mwv.mystic Profile picture
Oct 11, 2021 225 tweets >60 min read Read on X
SATU SURO DI SINDORO

based on true story
a thread Image
SATU SURO DI SINDORO
based on true story

Narasumber : Henry S.

Assalamualaikum, perkenalkan, aku Henry, cerita yg akan aku bagikan ini tidak jauh dari kegemaranku yaitu mendaki gunung.
Mengingat kembali setiap detail kejadian lebih dari 20 tahun yg lalu bukanlah hal yg mudah. Apalagi menuangkannya ke dalam sebuah cerita. Benar-benar menguras energi. Semoga cerita ini bisa dijadikan pelajaran bagi pembaca semua.
Bulan februari tahun 2000, entah tanggal berapa. Tapi yg pasti ini adalah masa akhir tahun Hijriah dan akan memasuki awal tahun yaitu bulan Muharram atau bulan Suro dalam penanggalan jawa. Dimana banyak dipercaya sbg bulan sakral dgn banyak aktifitas alam ghaib pada bulan ini.
Aku dan beberapa teman di organisasi pecinta alam yang belum lama kami bentuk merencanakan pendakian ke Gunung Sindoro pada malam 1 suro. Bukan tanpa alasan, karena tanggal 1 suro juga merupakan hari libur nasional, maka kami memanfaatkan hari libur ini untuk pendakian gunung.
Alasan kami hanya itu, bukan alasan lain apalagi yang berkaitan dengan hal gaib. Kami bukan kelompok yang menekuni dunia mistis dan sejenisnya.

Gunung Sindoro kami pilih karena kami memiliki kenalan yg berasal dari kaki Gunung Sindoro, sebut saja namanya Sandi.
Bukan dari desa dimana jalur pendakian resmi berada, tetapi dari desa Sandi tersebut juga ada jalur alternatif lain menuju ke puncak. Jadi kami menyambut baik tawaran dia dengan alasan jalur yg akan kami lewati nanti bakal sepi tanpa hiruk pikuk pendaki lain.
dan pastinya akan ada team yg mengawal pendakian kami hingga ke puncak, jadi kami tidak perlu khawatir terjadi hal buruk terutama tersesat.
Beberapa hari menjelang keberangkatan, ada sedikit insiden dengan kelompok lain yg juga tergabung dalam satu forum pecinta alam di kotaku. Mereka berniat menggagalkan pendakian kami dan ingin mengalihkan ke kegiatan lainnya dengan dalih kami adalah anggota forum dan harus-
-mengikuti kegiatan forum. Tapi dgn tegas kami menolaknya. Kalaupun kelompok kami dikeluarkan dari keanggotaan pun tak masalah, ujarku. Dan lucunya, tanpa konfirmasi sebelumnya, ternyata mereka malah ikut dalam pendakian kami dengan langsung menyusul ke lokasi.
Rombongan yg tiba2 menyusul inilah awal mula kekacauan yang nantinya terjadi karena minim koordinasi..
Singkat cerita, kami pun berangkat menuju ke Sandi di salah satu desa di kaki gunung sindoro. Sore menjelang petang kami semua sudah sampai di lokasi. Selanjutnya, kita sebut saja rumah Sandi ini dengan "basecamp".
Usai beramah-tamah dengan anggota keluarga lainnya, kami beristirahat sejenak karena pendakian akan langsung kami mulai malam ini juga.
Sekitar jam 21.00, kami sudah bersiap untuk mulai mendaki Gunung Sindoro. Tentunya beserta personil tambahan yang menyusul kami tadi.
Tapak demi tapak kali ayun merayapi punggung Sindoro dengan pelan namun pasti. Usai meninggalkan pemukiman penduduk, kami mulai memasuki area perkebunan warga yang umumnya ditanami tembakau.
Udara dingin kini terasa semakin menusuk diiringi dengan butiran tipis rinai yang turun sejak sore tadi. Tidak deras, oleh karenanya kami tetap bergerak untuk melanjutkan pendakian malam itu.
Ditengah perjalanan, Sandi berpesan (Semua percakapan aslinya menggunakan Bahasa Jawa, tapi saya langsung menuliskan dengan Bahasa Indonesia supaya tidak repot menerjemahkan)
"Nanti kalau dengar suara gamelan biarkan saja, sudah biasa warga sini ada acara di malam satu suro" ucap Sandi padaku.
Posisiku saat ini berada di depan bersama Sandi sbg penunjuk jalan. Bersama denganku juga ada Anton. Sedangkan yg lain mengekor secara berurutan ke belakang. Aku tidak tahu pasti berapa total peserta dalam pendakian ini. Yang jelas lebih dari 30 org, gabungan dari bbrp kelompok.
Mendengar ucapan Sandi tadi, aku tidak begitu memikirkannya, mungkin dia hanya mengingatkan supaya aku dan yang lainnya tidak kaget apalagi takut jika nantinya mendengar suara gamelan karena hal itu sudah biasa di jalur pendakian ini.
Saat kami sampai di ujung area perkebunan dan hendak memasuki area hutan, tiba-tiba Sandi menghentikan langkah kami. Dia lalu memandang ke arah seberang lembah di samping kanan posisi kami berdiri.
Aku pun mengikutinya, melihat ke arah yg dilihat Sandi. Ternyata di atas punggungan seberang sana ada orang berdiri sambil merokok. Aku bisa melihat setitik bara merah menyala di depan mulutnya.
Orang itu lantas berteriak kepada kami.
"Jangan lewat situ, kalian salah jalan, nanti kesulitan kalau mau kembali" ucap seseorang di seberang sana.

