Note-taking itu skill penting, tapi sayangnya blm banyak orang yg mencatat waktu meeting / belajar / dsb
Padahal note-taking yg efektif bisa membantu mengingat, merapihkan pikiran yg ruwet, dan mengurangi stress, loh
Ini beberapa tips utk meningkatkan skill note-taking kamu:
Ketika lagi team meeting, coba untuk mencatat poin-poin berikut:
1. Fact ✅ : Progress yang sudah terlaksana, siapa yang mengerjakan apa, resource yang kita miliki, dst.
2. Issues❗️: Segala sesuatu yang kemungkinan akan menghambat atau sudah menghambat progress
3. Pertanyaan❓: Pertanyaan yang muncul saat meeting, & bagaimana menjawab pertanyaan tersebut (jika blm terjawab)
4. Decision 🤔: Keputusan apa saja yg akan diambil untuk menyelesaikan Issue (2)
5. Action Plan 🎯: Siapa yang akan melakukan Apa, & kapan? X akan membeli Y, besok
Itu tadi tips kalau meeting dengan team, yg masih kuliah juga bisa diterapin untuk meeting kepanitian, dsb
Kalau one-on-one meeting apakah perlu mencatat? Perlu. Dengan mencatat, menurutku lawan bicara akan merasa lebih dihargai, asal mencatatnya ga sampai distracting, ya
Kalau lagi interview, coba untuk mencatat poin pertanyaan dari interviewer, Biar ga lupa, dan ngebantuin merapihkan pikiran
Ketika menginterview, aku juga suka mencatat hal-hal menarik dari kandidat, etc. Sekalian juga mencatat apa yg perlu diperbaiki dari proses interview
Kalau lagi brainstorming: kamu jg bisa pake apps khusus kayak @MiroHQ / @WhimsicalPowers utk mencatat & mengkombinasikan ide
Kalau untuk personal: bisa pake kertas (bagus utk retaining information) atau digital (Notion, Evernote, etc) Kalau aku pakenya Roam (terlampir)+ Notion
Masih tentang mencatat untuk diri sendiri, salah satu fungsi note-taking untuk diri sendiri adalah untuk merefleksikan apa yang sudah kita alami, menumpahkan isi pikiran, dan membuat personal planning.
Sekolah bukan Scam, tapi perlu diakui beberapa sistem & cara dalam menjalankan traditional education memang masih outdated.
Oleh karena itu, banyak bertumbuh jenis kampus gaya baru di berbagai belahan dunia, atau "Challenger University".
Challenger university menawarkan model pendidikan baru, beberapa contoh:
• London Intersiplinary School (@weareLIS) punya kurikulum berbasis PBL (Problem Based Learning), jadi fokus pembelajarannya adalah solving problem dengan interdisiplinarry appraoach
• Minerva School (@MinervaUni) punya approach yg unik, mereka ga punya kampus tapi student akan berpindah tempat belajar di 7 negara, jadi students akan immersed dengan berbagai macam culture dan pov dalam waktu yg singkat
Ada juga model pendidikan yg mengedepankan microlearning, atau asynchronius first seperti Nexford Uni & Tomorrow University
Sebenernya di Indonesia ada model serupa yg mendepankan async & online learning, apa lagi kalo bukan @UnivTerbuka 👏
Kita tahu kalau kemampuan berkomunikasi adalah salah satu skill terpenting. Tapi, apa sih yang membuat seseorang menjadi komunikator yang baik? Ternyata ribuan tahun yg lalu, Aristotle sudah mengindentifikasi 3 elemen penting dlm komunikasi, yaitu: Ethos, Pathos, & Logos. Thread
Aku belajar konsep ini sewaktu menjadi komandan lapangan ketika mahasiswa, sejak itu aku sudah menerapkan teknik ini untuk mendapatkan investor, memenangkan lomba, presentasi karya ilmiah, memimpin meeting, dst. Aplikatif banget.
Poin pertama, adalah Ethos. Ethos artinya kredibilitas, yaitu membuat orang lain percaya dengan apa yang kamu katakan
Contoh: Tweet sebelumnya dengan menceritakan A,B, dan C, adalah upayaku untuk membangun ethos.
Twitter penuh dengan orang yang beradu argumentasi, tapi sayangnya banyak argumen yg dilontarkan, tidak berkualitas dan malah menyerang si penulis argumen, bukan argumennya. Capek sendiri.
Oleh karena itu, aku pingin berbagi konsep hierarchy of disagrement oleh Paul Graham. Utas
Kita mulai dari yang paling level paling dasar dan paling ga bermutu ya (Tapi sayangnya paling sering terjadi):
H0. Name-calling
Menyerang orang lain dengan hinaan, baik secara kasar atau halus. Contoh:
"Eh bac*t ya kamu"
"Halah Fafifu wasweswos"
"Si paling pinter"
H1. Ad Hominem
Pada Ad Hominem yg diserang adalah karakter atau otoritas penulis. Padahal harusnya kita ngomongin argumennya, bukan penulisnya.
Contoh:
"ya iyalah dia bakal bilang kayak gitu, kan dia Nakes"
"Kamu kan penuh privilege, tau apa soal kemiskinan struktural?"
"Ah gapapa teleponan sambil nyetir, kan aku jago multitasking"
Pernyataan itu sama sekali ga benar. Karena ternyata riset membuktikan bahwa multitasking adalah Mitos.
Yang kita lakukan ketika melakukan 2 pekerjaan sekaligus sebetulnya bukan multitasking, melainkan context switching. Context switching adalah mengganti perhatian dari satu hal ke hal lain secara cepat
inilah alasan, kenapa menyetir sambil menelepon sangat berbahaya gais.
Context Switching juga bisa berdampak negatif ke produktifitas, riset dari RescueTime mengatakan bahwa Context Switcthing dapat membuat kita kehilangan 20% dari waktu untuk setiap pekerjaan paralel yang dikerjakan.
5 pekerjaan paralel = 80% waktu hilang untuk context switching!
Whatever you are thinking, consider the opposite 🔁
Hari ini aku akan membahas cara berfikir yang agak counterintuitive, namanya: Inversion Thinking
Cara ini akan membuatmu lebih kritis dan mengindari kesalahan, baik dalam bisnis, relationship, produktivitas, dsb
Inversion Thinking adalah mempertanyakan hal sebaliknya dari apa yang kamu mau.
Contohnya, aku punya Goal: Aku Mau hubungan yang langgeng"
Tapi instead bertanya "Bagaimana membangun hubungan yang langgeng?" aku akan bertanya ➡️ " Bagaimana membuat hubungan yang ga Langgeng?"
Dari situ dapet bahwa untuk membangun hubungan ga langgeng aku perlu:
A. Komunikasi yang buruk
B.Tidak ada rasa percaya
C. Tidak ada saling kenal antar pihak
Kemudian kalau udah dapet A,B dan C kita bisa buat langkah preventif, itulah kenapa inversion thinking sangat powerfull!