Pada Kamis (16/7/2020) melalui unggahan videonya, Gus Miftah tampak datang ke Kantor Balai Kota Provinsi DKI Jakarta. Mengenakan masker, keduanya ngobrol santai.
"Saya hari ini bersama Mas Anies. Njenengan iki (Anda ini) Arab apa Jawa sih mas?" tanya Gus Miftah yang memakai blangkon hitam berstrip hijau.
"Wong Yogjo (Orang Yogya) senengane gudeg (hobinya makan gudeg)," jawab Anies dengan logat Jawa Jogja yang kental.
Unggahan itu cepat menuai reaksi.
Menjadi pribumi memang dibutuhkan ketika ingin nyapres meski tak ada aturan tertulis atas hal tersebut. Itu lebih tampak seperti demi mendapat dukungan.
Cerita di atas adalah murni berita. Bahwa saya kaitkan dengan keinginqn pak Anis menjadi Presiden, itu subyektif.
***
INTERMEZZO.
.
.
.
Dua orang tampak tergesa memasuki kantor kependudukan setempat. Satu beretnis Arab, yang letni etnis Tionghoa.
"Selamat pagi" ucapan santun terdengar dari petugas kantor tersebut. Keduanya diterima oleh dua petugas dalam satu baris meja yang sama.
"Ada yang bisa dibantu?" Salah satu petugas kantor kependudukan tersebut bertanya sambil mempersilakan duduk pada yang beretnis Tionghoa.
"Ya pak..., saya ingin membuat akte perubahan nama saya
(Pada jaman orde baru, ganti nama adalah hal wajib bagi etnis Tionghoa)
Seperti sudah tahu maksud dan tujuan tamunya, dengan sigap si petugas itu telah mengambil formulir sesuai peruntukannya.
"Untuk keperluan apa pak?"
"Macam-macam. Yang penting nama saya di KTP tidak terdengar seperti nama China lagi. Repot urusannya pak".
Tanpa sedikitpun memunjukkan ekspresi pada raut wajahnya seolah itu sudah menjadi hal umum atas jawaban tamunya, petugas melanjutkan :
"Sesuai nama KTP lama, nama anda Tjia Wan Sen. Anda sudah siapkan nama pengganti?"
"Sudah.."
"Siapa?"
" Kasnowo Diponegoro" 🙄
Petugas tersebut menulis nama termaksud tanpa sedikitpun ekspresi tampak pada wajahnya.
"Kas-no-wo Di-po-ne-go-ro" sambil menulis dia mengeja nama tersebut.
"Keren banget namanya pak..,gak keberatan?" kali ini nada suaranya terdengar seperti menahan geli.
"Gak..!! 😡"
"Biasanya, ini biasanya lho pak.. nama pasti punya arti. Ada artinya?"
"Ada!"
"Apa?"
"Bekas Cino Dadi Jowo."😣
"Itu Kasnowonya ya pak... Diponegoronya?"
"Dipekso Negoro."
"Hahahahaha...,ha...ha...😁😂"
Suara tawa terdengar dari meja sebelah di mana tamu kedua sedang duduk dan dilayani petugas yang berbeda.
Suara tawa itu justru semakin menjadi jadi ketika Tjia Wan Sen menengok tak puas dan berusaha mencari tahu dari mana sumber suara itu.
"Bapak ngeledek saya?" Kali ini Wan Sen benar benar tak senang. Dia berdiri dan hampir berjalan ke arah di mana tamu beretnis Arab itu duduk.
"Tidak pak... Hahaha...🤣 lucu saja saya dengarnya. Maaf, maaf.." tamu kedua itu menjawab dengan tampak wajah benar-benar merasa lucu namun tidak bermaksud menghina Tjia Wan Sen. Dia berdiri dan segera menjulurkan tangan kanannya :
"Perkenalkan, nama saya El Kenthir Bass'edan"
"Tjia Wan Sen"
"Kita punya urusan yang sama boss"
"Pak El Kenthir juga urus balik nama?"🙄
"Ya benar..!!"
"Ngapain balik nama? Bapak kan gak repot dengan menyandang nama itu, malah keren kan pak? Bisa buat cari duit lagi..! Mo ganti nama jadi apa pak?"
"Ardidjo Menggoro..😎"
"Normalnya Ardidjo Menggolo pak, pakai L bukan R..!"
"Justru itu pak, saya suka pakai R daripada L"
"Aneh..🤔, trus ada artinya?"
"Ardijo, Arab Dadi Jowo."
"Koq niru-niru saya? Menggoronya?"
"MEKSO NEGORO hahaha..."🤭🤭🤭
"Laahh kok Mekso Negoro?? Bapak mau...?"
"Jadi Presiden..!!"
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
SRI MULYANI DAN BASUKI HADI MEMANG DUA TANDUK JOKOWI
.
.
.
Basuki Hadimuljono dan Sri Mulyani sepakat untuk menunda waktu pemberlakuan Tapera.
“Dari kapan ke kapan?”
Dari tahun 2027 ke waktu yang belum beliau sebut.
“Emang pak Jokowi ingin Tapera itu diberlakukan lebih cepat?”
Dalam PP terbaru, PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020, beliau bicara terkait iuran wajib. Jokowi memberlakukan iuran wajib Tapera bagi pegawai negeri maupun pegawai swasta.
Harus diingat, PP itu lahir karena perintah konstitusi. Presiden wajib mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) setelah DPR mengesahkan sebuah UU, dalam hal ini UU No 4 tahun 2016 Tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Para wakil rakyatlah yang menggagas, mendiskusikan, mengesahkan UU itu dan lalu konstitusi mengharuskan Presiden membuat PP nya.
