kalong Profile picture
Jul 17, 2021 344 tweets >60 min read Read on X
A THREAD

"SANTET PRING SEDAPUR"

SANTET YANG MENGHABISI 12 TURUNAN.

#bacahorror #bacahoror Image
Hallo..
gimana kabarnya ?
Malam ini pelan pelan saja ceritanya.
Sembari nunggu bisa baca thread yang lain dulu.
Santet Tumbal Pring Sedapur

Cerita dari narasumber mas Iphend Alzikra, banyak kisahnya yang saya bagikan di thread saya. Cerita ini di tulis oleh mbak saya, mbak Wiens Pena Hitam. Dan sudah mendapatkan ijin oleh keduanya untuk saya bagikan di sini.
Kisah ini tergolong ilmu yang ganas dalam dunia perdukunan. Sebuah mantra yang bertujuan membunuh korban secara tuntas, yaitu jika manusia menggunakan rapalan mantra ilmu hitam ini, maka korban yang dituju akan mati sampai dua belas keturunan.
Ilmu ini ada sejak jaman dahulu kala, turun dari sebuah empu sakti di masa itu, yang menciptakan ajian Bambu Serumpun.
Ilmu mematikan 'pring' yang berartikan bambu. Jenis ilmu ini tidak akan pernah tumbuh tunggal, melainkan berkerumun, menjadi serumpun yang disebut sedapur.
Pring Sedapur memaknakan banyaknya pengiriman mahluk melalui media teluh santet yang menghabisi target sampai tanpa adanya kata selamat bagi yang menjadi korban.

***
Sebelum masuk ke cerita, monggo RT dan like biar banyak yang baca.
Wanita itu menjadi gila, setelah mendapati kedua mertua, kakak dan adik ipar, serta suami, bahkan anak-anaknya meninggal. Mereka meninggal karena menjadi korban sebuah ilmu sakti. Ilmu yang mengerahkan seribu jin untuk menuntun maut pada liang kematian sang manusia.
Perjanjian ini dapat terjadi jika sang pengamal atau peminta ilmu ini, menumbalkan orang yang sangat dicintainya.

Awal malapetaka ini hadir hanya karena terjadinya perebutan sebuah warisan.
Manusia yang terjebak dalam pandangan dan nafsu keduniawian, terkadang menjadikan mereka gelap mata dan hati, sehingga nafsu duniawinya itu menjadi pemicu keinginan untuk memiliki yang bukan menjadi hak miliknya.
Untuk mencapai tujuan dan ambisi itu, terkadang memicu mereka merambah dalam dunia klenik santet, yaitu dengan cara menghabisi seluruh keluarga. Dari beberapa akar permasalahan yang muncul, ketajaman lisan pun menjadi salah satu pemicu semakin peliknya prahara sedarah ini!

***
Setelah kedua orang tua Bu Laras meninggal, dia mendapatkan warisan yang lebih banyak ketimbang dengan Pak Miko abangnya, dan Pak Eri sang adik. Hal ini terjadi karena Ia merupakan anak perempuan satu-satunya yang sangat dicintai oleh mendiang almarhum, maka dari itu,
ayahandanya mewariskan rumah mewah dan megah itu untuk Larasati. Pewarisan rumah mewah ke Larasati dilakukan secara sah di hukum negara dan dituangkan dalam surat wasiat. Sementara itu, harta gono-gini yang lain, berupa uang, tanah, pabrik pengolahan minyak mentah,
dibagi adil dan rata untuk semua anak-anaknya.

Surat wasiat itu dibacakan oleh kuasa hukum tepat dihari keempat puluh setelah meninggalnya Pak Haji Darmadi. Namun imbas dari pembacaan surat wasiat dan pembagian warisan tersebut menjadi asal mula terjadinya peristiwa ini.
Isi surat wasiat yang menjadi mandat amanah alhmarhum itu dianggap memiliki ketimpangan dan tidak berasas keadilan hanya karena sebuah rumah yang menjadi bahan rebutan antara kakak beradik ini.

***
Batam 2012

Malam ini, aku Alzikra, merebahkan diri di dalam kamar, tubuhku terasa lelah sekali, karena aku baru tiba dari perjalanan pulau seberang yaitu, Tanjung Pinang. Rumahku ini telah beberapa hari kosong karena aku tinggalkan,
ada beberapa pekerjaan yang mengharuskanku pergi beberapa saat. Namun, keinginanku untuk beristirahat tidak bisa maksimal bisa kurasakan, hal ini disebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, yaitu terciumnya aroma yang muncul akibat pengapnya udara tanpa adanya sirkulasi yang baik.
Ditambah lagi rumah milik ibuku ini memang tergolong angker di lingkungan perumahan. Beberapa kali orang menyewa, tetapi tidak ada yang betah. Sosok bocah kecil dan nenek tua selalu usil mengganggu mereka.
Tiiinnn ... Tiiinnnn !

Suara klakson mobil tiba-tiba terdengar memanggil dari luar rumah, ibu datang diantar oleh kakak perempuanku, Mbak Ita. Malam-malam begini mereka berdua tiba-tiba datang kerumah ini pasti ada hal yang sangat penting,
karena biasanya walaupun tengah malam, ibu hanya memberitahu jika ada yang mau dibicarakan.
"Le..., kamu siap-siap! Sekarang kamu tidur di rumahnya mbak, besok pagi-pagi ikut penerbangan ke Jawa!" kata Mbak Ita, memberitahuku

"Loh kok dadakan! Memangnya ada apa Mbak?" tanyaku sambil memperhatikan ibu yang masih mengobrol lewat telfon dengan seseorang.
"Kamu jagain Ibu selama di Jawa, ada saudara yang meminta pertolongan!"

Dari pembicaraan sekilas itu, aku sudah menangkap bahwa ada sebuah masalah yang sedang terjadi. Namun, permasalahan itu belum gamblang terlihat jelas, masih menjadi misteri yang samar-samar.
Akan tetapi, jikalau ibuku sudah turun tangan langsung, sudah jelas jika permasalahan itu bukan hal yang main-main, karena beliau sangat jarang mau membantu orang yang berkaitan dengan keilmuan jika menurutnya tidak sangat tidak penting dan berbahaya.
Setelah mendengar instruksi mbakku, aku mengambil beberapa baju, memasukannya ke dalam tas ransel, karena mendadak dan tidak tau sampai kapan menemani ibu ke Jawa, aku mengabari rekan kerjaku, memberitahunya jadwal pekerjaan yang harus dia urus yang berkaitan dengan pekerjaanku.
Kemudian kami bergegas meninggalkan rumahku menuju ke rumah mbak Ita.

"Bu Laras sedang ada masalah Le, kamu temani Ibu dulu ya. Pekerjaanmu bisa di tunda sementara waktu kan?"

"Njih, Bu. Memang masalah apa?"
tanyaku ingin menuntaskan rasa penasaranku.
"Keluarga teman ibu lagi dikepung klenik, banyak santet yang berbahaya dikirim ke keluarganya!"

"Lah mung santet kok sampai ibu dateng ke sana segala, kan bisa seperti biasanya, dikasih tau cara penangkalan juga pemagaran rumahnya, Bu!"
"Kamu tuh kalau belum lihat situasi dan kondisi yang sesungguhnya jangan ngomong begitu Le... Hal ini sebenarnya sudah lama ibu tangani dari sini, tetapi klenik yang dikirim ini bukan sembarangan," ujar Beliau menjelaskan lebih rinci.
"Njih Bu, ngapunten." aku meminta maaf atas kelancanganku.

Sudah dapat kuprediksi, bahwa sihir dan tenung yang akan kami hadapi pasti sangat dahsyat, karena sudah ditangani dari jarak jauh pun, tetap tidak terselesaikan dan harus membuat beliau tetap turun tangan secara langsung
Bukan andahan kasekten lagi, jika sudah mencapai keranah sejauh ini. Peristiwa kali ini sama persis saat dahulu beliau menangani sebuah kasus, yaitu perang santet yang membuat beliau melakukan pemagaran dibeberapa rumah yang beliau kenal.
"Iki cumepak pati, kudu ngowo lambaran, ibu siapke tameng ghoib, pean amalke digawe wirid tekan'e kono!"
(Ini sangat dekat dengan kematian, harus membawa penangkal, ibu siapkan pagar ghaib, kamu amalkan dibuat wirid sepanjang perjalanan sampai ditempat sana) kata beliau seraya memberiku sebuah amalan untuk pemagaran diri.

----
Setibanya di rumah mbakku, kami langsung istirahat. Setelah sholat subuh kami berdua diantar ke bandara untuk cek-in penerbangan. Akhirnya, setelah menunggu kurang lebih dua jam, tepat pukul tujuh pagi perjalanan dimulai, penerbangan dari Batam menuju pulau Jawa.
Sebelum hari tengah hari, kami sudah tiba di bandara tujuan yaitu sebuah kota di pulau Jawa. Kami menggunakan jasa taksi untuk melanjutkan ke tempat tujuan. Perjalanan yang kami lalui kurang lebih selama 3 jam.
Selama perjalanan, ibu hanya berdiam diri, sementara aku berusaha untuk memfokuskan diri, merapalkan tameng ghoib diri. Dan kesiapan itu telah dimulai, ketika kaki ini menginjak di depan pelataran rumah yang sangat besar dan mewah.
"Bismillah, kumanti niat kerono Pengeran Ta'ala. Nyawiji dunung siti, manunggal marang tumetesing tirto, panyuwun ingsun, pangayom kerono Allah."
Mendengar ibu membunyikan niatan itu, aku mengikutinya dgn mengucapkan basmalah. Lalu mulai mengikuti langkah ibuku memasuki pagar rumah itu. Langkah kami baru sebatas halaman rumah, tetapi aura panas sudah menerpa, kami disambut dengan negatifnya astral yg menyelimuti area ini.
Ternyata rumah itu kosong tanpa penghuni, sepertinya memang sengaja ditinggalkan oleh Bu Larasati. Entah untuk menghindari teror, atau memang selama ini Ia pindah ke rumah suaminya. Hanya satu laki-laki tua dgn sarung berselempang di pundaknya yg datang menyambut kedatangan kami.
"Assalamuallaikum, Mbak Larasnya ada Pak?"

"Waallaikumsalam, Bu Laras sekarang berada di rumah bapak suaminya, di sana juga sedang ada lelayu, Bu!" jawab bapak itu.

"Innalilahiwainnalilahirojiun, siapa yang meninggal, Pak?" tanya ibu.
"Anu, Bu. Bapak mertuanya Bu Laras yang meninggal dunia!"

"Ohh, iya Pak, boleh saya minta alamatnya biar saya ke sana untuk menemui Mbak Laras!"

Ternyata ilmu ini sudah menuai apa yang menjadi tujuannya. Korban pertama telah berjatuhan, yaitu meninggalnya mertua Bu Larasati.
Selama dua minggu lebih perutnya membusung, muntah darah, sampai akhirnya ajal memanggilnya. Penanganan medis juga spiritual sudah dilakukan untuk menyembuhkan beliau, tetapi ternyata semua itu tidak mampu menyelamatkan korban.
Rumah duka masih dipadati oleh para pelayat saat aku dengan ibu sampai di sana. Raut wajah wanita itu pun masih dirundung duka, dan terkesan ketakutan sedang menyelimuti nya.
Dengan mata sembabnya, sahabat ibuku itu menyalami kami berdua, dan kembali memecah tangis itu dalam pelukan orang tuaku.