"Terus lewatnya mana kang?" Jawab Sandi

"Ambil kiri, turun sedikit lalu memutar. Nanti kalian ketemu jalan naik" ucapnya lagi.
"Terima kasih kang" jawab Sandi lagi.
Sebelum kami kembali bergerak, Sandi memanggil adiknya yang saat ini berada di barisan belakang, sebut saja namanya Yono, untuk menggantikan memimpin di depan sebagai penunjuk jalan.
Yono pun menerima tugas dari kakaknya dan segera mengajak kami semua melanjutkan pendakian.
Sebelum mulai berjalan, aku sempatkan kembali melihat ke arah orang yang menunjukkan jalan tadi, dan ternyata orang itu sudah tidak ada di sana..
Dan belakangan saat pendakian ini telah usai, kami baru menyadari bahwa yang menunjukkan jalan kepada kami sebetulnya bukan manusia. Bagaimana tidak, secara logika apa yang dilakukan penduduk malam-malam begitu di kebun? Apalagi ini bukan musim tanam tembakau.
Tapi bagaimanapun juga, kami tetap berterima kasih kepada makhluk itu karena telah menunjukkan jalan kepada kami. Sandi pun mengamini pendapatku.
Sejak awal sampai di lokasi itu, dia sudah merasa bahwa kami salah jalur. Lalu dia merasa ada yang memanggil dari seberang lembah, dan ternyata ada seseorang berdiri di sana.
Dan perlu diketahui, Sandi merupakan warga asli kaki Gunung Sindoro, jadi tidak heran jika dia memiliki kepekaan lebih terhadap hal gaib. Apalagi orang tua dan leluhurnya nya merupakan salah satu tokoh masyarakat yang disegani di desanya.
Usai mengikuti petunjuk jalan dari seseorang tadi, akhirnya kami bisa kembali ke jalur pendakian. Yono meyakinkan kami bahwa ini adalah jalur pendakian yang seharusnya.
Masih tetap di barisan depan, Yono, Aku dan Anton tetap mengayun langkah dengan pasti.
Sesekali kami berhenti sejenak menunggu barisan belakang yang terkadang tercecer karena beberapa peserta mengalami kelelahan dan meminta beristirahat, terutama para peserta wanita.
Ritme pendakian yang demikian membuat kami menjadi terlalu lama berada di jalur dan secara otomatis lebih menguras tenaga. Dalam situasi seperti ini, ego kami sebagai pemuda yang memiliki semangat berapi-api jadi meningkat.
Aku dan Anton mengusulkan untuk terus berjalan meninggalkan rombongan belakang supaya bisa segera sampai di puncak. Toh beberapa kelompok sudah memiliki pemimpin yang lebih senior yang bertanggung jawab terhadap kelompok mereka masing-masing.
Yono menyetujui pendapatku. Setelah berkoordinasi singkat dengan Sandi, kami memecah rombongan menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama yang memiliki stamina prima akan terus melanjutkan pendakian tanpa menunggu rombongan lainnya, kelompok ini dipimpin oleh Yono.
Sedangkan kelompok kedua juga terus berjalan sesuai ritme dan kemampuan mereka tanpa meminta ditunggu oleh kelompok pertama. Tapi dengan syarat, di setiap bagian rombongan harus ada pendamping dari tim lokal. Dan Sandi memimpin di kelompok kedua ini.
Bersama kelompok yang memiliki kondisi fisik dan stamina prima, aku bisa dengan cepat melibas tanjakan demi tanjakan punggung Sindoro untuk segera menggapai puncaknya.
Hingga suatu ketika rombongan kami telah sampai di bagian hutan Gunung Sindoro yang masih cukup rimbun dengan dominasi pohon mlanding gunung yang tidak terlalu besar namun cukup tinggi.
Yono menghentikan laju langkah kami dan menginstruksikan untuk break bersama. Mengingat kami sudah cukup lama berjalan dan beberapa orang juga sudah mulai terlihat kelelahan meski mereka tidak mengakuinya karena gengsi.
Break kali ini kami tidak membuat kopi. Hanya menikmati air putih dan rokok saja karena memang kami tidak berniat untuk berlama-lama di sini.
Saat kami sedang asyik ngobrol, tiba-tiba sayup kudengar suara gamelan khas pertunjukan wayang. Hampir serentak, kami semua saling pandang satu sama lain dan terdiam. Artinya kami semua mendengarnya...
"Tenang, itu desa sebelah memang ada pertunjukan wayang setiap malam satu suro" ucap Yono memecah kesunyian.
Kami pun lega, artinya suara gamelan ini bukan berasal dari dunia gaib. Setidaknya begitu pemikiranku.
Dirasa sudah cukup istirahat, kami sepakat untuk melanjutkan perjalanan. Saat kami hendak beranjak, salah satu temanku yang bernama Diki menemukan sesuatu tergeletak di tanah dan terinjak olehnya.
Diki meraba bagian bawah sepatunya dan menemukan suatu benda. Setelah diambil dan diamati, ternyata benda itu semacam keris kecil sebesar telapak tangan dengan bentuk mirip salah satu tokoh pewayangan. Tetapi kami tidak mengetahui nama tokoh tersebut.
Aku sempat ikut memegang benda tersebut. Dan ketika berada di tanganku, aku merasakan ada semacam sentakan energi yang keluar dari benda itu.
"Bawa saja tidak apa-apa. Jika memang itu rejekimu, benda itu akan terus ikut denganmu. Tapi jika bukan, dia akan hilang dengan sendirinya" ucap Yono kepada Diki.

