"Bisa apa si Abdee? Ini benar-benar sudah keterlaluan. Mau jadi apa negara ini bila semua relawannya dikasih jabatan?"
Bagi masyarakat biasa yang tak banyak tahu bagaimana demokrasi kita bekerja, komplain itu memang terdengar menyakitkan. Namun tidak bagi mereka yang biasa terjun pada dunia politik. Itu sesuatu yang sangat biasa bahkan keniscayaan.
Berapa banyak jabatan komisaris diberikan pada relawan Prabowo ketika yang bersangkutan akhirnya memilih menjadi Menhan?
Berapa banyak pengikut Erick Thohir duduk pada posisi itu karena yang bersangkutan berhasil duduk menjadi menteri BUMN?
Berapa banyak mereka yang berasal dari Golkar, PDIP dan partai pendukung pemerintah duduk pada jabatan yang sifatnya adalah karena politis?
Adian Napitupulu pernah terang-terangan menyebut ada 6.200 orang titipan di BUMN dan anak perusahaan, baik yang ditempatkan sebagai direksi maupun komisaris.
"Lucu dan aneh bagi saya kalau Negara mengeluarkan Rp 3,7 triliun setiap tahun untuk 6.200 orang yang rakyat tidak tahu bagaimana cara rekrutmennya dan dari mana asal usulnya,” kata Adian.
Dalam hal ini pun Adian terkesan ambigu & bercerita seolah baru paham. Padahal, ini sudah menjadi budaya lama negeri ini.
Sejak jaman Soeharto, jabatan semacam itu sangat biasa diberikan pada mereka yang dianggap berjasa, atau paling tidak bagi mereka yg terhubung secara dekat.
Kadang bahkan diberikan pada mereka yang terlalu kritis dengan harapan dapat dibuat diam.
Dulu jabatan seperti ini banyak diberikan pada pensiunan Jenderal. Tenaga dan pikirannya masih sangat fresh dan sayang bila dibiarkan sia-sia hanya karena pensiun.
Paling tidak itu adalah alasan masuk akal digunakan oleh rezim saat itu.
Jaman SBY, siapa dapat menyangkal kondisi ini berubah?
.
.
Pun para Gubernur, bukan hal mustahil mereka melakukan hal yang sama pada BUMD yang mereka miliki.
Itu bukan hal baru. Bahwa hal tersebut dengan mudah kita ketahui saat ini, itu karena peran sosial media. Dulu, itu tersembunyi dengan rapat. Tapi bukan berarti tidak ada.
Itulah realitas kita. Semua terlibat tanpa terkecuali.
Saat ini, paling tidak ada 142 perusahaan BUMN di mana bagi-bagi jabatan pada posisi tertentu masih dan akan terus diberikan oleh mereka yang memiliki kuasa atas hal tersebut. Belum kita hitung pada banyak BUMD yang dimiliki para pejabat daerah.
"Kenapa begitu? Apa ga bangkrut negara membayar orang demi ucapan terima kasih doang dan membebankannya pada negara?"
Siapa bilang Abdee Slank ga capable? Sebagai gitaris Slank yang sangat terkenal, siapa dapat menolak kemampuan dia memasarkan Telkom misalnya?
Bukankah hal itu sangat relatif?
"Pamrih itu namanya. Yang kaya gitu koq bilangnya relawan?"
Hari ginee?? 🙄
Masih tanya relevansi relawan? 🤦
Yang saya tahu, ga ada makan siang yang gratis
Iya, kenapa harus Abdee Slank?
Lho memang Refly Harun, Said Didu jadi Komisaris apa lebih bagus, po?
.
.
.
Jangan lupa follow @kanalkitaID .
.
.
Mampir & boleh curhat di web juga yaa.
SRI MULYANI DAN BASUKI HADI MEMANG DUA TANDUK JOKOWI
.
.
.
Basuki Hadimuljono dan Sri Mulyani sepakat untuk menunda waktu pemberlakuan Tapera.
“Dari kapan ke kapan?”
Dari tahun 2027 ke waktu yang belum beliau sebut.
“Emang pak Jokowi ingin Tapera itu diberlakukan lebih cepat?”
Dalam PP terbaru, PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020, beliau bicara terkait iuran wajib. Jokowi memberlakukan iuran wajib Tapera bagi pegawai negeri maupun pegawai swasta.
Harus diingat, PP itu lahir karena perintah konstitusi. Presiden wajib mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) setelah DPR mengesahkan sebuah UU, dalam hal ini UU No 4 tahun 2016 Tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Para wakil rakyatlah yang menggagas, mendiskusikan, mengesahkan UU itu dan lalu konstitusi mengharuskan Presiden membuat PP nya.
Dan Jokowi melalui PP terbaru tersebut tidak bicara atau merubah jangka waktu. Itu masih sama dengan isi PP lama, PP Nomor 21 tahun 2020 yakni 7 tahun atau tahun 2027.
Bantèng perkasa jelas adalah Jokowi. Dia memporak porandakan kemapanan tanpa teriak jumawa. Konon hanya dengan kerja, kerja dan kerja, tiba - tiba dia melampaui ekspektasi banyak pihak.