*****
Tumprap kamanungsan tanpo pangemban roso welas asih iku kasejatening sesat. Tanpo paningal, tanpo milah ugeman katresnan, dunung peteng netro ati. Kasiprah ngalahirake angkoro murko.
Malam itu aku mendengarkan sebuah kesaksian. Peristiwa kematian yang dipenuhi dengan aroma kejanggalan dan mencurigakan. Mertua Bu Laras meninggal dengan cara sangat tragis, beliau menahan sakitnya selama beberapa bulan,
terbaring di bangsal rumah sakit sebelum akhirnya ajal menjemputnya. Aku hanya menjadi pendengar, ketika Bu Laras dan ibu tengah berbicara mengenai kejanggalan yang menjadi misteri dari kematian ini.
Kondisi mertua Bu Laras saat sakit sangat memprihatinkan, perutnya membusung besar, dengan badan yang hanya tinggal tulang yang terbungkus kulit. Beliau hanya bisa memasukan makanan melalui selang yang ditanam di dalam tenggorokan yang dilubangi.
Mulutnya selalu mengatup rapat, tulang rahangnya keras tanpa bisa terbuka, menyatukan barisan giginya dengan sangat kuat.

"Jadi, kondisi almarhum sampai seperti itu!" spontan ibuku berteriak lirih karena kaget.
"Iya, Mbak. Selama dua bulan lebih di rumah sakit, kondisi Beliau seperti itu. Suami juga sudah mendatangkan Kyai dan orang pintar, tetapi hasilnya nihil!"

"Maafkan saya, Jeng. Saya terlambat sampai di sini," Kata ibu seraya mengelus sahabatnya.
"Iya, Mbak. Nggak apa-apa, hanya saja tolong dilihat dulu, kira-kira apa masih ada gangguan lain pada saya dan keluarga," pinta Bu Laras sambil menyeka air matanya.

"Yang tenang ya, Jeng, selalu tawakal, serahkan semua pada Tuhan."
Selama pembicaraan mereka berlangsung, aku menyimak dengan seksama. Aku hanya bisa menimpali jika tenung yang dikirimkan ini tentu bukan main-main, karena sudah beberapa kyai dan paranormal menangani mendiang selama sakit, tetapi tidak juga membuahkan hasil.
Meski manusia meninggal secara sihir termasuk syahid, tetapi si korban menahan derita akibat tenung itu. Tentunya hal itu sangat menyakitkan, tatkala menggugurnya dosa oleh dera kepedihan yang dibuat para jin.

------
Gema tahlil masih berkumandang, tiba-tiba terdengar suara teriakan yang berasal dari dalam dapur.

"Argghh ...!

Kami serempak beranjak ke arah dapur, mencari sumber teriakan berasal. Betapa terkejutnya Bu Laras ketika mendapati sang ibu mertua terjatuh dan kejang-kejang.
Mulutnya mengeluarkan buih yang bercampur darah, dengan mata membelalak naik keatas dan tubuh kaku mengejang.

"Astagfirullah, Emaak!" teriak pak Samsi suami Bu Laras.
Semua orang yang hadir di situ merasa takut melihat peristiwa itu, semua mengucapkan istigfar. Dengan bantuan beberapa orang, tubuh tua yang terjatuh itu diangkat ke kamar, tubuhnya masih saja terus kejang dan menggeliat saat mereka menggotongnya.
Saat melintasi di hadapanku, terdengar suara ngorok yang keluar dari mulutnya.

"Bu, kok ga ada tanda-tanda datangnya santet, tetapi kenapa tiba-tiba nenek itu kondisinya seperti itu?" aku bertanya dengan penuh kebingungan.
"Semua keluarga ini sudah diincar sejak lama, Le!" jawab beliau.

Belum sempat aku menjawab perkataan ibu, terdengar teriakan dari dalam kamar.

"Emakkk....! Innalillahi, Emaak...!
Semua langsung berhamburan menuju kamar, berusaha melihat ke dalam kamar ingin memastikan apa yang tengah terjadi. Termasuk Bu Laras yang langsung menerobos masuk tanpa permisi lagi dengan orang-orang yang sudah berdiri di depan pintu kamar.
Mertua Bu Laras kembali memuntahkan darah segar sebelum meninggal. Suasana menjadi tidak kondusif, semua yang hadir menjerit melihat peristiwa mengenaskan itu. Rasa iba dan prihatin muncul di wajah mereka, belum lagi kering tanah pemakaman sang suami,
kini disusul dengan berpulangnya sang istri. Semua wajah terlihat memucat, merasa ngeri akan ilmu santet yang ternyata benar adanya, dan membahayakan!

"Innalillahi wainnalillahirojiun" hanya kata itu terucap dari sudut bibir ibu dan diriku.
"Ya Allah, Emak ... Mengapa secepat ini meninggalkan kami. Bapak saja belum lama pergi meninggalkan kami!"

Kini hanya tangisan dan ratapan yang terdengar dari seluruh keluarga.
Suasana hati sedih akibat belum lama ditinggalkan Mertua laki-laki Bu Laras belum hilang, kini ditambah lagi kedukaan yang memilukan.

"Astagfirullah!"
Ibu tiba-tiba berdiri lalu berjalan mendekati salah seorang pelayat, yang tengah berdiri bersandar di salah satu dinding rumah.
Wajahnya membiru, dengan tarikan nafas yang terlihat sangat berat, tersengal-sengal.
Dia menekan perutnya, terlihat sangat kesakitan dan perutnya perlahan terus membesar.

"Al, ambilkan tasbih ibu dalam tas, cepat!" teriak ibuku.
Seketika dengan gerak cepat, aku membongkar tas ibu, mengambil tasbih dari kayu berwarna hitam, lalu buru-buru memberikannya kepadanya. Dengan memgumamkan doa, tasbih ditempelkan ke perut ibu paruh baya itu,
dengan sekuat tenaga dan berulang kali secara perlahan ibu menarik ke atas mendorong isi dalam perut dengan tenaga dalamnya.

Heg ... heg ... heg!
Mulut perempuan itu terlihat sangat penuh. Terlihat dia mendekap mulutnya, berusaha sekuat tenaga untuk menahan desakan dari dalam tubuhnya.

Hoeekss!

Pertahanannya tidak bisa lagi dipertahanankan.

Byaarr ..!
Dekapan tangannya terlepas, Ia memuntahkan kelabang, kecoak, cacing, beberapa jenis kutu. Mereka keluar bersama lendir berwarna hijau, hewan-hewan itu dalam kondisi hidup, mengeliat dan bergerak-gerak di tengah kubangan lendir.

"Masyallah!"
Orang-orang yang hadir menjerit penuh kengerian.

"Tolong kalian semua tinggalkan tempat ini!" kata ibuku meminta kepada semua orang yang berada di dalam rumah ini untuk pergi menjauh dari lokasi.
"Ngapunten bapak-bapak kalian ibu-ibu, mang di tilar mawon, monggo!"
(Maaf buat bapak-bapak juga ibu-ibu, silahkan di tinggal saja, mari!) seru ku pada semua tamu itu.
Setelah semua orang keluar, aku dan ibu berusaha membantu menyembuhkan wanita itu, sementara Bu Laras, suami, dan kerabat lain masih berada di dalam kamar.

"Jangan pernah merasa iba melihat semua ini, itu salah satu pantangan dari santet pring sedapur, Al!" kata ibu.
"Maksudnya, Bu?" aku balik bertanya karena tidak paham.

"Ilmu ini akan berpengaruh lebih dalam jika ada yang merasa iba saat menyaksikan korban. Hal itu akan membuat ilmu tersebut akan mengarah kepada orang yang sedang berkecil hati atau dirundung kesedihan.
Ibu ini kena dampak dari ilmu itu karena dia tidak tega melihat ibu Warsini (mertua bu Laras) meninggal." kata ibu, sambil memijat tengkuk ibu yang terserang santet ini.
Aku hanya mampu terpana, karena baru kali ini menyaksikan sebuah ilmu yang dapat menyerang dengan sangat ganas, selain menghabisi trah keturunan sang target, orang lain pun dapat terpapar ilmu ini jika memiliki rasa belas kasihan terhadap sang korban. Naudzubillah min dzhalik!
Menjelang sore hari pemakaman selesai, makam mereka tepat bersebelahan, dua hari dua kematian sepasang suami istri dengan keadaan yang sangat tidak wajar, mereka kembali menghadap sang Khalik. Disisi lain, ini merupakan cikal bakal awal perseteruan yang baru saja di mulai.
Aku yang ikut dalam pemakaman masih melihat jika kondisi jasad yang terbungkus kain kafan itu terus mengalirkan darah. Hal ini membuat kain mori berwarna putih itu memerah dari penutup muka, sampai sekujur tubuhnya.
Dalam keadaan sudah tanpa nyawa pun, tenung itu masih saja bekerja merusak raga sang mayat.

Suasana di sini juga terasa sangat berbeda, angin kencang yang berhembus kencang hanya menerpa bagian atas liang lahat saja,
seperti sebuah mahluk sejenis #lampor yang terus memutari kami yang berdiri di pemakaman.

Sebagian orang hanya melihat dari kejauhan, mereka tdk berani mendekat karena merasa takut jika santet itu berimbas ke diri mereka juga keluarga, seperti dialami oleh tetangga Bu Larasati.
Keganjilan yang muncul bukan itu saja, roakan gagak yang bersautan dari atas pohon beringin besar dan rimbun itu seperti menyuarakan penyambutan astral, atau menandakan suara kematian. Entah apa arti semua ini, hanya doa yang terus terucap untuk benteng diri selama di sini.
"Kamu dari mana? Bukan orang sini ya?" tiba-tiba sebuah bapak-bapak menepuk pundakku.

"Bukan, Pak, saya hanya pelayat di rumahnya almarhum dan almarhumah."

"Ohh iya, perkenalkan saya Miko, abangnya Mbak Laras, menantu mendiang!" Orang itu memperkenalkan diri.
"Iya, Pak!" jawabku singkat.

Ini rentetan keganjilan selanjutnya yang kurasakan. Dalam waktu hampir bersamaan, selain menyaksikan kondisi mayat, roakan gagak, dan angin yang memutari area ini, tiba-tiba sosok Pak Miko datang memperkenalkan diri.
Hal ini tentu menjadi presepsi negatif dalam benakku, muncul pradugaku jika kemungkinan abang dari teman ibu ini lah yang menjadi dalang semua peristiwa ini. Praduga ku semakin menguat,
apa lagi jika teringat saat aku menyimak cerita Bu Laras jika perseteruan ini terjadi hanya karena sebuah warisan.

Di rumah duka, Pak Miko tidak terlihat sama sekali, baru di pemakaman ini aku berjumpa. Hal ini semakin menumbuhkan sebuah kecurigaan yang sangat kuat.
Ibu juga bu Laras tidak ikut hadir di sini, membuat suasana semakin aneh, ditambah dengan berdirinya laki-laki setengah tua yang kini tepat berdiri di sebelah ku.
Perasan aneh itu terus kurasakan sepanjang perjalanan dari kuburan sampai ke rumah pak Samsi. Setibaku di rumah, aku langsung membasuh muka, dan duduk sambil merokok berusaha menenangkan diri dari segala keanehan yang kurasakan.
Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan, mencoba mencari Pak Miko yg aku jumpai tadi, tetapi dia tidak nampak, rupanya ia hanya hadir saat di pemakaman saja.

