Terdengar suara pintu di ketuk.
Aku kira suruhan ku sudah datang mau memberikan kabar, namun suara motornya tidak terdengar, suara pagar depan juga tidak terdengar di buka.
"Siapa?"
Tanya ku.
Namun sama sekali tidak ada jawaban.
Tak lama, kembali pintu diketuk, kali ini agak keras terdengar.
"Sabar."
Kata ku, sambil berjalan membuka pintu.
Saat pintu aku buka sama sekali tidak ada orang, bahkan mencari di samping rumah, juga garasi tidak menemukan siapa pun. Apa aku salah dengar!
Mengabaikannya, lalu kembali masuk. Baru saja pintu ditutup sudah digedor lagi.
"Kampret, kang ojo guyon ta."
Kata ku, kesal.
Pintu aku buka, kini berdiri sosok pocong dengan muka membiru bengkak. Bola matanya menggantung keluar, darah hitam membalur hampir kesemua bagian kafan itu. Sosok pocongnya pak Karto. Terkejut setengah mati, sampai lutut terasa lemas, nafas juga tersenggal sesak.
"ikkkkkkkk..."
Suara itu keluar dari mulutnya, seakan tertahan dan berat.
"Bajigur."
Teriak ku sambil membanting pintu agar tertutup.
Cepat-cepat aku kunci pintu, dengan tangan yang gemetaran. Namun gedoran pintu terus terdengar. Sampai aku berlari masuk kamar karena takut. Secepat kilat aku melangkah meninggalkan pocong itu, lalu.
"Brukkk"
Yah aku bertabrakan dengan pocong pak Karto yang sudah berdiri pas dipintu kamar ku. Terpelanting, terjatuh aku, sampai kepala mengatuk dinding.
Dengan posisi aku yang masih terduduk, kepala bagian belakang terasa sakit. Pocong itu melompat mendekat, mukanya tepat dihadapan ku, dengan biji mata yang menempel di wajah ku. Masih seperti tadi suaranya keluar dari mulutnya.
Sontak aku mundur menggeser, namun kini sudah terpentok oleh dinding. Mau segera bangun dan berlari, tiba-tiba pocong itu jatuh menimpa ku.
Ku dorong sosok ini namun rasanya sangat berat, sampai wajahnya menoleh ke arah ku dengan sangat cepat.
"Sontoloyo, wes mati iseh wae ganggu uwong pak."
(Sontoloyo, sudah mati masih saja ganggu orang pak.)
Kata ku, yang gemetaran ketakutan.
"ikkkkkkkk"
Kembali keluar suara itu.
Mulutnya semakin membuka, semakin mengeluarkan darah hitam pekat yang berceceran ditubuh ku juga di lantai.
Saat aku amati kedalam mulutnya, terlihat seperti ada cahaya warna kuning di pangkal kerongkongannya. Sementara suara juga darah menjijikan itu terus keluar.
Tanpa berfikir panjang, kumasukan tangan ku kedalam mulut pocong ini, menyumbat darah busuk nya, dengan cepat aku korek tenggorokannya, mencabut benda itu.
Sebuah paku besar dan panjang, seperti pasak berkarat sudah digenggaman tangan ku. Setelah tercabutnya benda itu, pocong pak Karto tadi sudah hilang. Bahkan darah yang berceceran pun ikut menghilang.
"Pak, pak, pak Karto."
Aku memangilnya.
Tetapi sosok itu tidak muncul lagi.
Apa maksudnya ini, apa paku besar ini yang menyebabkan pak Karto mati, dengan cara dibunuh dengan ilmu tenung.
****
Semua rahasia akan ada titik terang dalam jawaban misterinya, dengan sengaja mau pun tidak Tuhan memiliki seribu cara membuka tabir dalam perihal kegelapan.
Terduduk dengan menahan rasa kengerian yang belum hilang, sosok mayat mengerikan itu lenyap tanpa jejak, hanya kini digenggaman tangan ku sudah ada sebuah paku sebesar pasak, ulirannya berbungkus karat.
Dengan mengamati benda yang tercabut dari pangkal tenggorokan pocong tadi, mengira sendiri bahwa karena benda ini yang membuat pak Karto mati.
Ku letakan benda itu di lemari, belum tau mau diapakan paku itu. kembali perasaan aneh menyelimuti diri. Bulu kuduk kembali meremang, terlintas wajah pocong tadi, apa akan datang kembali.
"Datang lah pak Karto, aku harus tau jawaban ini!"
Teriak ku memanggil.
Ruangan tiba-tiba bergetar hebat, disusul dgn beberapa benda yg bergerak saling berbenturan.
Dari luar terlihat sangat terang, seperti ada cahaya menyorot kedalam rumah. Semakin terang hingga menyilaukan mata, hingga terdengar "DUAARRR" suara ledakan menghantam pintu rumah.
"Apa ini?"
Tanya ku heran.
Ku buka kunci pintu, lalu membuka pelan-pelan, melangkah keluar yang disusul meredupnya cahaya tadi. Namun tak ada apa pun.
