Kekhususan makna tongkat estafet atas pemerintahan Jokowi dalam cara pandang PDIP tentu berbeda dengan banyak partai peserta pemilu 2024 nanti.
Nawacita dan Revolusi mental mendapat titik tumpu dan bagaimana Indonesia pada 2024-2029 nanti harus tersambung erat dengan apa yang sudah Jokowi lakukan selama 10 tahun.
Ada sesuatu yang agak janggal pada peristiwa Semarang kemarin. Seorang Ganjar yang notabene adalah Gubernur Jawa Tengah sekaligus kader PDIP justru tak tampak hadir. Kabar kita terima, dia memang tak diundang.
Dalam cara logis cara kita berpikir, peristiwa itu memang sulit kita terima sebagai kewajaran. Adakah agenda logis dapat kita tafsirkan atas kejadian Semarang?
Ketika kita berbicara tentang capres 2024, entah kenapa selalu muncul 4 nama Prabowo, Ganjar, Anis dan Ridwan Kamil dalam posisi teratas. Bila ada 100 survey pun, ke 4 nama itu kembali muncul.
Dalam hal PDIP sebagai partai besar tak ingin wilayah prerogatifnya diintervensi oleh (aktor) kekuatan dari luar partainya (lembaga survei), Puan mencoba berbicara dengan cara berbeda.
Puan sebagai Ketua DPP PDIP ingin membuat pesan bahwa calon Presiden 2024 nanti bukan atas penggiringan opini (lembaga survey) dengan tak mengundang salah satu kadernya yang justru menempati ranking tertinggi pada banyak survey yang ada.
"Salahkah?"
Bahwa publik kemudian berbicara seolah hal tersebut adalah agenda penyingkiran Ganjar, itu jarak logis kita berbicara. Masuk akal.
Puan yang saat ini menjabat sebagai Ketua DPR RI sekaligus sebagai anak biologis Megawati sang Ketum PDIP pemilik prerogatif
atas siapa calon presiden dari partai tersebut akan diajukan, pada namanyalah hal tersebut mudah kita tebak.
Benarkah?
Pada peristiwa Jokowi, spesifik penyebutan pernah disampaikan oleh almarhum Taufik Kiemas, ayah Puan "Jokowi bukan sebagai prioritas utama yang akan diusung partai."
Pada Ganjar, hal tersebut hanya tersirat.
Artinya, Ganjar tidak serta merta menjadi BUKAN capres dari PDIP. Paling tidak peristiwa tahun 2012 dapat menjadi rujukan di mana setelah nama Jokowi disebut bukan capres dari PDIP, 2 tahun kemudian beliau terpilih menjadi Presiden RI ke-7.
Nama Megawati sebagai yang seharusnya menjadi capres dari PDIP tak serta merta meruntuhkan hak bagi anggotanya yang memenuhi syarat. Ini fakta bukan reka-reka.
Pada peristiwa Semarang kemarin, seharusnya nalar berpikir kita pun mampu menangkap esensi di balik cerita fakta tersebut. PDIP adalah Partai dewasa.
Di sisi lain, debat penyingkiran Ganjar pada peristiwa Semarang pun bukan tak mungkin justru sengaja diciptakan demi efek SBY.
Kita tahu SBY terpilih pada 2004 salah satu faktornya adalah karena munculnya isu pen-dzoliman.
Peristiwa memancing iba publik yang menghasilkan efek dramatis.
Dalam politik, siapakah yang tahu pasti bahwa hitam adalah hitam dan tak ada tersembul semburat abu-abu di sana?
Dalam politik, tak ada kepastian baku dalam berbicara. Selalu tentang bercabang dan tak mudah ditebak.
Kita terbawa suasana itu. Kita larut pada saling dukung antara Ganjar atau Puan. Menjadi aneh, ketika kita justru lupa pada berita tak ada pilkada pada 2022 nanti.
Cara kita bersikap dalam debat peristiwa Semarang dengan mencaci atau membenarkan tindakan Puan telah menjauhkan logis cara kita bertindak.
Kita lupa, bahwa siapa penerus Jokowi sangat mungkin adalah dia yang akan diperkenalkan sendiri oleh sang Presiden kelak.
Entah kapan simbolik peristiwa tersebut akan kita saksikan, Jokowi pasti akan melakukannya.
Kita tak terpancing untuk menoleh tahun 2022-2023 nanti di mana ada 24 Gubernur dan 224 Walikota dan Bupati akan diisi oleh Pj.
Ingat, bukan Plt tapi Pj di mana ruang lingkup kewenangannya tak banyak berbeda dengan pejabat yang akan digantinya.
Info yang beredar, khusus jabatan Gubernur, Presiden yang akan memilih siapa duduk di sana.