"Dia kah orang dibalik ilmu Setan ini?" pertanyaan itu terus muncul, dan aku semakin ingin mencari jawabannya.
"Kenapa, Le?" tanya ibu sembari berjalan menghampiriku.

"Enggak, Bu, nggak apa-apa," jawabku seraya mencoba tenang agar tidak memperkeruh suasana yang tengah berkabung.
"Bantu ibu berdoa, prapat rumah ini, juga tebarkan garam ini keliling rumah ya!" suruh beliau dengan memberikan garam yang terbungkus saputangannya.

Aku langsung melakukan prapat, membentengi rumah dengan sarana doa dan juga menebarkan garam di sekeliling rumah dan halaman.
Hal ini terlihat aneh bagi sebagian orang, bahkan banyak yang bertanya apa yang tengah aku lakukan. Aku tidak menjawab dan tetap melakukan ikhtiarku. Aku hanya tersenyum membalas semua pertanyaan itu, dan itu kulakukan untuk mengurangi ketakutan para pelayat.
Aku jadi menyadari bahwa warga juga mulai banyak yang merasa aneh dengan keganjilan yang menakutkan ini. Mereka mulai bisa merasakan dan keanehan dari peristiwa ini. Saat aku berkeliling rumah, aku curiga dengan tanah yang seperti habis digali.
Posisinya tepat berada di belakang pekarangan, lebih tepatnya di sebuah sudut pagar belakang. Seketika aku langsung membongkar galian yang tidak seberapa dalam itu. Ternyata di situ tertanam bungkusan berbagai benda,
paku, kaca, silet, jarum, bahkan gelugut bambu dan juga sembilu tajam bambu wulung. Ada sobekan kain entah itu milik korban atau bukan. Aku mengambilnya dan membakar sobekan kain, dan juga kafan pembungkusnya, sementara barang lain aku bungkus dengan saputangan bekas garam tadi.
"Ada sungai deras atau bengawan nggak disini, Pak?" tanyaku pada seorang warga yang tengah melayat.

"Ada, Mas. Tetapi harus melewati sawah dan hutan dulu baru ketemu sungai!" jawabnya dengan muka penuh keheranan.

"Ada yang mau antar saya ke sungai nggak ya, Pak?"
"Wah kalau ke sana itu kebanyakan orang takut, Mas. Selain banyak ular juga wingit, sarangnya lelembut!" jawab bapak itu.

"Ohh iya, Pak, jalannya lewat mana ya?"

"Sebaiknya Mas nggak usah ke sana, mau ngapain?"
Orang itu malah balik bertanya dan memperingatkanku tanpa mau menghantarku. Mungkin karena hari sudah sangat sore menjelang magrib, tentu keangkeran sebuah tempat keramat sangat dihindari oleh penduduk kampung sini.

*****
Pengurus kehidupan itu Tuhan, namun jangan heran jika kematian juga bisa dihadirkan melalui tangan mahluk tanpa terlihat mata telanjang manusia!
Lanjut besok... Istirahat dulu.
Kalo udah sampe rumah lgsg lanjut kisanak.
Nanti malam beneran lanjut 😂 kemarin ketiduran. Capek.
"Al ... Al .... " suara ibu memanggil dari depan pintu.

Beliau seakan-akan sudah tau apa yang aku temukan, dari pintu dapur ibu berjalan menghampiriku, mukanya terlihat sangat serius saat menatap ke arahku.

"Njih bu!"
(Ya bu) jawabku
"Langsung dilarung wae barang iku, ojo nunggu beboyo teko maneh!"
(Langsung hanyutkan saja benda itu, jangan menunggu bahaya datang lagi) suruh beliau
Aku mengangguk pertanda setuju perintah ibu. Untuk menghindari penemuan benda ini diketahui banyak orang dan meminimalisir ramainya pembicaraan mengenai santet klenik kesakten ini di masyarakat, akhirnya aku memutuskan secepatnya mencari letak sungai besar itu,
agar bisa melarung (menghanyutkan/pemusnahan) benda yang menjadi sarana santet yang ditujukan kekorbannya.
Tak terasa hari sudah menjelang malam, alam yang bercahaya terang, kini mulai samar meremang. Aku berjalan melewati kebun salak yang lebat. Rimbunnya hutan bambu yang tumbuh di lereng jurang yang berseberangan dengan perkebunan salak membuat suasana semakin terasa angker.
Pantas saja, sebagian warga setempat menghindari area ini, yang ternyata merupakan sarang kuntilanak.

Perlahan berjalan menuruni jalan setapak dengan anak tangga batu yang terbentuk secara alami, suara gemuruh derasnya air sungai mulai terdengar. Tidak beberapa lama kemudian,
ak sudah sampai di sebuah sungai dengan air yang berarus deras, bebatuan Hitam berlumut pun menghampar di sebagian permukaan sungai. Di tengah gelapnya malam terdengar riuhnya suara serangga liar. Aku mulai menapaki bebatuan sungai dengan hati-hati karena batu-batuan itu sangat-
licin. Saat sampai di sebuah batu besar, aku berdiri di atasnya dan mengeluarkan benda yang terbungkus sapu tangan.

Hii ... hii ... hii ...
Belum sempat aku menghanyutkan semua benda-bensa ini ke sungai. Terdengar ramainya suara cekikan kuntilanak menyambutku, menandakan saat ini yang muncul lebih dari satu kuntilanak. Saat ini Aku merasa sedang dikepung lelembut.
"Bismillah, dunung dumadi, kramating samubarang, sirno tanpo tinapak, lebur kanti kersonging pengeran. Penjalin sak brayat tanpo tinukul kalahiraken, prawilo wangsul marang jagad lembut!"
Aku menghanyutkan benda-benda itu ke sungai, tak lama kemudian, derasnya arus air langsung membuat benda itu sirna dari pandangan. Semilir angin berhembus menyapu kesunyian malam yang terasa mistis. Aroma wewangian tercium.
Beberapa sosok mulai bermunculan menunjukan wujud-wujud mereka, meski hanya diam tanpa mendekat.

Aku memutuskan bergegas meninggalkan tempat ini, agar tidak lagi merasakan aura mistis yang buat bulu kuduk berdiri dan merinding!

-----
Dalam perjalanan pulang, aku singgah salat di sebuah masjid sebelum kembali ke rumah pak Samsi. Hanya beberapa jamaah saja mengisi tempat indah ini. Para penduduk sepertinya lebih memilih berdiam diri dalam rumah masing-masing.
Sepanjang jalan perkampungan sangat sepi. Di pertengahan kampung, terdapat jalan dengan tatanan bebatuan kecil yang letaknya lurus dengan turunan jalan yang menukik tajam. Sebenarnya lampu-lampu penerangan jalan terdapat di setiap tiang listrik,
tetapi tidak semuanya menyala sehingga menyebabkan cahaya yang muncul hanya remang-remang. Suasana memang terasa aneh di sini, selain jauh dari keramaian para penduduk pun nggak ada yang berada di luar rumah.
Bahkan para remaja pun tidak tampak berada di luar meski hanya sekedar duduk nongkrong menikmati malam.

----
"Mas, tadi ibunya Mas Al bilang kalo mas Al menunggu di rumah saja karena ibu sedang melihat rumahnya kakek Darmadi dengan bapak juga ibu," ujar Wahyu putra tertua bu Laras memberitahuku setibanya aku di rumah.

"Ohh iya, Mas. Maaf, saya numpang mandi dulu ya,"
"Sudah gelap kok mandi mas, disini dingin, nanti masuk angin."

"Ahh, ga papa, Mas. Masalahnya saya belum mandi seharian," ujarku.
Mungkin saja bagi Wahyu malam ini terasa dingin, tetapi bagiku dan tubuhku, terasa panas! Walaupun aku sudah beribadah, tetapi energi benda sarana santet itu masih saja terasa, membuat tubuhku terasa panas dan tenaga seakan-akan berlahan-lahan terserap oleh kekuatan asing.
Usai mandi kami duduk sambil ngopi, membicarakan perihal keganjilan semua ini.

"Mas kenapa tahlilan malam ini warga tidak ada yang hadir kemari?" tanyaku dengan memberanikan diri.
"Saya juga tidak tau Mas Al, mungkin pada takut karena rumor santet yang menimpa kedua eyang saya, jadi tidak ada yang datang!" Wahyu menjawab dengan wajah yang terlihat sedih.

"Bukannya tahlilan digelar sampai tujuh hari ya?"
"Iya, Mas, biasanya juga begitu!" katanya sambil menghela nafas.

Prangg !
Saat kami asyik ngobrol, tiba-tiba terdengar dari arah belakang terdengar suara seperti panci dibanting dengan sangat keras.Tepatnya berasal dari tempat memandikan jenazah mertuanya bu Laras siang tadi.
Kami beranjak untuk mengecek apa yang tengah terjadi di sana, takut ada maling atau orang jahat yang mau memasang tenung kembali.
Sesampainya ke tempat itu, kami terkejut karena melihat sosok pocong yang berlumuran darah berdiri di samping meja yang digunakan untuk memandikan mayat. Wajahnya terbungkus mori yang memerah karena darah sehingga kami tidak bisa melihat wajah dari dedemit ini.
"Astagfirullah...!" teriak Wahyu sebelum jatuh pingsan.

"Mas... Mas... Mas Wahyu, bangun mas!" Aku mencoba membangunkan dengan menepuk pelan pipinya.
Aku sama sekali tidak mempedulikan perwujudan setan yang masih tetap berdiri itu. Aku justru sibuk berusaha mengangkat tubuh besar Wahyu yang terjatuh tidak sadarkan diri karena ketakutan menyaksikan pocong tersebut.
Aku berusaha sekuat tenaga membangunkannya karena selain aku tidak sanggup mengangkat tubuhnya, tubuhku kalah besar dibandingkan dengan tubuh Wahyu.
Aku berlari keluar, berharap menemukan orang yg bisa di mintai pertolongan. Namun jalanan tetap saja sepi. Aku bertanya-tanya dengan diriku sendiri. Entah ada apa dengan desa ini, kenapa semua penduduk masih sangat pendek pola berpikirnya, mrk ketakutan dengan bayangan kematian.
Aku oleskan balsem yang aku temukan di tas ibuku, mengoleskannya di telapak tangan, kaki, juga bawah hidung, aromanya membuat Wahyu perlahan-lahan membuka mata, ia terperanjat, sontak terbangun, duduk dan berteriak ketakutan.
"Pocong... pocong...!" teriaknya histeris.

"Istigfar, Mas, sudah tidak ada setan itu."
Setelah sejenak mengatur nafasnya yang tersengal-sengal, dia mulai merasa tenang. Wajahnya masih terlihat pucat ketakutan. Aku mengajaknya kembali duduk di depan dan menyuruhnya minum air putih. Wahyu tertunduk dengan tatapan kosong,
sepertinya dia sedang menahan gejolak yang muncul di dalam dirinya, membuatku terus berusaha menenangkannya.

Wajar saja jika Wahyu merasa panik dan ketakutan. Ini pertama kali di dalam sejarah hidupnya menyaksikan wujud hantu secara jelas dan nyata.
Selama ini dia hanya mempercayai jika lelembut itu ada, tetapi sama sekali belum pernah melihat. Sekalinya melihat lelembut dengan wujud seperti itu membuat mentalnya down, dan jatuh tanpa sanggup menahan ketakutan.
"Istigfar, Mas. Semua baik-baik saja."

"Astagfirullah, Mas saya baru pertama kali melihat pocong seperti itu, sangat menyeramkan ternyata!" ujarnya sambil bergidik.