"Tapi gunanya untuk apa ini, mas?" Tanya Diki.
"Aku juga tidak tahu. Kalau memang ada manfaatnya, biasanya nanti kamu akan tahu dengan sendirinya" jawab Yono.

Mengikuti saran Yono, akhirnya Diki membawa benda tersebut dengan memasukkannya ke dalam ranselnya, dan kami pun bergegas melanjutkan pendakian.
Pendakian pun kami lanjutkan. Malam semakin pekat, dan aura mistis gunung ini jadi semakin menebal. Entah karena efek dari benda yang ditemukan Diki tadi atau memang sudah kewajaran karena jalur ini memang sangat jarang dilalui.
Bahkan saat ini hanya kelompok kami yang mendaki melalui jalur ini. Ditambah lagi malam ini adalah malam satu suro. Malam puncak "pesta" dunia gaib, menurut kepercayaan beberapa kalangan masyarakat.
Semakin lama kami berjalan, rombongan depan yang tadinya berisi sekitar 15 orang kini semakin terpecah menjadi 3 bagian dikarenakan mulai terlihat perbedaan stamina dari masing-masing personil.
Yono meyakinkan kami bahwa sudah tidak ada percabangan jalur, jadi meskipun ada yang tertinggal, kami tidak perlu khawatir akan tersesat. Yang terpenting jangan ada yg tertinggal sendirian, minimal harus ada yang menemani satu orang.
Seperti halnya diriku kini yg berada di tengah bersama Anton dan dua orang lagi teman kami. Sedangkan bagian depan bersama Yono sudah cukup jauh meninggalkan kami dan bagian belakang juga berjarak lumayan jauh.
"Lumayan juga ya trek jalur ini. Jarang ada bonus, ga kayak jalur Kledung" ucapku ditengah percakapan kami saat istirahat sejenak.

"Jalur Kledung sih emang lebih enak, cuma lebih jauh kayaknya" jawab Anton.
"Jadi kita mau nunggu yang belakang apa mau lanjut aja?" Ucap Wisnu, salah satu teman yang tergabung di timku.

"Kalo dirasa cukup istirahat ya mendingan lanjut aja sih menurutku. Takutnya kelamaan kalo kita nunggu. Ntar malah jadi ngantuk. Menurut kalian gimana?" Ucapku.
Mereka semua menganggukkan kepala tanda menyetujui pendapatku.
Saat kami hendak beranjak, lagi-lagi kami kembali mendengar alunan musik gamelan. Kali ini suaranya terdengar lebih jelas, seolah berada tidak jauh dari tempat kami.
Kami berempat saling pandang.
Mungkin kami memikirkan hal yang sama, yaitu suara gamelan ini bukan berasal dari salah satu desa di kaki gunung ini. Karena kami sudah berjalan cukup jauh. Jadi rasanya tidak mungkin suara gamelan dari desa di bawah sana bisa sampai di sini, apalagi sejelas ini.
"Jalan aja yuk, Ton. Jangan kelamaan di sini. Dingin" ucapku setengah berbisik kepada Anton.

