Waktu mulai, niatnya emang buat relaksasi. Pas tengah jalan mulai mempertanyakan, kapan kelarnya ini? Dua bulan kemudian jaga jarak. Bosen dan nemu kegiatan relaksasi lain. Balik lagi dikerjain krn penasaran. Kelar 2-3 bulan kemudian.
"Bakal bikin lagi nggak?"
Mungkin. Maksudnya mungkin juga ngga mau lagi hahahaha Gue agak ogah kalo melakukan hal yg sama berkali-kali, karena udah ngga ada lagi rasa cemas & ngga penasaran lagi
Suatu saat nanti, inshallah bisa pameran dan memajang 427 scratchboard sheets yg diurek-urek buat remake trailer ini. Sebuah warisan.
Mediumnya pakai scratchboard. Kertas karton tebel yg digaruk-garuk lapisan hitamnya supaya dasar putihnya terbuka.
Proses nggaruknya
Alhamdulillah, keisengannya bisa berbuntut kerja sama yg bikin modal balik & nambah buat tabungan kuliah krucil nanti.
Awal datang ke Amerika belum punya bank account. Tapi bawa kartu kredit Bank Mandiri, darurat untuk kebutuhan sehari-hari. Lalu datang ke sebuah bank cuma modal paspor, check dari kantor dan surat keterangan dari kantor kalau gue penetap & bekerja di sini.
Ditanya punya social security number nggak? Nggak.
Ditanya ada credit score nggak? Nggak.
Ada state id nggak? Nggak.
Gue sodorin apa yang ada, pegawai banknya "Oh okay. No problem." Tidak sampai satu jam, sudah punya bank account dan kartu debit.
Ketika sudah punya kartu debit/ATM kebayang betapa hidup sudah lebih mudah. Dan salah satu kebutuhan adalah transfer antar bank di Amerika. Datang ke ATM kok pilihan layanannya dikit banget dan cuma basic banget. Mau transfer ke bank lain ngga nemu menunya. 🤣
Bukan “ngga lolos” tapi “belum lolos”.
Ekspektasi semua akan langsung lancar, diterima kerja itu sering jadi beban, berujung pundung saat ngga kejadian.
The Beatles dilepeh bolak balik sebelum diterima. Bahkan ada yg udah sukses bikin perusahaan tapi terus dipecat dr perusahaannya sendiri.
Tanpa proses jungkir balik, kita ngga bakal cukup mateng.
Tanpa perjuangan panjang, cerita kita ngga bakal menarik & menginspirasi.
Harus segera. Harus sekarang. Harus saat ini.
Pengen cepet2 & instant ini biasanya datang dari pressure sekitar juga.
“Udah lulus kok belum kerja?”
“Udah pacaran kok belum nikah?”
“Udah menikah kok rumah masih kontrakan?”
Membuat kita ngga bisa pegang kontrol hidup kita sendiri
Yang ribet itu bikin SIM di Kuwait. Yg dilihat profesinya, spt dokter, perawat, engineer, manager (mudir: pokoknya punya jabatan tinggi). Kalau graphic design ngga dibolehin, krn takutnya jadi supir taxi gelap.
Kalau mau tetep usaha bikin SIM jalur ilegal, biayanya bisa mencapai KD 500 atau 20 juta rupiah. Lagi nyetir kena razia ngga punya SIM langsung masuk penjara & deportasi.
Sekarang jadi barang rongsokan
untuk berkarya sesuka hati
sambil mengais cuan 😆
Alat-alat kerja lawas bisa memberi opportunity kalau ditekuni, nemu komunitasnya yg bisa memberi apresiasi (termasuk dalam bentuk angka). Selama ini titik utamanya adalah hobi. Lalu nambah titik baru: pixel art. Dan sekarang titik barunya: NFT. Ketiganya bisa tersambung.
Pernah kopi darat dng salah satu collector NFT gue. Dia juga seorang investor dan udah lama ngoprek crypto. Gue nanya "Apa alesan lo kolek karya gue?"
"Ngga tau. Suka aja. Sebagai investor, gue selalu beranalisa, soal value ini itu, pokoknya penuh perhitungan aja."
"Tapi pas liat karya pixel art lo, gue punya banyak alasan personal. Karena emang suka aja. Dan gue ngga peduli bisa jual lagi sbg secondary market atau nggak. Atau, malah gue akan keep it."
"Dan cerita di belakangnya memperkuat niat gue utk bidding karya lo."
Dia kolek 1-2 karya gue yg sejenis. Dan selama ngobrol, dia bertanya "Can we talk art without NFT?" Pertanyaan sederhana yg bikin gue berpikir sepersekian detik.
Dari sejak mulai aktif di socmed dekade lalu, mantra ini masih jadi koncian beberapa kreator. Kemungkinan utk mendapatkan spotlight dan exposure juga jadi lebih besar.
Sejak kenal dia, gue terkagum-kagum dng idenya, usahanya, prosesnya. Walau secara konsep & praktek bisa dilakukan siapa aja tapi tetep aja ogah ngikutin caranya