"Nggak papa, memang seperti itu wujudnya!" ucapku berusaha menenangkan dirinya.
"Aduh Mas, saya tidak bisa membayangkan bagai mana jadi seperti Mas Al."

"Jadi seperti saya, bagaimana maksudnya, Mas?" tanyaku karena tidak paham maksud ucapannya.
"Ibu sudah sering cerita mengenai keluarga Mas yang biasa menangani seperti ilmu hitam dan bersinggungan langsung dengan lelembut!"

"Itu ibu saya yang bisa, Mas, kalau saya tidak tau apa-apa, tidak bisa melihat apapun!" terangku padanya.
Prang! Prang! Prang!

Suara benda jatuh itu mulai terdengar lagi, tidak hanya sekali, tetapi berulang kali. Spontan Aku melihat ke arah Wahyu, tubuhnya terlihat tegang dan berkeringat, mimik wajahnya panik dan semakin pucat.
Aku menyuruhnya diam saja di sini, aku masuk ke belakang untuk mengecek suara tidak lazim itu. Aku yakin pasti ada yang akan disampaikan oleh sosok pocong itu, ia seperti ingin memberitahukan sesuatu atau meminta pertolongan
Saat tiba di tempat pemandian jenazah tadi siang, persis di tempat yang sama, berdiri sosok ibu tua mertua bu Laras, dengan tatapan mata berair, ia menangis, mulutnya terus mengeluarkan darah yang menghitam. Rintihannya terdengar pelan menggambarkan kesakitan dari jasadnya.

***
Sak klebating piweruh iku anggowo makno ugo siratan kang alus tanpo zdhohir suoro! Anamung kang julung, kang dumadi tinuju, biso ngrekso pawujud alus.
Aku terpaku memandangi pocong itu. Saat kuperhatikan dengan seksama, wujud pocong yang menyerupai almarhumah nenek Wahyu itu terus-menerus menangis, sementara mulutnya tiada henti memuntahkan darah.
Tiba-tiba seperti ada bisikan dan panggilan lirih yang mendorongku agar lebih mendekati lelembut itu, tetapi aku memilih mengabaikannya. Aku tetap saja fokus terpaku menatapnya.

"Le ... reneo ..."
(Nak ke sinilah)
Panggilan itu diulang sampai tiga kali seakan-akan untuk menyakinkan indra pendengaranku. Setelah panggilan yang ketiga baru kakiku melangkah, mendekat dengan sendirinya tanpa perlu diperintah oleh pikiranku.
"Aku titip Wahyu, Le. Jogonen putu ku... aku titip Tari... tulung jogonen putuku ...."
(Aku titip wahyu, jagakan cucu ku... aku titip Tari, jagakan cucu ku..), ucapan lirih itu terdengar dari setan pocong yang berdiri di hadapanku.
Aku mengangguk perlahan, pertanda menyetujui permintaannya , karena aku memperkirakan, bisa saja korban selanjutnya yang menjadi incaran ilmu ini adalah mereka berdua; kedua anak bu Laras. Dan kedatangan pocong ini bukan untuk menakut-nakuti,
tetapi lebih memberikan pesan atau meminta pertolongan, agar aku dapat melindungi Wahyu dan adiknya, Tari.

"Mas... Mas...!", suara wahyu memanggil dari ruang tengah.

"Iya,Mas!" jawabku menyahut panggilan Wahyu.
Wusshh ... !

Tiba-tiba angin berhembus dengan sedikit kencang.

Lapp ...

Mendengar suara panggilan Wahyu, sosok di hadapanku tiba-tiba lenyap menghilang tanpa meninggalkan tanda apa pun, hanya masih tercium aroma bau amis darah saja.
Aku sejenak menghela nafas, lalu meninggalkan area tempat pemandian jenazah, masuk ke dalam rumah menghampiri Wahyu.
"Ba ... bagaimana, Mas? masih ada pocong itu masih ada?" tanyanya dengan badan gemetar.

"Sudah tidak ada, Mas, sudah pergi, bagusnya mas Wahyu salat terus istirahat saja!" Suruh ku padanya, agar lebih tenang.

"Iya, Mas. Saya pamit sholat dulu ya!"

"Iya, Mas, silahkan."
Dengan kepala tertunduk seakan menyembunyikan kecemasannya, Wahyu berlalu masuk ke dalam kamar. Sementara aku hanya duduk menunggu kepulangan ibu dan keluarga bu Laras. Sambil menunggu kepulangan mereka, aku kembali berusaha memahami permintaan dari setan pocong tadi,
agar aku menjaga kedua cucunya. Apakah ini artinya mereka berdua kini juga sudah diincar oleh ilmu penebar maut ini? Sejenak aku memanjatkan doa dalam hati, semoga Tuhan selalu menjaga keluarga ini dan semua baik-baik saja.
Tidak beberapa lama kemudian, Wahyu keluar dari kamar, dengan wajah yang sudah mulai tenang ia menghampiriku, lalu kami duduk saling berhadapan. Dia berusaha menceritakan apa yang terpendam di dalam benaknya.
"Sebelum kejadian ini, Mas, sebenarnya kami semua sudah tau, awal mula peristiwa ini hanya dikarenakan warisan rumah eyang yang jatuh ke tangan ibu. Membuat malapetaka bagi keluarga kami!" Wahyu mengawali obrolan.

"Jadi siapakah dalang di balik semua peristiwa ini?" tanyaku.
"Itu yang belum kami ketahui, ibu sendiri juga tidak yakin jika saudaranya sendiri ada yang setega ini. Makanya, beliau antara percaya dan tidak percaya jika antara saudara sedarah sampai tega berbuat demikian!" ucapnya terisak dan mata berkaca-kaca menahan kesedihan.
"Jadi sebenarnya, seperti apa awal kejadian itu, Mas Wahyu?"

"Awal mulanya, eyang kakung (kakek) terserang santet itu sehari setelah kami semua melayat di rumahnya Pak De Miko, waktu itu putranya meninggal dunia. Setelah takziah ke sana,
eyang tiba-tiba sakit, badannya tidak bisa digerakkan sama sekali.
Sempat kami berpikir kalo eyang terkena struk, tetapi dokter mengatakan jika sebenarnya beliau sehat wal-afiat. Sampai berminggu-minggu kemudian beliau dirawat, tetapi tidak membuahkan hasil yang mengembirakan, perutnya semakin membengkak,
sampai yang terparah, kesadaran diri eyang hilang!" Imbuh Wahyu.
Aku hanya termangu melihatnya menyeka air mata berkali-kali saat menceritakan ulang semua peristiwa itu. Hingga kami dikejutkan dengan suara kedatangan mobil yang ditumpangi rombongan orang tua Wahyu dan ibu ku yang sudah datang.
Aura mereka terlihat lain, ada raut resah juga lelah di semua wajah-wajah yang baru saja tiba, terlebih lagi ibuku sangat terlihat kecapekan, dengan tatapannya yang sedikit ada kekosongan seperti memikirkan sesuatu.
Obrolanku dan Wahyu terputus dengan kedatangan mereka. Selanjutnya kami berkumpul mendengar penjelasan ibuku jika benang hitam itu sudah banyak tertanam di rumah yang menjadi sengketa itu.
Ibu juga menerangkan jika #BOLOSEWU sudah bertengger di sana menanti darah, hingga tulang belulang penumbalan berikutnya.
BOLO SEWU ini adalah jin dengan arti nama seribu pasukan, wujud mereka berbadan ular dan wajahnya menyeramkan menyerupai Denowo atau Buto Cakil yang taringnya lebih panjang, keluar dari barisan gigi tajam dari rahang bawah.
Mulutnya memanjang ke depan seperti mulut buaya atau serigala. Dalam dunia klenik atau perdukunan, jenis Bolo Sewu ini menjadi sosok jin paling di waspadai karena keganasan dalam memangsa jasad-jasad manusia yang menjadi tumbal.
Dengan raut wajah tidak biasa dan menyimpan sesuatu ibu berbicara lemah lembut kepada Bu Laras.
"Mbak, saya mau mengungkapkan gambaran yang terlihat oleh mata saya, hanya saja Mbaknya harus ikhlas menerima ini semua, harus berusaha memahami jika semua ini bisa berhenti hanya melalui pertolongan Allah Swt semata!"
ucap ibu, dengan genggaman jemarinya yang terlihat menahan genjolak jiwanya.

"Insa Allah, Mbak Nah, saya siap mendengar pernyataan itu, semoga Allah memberikan keikhlasan kepada saya dan keluarga, Mbak!" jawab Bu Laras dan anggukan suaminya yang duduk bersebelahan.

Huuffttt
Sebelum melanjutkan apa yg hendak diucapkan, tarikan nafas panjang juga berat terlihat dari ibuku, bibirnya masih bergetar ingin menyampaikan semua ini tetapi masih sangat terasa berat untuk beliau. Hingga tarikan nafas kedua yg terdengar lebih panjang, baru dimulai pembicaraan.
"Ini jenis santet dengan penumbalan, mengorbankan jiwa, baru bisa diikuti oleh pengambilan jiwa berikutnya! Ilmu seribu jin ini merupakan pencabut nyawa sampai semua keturunan habis tak bersisa, jika manusia sudah terkena ilmu ini semua akan mati sampai anak keturunannya.
Ini yang selalu di sebut santet BAMBU SERUMPUN (Pring Sedapur)," kata ibu menjelaskan.

"Jadi bagai mana menghentikan semua ini, Mbak?" tanya Pak Samsi suami Bu Laras.
"Perang! Mau tidak mau kita harus perang melawan mereka, tidak ada jalan lain! Perang ini yang harus menuai kata ikhlas itu, karena yang menjadi musuh kalian adalah keluarga kalian sendiri. Apa kamu siap, Jeng?" tanya beliau kepada Bu Larasati yang terlihat sangat tegang.
"Maksudnya keluarga sendiri bagai mana, Mbak Nah?" Bu Laras bertanya dengan nada yang semakin menunjukan ketakutan.
"Iya, karena rumah itu yang menjadi pangkal persoalannya. Kakakmu menjadi iri hati dan tertutup mata kebaikannya. Apa kamu tau, Jeng? Ilmu ini bisa terjadi dengan beliau terlebih dahulu menumbalkan anak nya sendiri!" Lanjut ibu menjelaskan.
"Astagfirullah! Apa kematian Lingga itu karena penumbalan bapaknya bukan karena kecelakaan?" tanya Bu Laras dengan sangat heran.
"Sudah aku duga, Eyang sakit juga sehabis melayat di rumahnya Pak De Miko kan, Bu!" Wahyu membuka suara, yang sedari tadi hanya menyimak sama denganku.
"Iya itu benar sekali, Mas, jatuhnya eyang terjadi setelah beliau melayat!" imbuh Tari sang adik.
Mendengar perbincangan itu, suasana menjadi hening. Semua yang hadir kini terdiam, menelisik pertanyaan dalam hati masing-masing, mengungkap tudingan dengan logika mereka sendiri. Hanya kini Bu Laras, sahabat ibuku itu terlihat terisak dalam tangisnya,
tidak menyangka jika kakak kandungnya sendiri memiliki pemikiran picik seperti itu, menghalalkan segala cara bahkan tega membunuh darah dagingnya sendiri hanya untuk suatu tujuan.
Pembicaraan malam ini sangat berat, dan pasti melukai semua hati seluruh keluarga ini. Kerena itu butuh keikhlasan, jika semakin terbawa dengan suasana emosi kekuatan ini justru akan mudah menyelimuti mereka. Bahkan tanpa mereka lihat jika sosok di rumah ini juga sangat banyak.
Banas pati sedari tadi juga sudah berputar-putar mengelilingi rumah ini!