Tak berselang lama, aku masih di teras rumah, kedua anak buah pak Karto itu datang dengan berboncengan.
"Mas, kok tumben ning njobo?"
(Mas, kok tumben di luar?)
Tanya nya.
"Ora kang, emang golek angin wae."
(Tidak kang, memang cari angin saja.)
Jawab ku berbohong.
Lalu dilanjutkan kami bertiga duduk di teras rumah, sambil salah seorang dari mereka menyampaikan; kalau pak Karto memang di santet.
Sopo sing nyantet kang?"
(Siapa yang menyantet kang?)
Aku bertanya penasaran.
"Nek menurut'e bu yayuk, tonggone sing ga seneng karo pak Karto."
(Kalau menurutnya bu yayuk, tetangga yang tidak suka dengan pak Karto.)
Imbuhnya.
"Ora seneng mergo masalah opo?"
(Engga suka karena masalah apa?)
"Tonggon'e iku bekas murid'e pak Karto, sing nglakoni ritual Gagak, podo koyo sampean mas. Nanging wong iku gagal, anak bojo'ne podo mati ngenes."
(Tetangga itu bekas muridnya pak Karto, yang melakukan ritual Gagak, Sama seperti kamu mas. Tapi orang itu gagal, anak istrinya semua mati mengenaskan.)
Mendengar pernyataan itu, sejenak aku hanya terdiam sembari berfikir. Namun pandangan tiba-tiba berkunang-kunang, dada terasa panas, sampai menetes darah dari hidung ku.
Meraka berdua hanya melihat dengan heran juga kaget.
"Loh mas, keneng opo?"
(Loh mas, kena apa?)
Tanya mereka.
"Ora popo kang, gawekno aku kopi tulung."
(Engga papa kang, buatkan aku kopi tolong.)
Salah satu dari mereka pun masuk membuat kopi, aku masih duduk memegangi dada yg serasa sakit juga panas secara tiba-tiba. Entah kenapa ini.
Sedikit aku melirik ke laki-laki disebelah ku, dia menatap ku tajam dgn sunggingan senyum sinis ke arah ku.
Namun aku hanya diam dan pura-pura tidak melihatnya.
Dari awal memang aku sudah curiga dengan mereka berdua perihal kematian tidak wajarnya pak Karto, kini aku pun diserang dengan tenung yang sama. Tapi tujuan mereka apa sampai mau berbuat seperti ini.
Dua hari terbaring lemah, setiap batuk mengeluarkan darah, badan serasa semua panas. Sementara dua orang itu pun sibuk mengurus ku, membuat kecurigaan ini mulai luntur.
Apa maksud mereka berdua, seandainya mau berkhianat saat seperti ini tentu dengan mudahnya untuk membunuh ku.
Saat aku memejamkan mata, suara ghaib membisik.
"Bangun, bakar lah bungkusan kain yang tertanam di halaman rumah mu"
Suara itu seperti memberi tahu, juga menunjukan sesuatu. Itu jelas suara genderuwo yang menjadi satu dengan raga ku.
Aku mencoba berdiri, berjalan dengn pelan. Keluar lalu mencari barang yang dimaksud tadi. Dengan dibantu mereka berdua ditemukan sebuah galian tanah di taman depan, kami membongkarnya. Sebuah kain kafan dengan berbagai macam benda; remukan tulang, paku, beling, ijuk, juga bunga.
"Iki santet."
(Ini santet.)
Katanya, terkejut.
"Tenang wae kang, jupuk bensin karo korek."
(Tenang saja kang, ambil bensin sama pematik api.) Suruh ku.
Lalu membakar benda itu, sementara benda yang tidak bisa terbakar seperti paku juga beling (serpihan kaca), aku pungut meletakan jadi satu dengan paku pasak kedalam lemari.
Setelah itu seketika tenaga ku berangsur kembali, sakit di dada juga hilang.
Suhu badan sudah kembali normal. Namun ini belum selesai!. Harus tetap waspada karena kemungkinan ini baru awal peperangan ilmu teluh.
"Kang, cobo pean golek wong pinter sing mudeng soal klenik."
(Kang, coba kamu cari orang pintar yang paham soal ilmu hitam.)
Suruh Ku.
"Yo mas, aku ngerti wong sakti. Aku budal mas."
(Ya mas, aku tau orang sakti. Aku berangkat mas.)
Ucapnya.
Saat mereka berangkat, aku hanya menyuruh satu orang saja untuk kesana. Dan yang satu tetap tinggal utk membantu ku di rumah, sebenarnya kenapa aku menyuruh laki-laki ini tetap disini. Karena secara penglihatan ku, disenyum sinisnya semalam, masih meninggalkan curiga untuk ku.
Niat hati malam ini ingin sedikit tau dengan maksud sunggingan senyum sinis pemuda yang duduk menonton tv itu. Saat aku amati dan mau mendekat, ternyata dua sosok lelembut tengah berdiri melihatnya, tanpa dia sadari.
Pak Karto dengan bungkusan pocong nya, juga ada satu lagi pocong dengan wajah yang sama membiru tapi lebih hitam.
