Bali memang sudah terkenal dan dikenal oleh banyak orang, berkat tatanan kehidupan masyarakatnya masih sangat unik, alamnya yang indah, masyarakatnya sangat religius.
Tetapi masih banyak pula orang yang belum mengenalnya secara mendasar, sehingga masih ada penilaian yang miring terhadap Bali, baik datangnya dari luar maupun dari dalam.
Saya sebenarnya menganggap itu adalah wajar-wajar saja, sebab saya menganggap mereka masih perlu belajar banyak lagi tentang Bali. Tetapi sayangnya juga, kebanyakan dari mereka tanpa berpikir atau menelusuri, tahu-tahu memvonis.
Keadaan seperti itulah yang sangat menarik perhatian saya untuk merenung, agar mendapatkan jawabannya.
Ada satu contoh, setiap orang Bali melakukan aktivitas agama, terutama yang ada kaitannya dengan upacara agama, kelihatannya rame, rumit dan sulit.
Banyak yang tidak mengerti, bahkan tidak sedikit yang menjadi kebingungan.
Di dalam kebingungan inilah mereka memberikan penilaian sesuai dengan keinginan mereka, bahkan memvonis sesuai dengan kehendaknya. Di dalam kata hati saya, apakah itu benar seperti penilaian mereka?
Pada waktu saya menimbang² dlm pikiran, munculah kata hati saya sbb;
Bali adalah suatu pulau yg dihuni oleh orang² Hindu yang memiliki kwalitas berpikir cukup tinggi & wawasan berpikirnyapun teramat luas. Kenapa demikian? Karena Bali dibangun berdasarkan konsep yg cukup matang.
Jadi begini; Bali berada dalam konsep tiga perjanjian. Antara lain;
1. Perjanjian agama sebagai intinya 2. Perjanjian wangsa (keluarga besar) 3. Perjanjian masyarakat (perjanjian pakraman)
Setiap aktivitas orang Bali (Hindu), ketiga perjanjian ini berjalan atau dilaksanakan secara serasi dan seimbang. Yang paling menonjol dapat kita amati yaitu dalam kegiatan upacara ngaben.
Di dalam kegiatan yang lainpun tetap berlaku, namun yang paling menonjol dan sering menjadi sorotan adalah upacara ngaben. Mari kita coba melihat upacara ngaben dari tiga konsep tadi
Di dalam perjanjian agama (Veda), mengamanatkan bahwa setiap orang Hindu yang meninggal, agar mayatnya dijadikan abu supaya atmanya mendapatkan moksa.
Namun dlm perjanjian keluarga mengharuskan setiap ada anggota keluarga yg meninggal, agar memberitahu semua anggota keluarga yg lain
Dan pada waktu ngaben kalau keluarga yg memiliki kematian mampu terutama di bidang ekonomi, harus menggunakan ”bade” (alat mengusung mayat) untuk membawa mayat ke tempat pembakaran (setra).
Banyak lagi persyaratan keluarga yang merupakan identitas dari keluarga tersebut, dan jangan lupa memohon hari baik kepada beliau yang berhak dan pantas memberikan. Setelah itu masuk ke perjanjian masyarakat (pakraman banjar),
setiap anggota banjar ada yang meninggal, harus ada dari pihak keluarga yang bersangkutan melaporkan ke kepala banjar (kelian banjar), karena ada kewajiban dari banjar yang mesti dilaksanakan bila ada salah satu warga banjar yang meninggal.
Jadi demikian prosedur yang harus dilalui. Memang kelihatannya begitu rumit, namun itu soal biasa bagi umat Hindu di Bali dan mereka menganggap tidak terbebani.
Kecuali ada umat yang malas dan kurang akrab pergaulannya sehari-hari di masyarakat, anggota masyarakat semacam itulah paling merasa terbebani. Dari merekalah biasanya ada kritik-kritik yang kurang membangun.
Bagi mereka yang bukan orang Hindu, apalagi bukan orang Bali, sangat sulit memahaminya dan inilah kadang-kadang dianggap kelemahan dari agama Hindu di Bali khususnya,
Dan di besar²kan ceritanya utk menarik minat agar umat mau mengikuti kehendak mrk (ajaran lain) yg dianggap lebih baik / lebih sempurna. Kembali ke pokok permasalahan di atas yaitu umat Hindu di Bali diikat oleh tiga perjanjian, yg semuanya itu dilakukan penuh rasa kekeluargaan.