Akhirnya ibu meminta semua penghuni rumah untuk beribadah dan berdoa meminta perlindungan Nya sebelum beranjak istirahat. Aku yang masih mencium bebauan yang berganti-ganti antara amis juga bau bakaran,
mencoba duduk di teras rumah. Menunggu apa yang akan muncul setelah ini!

Wusshhh ...!
Tiba-tiba muncul wujud hitam berperawakan besar dengan api yg menjadi kepalanya, terlihat semakin jelas dan nyata muncul di hadapanku!

***

Amung pinembah kanti sumelehing keikhlasan ati. Tanpo leno ing pandungo, sumeleh marang dzat sejati kang dumadi wojoning jiwo klawan rogo.
Sesaat aku hanya bisa tertegun saat menyadari bahwa ternyata sekarang aku telah berdiri berhadapan dengan sosok berkepala api itu. Badannya kekar, hitam dan legam, ruas jemari yang panjang dengan kuku hitamnya terlihat mencengkeram bagai cakar siluman yang mengerikan.
Setan atau jin ini selalu disebut oleh warga di sini dengan nama #KEMAMANG, jika mata telanjang yang melihatnya, ia hanya berbentuk bola api yang melayang, sangat mirip dengan banaspati, tetapi sosok ini lebih besar dan menyeramkan.
Kemampuan mahluk ini cukup membuat bergidik karena ia dapat menyeret manusia lalu menyembunyikannya di balik pepohonan yang angker, seperti pohon waru, randu, beringin, sengon, dll. Menghadapi mahluk ini sama dengan halnya ketika bertemu atau berhadapan dengan wewe gombel.
Apapun yang terjadi, kita harus berpura-pura tidak melihatnya, meski dicekik, digerayangi, Bahkan jika dijilat pakai lidah apinya pun, kita harus tetap diam. Jika sampai sosok ini melihat ketakutan kita, maka selesailah langkah kehidupan korbannya.

Wusshhh!
Deru angin sesaat menerpaku saat tanpa bersuara jin ini perlahan mendekatiku tanpa jarak. Sesaat jin itu hanya berdiri di depanku, aku merasa ia mengamatiku. Karena jarak kami terlalu dekat aku mencoba menggeser langkah, tanpa memperdulikan keberadaannya.

Wush...! Wush...!
Angin kembali menderu kencang saat setan #KEMAMANG ini terbang beberapa kali mengitariku, lalu naik ke atas langit, semakin lama semakin tinggi dan terlihat semakin samar.

Duuuarrr...!
Sebelum jin itu benar-benar sirna, terlihat sebuah api yang meledak di atas sana. Ledakan itu megeluarkan percikan cahaya api yang terang.

Wusshh...!
Hembusan angin kencang tiba-tiba muncul kembali. Ternyata semua ini belum selesai, baru sesaat saja aku bisa menarik nafas lega dengan kepergian setan itu, sekarang muncul lagi sosok #WEDON yang berwujud nenek tua memegang tongkat, dan berselempang selendang warna merah di leher
"Astagfirullah, wedon!" teriakku secara tiba-tiba saat melihat wujud nenek itu.
Awalnya hanya terlihat satu, lalu menjadi dua, bertambah lagi tiga, empat, lima, dan seterusnya. Sampai tak terhitung lagi jumlah si nenek dengan rupa dan wujud yang sama. Sosok itu terus bertambah dan berdiri menatap ke arahku yang sedang sendirian di halaman rumah Bu Laras ini.
Secara bersamaan mulutnya juga terbuka sangat lebar, andai kepala ku masuk kedalam mulut yang menganga itu akan sangat mudah untuk di lumatnya! Lidahnya yang berwarna merah itu perlahan menjulur keluar semakin lama semakin memanjang dan meliuk-liuk.
"Sengkolo minggat, raip soko adepan ku!" suara ibu terdengar berteriak dan mengacungkan telunjuknya ke arah wedon itu.

Laaapp... !
Secara bersamaan angin meniupkan bau bakaran kemenyan dan semua sosok lelembut itu menghilang seketika!

"Kamu tuh kenapa malah diluar malam-malam begini, Al?" tanya ibu.
"Saya cuma memastikan saja semua aman, Bu! Karena Al belum bisa tidur." jawabku memberikan alasan.

"Aman dari apa? Ini sudah nggak aman, lebih baik kamu berdoa atau istirahat saja!"
"Inggih, Bu!"

Akhirnya aku pun kembali masuk ke dalam rumah.

--------
Aku menghabiskan sisa malam ini dengan merebahkan tubuh di pembaringan, mencoba menutup mata dan menyandarkan segala rasa resah. Aku sejenak berdoa, mengharap jika esok pagi semua benar-benar menghilang tanpa adanya peperangan atau pun ada klenik yang dikirimkan lagi.
Namun, rasanya itu mustahil terjadi, karena pada kenyataannya semua peperangan ini baru saja di mulai. Nyawa yang sudah ditumbalkan dimaksudkan untuk menjemput rentetan nyawa berikutnya!
Dalam lelap tidurku, aku bermimpi didatangi seorang laki-laki seumuran abangku dengan rambutnya yang gondrong sebahu, mengenakan kalung berbandul taring harimau. Orang ini menemui ibuku, menyalami beliau, menoleh sejenak lalu tersenyum ke arahku.
Aku mencoba mengingat-ingat wajah laki-laki itu. Namun, aku belum bisa memastikan siapa orang itu dan kenapa datang dalam mimpiku padahal seingatku sebelumnya kami belum pernah bertemu.
Selesai salat Subuh, aku menceritakan mimpiku kepada ibu.

"Bu tadi malam saya di datangi sesosok laki-laki, setelah saya berusaha mengingat-ngingat siapa orang itu saya nggak bisa menemukan jawabannya, Bu. Sepertinya kami memang tidak pernah bertemu sebelumnya."
ibuku hanya tersenyum ke arahku dan menanyakan bagaimana cerita dalam mimpiku.

"Sosok laki-laki berkalung dengan taring harimau sebagai bandulnya. Dia menyalami ibu dan tersenyum saat melihat ke arah Al!" kataku menjelaskan.
"Alhamdulillah, doa ibu sudah di dengar Allah, dan dia itu murid ibu yang tinggal di Kalimantan, Insa Allah akan datang untuk menangani masalah ini."

"Murid ibu? Siapa?" tanyaku dengan rasa penasaran.
"Namanya Dvirgo, jauh sebelum kamu lahir dulu dia sudah belajar dengan ibu juga almarhum abahmu."

"Bagaimana ibu bisa tau kalau itu memang benar-benar dia, Bu?" Aku masih belum berhenti penasaran mengenai sosok laki-laki ini.
"Kalung itu, dia dapat saat tirakat dalam bimbingan ibu!" ucapnya memungkasi obrolan. Dan aku hanya terdiam mendengar penjelasan ibu.

----
Pagi harinya, aku pergi ke pasar tradisional mengantar ibu dan juga bu Laras untuk membeli beberapa barang yang diperlukan sebagai sarana keperluan yang ibu butuhkan. Klenik harus ditumpas dengan ilmu serupa, hanya perbedaannya,
kami cukup membalikkan tenung juga mantra hitam yang mereka kirim.

Namun ada juga beberapa barang kebutuhan yang tidak di jual di sini, seperti daun awar-awar, akar bidara, klembak putih dan lain nya.
Semua yang berasal dari tumbuhan harus di cari dalam hutan atau meminta kepada yang memiliki semua itu.

"Al coba kamu cari dimana disini yang jual minyak misik, tetapi ibu butuhnya minyak apel jin yang murni!"
"Dimana ya mencarinya, Bu? Al mana tau daerah sini!" Aku menjawab.

Ibu diam tidak menjawab, tetapi sorot mata itu mengharuskan pergi tanpa mau mendengar kata bantahan dari anaknya. Melihat itu aku mengelilingi area pasar, mencari yang dibutuhkan, tetapi aku tak menemukannya.
Aku mutuskan untuk bertanya kepada toko-toko yang menjual parfum atau minyak wangi. Mereka hanya menjual minyak yafaron saja, tidak ada yang menjual minyak yang ibu mau. Akhirnya menjelang sore hari aku baru tiba di rumah tanpa hasil yang beliau mau.
"Sekarang kamu jemput Dvirgo di terminal sama mas Wahyu, dia sudah sampai dan menunggu di sana!" suruh ibu kembali.

"Iya, Bu!" jawab ku, aku langsung berpamitan dan menyalaminya.
Semua orang terlihat sibuk. Tidak ada waktu untuk santai, semua sibuk mempersiapkan segala hal, bahkan pak Samsi sendiri pun sedari pagi sudah keluar mencari beberapa bahan. Namun, hal yang membuat lega adalah dengan datangnya salah seorang murid ibu dari Kalimantan.
Seandainya di nalar, hal ini terasa sangat tidak masuk akal, tidak mungkin dalam waktu sehari perjalanan laki-laki itu sudah tiba di sini.
Setelah menjemputnya di terminal dan kembali pulang ke rumah bu Larasati, aku membiarkan ibu, Bu Laras dan laki-laki itu berdiskusi membicarakan semua peristiwa ini. Aku yang tidak paham hanya duduk diam menunggu apa yang akan nanti mereka perintahkan.

------
Aku, ibu, Dvirgo, bu Laras dan suaminya, malam ini mendatangi rumah yang sangat mewah itu. Rumah yang besarnya bak istana ini adalah sumber semua malapetaka yang terjadi. Rumah itu terlihat sepi, hanya terlihat satu orang penjaga.
Dengan adanya Bolo Sewu dan banyaknya Denowo jin berbagai rupa menyeramkan itu, membuat semuanya terlihat singup lebih menyeramkan daripada kuburan atau tempat angker. Mata mereka serasa melihat dengan tajam kearah kami berlima saat memasuki pekarangan.
Saat pintu putih yang tinggi dan besar itu dibuka, hantaman aura setan langsung menyambar. Dada serasa panas juga sesak, seluruh badan berat, merinding, kepala pun pusing tiba-tiba! Uluk salam juga tameng ghaib sudah di rapal untuk perlindungan kami semua.
Bau pengap dari rumah sebesar ini tercium, bagai masuk kedalam sebuah gua tanpa adanya sirkulasi udara! Jin, Setan, mewujud, bersliweran menunjukkan rupa mereka yang aneh, bahkan banyak juga yang merayap di dinding, dari atas kebawah, mengepung kami semua saat ini.
Sambutan mereka sungguh membuat diriku merinding, terlebih menyaksikan bentuk-bentuk yang menjijikan dan menyeramkan itu.

"Bunga ini tolong sebarkan di depan rumah, Al!" Ibu memberikan plastik yang berisikan bunga mawar dua warna yang sudah di campur dengan minyak.
Aku menerima bungkusan itu dan kembali jalan ke luar rumah, bagai sebuah daya tarik dengan membawa bunga ini, semua lelembut dengan berbagai bentuk itu berjalan mengikuti langkahku.
Suara berisik mereka mengomelkan kata yang tidak jelas terdengar. Ketika aku tebarkan kelopak-kelopak mawar itu semua seakan seperti anak ayam yang berebut makanan, melahap bunga-bunga itu.

