Sebuah Utas #EnergiTerbarukan di Hari Pertama yang Cerah di Bulan Desember Tahun 2020 ini
Udah jadi lagu lama yang ga pernah selesai: EBT lebih sering diomongin ketimbang digunain. Gimana engga, 5 tahun mendatang kita wajib ngejar target 23%, dan sampe sekarang cuman baru sampe 14.8%.
Udah gitu, dari 14,8% itupun masih ada separuh energi nganggur dan cuman nyumbangin 7,81% dari 188.000 GWh, udah kayak jalan di tempat aje gitu.
Sampe saat ini, PLTA sumbang produksi listrik EBT terbesar dengan (10,7 GWh atau 73% dari total EBT), disusul pembangkit panas bumi (27%) dan tenaga surya dalam jumlah yang sangat kecil.
Oiye, apa kabar energi angin? Rame doang di medsos, tapi sumbangan listrik tenaga bayu belum tercatat dalam statistik kelistrikan 2019.
Emang masalahnya ape sih? EBT mahal? Klasik, ah. Kalau dilihat lebih dalem, dengan mempertimbangkan environmental cost, sebenarnya mah biayanya berimbang.
Lagipula, udah ada yang ngerasain langsung, kok. Via. Lokadata, pegiat media sosial Ulin Yusron yang memasang sel tenaga surya di atap rumah mengatakan, “Biasanya bayar Rp1,2 juta sebulan, sekarang cuma Rp217.000,”
Terus tentang investor? Gini, pada dasarnya faktor pembiayaan EBT nyatanya tidak sesederhana itu. Meskipun biaya pendirian pembangkit EBT sudah semakin menurun, biaya pembangunan infrastruktur PLTU sampai saat ini masih lebih rendah. Jadi, orang masih gagal move on dari fossil.
Sebagai contoh, biaya pembangkitan PLTS saat ini berkisar antara 6-12 sen/kWh. Padahal,TAPI biaya pembangkitan PLTU hanya berkisar antara 4-6 sen/kWh. Nah, ujung-ujungnya, masalah ada di kebijakan harga listrik yang diperoleh dari EBT.
Sampe sekarang, tarif yang dipatok oleh pemerintah belum dinilai menguntungkan dan masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan tarif listrik yang berasal dari PLTU. Nah, ini nih yang buat investor kucing 7 keliling. gatra.com/detail/news/46…
Itu cuman salah satu dari sekian penyebab investor jadi urung niat buat berinvestasi EBT. Terus pemerintah harus apa?
REGULASI. Dari sekian banyak hal ttg regulasi, kebijakan yang mengatur harga beli listrik dari EBT jadi paling krusial. Terlebih, fokus pemerintah masih pada fossil, yang tentunya sangat kontradiktif.
Ambil contoh, perencanaan PLTU Jawa-9 dan Jawa10 di Suralaya, Banten yang dalam pendanaannya bekerja sama dengan perusahaan dari Korea Selatan, menuai kontroversi di kalangan masyarakat, terutama pemerhati lingkungan. betahita.id/news/detail/53…
Pemerintah seharusnya sudah mengubah fokus, terutama di bidang subsidi, pendanaan, dan perencanaan, demi mendukung target besar yang telah ditentukan sebelumnya.
Pemberian insentif kepada para investor di sektor EBT pun jadi sangat penting sebagai salah satu cara untuk menaikkan daya saing investasi di bidang EBT. Lagipula, Insentif tersebut dapat diberikan dalam berbagai rupa yang pada akhirnya dapat menguntungkan berbagai pihak.
Ga cuman itu aja, dalam perencanaan pembangkit listrik EBT, saat ini kebanyakan memiliki kapasitas dalam hitungan ratusan megawatt saja.
Bagi investor, kapasitas PLTU yang lebih besar terlihat lebih menggiurkan sehingga proyek-proyek EBT yang lebih masif dapat menjadi cara untuk menarik lebih banyak lagi investor.
Kalau bukan kita siapa lagi? Pemerintah memang harus disadarin dan didesak dan juga masyarakat juga masih perlu diedukasi.