Ketiga perjanjian itu pula merupakan lapisan pertahanan atau dapat digunakan mengantisipasi pengaruh-pengaruh negatif, baik datangnya dari luar, maupun dari dalam tubuh sendiri.
Maka dari itu, alangkah pentingnya kita harus mengetahui Bali secara mendasar, agar dapat memahami yang lengkap untuk mewujudkan rasa hormat kepada leluhur, dan rasa cinta terhadap generasi yang akan datang. Di samping itu, sistem pertahanan Bali ada dalam konsep tadi.
Orang-orang di luar Bali, apalagi di luar Hindu, akan selalu bingung melihat aktivitas orang Hindu di Bali, karena yang dia lihat pertama adalah aktivitas yang sudah diwarnai oleh perjanjian pakraman.
Dari sini awalnya penilaian orang terhadap agama Hindu adalah agama budaya, makanya mereka jadi salah terus menilai ajaran agama Hindu. Untuk jelasnya saya berkeinginan memberi contoh, yang menurut hemat saya akan lebih mudah untuk dipahami.
Yaitu; Bali dibentuk mengikuti bentuk telur. Kuning telur itu diumpamakan Agama Hindu itu sendiri, yang tadi disebut perjanjian agama. Selanjutnya putih telur itu diumpamakan perjanjian wangsa, dan kulit telur itu diumpamakan perjanjian pakraman.
Dari ketiga perjanjian tersebut sebagai jiwanya adalah perjanjian agama, yang menjiwai perjanjian wangsa dan perjanjian pakraman. Artinya kedua perjanjian tersebut tadi tidak boleh bertentangan dengan perjanjian agama.
Orang melihat Bali akan persis seperti melihat telur, yang dilihat adalah kulitnya. Mereka akan berpikir bahwa telur itu keras, warnanya putih atau agak merah. Jadi baru melihat kulit telur saja mereka sudah menyimpulkan seperti itu.
Kenapa tidak mau bersabar sedikit untuk mencoba mengamati secara menyeluruh? Pasti kita akan dapat pengetahuan lebih banyak dari apa yang kita miliki tentang telur itu.
Bali itu diumpamakan seperti telur, karena yang dicari bukan kulitnya, bukan putihnya, dan bukan juga kuningnya, melainkan wujud telur itu selanjutnya bila diayomi dan diawasi (agar telur itu menetas).
Dari jaman dahulu Bali sudah banyak menetaskan telurnya, seperti; menetas menjadi seniman besar, budayawan besar, agamawan, sastrawan dan lain sebagainya. Begitu jadinya apabila kita mau merawatnya dengan baik.
Bali telah banyak dipakai percontohan antara lain; sistem subaknya banyak yang menjadikan contoh, sampai ke luar negri, walaupun sistem subak sekarang sangat memprihatinkan,
sepertinya kurang mendapat perhatian dari semua pihak, banyak pula Pura Ulun Carik atau Pura Dugul yang terbengkalai, karena sawah sudah berubah fungsi.
Perlu saudara ketahui pada saat menulis ini saya tidak dpt membendung tetesan air mata mengenang Bali di masa datang.Ada lg sistem banjar yg sering jg digunakan utk menyukseskan program pemerintah,spt program keluarga berencana sistem banjar,program transmigrasi jg sistem banjar,
dan kadang kala banjar atau desa pakraman sering ditumpangi muatan politik untuk kepentingan orang tertentu, atau untuk kepentingan kelompok tertentu, ini yang saya paling tidak setuju.
Sempat pula saya berpikir, munginkah nasib sistem banjar dan sistem desa pakraman di Bali akan sama dengan nasib subak? Sebenarnya ini sangat bergantung pada kita orang Bali, terutama kita orang Bali yang beragama Hindu
Semuanya itu saya kira ada dipundak kita tanggung-jawabanya. Jika kita yang lengah, atau kurang memikirkan anak cucu kita dikemudian hari pasti semua yang kita banggakan di Bali akan sirna tanpa bekas.