Laapp...! Laapp...! Laapp...!
Tanpa jarak waktu lama semua sosok itu langsung sirna, setiap selesai memasukan bunga mawar itu kedalam mulut mereka tiba-tiba saja satu persatu dedemit itu menghilang entah kemana! Mungkin mereka lebur mati, atau pun dikembalikan ke alam astral,
bisa juga di kembalikan ke sang pengirim, sama sekali aku tidak tau. Semua mahluk yang tadi terlihat di hadapanku kini telah hilang, lenyap tanpa bekas, hanya menyisakan bunga berwarna merah dan putih yang berserakan di tanah.
Walaupun puluhan setan itu sudah menghilang, tetapi masih banyak lagi jin berwujud menakutkan yang bertengger di seluruh rumah. Diperlukan cara lain melenyapkan semua bolo sewu dan buto ini.
Tiba-tiba muncul gerimis yg di ikuti suara dan kilatan petir. Perubahan cuaca yang tiba-tiba ini tentu saja ada kaitannya dengan semua ini, karena menjadi hujan lokal di area ini saja.

Wussh...! Wussh...! Wussh...!
Angin pun berhembus kencang dan secara tiba-tiba menerpa serta memutari tubuhku yang masih berdiri di depan rumah. Tubuhku sedikit terhuyung dan limbung, untung aku tidak terjatuh. Tiba-tiba dari kejauhan aku melihat cahaya dengan jelas,
seperti ada lilin yang sangat banyak terbang mendekat.

"Mundur, Dek, itu kiriman santet!" teriak Dvirgo.
Kemudian dia berjalan di luasnya halaman, berdiri dibawah rintikan gerimis yang disertai hembusan angin. Perlahan ia mengeluarkan sebuah benda, kujang kuningan kecil yang ia tempelkan ke arah kepalanya. Beberapa saat terlihat dia hening membaca doa.

"Allahhu Akbar!"
Ia berteriak seraya menancapkan benda itu ke tanah!

Duaaarrrr...!

Api kecil yang berterbangan itu meledak secara bersamaan bagai petasan. Serpihan api berjatuhan, lenyap sebelum menyentuh tanah.
Santet itu tertangkal oleh kekuatan yang dimiliki laki-laki ini. Namun, angin berhembus semakin kencang dan gerimis juga mendadak berhenti dengan sendirinya. Murid dari ibuku itu masih berdiri dengan kepala menengadah ke atas langit.
Rupanya belum selesai dirinya mampu menghalangi berbagai santet yang akan di kirim kembali.
Tiba-tiba muncul sosok genderuwo besar dengan tatapan mata merah, berjalan mendekati Dvirgo yang tidak bergeming sama sekali. Aku coba mendekatinya untuk memberitahu kan kedatangan barisan Setan Hitam berbulu itu, tetapi terlebih dahulu tangannya terangkat dan
memberi tanda peringatan padaku untuk tetap ditempat tanpa mendekat padanya!

-----
Tanpo tedeng aling-aling, anamung iman kang dumadi tamenging jiwo rogo, nembah marang kasunyatan bilih sawiji pengeran ta'ala kang anggadahi piwelas ugo panulung manungso! (Alzikra)
Suasana malam ini tidak hanya mencekam, tetapi juga menegangkan. Tampak laki-laki itu menggeram dan merunduk bagai harimau. Kini beberapa kali terlihat jemarinya yang berkuku panjang mencakar-cakar tanah yang ditumbuhi rerumputan,
sehingga membuat percikan tanah berumput terlempar ke udara. Para genderuwo yang berbadan kekar itu juga sama, tak mau kalah untuk menunjukkan kegarangan wajahnya. Terlihat sangat menyeramkan dengan taring panjangnya!
Mahluk-mahluk itu kemudian mengelilingi Dvirgo, mengepung dan siap menyerangnya. Mata mereka tajam memerah. Tangan berkuku panjang itu mengapai-gapai udara siap menyerang. Dvirgo, terlihat agresif. Ia mengambil posisi siap siaga menerima serangan.
Tak terbersit sedikit pun rasa takut di raut wajahnya. Ia tetap tenang walau berada di dalam kepungan sosok berbulu lebat itu, siap menghadapi pertarungan yang terlihat sama sekali tidak seimbang.
Saat aku fokus melihat Dvirgo yang sedang terkepung, tiba-tiba terdengar teriakan yang memekakkan telinga yang berasal dari dalam rumah. Teriakan Pak Samsi.

"Aaaaaaa...!"
Aku berpaling, menoleh ke arah arah rumah, sumber asal suara. Teriakan Pak Samsi menandakan sesuatu sedang terjadi di dalam rumah. Aku berlari masuk ke dalam untuk memastikan apa yang sedang terjadi, meninggalkan Dvirgo bertarung dengan kawanan astral seorang diri.
Saat aku masuk ke dalam rumah, aku menyaksikan di ruangan ini sedang terjadi interaksi, energi yang memancar sangat kuat. Aku berjalan ke belakang ibu. Dan pukulan itu sangat terasa ketika aku sudah berdiri di belakang ibuku yang tengah berdiri.
Ia menatap tajam ke depan, ke arah satu sosok berjubah hitam. Namun, hanya lengkungan bayangan saja yang dapat terlihat karena terhalang oleh kekuatan yang terus keluar dari mahluk itu.
Pak Samsi dan Bu Laras mencoba untuk bertahan menghadapi serangan yang menghantam mereka. Mahluk itu terus saja secara membabi buta menyerang mereka berdua.

Hoeekkks!
Akhirnya, kedua orang itu tersungkur dan memuntahkan sesuatu yang tidak bisa mereka tahan lagi. Hanya hitungan menit bu Laras jatuh terkulai tak sadarkan diri. Sementara suaminya masih mencoba untuk melawan dan kini ia hanya merunduk tersujud,
menekan dadanya sendiri yang terasa panas terbakar!

"Pak, jangan di lawan! Kekuatan ini sangat besar, justru bapak akan kuwalahan sendiri jika terus berusaha melawannya!" ujarku ketika berusaha merangkulnya untuk berdiri.
"To... to... tolong istri saya, Mas!" suaranya terdengar terbata-bata dan nafas yang tersengal-sengal. Tangannya terlihat gemetar saat dia menunjuk istrinya yang tergeletak tak berdaya di lantai.
"Pak, tenang, istigfar, jangan dilawan aura ini, yang ada bapak akan terkuras tenaganya!" aku mencoba memberi pengertian kepada Pak Samsi bahwa jika diteruskan usahanya akan sia-sia.

"Abaikan sa... saya..." suara itu terdengar kesakitan. Tolong istri saya, Mas."
Mendengar permintaannya, aku langsung menghampiri bu Laras, mencoba mengangkatnya dari lantai. Namun, dengan keterbatasan tenagaku aku tak mampu mengangkatnya, jangankan untuk menggendong tubuh Bu Laras yang sedang pingsan ini, hendak mendudukkannya saja aku tidak sanggup.
"Tolongg! Tolong!

Akhirnya, aku menarik kedua tangannya, menyeret sebisanya keluar dari ruangan ini sambil teriak meminta pertolongan!
Tampak pak tua si penjaga rumah lari tergopoh-gopoh menghampiri kami.

"Mas, kenapa, Mas, ada apa dengan Bu Laras?" tampak raut kepanikan muncul wajah tuanya.
"Sudah nanti saja bertanyannya, Pak, bantu saja saya mengangkat Bu Laras!" teriakkku seraya menyadarkan lelaki tua itu yang masih berdiri tertegun keheranan.
Mendengar permintaanku dia langsung mengangkat bagian kaki, kami menggotong Bu Laras secara tidak wajar. Bagai mengangkat mayat, tenaga kami terkuras untuk memindahkannya. Akhirnya dengan susah payah kami berhasil membawanya ke depan teras,
lalu membaringkan tubuhnya di kursi panjang.

"Aaaakkkkk...!

Baru saja selesai meletakkan tubuh Bu Laras, saat berdiri dan ingin menarik nafas, suara jerit kesakitan kembali terdengar. Pak Samsi terdengar memekik dengan sangat keras.
"Bapak tunggui Bu Laras saja!" tanpa menunggu jawabannya, secepat kilat aku berlari masuk ke dalam rumah.
Saat di dalam rumah kulihat Pak Samsi tengah berguling-guling kesakitan, darah sudah keluar dari hidung dan mulutnya. Sejenak aku melihat ke arah ibu ku yang masih tegak berhadapan dengan sosok itu.
Mereka saling berpandangan mengeluarkan ilmu kebatinan masing-masing untuk saling menyerang. Perang sukma ibu yang meninggalkan raganya menjadi benturan dan terus menciptakan kekuatan yang beradu antara keduanya.

Wussshh!
Angin dengan hawa sangat panas mengelilingi tempat ini, gempa kecil mengetarkan lantai juga dinding rumah yang sangat megah ini.

Setiap kali angin itu menerpaku, tubuhku mundur selangkah Hampir saja aku tak mampu menahannya karena mendapat dorongan kekuatan yang begitu kuat
menghantamku. Aku mendekati Pak Samsi, menarik bahu pak Samsi, lalu membawanya berjalan berlahan meninggalkan ruang yang tengah mencekam ini.
Setibanya kami di teras, Pak Samsi terkejut dan histeris melihat kondisi Bu Laras.

"Ya Allah, Bu!" jerit Pak Samsi ketika melihat istrinya masih terkulai di atas kursi.

ubuukk! uhukk! uhuukk!
Dia hanya menangis, mencoba menenangkan dirinya sambil berulang kali terbatuk-batuk.

Perlahan Pak Samsi menghampiri Bu Laras, duduk di dekatnya dan dengan beristigfar dia mengelus lembut kepala sang istri penuh rasa kesedihan.
Ia sama sekali tak menyangka jika semua musibah ini menimpa istri, keluarga, bahkan dirinya. Air matanya terus keluar di sudut kedua mata yang kini berubah menatap penuh amarah.
"Setan laknat, ya Allah berikan hukuman setimpal utk manusia yg telah membuat semua ini trjdi pd keluarga kami!" teriak Pak Samsi penuh emosi yg tidak bisa ia tahan lagi.

"Sabar, Pak, istighfar dan banyak berdoa!" Lelaki tua penjaga rumahnya itu mencoba menenangkan majikannya.
Suasana menjadi haru biru, di dalam rumah nampak suasana ketengangan karena terjadi perang batin antara ibu dan mahluk ibu, sementara di sini, kondisi Bu laras dan suaminya sangat memprihatinkan.

-------
Dvirgo yang sudah membereskan kawanan genderuwo, mulai berjalan menghampiri kami.

"Ada apa, Al" tanyanya kepadaku.
"Ehh... Pak Samsi... Bu Laras..." belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Dvirgo memintaku untuk menyingkir, menjauh dari mereka berdua.
Perlahan ia mendekati mereka. Terlihat, sejenak ia khusuk berdoa, kemudian meniupkannya ke telapak tangannya, lalu mengusapkannya secara perlahan ke tubuh Pak Samsi dari ujung rambut sampai ujung kaki, menarik energi negatif dalam tubuh Pak Samsi.

Hoekkss! Hoekss!
Setelah mendapat usapan tangan Dvirgo ke tubuhnya, Pak Samsi memuntahkan seluruh isi perutnya yang hanya tinggal cairan kuning kemerahan.