Tertegunnya aku yang menyaksikan itu, namun kedua sosok itu tanpa bergeming hanya menatap marah kearahnya.
"Apa kedua ini korban dari laki-laki ini?"
Batinku menelisik tanya.
Mengurungkan niat menyapanya lalu aku kembali masuk kedalam kamar. Terduduk ditepian ranjang. Tangan berkuku panjang merangkul tubuh ku, satu dari pundak sampai perut,
satu tangan lagi dari samping menutup wajah ku dengan telapak tangan dan jemari bercakar itu.
"Tangan siapa ini?"
Batin ku bertanya, saat mau bergerak semua serasa kaku.
Kepala berambut panjang mulai maju ke depan dari sisi sebelah kiri. Mata ku hanya bisa melirik, melihat wajah menakutkan itu. Tulang pipi dan rahang jelas terlihat, dgn kulit hitam, mata hitam, semua hitam, hanya barisan gigi kotor yang berbentuk seperti gergaji itu menyeringai.
Sosok ini hanya tulang, yang berbungkus kulit, tapi sangat menyeramkan. Lidahnya mulai menjulur bergerak seperti lidah ular yang bercabang. Baunya sangat amis. Belatung, ceremende (kecoak kecil), kutu, dan banyak lagi keluar dari rambutnya yang mulai mengerubungi ku.
Maap semalam ketiduran 🤣🤘
Lanjut tipis tipis
Tubuh kaku masih terdiam tanpa gerak. Membiarkan semua itu memenuhi mulut juga menjalar masuk dalam tenggorokan, semakin kedalam. Rasanya ingin muntah setelah merasakan itu semua.
" Kamu harus mati"
Bisikan itu masuk ke rongga telinga ku.
Lidah panjangnya menyapu muka, hingga basah oleh liur yang berbau amis itu.
Setelah semua hewan menjijikkan itu habis masuk kedalam tubuhku, tangan juga kepala itu secara bersamaan mundur melepaskan.
Aku hanya tersungkur kelantai, memuntahkan semua isi dalam perutku. Namun semua hewan yang masuk tadi tidak ada satu pun yang keluar.
Belum sempat bangkit, tangan itu sudah menjambak rambut, memaksa kepala ku melihat sosok yang kini berdiri membungkuk dihadapan ku. Sosok wanita kurus kering, tanpa pakaian, semua tulang terlihat. Dengan ekor yang ujungnya berambut.
Setan jenis apa ini, karena baru kali ini aku melihatnya. Belum berhenti disitu, dia membuka mulut sangat lebar lalu menelan seluruh wajah ku, yang aku lihat hanya jutaan belatung didalam sana, sampai semua tidak terlihat lagi.
Dimana sosok genderuwo yang biasa menolong ku, saat kejadian seperti ini, makhluk itu justru menghilang tanpa membantu. Bahkan bisikannya pun sama sekali tidak terdengar saat aku membutuhkan itu.
****
Ketenangan diri dimiliki bagi manusia yang berjalan apa ada nya, mensyukuri karunia Nya. Tanpa mencampur aduk kan kehidupan nyata dengan yang tak kasat mata. Beruntunglah bagi kalian yang hanya lurus meniti kehidupan, karena alam lelembut sangat mengerikan.
Mendapatkan berbagai teror ilmu hitam, juga ancaman ghaib seakan ini semua menjadi peperangan yang dipicu oleh sebuah penghianatan, andai semua ini dapat dibicarakan dan diselesaikan.
Harta benda tak berguna rasanya, tidak sanggup menolong, bahkan jadi benteng, dengan adanya perseteruan astral ini.
Bangkit dari duduk, langsung keluar kamar mencari manusia laknat yang masih asik duduk di sofa menonton TV. Dengan beringas aku menuju ke arahnya, aku sudah sangat diliputi oleh amarah yang membakar diri.
"Opo sing mbok lakoni arep nyilakani aku? opo salah ku kang?"
(Yang kamu lakukan apa mau mencelakai aku, apa salah ku kang?)
Tanya ku dengan penuh emosi.
Melihat amarah ku laki-laki yang terduduk itu pun terkejut, juga dengan muka yang kebingungan dia bangkit dari duduknya.
"Ono opo mas?"
(Ada apa mas?)
Dia bertanya dengan bingung.
"Kakean cocot kowe."
(Banyak omong kamu.)
Bentak ku dengan nada meninggi.
Lalu tangan kiri ku mencekik lehernya, mata sudah melotot menatap kearahnya, dia hanya berusaha mengelak.
"Mas sabar, mas, sampean kenopo?"
(Mas sabar, mas, kamu kenapa?)
Tanpa basa-basi lagi ku pukul wajahnya dengan tangan kanan ku, dengan sekuat tenaga. Sampai dia terjengkang dari atas sofa. Darah mengucur dari hidung. Masih dengan kepolosannya, dia mencoba menahan ku, kedua tangannya diarahkan ke depan, seperti menjadi pertanda menghentikan ku.