Dan Jokowi melalui PP terbaru tersebut tidak bicara atau merubah jangka waktu. Itu masih sama dengan isi PP lama, PP Nomor 21 tahun 2020 yakni 7 tahun atau tahun 2027.
Bantèng perkasa jelas adalah Jokowi. Dia memporak porandakan kemapanan tanpa teriak jumawa. Konon hanya dengan kerja, kerja dan kerja, tiba - tiba dia melampaui ekspektasi banyak pihak.
Sama seperti bantèng seharusnya, Jokowi pun bersenjatakan dua tanduknya, BASUKI dan Sri Mulyani.
Ketika kita bicara duet dua orang ini, ribuan kilometer jalan sebagai urat nadi sebuah bangunan ekonomi negara dengan puluhan bandara serta puluhan pelabuhan dan ribuan infrastruktur dalam bentuk lain terbangun melayani publik plus dengan fiskal terjaga adalah bukti tak terbantahkan.
Luar biasanya, sebagai orang yang sudah dianggap pahlawan, keduanya tak bicara politik, pun posisi. Tak bicara pilkada apalagi pilpres untuk karir dirinya. Berdua, mereka bekerja profesional hanya pada tupoksinya saja. Basuki bertempur di ranah eksekusi, Sri Mulyani menyediakan semua pelurunya sambil tetap menjaga ruang fiskal yang ada.
Sebagian besar dari kita pernah sangat berharap bahwa UU Perampasan Aset Koruptor benar bisa diberlakukan. Tapi harapan itu pupus saat hampir semua fraksi di DPR tak beranjak ingin membuat tuntas RUU tersebut.
Kita marah pada perilaku banyak pejabat negara ini yang tanpa malu - malu maling duit negara. Lebih lagi, kita muak dengan aturan hukum yang ada manakala si pejabat divonis penjara tapi justru masih dapat perlakuan istimewa di penjara.
Mereka seolah adalah adalah kaum istimewa negeri ini. Mereka jelas bukan bagian dari kita manakala diksi rakyat kita gunakan. Mereka bukan kita dan maka kita sepakat bila RUU Perampasan Aset Koruptor itu diundangkan.
Namun ketika kita bicara tentang sibuk aparat bea cukai yang belakangan ini rajin pungut pajak atas barang bawaan kita dari luar negeri, kita marah. Kita tak sepakat dengan perlakuan mereka pada banyak saudara kita. Kita marah karena bisa jadi kitalah suatu saat nanti adalah si korban.
“Tapi bukankah aparat itu belakangan ini benar keterlaluan?”
Sesekali kita pantas menggunakan angle berbeda. Kita lihat dari sudut yang tak banyak dibicarakan orang terutama sudut pandang orang - orang yang sedang merasa dirugikan.
Tak ada salahnya sesekali kita sedikit melambung dan melihat dari sudut yang sulit dimana justru keributan belakangan ini adalah bias perlawanan para pengemplang pajak yang selama ini sukses bermain dengan oknum bea cukai itu sendiri. Para pelaku jastip misalnya.
JANGANKAN INDONESIA YANG SANGAT KAYA DENGAN RAGAM BUDAYANYA| bahkan Arab Saudi negeri berlimpah minyak saja kini melirik industri pariwisata. Ada potensi devisa sangat besar yang sedang ingin mereka rebut.
Ga tanggung - tanggung, pada sektor ini mereka mentargetkan kontribusi sekitar 10 persen dari GDP pada tahun 2030 dan menerima 100 juta wisatawan per tahun dan menyediakan satu juta pekerjaan.
Tak seperti bangsa kita yang sangat kaya dengan budayanya, mereka membangun konsep wisata mewah.
Beberapa proyek pariwisata ambisius itu diantaranya adalah kota futuristik Neom di Provinsi Tabuk, barat laut negara yang menghadap Mesir di seberang Laut Merah.
BUDIMAN SUDJATMIKO, DIA PASTI ADALAH SIAPA - SIAPA
.
.
.
Kalau saat ini dia benderang berada di sisi sebelah Ganjar misalnya, 100 persen pasti gak ada kisah bulian padanya. Seratus persen ga ada ungkit mengungkit dosa - dosanya yang benar - benar sangat sulit dicari.
Budiman terlalu lurus. Bisa dibilang dia satu dari sejuta politisi kita yang idealis dan maka tetap miskin tanpa data deretan mobil mewah di garasinya.
Dan lalu, ketika korupsi sebagai penyakit paling lumrah yang selalu diidap oleh banyak politisi kita tak pernah bisa menjangkitinya, dia dikuliti soal kemiskinannya. Hutang - hutang pribadinya menarik hati dan minat para pencari dan pencatat dosa.
Berharap Budiman playing victim terhadap pemecatannya, percayalah itu tidak akan pernah terjadi. Budiman jauh dari sifat itu. Sejarah mencatatnya..
Berbeda dengan banyak politisi yang langsung berungkap marah ketika dipecat, dia justru dengan santun mengucapkan terimakasih telah bersama partai sekian puluh tahun.
Terhadap pemecatannya, Budiman hanya akan menjadi semakin besar. Sejarah juga sudah mencatatnya.
Ingat heroik kisah kudatuli 1996 di markas PDI Diponegoro 56? Dia dihabisi oleh rezim Orde Baru karena cita - citanya akan demokrasi. Butuh Jakarta harus dibakar oleh penguasa hanya untuk menghentikan langkahnya menuntut demokrasi itu.