Untuk jabatan setingkat Walikota dan Bupati, Mendagri adalah sang pemilik peran tersebut.
Dengan Mendagri bukan berasal dari partai tertentu, siapakah akan diajak berbicara? Sekali lagi presiden.
Tiba-tiba, 24 Provinsi dan 224 daerah setingkat Kabupaten dan Kota berada dalam kontrol langsung Presiden. Tidakkah hal tersebut tampak seperti kekuatan melebihi partai mana pun juga?
Siapa pun, yang suatu saat nanti akan disebut dan dinominasikan oleh Presiden, sepertinya dialah yang akan duduk pada kursi RI 1 pada 2024.
Bukan hanya siapa calon yang akan diusung oleh partai politik, bahkan dia yang hari ini menempati urutan teratas pada survei elektabilitas capres pun tak memiliki dasar pijakan yang kuat. Itu seperti baju baru hari ini tapi tak terlihat modis pada 2024 nanti.
"Kira-kira, kriteria seperti apa yang akan dipilih oleh pak Jokowi?"
Tetap mengutamakan kader PDIP, sepertinya adalah pilihan paling realistis. Berbincang dan berdiskusi dengan bu Mega sebagai Ketum PDIP dalam memilih siapa penerusnya tetap menjadi keutamaan.
Artinya peluang Ganjar tidak tertutup karena peristiwa Semarang tersebut, namun bukan lagi akan dilihat dari sisi elektabilitasnya hari ini. Setinggi apa pun.
Selain Ganjar, sepertinya di sana juga akan muncul nama Risma dan Budiman Sudjatmiko.
Hal itu tampak ketika keduanya belakangan ini terlihat mulai dimunculkan.
Risma terlihat saat yang bersangkutan diminta menjadi Mensos. Kiprahnya pada jabatan Mensos hingga tahun 2024 nanti akan menentukan karir berikutnya.
Sementara pada Budiman, salah seorang tokoh reformasi yang hari-hari ini terlihat sibuk mengelola Bukit Algoritma, bukan mustahil sengaja dimunculkan dengan maksud.
Ini terkait erat dengan pondasi yang sudah dibangun dan dipersiapkan oleh Presiden selama 10 tahun jabatannya. Indonesia menuju era tinggal landas dan teknologi menjadi sektor andalan bagi bangsa ini adalah mimpi besar Presiden Jokowi.
Sukses proyek Bukit Algoritma yang sedang digarap Budiman sebagai dasar pijakan bagi awal langkah bangsa ini ingin melompat masuk pada era industri 4.0 , bukan mustahil adalah tes masuk bagi yang bersangkutan.
Ganjar, Risma dan Budiman, ketiganya adalah kader hebat PDIP. Ketiganya telah mengabdi dan berkarya dalam rentang waktu panjang pada partai berlambang Banteng itu.
Loyalitas ketiganya pada negara dan bangsa tak lagi harus diragukan. Kredibilitas mereka bertiga sebagai pribadi, sepertinya sudah lebih dari cukup. Salah satu dari ketiga orang itu layak menjadi penerus Presiden Jokowi.
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
SRI MULYANI DAN BASUKI HADI MEMANG DUA TANDUK JOKOWI
.
.
.
Basuki Hadimuljono dan Sri Mulyani sepakat untuk menunda waktu pemberlakuan Tapera.
“Dari kapan ke kapan?”
Dari tahun 2027 ke waktu yang belum beliau sebut.
“Emang pak Jokowi ingin Tapera itu diberlakukan lebih cepat?”
Dalam PP terbaru, PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020, beliau bicara terkait iuran wajib. Jokowi memberlakukan iuran wajib Tapera bagi pegawai negeri maupun pegawai swasta.
Harus diingat, PP itu lahir karena perintah konstitusi. Presiden wajib mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) setelah DPR mengesahkan sebuah UU, dalam hal ini UU No 4 tahun 2016 Tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Para wakil rakyatlah yang menggagas, mendiskusikan, mengesahkan UU itu dan lalu konstitusi mengharuskan Presiden membuat PP nya.
Dan Jokowi melalui PP terbaru tersebut tidak bicara atau merubah jangka waktu. Itu masih sama dengan isi PP lama, PP Nomor 21 tahun 2020 yakni 7 tahun atau tahun 2027.
Bantèng perkasa jelas adalah Jokowi. Dia memporak porandakan kemapanan tanpa teriak jumawa. Konon hanya dengan kerja, kerja dan kerja, tiba - tiba dia melampaui ekspektasi banyak pihak.
Sama seperti bantèng seharusnya, Jokowi pun bersenjatakan dua tanduknya, BASUKI dan Sri Mulyani.