"Sek mas, aku temenan ora ngerti mas, sabar mas Bams, sabar."
(Sebentar mas, aku beneran tidak tau mas, sabar mas Bams, sabar.)
Ucapnya keluar dengan mimik yang memelas.
Menyaksikan itu aku menarik nafas, menahan emosi ku yang sudah sampai ke pangkal ubun-ubun. Meski badan masih bergetar karena kecamuk amarah yang harus aku redakan.
Tanpa sempat menerima penjelasan apa pun aku suruh pemuda itu pergi tinggalkan rumah.
Meski diluar sana sudah gelap, tanpa memperdulikan mau bagaimana dia sampai dirumahnya. Yang aku rasakan masih dengan lingkup jengkel dalam hati, cuma terdiam merenung lalu kembali kedalam kamar untuk merebahkan badan.
Karena sudah lelah, atau pengaruh badan yang terasa kurang enak, mata terpejam menuju tidur.
Setelah benar-benar terbuai lelap, sebuah lintasan mimpi aneh muncul.
Kembali melihat sosok almarhumah ibu sedang duduk di atas batu. Perlahan aku menghampiri sambil bertanya.
"Simbok, ngopo ning kene?"
(Simbok, kenapa di sini?)
Aku bertanya.
"Wes keblinger, sing ngati-ati anggonmu mlaku le anak ku. Kiwo, tengen mu kabeh bakal nyilakani urip mu!"
(Sudah keblinger, berhati-hati lah untuk mu berjalan anak ku, kiri, kanan mu semua akan mencelakakan hidup mu.)
Ucap simbok.
Aku tertunduk mendengarkan, yang bisa aku lakukan di alam mimpi ini. Tanpa menjawab apa pun. Terlihat batu yang diduduki simbok tiba-tiba berkobar menyalakan api yang sangat besar membakar tubuh orang tua ku.
Aku ingin berlari menyelamatkannya tapi yang ada kaki berat untuk melangkah. Sekuat aku berusaha namun sama sekali tidak bisa.
Mata ini menatap ibu ku yang terbakar, tangannya menjulur kearah ku seakan meminta pertolongan. Terlihat raut wajahnya sangat sedih, menangis.
"Mbok, simbok."
Teriak ku menjulurkan tangan, ingin meraih tangan nya.
Namun sampai api itu melahap tubuh wanita tua itu, aku tanpa bisa berbuat apa-apa.
Hanya ucapan nya terdengar.
"Le donga'no biyung mu, ojo leno marang kadonyan mu."
(Le doakan ibu mu, jangan terlena dengan duniawi mu.)
Ucapan itu sampai api semakin besar membakar orang tua ku. Tanpa menyisakannya lagi. Aku yang hanya terus berteriak, memanggil namanya, bersimpuh dalam tangis juga sesal.
Tersentak terbangun, mengusap mata ku yang penuh akan linangan air mata, menyebut lirih nama itu.
"Simbok."
****
Pagi ini aku mengambil dua tas besar, satu aku isi dengan pakaian, satunya lagi menjejali dengan tumpukan uang. Mengunci semua pintu, lalu melajukan mobil menuju kampung halaman ku, untuk sementara waktu mencari ketenangan diri.
Hanya meninggalkan pesan pada seorang yang bisa aku percaya, dia yang aku suruh untuk mencari orang pinter (paranormal). Memberi tahu kalau aku harus pulang kampung untuk meninjau pembuatan rumah di sana.
Diperjalanan sempat singgah untuk sekedar makan, namun sepanjang perjalanan serasa ada yang membuntuti. Apa hanya pikiran parno ku saja, bagaimana pun setelah mimpi semalam aku tetap harus waspada.
Disela makan juga teringat akan ritual yang tetap harus aku lakukan, tapi sedikit tenang karena malam purnama masih bulan depan.
"Pesan nasi pakai ayam bakar, minum nya es jeruk mbak." Kata ku pada pelayan warung.
"Iya mas, ditunggu sebentar." Jawabnya.
Tidak seberapa lama hidangan itu tiba, ayam bakar madu kesukaan ku.
Saat ingin menggigit paha ayam bakar itu di samping ku sudah duduk wanita yang berwujud hitam gosong sama persis seperti paha ayam yang ada ditangan ku. Perlahan ia menoleh, melirik kearah ku. Lalu menatap ku tanpa berbicara.
"Simbok."
Kata ku terkejut.
Seluruh badannya hangus terbakar, bahkan sisa asap masih terlihat keluar dari tubuhnya, hanya hembusan asap putih yg keluar dari mulutnya saat dibuka.
Aku letakan makanan itu, lalu hanya meminum es jeruk yg aku pesan, saat kembali menoleh kearah sosok tadi,
dia telah lenyap menghilang.
"Kenapa semua meneror hidupku?"
Tanya ku dalam hati.
Melihat ayam bakar didepan ku ini, bikin rasa lapar ini seketika hilang, yang terbayang justru simbok yang hangus itu.
