terbakar pada 1825 dan direnovasi oleh bupati menjadi seperti di bawah ini (1852).
Setelah renovasi, masjid menjadi lebih kokoh dan permanen. Berdinding bata dan beratap genteng.
Karena bentuk atap limasnya yang bersusun tiga tumpuk dan menjulang, oleh warga setempat dijuluki sebagai Bale Nyungcung.
Memasuki abad ke-20, Masjid Agung mengalami penambahan pagar keliling, perluasan area teras, serta penambahan atap baru yang menyerupai menara di kanan dan kiri bangunan.
Di depan masjid ini, terdapat alun-alun yang menjadi puseur dayeuh (pusat kota). Layaknya kota tradisional lainnya, alun-alun ini terdiri atas lapangan luas yang ditanam pohon beringin kembar sebagai peneduh.
Fungsinya beragam, mulai dari tempat hiburan hingga eksekusi tahanan.
Situasi Alun-alun Bandung sebelum rumput sintetis menyerang.
Foto sekitar tahun 1920-an.
1955: jelang Konferensi Asia-Afrika, Presiden Soekarno meminta masjid ini direnovasi dengan mengubah bentuk atapnya, dari limas menjadi berbentuk kubah bawang.
Masjid baru ini pun dipakai oleh para peserta KAA buat Salat Jumat.
Asumsi gue, alasan Bung Karno meminta untuk mengubah atap masjid menjadi berbentuk kubah lantaran peserta KAA kebanyakan dari negara Timur Tengah, jadinya ya masjid ini dibuat lebih "universal" untuk bisa dipakai tamu negara.
Dari foto di atas, keliatan bahwa alun-alun ini nggak lagi cuma lapangan kosong dengan dua pohon beringin aja.
Beberapa pohon ditanam berjarak, bahkan ditanam di bagian tengah.
Kubah bawang tersebut cuma bertahan sampe 1967 aja. Rusak kena angin hujan, cenah.
Tahun 70-an, Masjid Agung direnovasi: gedungnya jadi bertingkat, dibangun menara, serta atapnya dibuat berbentuk joglo.
Selain masjidnya, alun-alun juga dirombak. Dibuatlah. Kolam-kolam besar dengan air mancur dan jalan setapak.
Gue masih penasaran sih, kenapa harus atap joglo. Apa ada hubungannya sama rezim baru saat itu yang Jawasentris banget?
Renovasi nggak berhenti di sana.
Bentuk atap kembali dimodif dengan penambahan satu tingkat baru.
Selain itu, di puncak menara dipasang kerangkeng berbentuk kubah serta sebuah gapura besar di sisi depan.
Nah, ini adalah foto udaranya di era 80-90 an. Dulu, di depan masjid masih ada jalan raya yang menghubungkan Dalem Kaum ke Asia-Afrika.
Sebuah jembatan dibuat untuk menghubungkan masjid dengan Alun-alun Bandung.
Renovasi besar-besaran dilakukan pada 2001, di mana atapnya dibongkar digantikan tiga kubah setengah bola berwarna putih.
Dalam renovasi tersebut, alun-alun dibuat menyatu dengan masjid (membongkar jembatan orang). Selain itu, dibangun juga menara pandang kembar setinggi 81 m.
Proyek ini selesai pada 2004. Nama Masjid Agung diganti menjadi Masjid Raya Bandung.
Alun-alun Bandung dan masjid menjadi satu kesatuan, nggak lagi dipisahkan jalan.
2014, @ridwankamil mengubah alun-alun yang tadinya sering kotor itu dengan rumput sintetis.
Renovasi Alun-alun Bandung pun dilirik publik Indonesia. Maklum, pertama kalinya orang bisa pada piknik goler-goleran gratis di ruang terbuka.
Nggak cuma alun-alunnya, kubahnya pun diubah tampilannya. Tadinya, kubah utama dan kubah pendamping berwarna putih semua.
Setelah renovasi, kubah utama dilapisi enamel bermotif, sedangkan dua kubah lainnya dicat warna emas.
Suasana Alun-alun dan Masjid Raya Bandung tahun 2015-an setelah renovasi.
2018, rumput sintetis alun-alun diubah dengan motif yang berbeda. Wajah Alun-alun Bandung dan Masjid Raya Bandung inilah yang kita nikmati pada hari ini.
BANDING-BANDINGKE CAPRES 2024
based on dokumen visi-misi
per 21 Oktober 2023
dari sudut pandang:
warga Bekasi anker Depok, single, under 30, ngeriset & ngajar, durung nduwe omah
-ulasan sekilas-
1. Tentang Perjabodetabekan
Visi-misi Anies-Imin nggak ada kata IKN, tapi nyebutin in general Jabodetabek mau diapain.
Visi-misi Ganjar-Mahfud nyebut IKN, tapi nggak disebut Jabodetabek setelahnya mau diapain.
Nggak ada yang bikin Provinsi Jabodetabek gitu? 🤔
2. Soal Perkotaan
Dua-duanya sensitif soal transit oriented development dan transportasi publik. Sayangnya kagak ada yang nulis "ESKALATOR DAN LIFT YANG TANGGUH, SELALU NYALA, DAN MEREK INTERNESYENEL"
Medan Merdeka emang ditetapkan sebagai cagar budaya. Tapi, apakah cobblestone-nya juga? Eits tunggu dulu.
Cobblestone Monas baru dipasang tahun 2000-an di era Bang Yos. Penggantian aspal jadi cobblestone ini justru nunjukin kalo perubahan di kawasan ini bisa dilakukan.
Apakah kalo udah jadi cagar budaya, lantas udah nggak bisa diapa-apain? Tetot kurang tepat.
Menjadikan sesuatu sebagai cagar budaya bukan berarti kita nge-freeze objek itu dan nggak boleh diapa-apain. Perubahan bisa dilakukan secara terbatas asal tidak merusak apa yang esensial.
Di UU No. 11 tahun 2010 ttg Cagar Budaya juga dibahas soal apa aja yang bisa dilakukan untuk melestarikan: 1. Pelindungan (Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, Pemugaran) 2. Pengembangan (Penelitian, Revitalisasi, Adaptasi) 3. Pemanfaatan
Bukan cuma melihat Jakarta sebagai kota tunggal, 1965 bahkan udah dipikirin kalo Jakarta "bengkak", nanti ngembangnya ke mana.
Ada poros Timur-Barat, ada juga ke selatan. Titik pancarnya 15 km dari Monas.
Namanya "Jakarta Metropolitan", tahun 72-73, barulah muncul Jabotabek.
Masterplannya diambil dari buku, masterplan keluaran Direktorat Tata Kota & Daerah 1965, yang mana nggak mungkin banget kalo BK nggak terlibat di dalamnya.