"Kasih beliau minum!" suruhnya pada kami berdua.
Dengan cekatan pak tua itu berlari menuju dapur dan mengambilkan air untuk Pak Samsi. Tidak seberapa lama juga terlihat ibuku berjalan keluar.

Uhuk! Uhuk!
Beliau batuk-batuk kecil, kemudian mendekati Bu Laras yang belum juga siuman. Ibu duduk di samping Bu Laras dan memeganginya. Tidak begitu lama kemudian, dia bangkit berdiri lagi lalu mengarahkan telunjuknya ke atas. Menunjuk ke arah langit.
"Kini yang datang semakin banyak!" kata ibuku.

Serempak kami mengarahkan pamdangan kami mengikuti di mana jari orang tuaku itu teratah. Tampak di atas sana, sebuah api melesat terbang mendekat.
"Bolo Sewu dikirim lagi!" teriak Dvirgo, dengan rahang yang dia eratkan, menandakan emosinya kini hadir kembali.
"Ini tidak akan pernah selesai, jika empu pengirim tenungnya tidak diatasi. Sebaiknya kita mundur dulu untuk keamanan Mbak Laras juga suaminya!" ibu berteriak sambil memperingatkan muridnya.

"Jadi bagaimana sekarang, Bu?" tanyakuu.
"Bawa pulang dulu Mbak Laras, kalian angkat ke Mobil, segera tinggalkan tempat ini!"

-----
Seru dan menegangkan gak?
Meski pun dalam pertempuran kami sudah banyak yang di musnahkan, tetapi sang dukun itu terus mendatangkan pasukan gaibnya dengan jumlah yang semakin banyak.
Tentu pertarungan dengan keilmuan seperti ini akan membahayakan manusia awam seperti dirikuu juga keluarga Bu Laras yang tidak tau atau paham dengan hal klenik juga gaib!
Pagi itu semua masih dalam kesibukannya, ibu yang masih mengobati bu Laras dan pak Samsi dibantu oleh Dvirgo. Sementara aku mencoba menceritakan semua kejadian ini kepada kedua anaknya.
Tari juga Wahyu yang mendengar semua ceritaku berkali-kali terlihat ketakutan dan mengusap tengkuk juga tangan mereka saat merasa merinding terhadap peristiwa yang di hadirkan oleh sosok dalam cerita.
Nafas mereka juga terdengar mulai memberat menandakan bisa dapat merasakan tekanan energi astral itu meski hanya melalui sebuah gambaran ceritaku saja.
"Memang ada ya, Mas Al, manusia sekeji itu, hidup berdarah dingin, membunuh sesama manusia dengan ilmu yang dia miliki?" Tari mengacukan pertanyaan padaku.
"Itu hanya orang-orang tersesat yang berlaku sekeji itu, selain dibutakan oleh duniawi, mereka juga memiliki misi dengan pertarungan gaib itu adalah suatu pembuktian.
Semakin sakti ilmu kanuragan kebatinannya maka akan naik juga pamor dirinya di dunia hitam perdukunan!" aku mencoba menjelaskan perihal dunia kelam para penganut ilmu sesat.

"Kenapa Allah tidak memberikan hukuman bagi manusia-manusia seperti itu, Mas Al?"
tanya Wahyu, melanjutkan pertanyaan sang adik.

"Azab itu dua hal yang di kehendaki Allah, Mas Wahyu, ada yang diturunkan langsung di dunia sebagai bentuk contoh manusia terburuk selama hidup,
itu sudah banyak kita dapati dan mendengar dari jaman nabi-nabi terdahulu sampai saat ini!" terang ku.

"Lalu yang kedua apa mas?"
"Yang kedua azab sesudah mati, menerima pembalasan dalam liang kubur, sampai hari kebangkitan di akhirat kelak dera itu abadi, tanpa pernah berakhir!"

"Naudzubillah...!"
Dalam ilmu santet yang menyerang keluarga ini, peperangan ini baru awal, baru akan di mulai meski dua orang sudah meninggal dan imbas ganasnya ilmu santet ini kini dirasa oleh Bu Laras juga Pak Samsi. Sangat mengerikan, demi ambisinya,
manusia memutuskan bersekutu dengan setan, menandakan ia buta mata hati juga hilangnya nurani kemanusiaan. Gelap akan ketamakan, hingga nyawa menjadi mainan dan suatu tanda kemenangan.

Duarrrr!
Tiba-tiba terdengar bunyi menggelegar dari atas rumah, kembali tenung itu menghantam keberadaan kami semua. Rasa kaget tanpa terelakan pada kami bertiga yang tengah membicarakan keilmuan itu di ruang tamu!

---
Hidup di dunia hanya menanam, alam akhirat di sana masa memanen. Tanam kebajikan akan tumbuh buah kemenangan, jika menanam kebatilan hanya celaka yang akan di tuai. (Alzikra)
Saat itu seketika muncul kepanikan di ruang tamu tempat kami berada saat mendengar dentuman suara yang mengagetkan itu. Gelegar suara itu sangat keras terdengar, membuat kami yang tadinya asyik bercerita seketika diam dan refleks menutup mulut masing-masing.
Dalam suasana hening, kami berkutat dengan pikiran masing-masing, berusaha memahami dan menyimak apa yang sebenarnya terjadi.

Tiba-tiba, nampak ibu berjalan keluar dari kamar dan mengecek keadaan kami bertiga, sesaat beliau lekat menatap tajam ke arah diriku.
"Huuhh .... Huuhh .... Huuhh!

Aku berusaha untuk mengapai udara sebanyak-banyaknya, kuhirup dan kulepaskan. Nafasku terasa amat sesak. Suhu tubuhku meningkat, tubuh terasa panas dan kepalaku terasa pusing, saat aku melihat bagian atas rumah,
serasa gambarnya berputar. Pandanganku pun terasa meredup dan memudar, apapun yang kulihat tak nampak jelas. Ternyata hantaman yang mereka kirimkan tepat mengenai ragaku. Aku yang tanpa tameng kesiapan untuk melawannya, kini justru yang terkena, menjadi sasaran ilmu setan itu.
Semakin lama, aku merasa fisikku semakin lemah.

"Al ... Al....!" suara ibu masih terdengar, meski tidak begitu jelas lagi.

"Aaaaa...!"
Aku hanya bisa menjerit lirih, menahan rasa sakit yang luar biasa. Sakit perut yang kuderita terasa sampai ke dada. Rasanya tidak karuan, panas mendidih. Aku hanya mencoba menarik nafas sebisaku, melawan semampuku.

"Hoekss....!
Aku menutup mulutku saat tiba-tiba merasa ingin muntah. Rasa mual ini semakin kuat, ususku bagai di pelintir. Gambaran rasa sakit yang kurasakan tidak lagi bisa tertuliskan, sampai akhirnya tiba-tiba
terasa sebuah tenaga mengalir bagai angin yang cukup kuat dari punggungku. Menjalar perlahan dari dalam perutku terus naik ... naik ... dan naik sampai ketitik rasa sakit yang kurasakan.

"Hoeeeksss....!
Rasa mual yang begitu hebat kembali menyerangku, kali ini aku tak bisa lagi menahannya, semakin kuat aku menutup mulutku dengan tanganku, semakin perutku bergolak, menuntut agar aku memuntahkan isinya.

"Hoeekss!

"Byuurr!"
Seketika tanganku terlepas dari mulutku. Darah segar disertai dengan benda aneh menyembur keluar dari mulutku. Setelah dilihat dengan seksama ternyata benda itu merupakan remukan tulang belulang, yang sangat kecil dan tajam.
Aku muntah berulang kali, sampai yang tersisa yang keluar dari perutku hanya cairan air berwarna kuning. Hal itu membuat kondisiku lemah, dan akhirnya dalam kondisi lunglai tanpa daya, mataku terpejam, tanpa bisa mengingat apapun lagi.

---------
Pagi itu kesadaranku mulai pulih. Perlahan aku membuka mataku, masih terasa berat dan pangandanganku belum terlalu jelas. Sayup-sayup aku mendengar suara yang ramai di rumah ini. Aku ternyata terbangun di hari kedua setelah kejadian itu,
bertepatan dimana hari itu Pak Samsi meninggal dunia. Pemakaman sudah di laksanakan pagi tadi, otomatis hal ini membuat kedukaan yang mendalam bagi Bu Laras dan kedua anaknya bertambah.
Semakin lama suara riuh warga masih terdengar. Saat aku benar-benar membuka mataku, aku menjumpai wajah ibu tepat di hadapanku.

"Minum ini Al ...!"
Ibu menyodorkan segelas air dengan campuran bunga melati. Aroma air itu tercium wangi misik, rasanya sangat pahit, tetapi aku berusaha meminum dan menghabiskannya. Setelah aku meneguk air yang diberikan ibuku. terasa reda panas di perut dan di dadaku perlahan mulai mereda.
Namun walaupun demikian, rasa sakit yang menyerangku masih sangat terasa. Perih luka di pangkal tenggorokan sampai langit-langit mulut ini karena benda berupa tulang-tulang yang tajam itu. Badanku masih serasa lemas, tenagaku benar-benar terkuras habis.
"Pak Samsi meninggal subuh tadi, kamu memikirkan apa sampai bisa terkena sasaran teluh itu?" ibuku bertanya padaku seraya menjelaskan jika suami bu Laras sudah berpulang.
"Aku hanya merasa iba saja melihat keluarga ini, Bu. Aku merasa tidak tega menyaksikan peristiwa yang dialami oleh Bu Laras juga pak Samsi. Di tambah lagi kondisi anak-anaknya juga terlihat sangat ketakutan!" jawabku seraya terus menahan sakit.
"Ibu sudah bilang, jika jangan mengasihani semua ini, setragis apapun itu! Apa kamu tidak ingat orang yang waktu itu kena sasaran teluh? Hal itu terjadi karena ia iba melihat mertua mbak Laras meninggal.
Kamu kan tau, pantangan dari ilmu ini, kita dilarang iba dan berwelas asih, Le!" ucap ibu berusaha mengingatkanku dengan nada suara yang sedikit keras.

'Nggih, Bu. Maaf aku sudah terlarut dengan rasa iba, sampai lupa dengan pantangan itu."
Aku berusaha tersenyum dan mengangguk pertanda bahwa aku mengerti. Tidak beberapa lama kemudian beliau berpamitan keluar untuk menenangkan semua orang, terutama keluarga mendiang, temannya yang saat ini sangat butuh dukungan beliau.
Sementara itu, aku hanya bisa tergeletak lemah, tanpa bisa bangkit, terasa aku bagaikan lumpuh, tak bisa bergerak. Aku hanya bisa bernafas dan berdoa, hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini.

--------
Tak terasa, dua hari telah berlalu tanpa bisa melihat apa yang telah terjadi. Saat ketika tersadar ternyata korban sudah bertambah lagi. Pagar gaib yang sudah dibuat sebelumnya bisa tembus oleh gempuran setan-setan kiriman dukun itu!
Peperangan yang sangat mengerikan ini belum mencapai akhir. Situasi dan kondisi yang terjadi, menimbul kan rasa takut ketika menyadari bahwa diriku pun tak punya daya untuk membendung ilmu hitam yang sakti.