Membayarnya lalu kembali melanjutkan perjalanan yang masih jauh. Beberapa kali panggilan masuk dari Surti aku abaikan, serasa muak dengan semuanya.
Apesnya lagi saat mengantri bensin disebuah pom, mata ku memandang laki-laki yang bernama Tommy, suami dari Nurhayati.
Ingin rasanya mencelakainya disini, menantangnya duel sebagai laki-laki, tetapi ada sebuah larangan dalam hati. Masih memiliki sedikit rasa belas kasihan pada nya.
****
Tanah itu sudah mulai digarap, pondasi, besi, dan rangka rumah sudah terlihat berdiri, sekat tanah yang dibuat oleh galian itu pun sudah dikerjakan oleh tukang. Beberapa orang masih sibuk mengerjakannya di sore ini, namun tidak terlihat pak Sarwidi sebagai mandor disitu.
"Kulonuwun."
(Permisi.)
Salam ku mengucap sambil mengetuk pintu rumah pak Sarwidi.
"Monggo."
(Silahkan.)
Suara wanita menjawab dari dalam.
Pintu dibuka dan terlihatlah Nurhayati dengan tatapan yang sedikit sayu, senyumnya menghias walau terlihat basa-basi.
"Bapak wonten dek Nur?"
(Bapak ada dek Nur?)
Tanya ku.
"Ohh bapak nembe kesah tumbas matrial mas dereng wasul, monggo ditenggo rumiyen."
(Ohh bapak baru pergi beli bahan bangunan mas, belum pulang, mari ditunggu dulu.) Jawabnya mempersilahkan masuk.
Dengan duduk diruang tamu sambil menunggu, ia pun pergi ke dalam. Tidak seberapa lama dek Nur keluar membawakan secangkir kopi, dan duduk menemani ku ngobrol. Pembicaraan kami seadanya, apa yang aku tanyakan dia hanya menjawab seperlunya dengan sopan.
"Memang gadis pujaan hati."
Batin ku membisik nakal.
Sambil menyeruput kopi dan menikmati rokok yang ditemaninya, membuat suasana hati ini tenang, bisa meredamkan peristiwa yang sedang aku alami.
"La mas Tommy mana dek?"
Tanya ku berbasa-basi.
"Mas Tommy wangsul seminggu sepindah mas, kerjo wonten kutho."
(Mas Tommy pulang seminggu sekali mas, kerja di Kota.)
Balas nya.
"La kerjo nopo?"
(Kerja apa?)
Lanjutku bertanya.
"Pabrik kayu lapis mas."
Jawabnya dengan menunduk.
"Walah gajine pinten niku? nopo cukup damel kebutuhan dek Nur?"
(Walah gajinya berapa itu? Apa cukup buat kebutuhan dek Nur?)
Tanya ku seakan mengejek nya.
"Njih lumayan mas, dipas-paske mawon."
(Ya lumayan mas, dipas-pasin saja.)
Jawabnya dengan raut wajah agak tidak suka.
Perbincangan itu terus mengalir sampai aku memberikan uang lima juta padanya. Tujuanku hanya ingin mengambil simpatinya, merebut hatinya dengan harta ku. Meski awalnya dia menolak, tetapi karena aku memaksa agar bisa dipergunakan jika perlu akhirnya Nur pun menerima.
Melihat cara berpakaian yang sedikit kedodoran mengundang mata ku untuk nakal, namun ketika memperhatikan perutnya yang membesar itu, muncul rasa malas melihat lagi.
****
Mengubur rasa itu tidak akan semudah mengubur harapan. Terkadang memperlihatkan senyuman meski menangis didalam hati, ketika masih mengharap cinta yang tanpa pernah tersentuh.
Dengan kecanggungan obrolan ini, kami kembali diam menyelimuti. Dia yang hanya tertunduk menyembunyikan wajahnya, aku yang hanya terus menatap tanpa berucap.
Singkuh, malu terlihat gelagat itu, sampai suara sepeda motor pak Sarwidi terdengar.
"We lah, wet wau mas?"
(We lah, Dari tadi mas?)
Tanya pak Sarwidi.
"Njih pak Sar, sakwetoro niki."
(Iya pak Sar, sudah lumayan lama ini.)
Jawab ku.
"Sekecakke mas, tak ngontrol sing mudunke matrial."
(Santai dulu mas, mau ngontrol yang turunkan matrial.)
Imbuhnya.
"Njih pak Sar, monggo."
(Iya pak Sar, silahkan.)
Kataku.
Pak Sarwidi yg hanya meletakan helm lalu kembali keluar, untuk mengecek kembali bahan bangunan yg mau dibongkar.
Aku yang tetap duduk disini masih sangat betah, Karena ditemani dengan wanita yang kini telah menatap ku.
"Dek Nur, kulo ajeng sanjang."
(Dek Nur, saya mau bilang.)
Aku membuka omongan.
"Sanjang nopo mas?"
(Bilang apa mas?) dengan suara Lembut.
"Pun dangu nek kulo niki, remen kalih dek Nur."
(Sudah lama kalau saya ini, suka dengan dek Nur)
Ucap ku memberanikan diri.