Sehubungan dgn permasalahan yg saya telah kemukan di atas, sepertinya Bali yg saya umpamakan seperti telur , skrg telur itu kulitnya sdh kelihatan retak² apa lagi ditambah dg kemampuan kita masih terbatas utk memahami fungsi wangsa dlm kaitannya dg keberadaan Hindu di Bali
hal ini akan bisa memunculkan fanatisme sektoral, sehingga gesekan-gesekan di antara kita semakin terasa. Kalau itu sampai terjadi, sudah dapat dipastikan satu lapisan telur tadi akan rusak.
Jadi telur akan tidak mungkin menetas, bahkan yang paling mungkin telur itu akan busuk dan tidak ada gunanya.
Rahajeng Semeng Semeng lan Rahayu Sareng Sami
😇🌹🙏🏻
" PerNIKAHan baru berhasil mencapai keINDAHan, bila sudah MENIKAH 4 x."
" PERNIKAHAN pertama adalah pernikahan TUBUH, disebut sebagai Sa-Angga-Ma (SANGGAMA). Ini cukup mudah, tanpa perlu banyak belajar, mudah menyatunya antara 1 (isi) dan 0 (ruang), segelap apa pun keadaannya."
" PERNIKAHAN kedua, menikahkan pikiran, dikenal sebagai Sa-Mana (PENYATUAN PIKIRAN ). Ini yang lumayan sulit, seterang apa pun kehidupan dalam hal HARTA dan TAHTA. Selalu tidak mudah melahirkan kesepahaman."
= BANTEN PEJATI =
Arti & Makna unsur-unsur Filosofinya
Bagian 1:
Dalam Lontar Yajña Prakrti disebutkan:
“sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana”
artinya:
semua jenis banten (upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta).
Dan Dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan:
Lontar ini mengupas tentang tata cara merawat atau menjaga wanita yang sedang hamil. Dalam merawat atau menjaganya senantiasa tetap berpikir yang baik, berbuat yang baik dan berkata yang baik.
Made Cami Sandi Untara, S,Fil.H, M.Ag mengatakan, dalam Lontar Baberatan Wong Beling / wanita hamil yang sedang tidur pantang dibangunkan paksa. Begitupula tidak boleh melangkahinya.
Saat wanita yang sedang hamil tertidur pulas, maka saat itulah Sang Hyang Suksma dan Sang Hyang Prama Wisesa sedang beryoga membuat kehidupan sang bayi.
Mengamati banyak Pura kuno yang ada di Bali, sebagian besar letaknya di tempat-tempat yang sulit dijangkau. Misalnya; Pura pasar Agung , Pura Lempuyang di Karangasem, Pura Pucak Manik di wilayah Singaraja dan Pura lainnya
Kenapa senang sekali membangun Pura ditempat yang susah digapai? Kenapa bisa seperti itu? Apakah leluhur kita dahulu tidak bisa mencari tempat strategis pada saat dibangunnya pura tersebut? Kenapa Beliau tidak mau lakukan itu?
Ini tidak lain karena leluhur ingin ajarannya tetap dipraktekkan oleh keturunannya dimasa depan Yaitu Ajaran Yoga.
Yoga merupakan aktivitas yang mampu meningkatkan kerohanian, dan mampu menuntun umat manusia untuk menemukan jati dirinya (mewali ring sangkanin dumadi).
= BALI, HINDU & BUDAYA =
Biarkanlah Bali berkembang sesuai dengan Alamnya, karena telah terbukti bisa mendatangkan daya tarik tersendiri. Jangan lupa pada asal mula kita, sumbangkanlah sesuatu demi terjaganya warisan leluhur kita.
Bagi umat Hindu yang tetap berada di Bali semestinya sadar tentang tanggung jawab, sehingga secara bersama-sama kita menjaga ajegnya Bali dalam arti luas. mulailah menjadi atau menuju masyarakat produktif.
Satu lagi yang perlu diingat adalah bahwa pulau Bali tidak memiliki kekayaan alam yang dapat menghidupi Bali itu sendiri, seperti di daerah lain yang memiliki tambang, mengandalkan hasil hutan dan lain sebagainya.