Sama seperti bantèng seharusnya, Jokowi pun bersenjatakan dua tanduknya, BASUKI dan Sri Mulyani.
Ketika kita bicara duet dua orang ini, ribuan kilometer jalan sebagai urat nadi sebuah bangunan ekonomi negara dengan puluhan bandara serta puluhan pelabuhan dan ribuan infrastruktur dalam bentuk lain terbangun melayani publik plus dengan fiskal terjaga adalah bukti tak terbantahkan.
Luar biasanya, sebagai orang yang sudah dianggap pahlawan, keduanya tak bicara politik, pun posisi. Tak bicara pilkada apalagi pilpres untuk karir dirinya. Berdua, mereka bekerja profesional hanya pada tupoksinya saja. Basuki bertempur di ranah eksekusi, Sri Mulyani menyediakan semua pelurunya sambil tetap menjaga ruang fiskal yang ada.
Sebagian besar dari kita pernah sangat berharap bahwa UU Perampasan Aset Koruptor benar bisa diberlakukan. Tapi harapan itu pupus saat hampir semua fraksi di DPR tak beranjak ingin membuat tuntas RUU tersebut.
Kita marah pada perilaku banyak pejabat negara ini yang tanpa malu - malu maling duit negara. Lebih lagi, kita muak dengan aturan hukum yang ada manakala si pejabat divonis penjara tapi justru masih dapat perlakuan istimewa di penjara.
Mereka seolah adalah adalah kaum istimewa negeri ini. Mereka jelas bukan bagian dari kita manakala diksi rakyat kita gunakan. Mereka bukan kita dan maka kita sepakat bila RUU Perampasan Aset Koruptor itu diundangkan.
Namun ketika kita bicara tentang sibuk aparat bea cukai yang belakangan ini rajin pungut pajak atas barang bawaan kita dari luar negeri, kita marah. Kita tak sepakat dengan perlakuan mereka pada banyak saudara kita. Kita marah karena bisa jadi kitalah suatu saat nanti adalah si korban.
“Tapi bukankah aparat itu belakangan ini benar keterlaluan?”
Sesekali kita pantas menggunakan angle berbeda. Kita lihat dari sudut yang tak banyak dibicarakan orang terutama sudut pandang orang - orang yang sedang merasa dirugikan.
Tak ada salahnya sesekali kita sedikit melambung dan melihat dari sudut yang sulit dimana justru keributan belakangan ini adalah bias perlawanan para pengemplang pajak yang selama ini sukses bermain dengan oknum bea cukai itu sendiri. Para pelaku jastip misalnya.
JANGANKAN INDONESIA YANG SANGAT KAYA DENGAN RAGAM BUDAYANYA| bahkan Arab Saudi negeri berlimpah minyak saja kini melirik industri pariwisata. Ada potensi devisa sangat besar yang sedang ingin mereka rebut.
Ga tanggung - tanggung, pada sektor ini mereka mentargetkan kontribusi sekitar 10 persen dari GDP pada tahun 2030 dan menerima 100 juta wisatawan per tahun dan menyediakan satu juta pekerjaan.
Tak seperti bangsa kita yang sangat kaya dengan budayanya, mereka membangun konsep wisata mewah.
Beberapa proyek pariwisata ambisius itu diantaranya adalah kota futuristik Neom di Provinsi Tabuk, barat laut negara yang menghadap Mesir di seberang Laut Merah.
BUDIMAN SUDJATMIKO, DIA PASTI ADALAH SIAPA - SIAPA
.
.
.
Kalau saat ini dia benderang berada di sisi sebelah Ganjar misalnya, 100 persen pasti gak ada kisah bulian padanya. Seratus persen ga ada ungkit mengungkit dosa - dosanya yang benar - benar sangat sulit dicari.
Budiman terlalu lurus. Bisa dibilang dia satu dari sejuta politisi kita yang idealis dan maka tetap miskin tanpa data deretan mobil mewah di garasinya.
Dan lalu, ketika korupsi sebagai penyakit paling lumrah yang selalu diidap oleh banyak politisi kita tak pernah bisa menjangkitinya, dia dikuliti soal kemiskinannya. Hutang - hutang pribadinya menarik hati dan minat para pencari dan pencatat dosa.
Berharap Budiman playing victim terhadap pemecatannya, percayalah itu tidak akan pernah terjadi. Budiman jauh dari sifat itu. Sejarah mencatatnya..
Berbeda dengan banyak politisi yang langsung berungkap marah ketika dipecat, dia justru dengan santun mengucapkan terimakasih telah bersama partai sekian puluh tahun.
Terhadap pemecatannya, Budiman hanya akan menjadi semakin besar. Sejarah juga sudah mencatatnya.
Ingat heroik kisah kudatuli 1996 di markas PDI Diponegoro 56? Dia dihabisi oleh rezim Orde Baru karena cita - citanya akan demokrasi. Butuh Jakarta harus dibakar oleh penguasa hanya untuk menghentikan langkahnya menuntut demokrasi itu.