"Njih mas, kulo pun ngertos kok."
(Iya mas, saya juga sudah tau kok.)
Jawabnya.
Sungguh ungkapan yang seakan menyumbat mulutku, dan tidak bisa berucap apa-apa lagi.
Karena dia selama ini tau tetang rasa yang selalu aku pendam. Namun dari mana Nurhayati dapat menerka itu?
Apa terlalu terlihat jika sejauh itu aku menyembunyikan perasaan.
Ahh, makin berdebar terasa dalam hati, antara seneng juga kaget.
"Lah kok dek Nur ngertos?"
(Lah kok dek Nur bisa tau?)
Kini aku yang berbalik bertanya.
"Njih ngertos kawit riyen, kan mas Bambang sopan, ugi sae kalian kulo."
(Iya dari dulu kan mas Bambang sopan, juga baik kepada saya.)
Jawabnya dengan muka memerah.
"Yoh nanging wes duwek'e uwong."
(Yah tetapi sudah miliknya orang.)
Ucap ku menyindir.
"Maksud mas nopo?"
(Maksud mas apa?)
Tanya nya mendengar pernyataan ku.
"Aku nunggu awakmu, dadi duwekku."
(Aku nunggu dirimu, jadi milikku.)
Kata ku, sambil berdiri.
Lalu aku meninggalkannya terdiam dalam duduknya, melangkah keluar untuk melihat suasana diluar sore ini. Dan dengan ucap ku tadi pasti akan jadi pertimbangan buat Nurhayati, karena aku saat ini sudah memiliki segalanya dibandingkan dengan Tommy suaminya itu.
****
Karena hari sudah menjelang malam, dan disini pun tidak ada tempat untuk tidur, mau menginap dirumahnya pak Sarwidi juga sangat sungkan takut merepotkan. Mencari hotel di kota terdekat adalah menjadi gagasan pikiran ini, agar bisa beristirahat juga tenang dalam bersantai.
Kumandang adzan magrib terdengar, disaat surup ini lah aku memulail menuju kota. Waktu yang seharusnya berdiam diri untuk mendekatkan diri kepada Tuhan kala candikala mengusung gelap. Namun semua itu tanpa terlintas dalam pikiran.
Menyusuri jalanan yang mulai gelap ditepian sawah-sawah mulai meremang terlihat. Arakan burung terlihat bergerombol dikejauhan beranjak pulang.
Sisa sinar jingga di jauh tempat yang jauh itu,
sedikit memberi kesan indah, dan selintas didalam mobil di bangku pas dibelakang ku terlihat sosok wanita dengan rambut acak-acakan menutup wajah nya.
Kembali ku lihat melalu kaca sepion dalam mobil, namun wanita itu menghilang.
"Barusan apa ya?" Gumamku
Dari pada berfikir yg tidak bagus, "putar musik saja", pikirku. Namun suara yg keluar bukannya lagu dangdut kesukaan ku, tapi suara kemresek kayak radio tanpa sinyal. Aku keluarkan piringan kaset vcd, lalu memasukannya kembali, tapi hasilnya sama saja.
"Iki ngopo, malah rusak."
(Ini kenapa, malah rusak.)
Gerutu ku.
Menepikan mobil, mengecek DVD dgn mengutak-atiknya, memencet tombol sesuka hati, tetap saja sama, perlahan mulai ada suara ditengah berisiknya storing sound mobil.
Suara bayi menangis dari samar-samar, sampai jelas terdengar.
"Loh, sejak kapan megi z, ada backsound bocah nangis!" Seru ku kebingungan.
Selain suara tangis bayi kini juga terdengar suara wanita.
"ingat aku, wanita yang kamu bunuh bersama anak bayi ku? "
Suara itu jelas terdengar.
"Opo sih iki?"
(Apa sih ini?)
"Aku dan anak ku, kamu tabrak tanpa bertanggung jawab, aku akan menuntut balas." Katanya.
Suara wanita juga bayi menangis itu mengingatkan ku pada kejadian waktu itu,
saat aku secara tidak sadar menabrak seorang ibu juga anak bayi yang digendong nya. "Apa ini roh mereka?"
Cepat kilat mematikan DVD itu, kembali menjalankan mobil.
Tidak lama benda itu menyala sendiri, tanpa tersentuh. Dan kembali terdengar tangisan bayi juga perkataan wanita.
"nyawa, dibalas nyawa."
Hanya menelan ludah yang terasa getir, Dan juga merasakan ada ketakutan yang menyelimuti. Rasa resah kembali muncul mengingat akan kasus tabrak lari waktu itu. Mencoba abaikan semua itu fokus berkendara, sampai didepan sana sudah terlihat jembatan yang disampingnya tumbuh pohon-
pohon beringin sangat besar, dari dulu area ini menjadi momok buat warga yang melintas disini. Tempat angker. di siang hari saja terlihat horor, apa lagi saat ini sudah malam hari.
Semakin laju mengegass kendaraan menembus malam yang kini sudah mulai berkabut,
jarak pandang tidak seberapa jauh ke depan membuat aku kembali pelan, hanya seperti tertawa samar terdengar.