Kreeekk!
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, ketika aku membuka mata, terdengar langkah seseorang yang berjalan mendekatiku. Perlahan aku menoleh ke arah suara itu, tetapi karena kondisiku belum pulih, aku belum bisa melihat secara sempurna dan dengan jelas siapa orang yang masuk ke kamar.
Jarak dipan dengan pintu sebenarnya tidak terlalu jauh, tetapi penglihatanku masih samar-samar menyebabkan aku tak mengenalinya.
Bayangan itu terus mendekat dan perlahan
mulai terlihat jelas. Sosok nenek tua, berkulit keriput datang menghampiriku. Tatapannya terasa tajam walaupun hampir separuh matanya tertutup oleh kantung mata yang mengatup.
"Mbah Sareh!" aku terkejut melihat sosok beliau kembali.

"Hiiihiiii! Nih ... makan biar sehat bagas waras, Le!" beliau memberikan potongan kemenyan sebesar ujung kelingking anak kecil padaku.
Mbah sareh salah satu nenek yang di temuan mas zikra di thread ini 👇

Aku hanya bisa bengong dan terdiam karena aku sangat terkejut saat menyadari bahwa mbah Sareh ternyata yang mengunjungiku. Perlahan aku membuka mulutku, lalu Mbah Sareh memasukan benda tersebut. Benda itu sangat mudah masuk tanpa perlu kutelan.
Tiba-tiba badanku serasa sangat dingin, tangan beliau mengusap pelan dahi ku yang membasah karena keringat. Rasa kantuk yang hebat tiba-tiba menyerangku. Sebelum mataku benar-benar kembali terpejam, samar-samar aku melihat sebuah senyuman yang sangat tulus.
"Mbah Sareh ...!"

Aku bergumam lirih dan tertidur lagi sampai semua tak terlihat lagi.

Setelah bertahun-tahun lamanya semenjak pertemuan aku dengan Nyai Sembrani di bukit Sepungkruk, kini beliau hadir dengan wujud yang sama persis sebagai Mbah Sareh.
Sosok itu tetap manjing padaku, silaturahmi diantara kami ternyata tidak terputus.
Setelah sekian lama aku tertidur, akhirnya aku terbangun. Namun saat terbangun, seperti ada yang lain di tubuhku. Aku merasa sudah sangat sehat, tenagaku sudah kembali pulih, bahkan terasa seakan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
Setelah aku raba dengan lidahku, ternyata luka di langit-langit mulutku juga telah menghilang. Aku langsung bisa berdiri tegak, berjalan, keluar kamar dan menemui yang lainnya yang tengah bertahlilan di ruang tamu.
Semua mata tertuju melihat ke arah ku, ibuku merasa heran ketika melihatku berjalan menghampirinya. Senyum hangat beliau terlihat menenangkan, seakan memaknai jika dirinya sudah paham apa yang tengah terjadi denganku.
Hanya saja saat kuarahkan pandanganku ke keluarga Bu Laras, raut wajah-wajah kesedihan itu masih terlihat jelas pada mereka yang ditinggalkan oleh Pak Samsi. Saat aku melihat Bu Laras, ada untai senyum terpaksa muncul di sudut bibirnya.
"Gimana, Le, sudah baikan?" ibu bertanya ketika aku sudah duduk di samping beliau.

"Alhamdulillah, Bu, sehat sekali sekarang!"
"Itu qhodam yang datang, memberikan obat buat kamu. Jangan lupa berterimakasih pada beliau yang sudah lama menjaga kamu selama ini!" ujar ibu menjelaskan.
Aku terdiam mendengar perkataan ibuku. Aku hanya merasa heran mendengar jawaban ibu, ternyata aku baru menyadari bahwa begitu banyak penjaga diri ini, tanpa terasa dan terlihat oleh mata. Mereka yang dahulu pernah hadir dalam perjalanan kehidupanku ternyata selama ini menjagaku,
bagai bayi yang terus mereka asuh dimana pun berada. Aku juga masih belum paham bagai mana cara berterimakasih kepada para penjaga itu, seperti yang diminta oleh ibuku.
Aku bergabung dengan warga, ikut membacakan doa agar arwah mendiang almarhum Pak Samsi, Setelah Isya, para warga berpamitan untuk kembali ke rumah mereka masing-masing. Setelah itu aku ikut duduk untuk ikut berkompromi.
Akhirnya kesepakatan diambil bahwa Bu Laras dan anak-anak nya untuk sementara harus pindah dari rumah ini sampai semua kembali membaik dan normal. Hal ini dilakukan karena sudah saatnya segala santet ini harus segera di akhiri.
Sampai akhirnya pembicaraan kami menemui mufakat jika besok pagi semua harus meninggalkan rumah ini meski mereka masih dlm keadaan berkabung. Duka itu tentu menjadi rasa yg sangat berat untuk mereka. Tanah kuburan masih basah, harus ditinggalkan demi menghindari datangnya maut.
Keluarga Bu Santi, adik kandung dari almarhum Pak Samsi, mau menampung mereka. Meski sanak saudara yang lain justru menolak takut kena imbas dari ilmu sesat ini. Lima bersaudara pak Samsi merupakan anak paling tua dari keempat adiknya,
Bu Santi adik paling kecil yang sudah berkeluarga terketuk hatinya, merasa iba melihat kakak ipar dan anak-anaknya terkatung-katung larut dalam duka juga hidup dengan merangkul ketakutan oleh kematian yang kapan pun dapat menghampiri mereka kembali.
"Mbak Nah, yakin tidak mau ikut kami, Mbak?" kata Bu Laras pada ibu.

"Doa kan saja, Mbak Laras, kalau saya ikut mendampingi mbak di sana, semua masalah ini tidak akan pernah selesai!" jawab ibuku, pada sahabatnya itu.
"Semoga semua dalam lindungan Allah ya, Mbak Nah, saya dan anak-anak tidak tau harus bagai mana lagi berterimakasih untuk semua ini." Bu Laras berucap sambil memeluk ibu ku.
Ibu ku hanya memeluk, menguatkan sahabatnya itu. "Kamu harus kuat dengan semua ini, Mbak, kita sama-sama berdoa ya, semoga semua ini segera selesai dan membaik. Bismillah saja, Mbak!"
Keesokan harinya mereka pergi menuju kediaman adik iparnya, sementara itu. kami bertiga masih di sini dengan segudang misteri yang akan di hadapi nanti, seraya kembali mempersiapkan diri, iman, untuk kembali menghadapi dukun dengan seribu jin kirimannya.

-------
Sematkan dalam diri, jika dengan keyakinan, maka akan di dapati kemenangan. Halangan itu tidak akan usai tanpa berani menghadapi. Melangkah meski harus mati di jalan yang menjadi ketentuan kebenaran.
Karena cerita ini baru di mulai.
Karena cerita ini masih panjang dan membutuhkan waktu lama, dan sebelum saya lanjutkan cerita ini. Saya dan @JeroPoint akan kolaborasi di thread terbaru. 👇


Mohon bersabar 🙏

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with kalong

kalong Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @cerita_setann

Apr 25
Sebuah kisah tentang ISTRI yang melakukan pernikahan gaib dengan IBLIS demi KETURUNAN !!!

A Thread Horror
"SANG PENGANTIN IBLIS"

#bacahorror @asupanhororrr @IDN_Horor @bacahorror #pengantiniblis Image
September 1999

"Srekkk ... Srekkk ... Srekkk...."

Malam itu, suara langkah Kinanti terdengar mantap ketika menapaki jalanan tanah kering. Wajahnya terlihat datar, matanya menyorot penuh keberanian.
Ia terus saja berjalan menyusuri jalanan, sebelum akhirnya menghentikan langkahnya tepat di depan pintu sebuah rumah tak berpenghuni.

Hening dan gelap suasana di dalam rumah itu, membuat kesan seram begitu terasa. Namun hal itu tak membuat tekadnya goyah.
Read 53 tweets
Mar 11
-WARISAN PENARI-
"SAMPUR & KAWATURIH"

Jujur, banyak sekali DM yang masuk dan pembahasannya menarik semua. Mulai dari Gagar Mayang, Sampur / selendang, dan Kawaturih.

Tapi malam ini kita akan sedikit membahas tentang kengerian warisan sampur & kawaturih.

a thread

#bacahorror


Image
Image
Image
Image
Nah disini saya mau cerita sedikit tentang profesi seorang penari tradisional. Bisa di bilang seperti penari ronggeng atau semacamnya. Di cerita ini si ibu yang sudah terjun bertahun-tahun menjadi penari harus mengalami kengerian.
Di mana, yang seharunya itu di wariskan kepada anaknya, tapi si ibu ini memilih untuk tidak. Kenapa? Karena beliau tahu bagaimana rasanya dan kengeriannya ketika di ambang kematiannya. Beliau tidak mau anaknya akan bernasib sama.
Read 42 tweets
Mar 6
-POCONG CULI-

Sekitaran Demangan - Gejayan

"Tok...tok...tok...." pas di buka pintunya, ada pocong ngomong "...Culi"

a thread

#bacahorror #asupanhorror @asupanhororrr @IDN_Horor @merapi_uncover Image
Bagi teman-teman yang sudah lama tinggal di jogja, khususnya di daerah Demangan, pasti gak asing sama cerita pocong culi.

Menurut beberapa sumber, dulu di tahun 2000an, masyarakat sekitar Demangan di gegerkan sama teror pocong culi.
Ngerinya, pocong culi ini meneror warga sekitar dengan mengetuk pintu dan berteriak “culi...culi...” yang di artikan kalau pocong itu meminta untuk di lepaskan tali pocongnya.
Read 70 tweets
Mar 5
-BEGAL PESUGIHAN JALAN WATES-

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan

a thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Banyak perbincangan tentang jalan propinsi jogja-wates yang terkenal dengan pemasangan BEGAL PESUGIHAN.

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan.
Di Kilometer berapa pemasangan pesugihannya, saya juga kurang tau, hanya saja, sepanjang jalan itu sering banget terjadinya kecelakaan. Bahkan kalo pas apes, kadang melihat beberapa kali korban sudah tergeletak di pinggir jalan atau di bawah kolong truk.
Read 22 tweets
Feb 12
THE REAL "SANTET LORO JIWO"

“Lanang menang milih, wedok menang nolak.”

A Thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Sumatera 2018

Namaku Anis. Aku tinggal di Sumatera. Kejadian ini aku alami setelah menikah. tapi jauh sebelum itu, ketika masih sekolah, ada lelaki yang pernah suka sama aku. Namanya sebut ajaa Bowo.
Awal mula kita deket ketika ibuku jatuh sakit karena kecelakaan. Dikarenakan jarak sekolahan dgn rumahku jauh, aku gak bisa pulang buat jenguk ibuku. Dari sinilah aku meminta tolong Bowo untuk datang ke rumahku untuk melihat kondisi ibuku. Itu dikarenakan rumah kita memang dekat.
Read 58 tweets
Feb 7
“Ya beginilah, niatnya mondok mau cari ilmu agama, malah nemu hal munkar yg udah lama tersembunyi di pesantren. ((Bukan tempatnya)) Tapi ada penghuni di dalam tempat tersebut yg pernah ngelakuin hal biadab dan berusaha ia sembunyikan.”

a thread

#bacahorror Image
“Namanya Marlina. Dia salah satu santriwati di pondok pesantren ini. Dulu ketika mondok, dia menjadi korban bully karena bisu. Hal itu membuat Marlina ini mentalnya down. Sampai suatu ketika, karena kekurangannya itu,
ada salah satu oknum yg jg pengurus pondok sekaligus pemuka agama, melakukan tindakan munkar dan tak bermoral kepada Marlina. Marlina di lecehkan di salah satu ruangan pondok, sesaat setelah di suruh untuk mengembalikan buku hafalan.
Read 64 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(