Ketika kita bicara duet dua orang ini, ribuan kilometer jalan sebagai urat nadi sebuah bangunan ekonomi negara dengan puluhan bandara serta puluhan pelabuhan dan ribuan infrastruktur dalam bentuk lain terbangun melayani publik plus dengan fiskal terjaga adalah bukti tak terbantahkan.
Luar biasanya, sebagai orang yang sudah dianggap pahlawan, keduanya tak bicara politik, pun posisi. Tak bicara pilkada apalagi pilpres untuk karir dirinya. Berdua, mereka bekerja profesional hanya pada tupoksinya saja. Basuki bertempur di ranah eksekusi, Sri Mulyani menyediakan semua pelurunya sambil tetap menjaga ruang fiskal yang ada.
Sebagian besar dari kita pernah sangat berharap bahwa UU Perampasan Aset Koruptor benar bisa diberlakukan. Tapi harapan itu pupus saat hampir semua fraksi di DPR tak beranjak ingin membuat tuntas RUU tersebut.
Kita marah pada perilaku banyak pejabat negara ini yang tanpa malu - malu maling duit negara. Lebih lagi, kita muak dengan aturan hukum yang ada manakala si pejabat divonis penjara tapi justru masih dapat perlakuan istimewa di penjara.
Mereka seolah adalah adalah kaum istimewa negeri ini. Mereka jelas bukan bagian dari kita manakala diksi rakyat kita gunakan. Mereka bukan kita dan maka kita sepakat bila RUU Perampasan Aset Koruptor itu diundangkan.
Namun ketika kita bicara tentang sibuk aparat bea cukai yang belakangan ini rajin pungut pajak atas barang bawaan kita dari luar negeri, kita marah. Kita tak sepakat dengan perlakuan mereka pada banyak saudara kita. Kita marah karena bisa jadi kitalah suatu saat nanti adalah si korban.
“Tapi bukankah aparat itu belakangan ini benar keterlaluan?”
Sesekali kita pantas menggunakan angle berbeda. Kita lihat dari sudut yang tak banyak dibicarakan orang terutama sudut pandang orang - orang yang sedang merasa dirugikan.
Tak ada salahnya sesekali kita sedikit melambung dan melihat dari sudut yang sulit dimana justru keributan belakangan ini adalah bias perlawanan para pengemplang pajak yang selama ini sukses bermain dengan oknum bea cukai itu sendiri. Para pelaku jastip misalnya.
JANGANKAN INDONESIA YANG SANGAT KAYA DENGAN RAGAM BUDAYANYA| bahkan Arab Saudi negeri berlimpah minyak saja kini melirik industri pariwisata. Ada potensi devisa sangat besar yang sedang ingin mereka rebut.
Ga tanggung - tanggung, pada sektor ini mereka mentargetkan kontribusi sekitar 10 persen dari GDP pada tahun 2030 dan menerima 100 juta wisatawan per tahun dan menyediakan satu juta pekerjaan.
Tak seperti bangsa kita yang sangat kaya dengan budayanya, mereka membangun konsep wisata mewah.
Beberapa proyek pariwisata ambisius itu diantaranya adalah kota futuristik Neom di Provinsi Tabuk, barat laut negara yang menghadap Mesir di seberang Laut Merah.
BUDIMAN SUDJATMIKO, DIA PASTI ADALAH SIAPA - SIAPA
.
.
.
Kalau saat ini dia benderang berada di sisi sebelah Ganjar misalnya, 100 persen pasti gak ada kisah bulian padanya. Seratus persen ga ada ungkit mengungkit dosa - dosanya yang benar - benar sangat sulit dicari.
Budiman terlalu lurus. Bisa dibilang dia satu dari sejuta politisi kita yang idealis dan maka tetap miskin tanpa data deretan mobil mewah di garasinya.
Dan lalu, ketika korupsi sebagai penyakit paling lumrah yang selalu diidap oleh banyak politisi kita tak pernah bisa menjangkitinya, dia dikuliti soal kemiskinannya. Hutang - hutang pribadinya menarik hati dan minat para pencari dan pencatat dosa.
Berharap Budiman playing victim terhadap pemecatannya, percayalah itu tidak akan pernah terjadi. Budiman jauh dari sifat itu. Sejarah mencatatnya..
Berbeda dengan banyak politisi yang langsung berungkap marah ketika dipecat, dia justru dengan santun mengucapkan terimakasih telah bersama partai sekian puluh tahun.
Terhadap pemecatannya, Budiman hanya akan menjadi semakin besar. Sejarah juga sudah mencatatnya.
Ingat heroik kisah kudatuli 1996 di markas PDI Diponegoro 56? Dia dihabisi oleh rezim Orde Baru karena cita - citanya akan demokrasi. Butuh Jakarta harus dibakar oleh penguasa hanya untuk menghentikan langkahnya menuntut demokrasi itu.