"Ada ketawa wanita, aku sedang dalam mobil bagaimana itu terdengar?"
Batin ku.
Perjalanan yang tertempuh namun seakan tanpa memiliki ujung. Aku sangat hafal jalur ini, jalan dari desa menuju kota, tapi jalan ini seakan berbeda. Apa karena tertutup kabut malam?
Tidak seberapa lama, kembali didepan sana terlihat pohon beringin besar juga jembatan tadi yang sudah jauh aku tinggalkan.
Kedua kalinya melalui jembatan ini, sangat aneh, tapi tetap aku lanjutkan.
Sekitar satu jam menyetir agak sedikit lega karena dari kejauhan sudah terlihat lampu-lampu kota. Dengan menghela nafas panjang, merasa tenang melewati jalur angker tadi.
****
Sebuah penginapan yang halamannya cukup luas, terparkir banyak mobil juga motor disana, menandakan banyaknya tamu yang menginap di losmen ini.
Tanpa pikir panjang langsung memarkirkan mobil ku dihalaman.
Bangunannya cukup unik, seperti rumah bersusun, dengan plang nama penginapan, taman yang dihias dengan kolam kecil, dengan pencahayaan beberapa lampu.
Memasuki koridor yang ada empat anak tangga sebagai pijakan awal, lalu jalan masuk kelorong. Disitu ada meja penerima tamu.
"Malam mbak, masih ada kamar kosong?"
Tanya ku.
"Ada mas, untuk berapa orang?"
Wanita itu bertanya.
"Satu saja, saya sendiri."
Jawab ku.
"Ini untuk kamar satu kasur, juga sudah tersedia kelengkapannya, ini daftar harga nya."
Petugas losmen itu menyodorkan buku harga kamar.
"Baik saya pilih yang ini, bayar dimuka atau nanti waktu cek out?"
Aku kembali bertanya.
"Nanti saja mas, mari saya antar."
Katanya ramah.
Sebelum diantarnya wanita itu pun memberikan dua handuk besar, juga handuk kecil. Sikat gigi, odol, juga sabun berukuran kecil.
Kamar yang tak begitu luas, lumayan untuk malam ini bisa tidur nyaman. Dengan harapan bisa nyenyak tanpa gangguan mimpi yang aneh-aneh lagi. Karena hampir setiap tidur mimpi yang hadir pasti seram.
****
Malam itu saat mata sudah terpejam, Tiba-tiba terasa dingin, seperti kasur yang aku tiduri ini basah. Bantal yang semula empuk kini serasa mengganjal keras di kepala.
Tangan meraba mencari selimut tapi tidak ketemu, yang tersentuh justru seperti rumput, atau pohon kecil.
Perlahan aku sadarkan pikiran ini sembari membuka mata. Terkejutnya aku, sudah tertidur di cungkup kuburan, dikerubuti oleh berbagai makhluk yang menatapku nanar. Beberapa sosok mengerikan seperti pocong dan kuntilanak dengan jumlah yang banyak berkumpul mengelilingi.
Seketika aku terduduk dengan nafas yang sangat sesak ngos-ngosan, diantara sela pahaku ada kepala tanpa rambut, muka nya putih, matanya semua hitam, barisan giginya hitam saat tertawa. Aku hanya teriak lalu mencoba mundur.
Namun kepala itu menggelinding mengikuti. Sampai dibelakang ku sudah berdiri kuntilanak dengan ketawa menakutkan, sosok itu membungkuk kearah ku, menyeringai dengan mata hitamnya melotot lebar.
"Tolong... tolong....
Teriak ku memanggil pertolongan.
Namun riuhnya dedemit itu semakin mendekat dengan ketawa, pocong berlompatan semakin dekat, kuntilanak juga melayang kearah ku.
Kepala disela selakangan ini, terus tersenyum, matanya memandang tajam kearah ku.
Tangan pocong-pocong itu mulai keluar dari kafan kotornya, para kuntilanak pun sama menjulurkan tangan-tangannya. Hingga semua merayap, mengelus, menyentuh semua tubuh ku tanpa tersisa.
Tangan busuk itu terus memenuhi, mendekap, sampai mulut juga hidung ku susah bernafas.
Mencoba meronta hanya itu yang bisa, namun cengkraman tangan dari setan-setan itu menekan tubuh ku, membenamkan ku kedalam liang kubur.
Sampai ada beberapa tangan yang menjambak rambutku dari dalam, menarik tubuh ini, menyeret dengan mencengkram, leher, tangan, juga kaki, semua menarik kebawah.
Terus dibawa masuk, meperlihatkan semua lelembut diatas sana seakan mengantarkan ku ke dalam liang lahat ini.
Tatapan mereka semua mengerikan, dengan wajah menakutkan.
"Aaaaaaaaaaaa....
Teriak ku.
