Seberapa dekat teman, jika ia melewati batas, kukira kita berhak menyampaikan keberatan dan rasa kesal kita. Ada beberapa hal yang tak perlu dibuat lelucon, ada beberapa hal yang tak perlu diulang-ulang karena itu traumatik, dan teman semestinya bisa jadi ruang aman bersama.
Misalnya jika kamu dan mantanmu berada dalam satu lingkar pertemanan yang sama. Kamu bisa minta mereka untuk berhenti menyindir, memancing, atau memaksamu bercerita soal hubungan yang gagal itu. Kamu bisa minta mereka berhenti meledek soal perpisahan kalian dan itu wajar.
Ini juga berlaku pada isu yang lain. Kesehatan mental, keluarga, pekerjaan, pertemanan, atau apapun yang menurut kalian personal dan tak ingin diumbar ke publik. Teman tak punya hak untuk meledek trauma yang kamu miliki. Apalagi memaksamu buat tertawa atas lelucon yang buruk.
Aku belajar ini dengan cara yang komikal dan menyedihkan. Dulu paling seneng meledek gagalnya percintaan teman. Saban berjumpa aku ulang lelucon buruk itu hingga akhirnya ia marah. Sekarang setelah putus, mengalami sendiri, rasanya kaya diberakin babi. Kesal dan malu luar biasa.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Aku senang sekali isu soal pembajakan buku beberapa hari ini naik. Mungkin karena imbas peraturan Royalti musisi. Para pekerja di Industri buku juga merindukan dan membutuhkan ini. Terutama dari perspektif perlindungan hak para pekerja. Mulai penulis, penerbit, dan lainnya.
Kenapa perlindungan terhadap hak cipta penting buat membabat habis para pembajak? Ya karena ekosistem perbukuan Indonesia ini selain diinjak sama pajak, rabat toko buku, dan harga kertas, ya karena pembajakan yang gila-gilaan. Padahal ya pekerjanya tetep mlarat.
Sempet dengar pekerja buku di Jakarta dibayar murah. Lalu inget tulisan @bulansafar dua tahun lalu. Kalau tau berapa upah pekerja buku Jogja (dibanding biaya makan kuda kraton sebulan) sepertinya bakal jedotin kepala ke tembok. Pengabdian pekerja buku di Jogja ni level sumeleh.
baca lagi tulisan lama soal buku, merasa bersyukur, bahwa mungkin hidupku sekarang jauh lebih bermutu dan berkembang dari yang lama. dulu aku itu book snob yang sok tau dan sok iya. menganggap segala yang mainstream dan laku itu dicurigai bermutu buruk dan selera pembaca buruk
sekarang sih kayanya menyadari bahwa membaca itu kegiatan yang personal, peristiwa yang intim antara buku dan manusia yang membacanya, menghakimi selera orang sepertinya kegiatan sia-sia. memang apa salahnya membaca buku arus utama atau buku book seller?
riwayat membaca adalah sejarah personal dari pembacanya. ya mungkin ada satu dua orang atau hal yang bisa mempengaruhi pembaca, tapi selera semestinya berkembang, kecuali memang ingin zuhud menjadi pembaca yang tunduk pada satu genre/penulis/tema, ya itu bisa jadi problem