****
Lanjut besok 😴
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
“Aku lagi naik motor sama temenku. Ceritanya mau liburan ke Pantai Gunungkidul. Gak tau kenapa, tbtb pandanganku gelap beberapa detik, kayak ada yang nutupin mataku. Pas normal lagi, di depanku udah ada BAK TRUK. “BRAK!” Aku nabrak, aku lgsg jatuh ke tengah jalan. Kejadiannya cepet banget. Mobil dari belakang nelindes kakiku. Aku koma 12 hari.”
a thread
#bacahoror #bacahorror @IDN_Horor
Gak cuman warga sekitar yang menyimpan kecurigaan. Saya rasa, hampir semua orang di desa ini menyimpan pertanyaan yang sama. Bagaimana bisa, keluarga yang awalnya begitu melarat, menjadi super kaya dalam hitungan minggu. Sebuah pola lama yang terus terjadi. Cerita lama yang tak akan habis dicertikan sepanjang keturunan.
Semua itu bermula ketika Arum masih kecil. Dulu Pak Seno, bapaknya Arum ini kerja diperusahaan besar di jogja dan ekonomi keluarga mereka bisa dibilang cukuplah.
kisah nyata
"NIAT MERANTAU MAU KERJA, MALAH SETOR NYAWA"
Menurut cerita dari warga, dulu, di rumah itu pernah ada tragedi pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa orang dan di dalangi oleh adik kandung yang punya rumah. lalu dia berhasil di habisi dengan cara di sembelih tepat jam 12 malam di dalam kamar . Tapi sebelum dia meninggal, dia sempet bersumpah....
a thread horror
#bacahorror #asupanhorror @IDN_Horor
Mereka menghabisi nyawa si pemilik rumah karena sudah gak tahan sama kelakuan dan kejahatan yang di lakukan pada warga sekitar. Termasuk sama keluarganya sendiri.
Lalu si pemilik rumah berhasil di habisi setelah di rencanakan lama. Karena si pemilik rumah itu punya banyak ilmu, makanya yang ikut terlibat itu gak cuman 1 atau 2 orang aja, tapi banyak orang.
Dan setelah menentukan waktu yang tepat, berdasarkan anjuran dari orang2 yang tau ilmu kebatinan, di malam kelahirannya , jadi malam tragisnya.
Seperti yang kita tau, santet itu adalah praktik ilmu hitam yang melibatkan kekuatan gaib untuk menyakiti orang lain dari jarak jauh. Biasanya, santet digunakan oleh orang untuk balas dendam. Entah itu mau bikin si korban sakit atau bahkan langsung meninggal.
Dan metode ini banyak dipercaya diberbagai budaya di asia, termasuk di Indonesia. Karena selain gampang juga menjadi salah satu cara gaib yang punya efek langsung pada fisik maupun psikis korban.
“Kalo nanti gagal ya kamu tetep mati mas. Cuman bedanya kamu matinya di sungai bukan di rumah saya.”
MERINDING!! Ada salah satu sungai di jogja yang ternyata pernah dipake buat ritual Kungkum Kedung.
A thread horor
#bacahorror
Nah kemarin ada follower dari tiktok yang ngirim DM. Pas saya buka, ternyata dia ngirim gambar sama video sungai, yang mana, di Lokasi itu ada semacam tempat buat ritual.
Karena merasa tertarik, saya lanjut bales chatnya.
Disini kita sebut aja namanya mas Eko. Dia cerita, jadi malem itu dia sama temennya rencana mau nyari spot buat mancing. Pas udah nyampe Lokasi yang di rasa pas, mas eko sama temennya ini turun buat nyari tempat yang enak buat mancing dipinggir sungai.
KELUARGA WONGSO Kaya 7 turunan di kota kecil diperbatasan selatan jawa timur.
thread horor
#bacahoror @IDN_Horor
Pernah denger kaya 7 turunan? Tapi gmn ceritanya kalo belum sampe keturuan ke7 tapi udah ngelakuin hal yang gak sesuai dengan aturan mainnya?
Nah ini ada 1 kisah yang terjadi di beberapa tahun silam, diperbatasan kota kecil di Selatan jawa timur. Dan Kisah ini diceritakan oleh narasumber yang kita sebut aja namanya mbak novi.
masuk daerah limpung, aku lupa nama jalannya apa. liat jam 23:45, kita masuk gapura muter2 nyari jalan lama banget sampe nemuin hal-hal aneh. aku liat jam di tangan, hape sama di layar mobil itu jam nunjukin 23:45!!
Anjir kita panik, bisa keluar apa kagak!
#bacahorror
ini kejdiannya udah lumayan lama sekitar tahun 2016-2017 yang lalu. Namaku nanda (samaran) aku sama sodaraku habis liburan di jogja. Singkatnya, pas perjalanan balik ke Jakarta, kita mulai dari magelang, karena mampir dulu ke rumah temen. Habis isya kita gas lagi.
Kita mutusin buat lewat pantura. Buka hape nyalain google maps. Di arahin tuhh pantura via limpung yang tembusnya jalan pantura batang. awalnya biasa aja, gak ada kejadian2 aneh. Masuk di jam 10 malem, kita memasuki Kawasan limpung.