Anton mengangguk lalu segera beranjak dan kami mengikuti dibelakangnya.
Tak sampai 15 menit kami berjalan, tiba-tiba Anton menghentikan langkahnya. Aku yang tidak menyadari dia berhenti pun sempat menabraknya. Begitu pula Wisnu dan Andre yang berada di belakangku.

"Kenapa ton?" Tanyaku.

"Inget kejadian di Sumbing ga?" Ucapnya balik bertanya padaku.
"Iya kenapa?" Jawabku.

"Yang di depan sana.. mirip salah satu yang ada di Sumbing"

"Gede?"

"Iya.." Jawab anton singkat.

"Terus gimana?"

"Ga tau. Tunggu pergi kali ya"

"Yaudah, doa aja. Kalian yang dibelakang bantu doa ya" ucapku.
"Ada apa emangnya?" Tanya Andre.

"Biasa, ada yg nunjukin kalo disini tempat dia. Dan dia halangi jalan kita" jawabku.

Kami berempat pun berdiam diri sejenak untuk berdoa menurut kemampuan dan kepercayaan kami masing-masing.
Kami hanya meminta dilancarkan perjalanan kami dan dijauhkan dari segala mara bahaya, baik dari alam maupun dari makhluk lain.

"Udah ga ada" ucap anton beberapa saat kemudian.

"Yaudah lanjut yuk" jawabku.
Kami pun kembali melanjutkan perjalanan.
Selepas dari sapaan salah satu penunggu Sindoro tadi, aku merasakan kini kehadiran mereka semakin banyak. Tapi mereka hanya muncul di sisi jalur pendakian saja. Tidak ada satu pun yang menghalangi seperti yang sebelumnya.
Aku memang tidak bisa melihat dengan jelas bentuknya, paling hanya berbentuk kabut tipis menggulung atau bayangan samar membentuk siluet tipis seperti bentuk manusia atau hewan. Tapi aku sangat jelas bisa merasakan jika mereka memang hadir di sini.
"Gantian depan, Hen" ucap Anton sambil nyengir padaku.

"Lihat apaan lu, Ton?" jawabku sambil tertawa kecil.
Aku tahu betul kalau saat ini Anton sedang melihat jelas penampakan mereka. Berbeda denganku, Anton memang terkadang bisa melihat dengan jelas penampakan makhluk gaib.
Bahkan dalam bentuk-bentuk yang menyeramkan.

"Banyak hen. Banyak banget. Ngeri" bisik Anton padaku.

"Yaudah kamu belakangku. Tapi masih sanggup kan?" Ucapku.

"Gaaasss" sahutnya sok berani.
Kami sebetulnya bukan kaum pemberani yang mampu melawan munculnya makhluk gaib. Jujur saja, kami sama-sama penakut. Tapi karena kami saat ini dalam satu rombongan, maka rasa berani bisa muncul dengan sendirinya.
Mungkin karena faktor gengsi atau bisa juga karena keyakinan kami bahwa kami bisa saling menguatkan ketika bersama-sama.
Sambil terus mengayun langkah, kami terus mengobrol untuk memecah kesunyian sekaligus mengusir rasa takut karena kehadiran makhluk-makhluk penghuni Sindoro yang semakin lama menjadi semakin tidak terkendali.
Awalnya kami berempat masih saling sahut dan tertawa ketika berbicara. Tapi lama-kelamaan tinggal 3 orang yang mengeluarkan suara. Salah satu dari kami tiba-tiba terdiam. Aku yang berada paling depan memang tidak pernah menoleh ke belakang ketika berjalan.
Cukup mendengar suara dan langkah mereka aku sudah cukup yakin bahwa kelompok kami ber4 masih utuh.

Ketika aku menyadari tinggal 3 org yg saling sahut, aku pun berhenti dan melihat ke belakang. Ternyata Andre yg tadi posisinya berada paling belakang sudah tidak ada di tempatnya.
"Loh Andre mana???" Tanyaku pada yg lain.

Seketika Anton dan Wisnu juga ikut menoleh ke belakang.

"Lah tadi di belakangku. Kenapa tiba-tiba ga ada" jawab Wisnu.

"Andreeee... Ndreeee... Andreeeee" kami bertiga berteriak memanggilnya, tetapi hanya kesunyian yang menjawab kami.
"Kayaknya kita harus turun nyari Andre. Bahaya kalau dia sampai sendirian" ucapku.

"Yaudah, yuk. Masih kuat kan, Nu?" Jawab Anton sekaligus menanyakan kondisi Wisnu.

"Masih. Ayo cari Andre dulu, takut ada apa-apa dan dia kenapa napa" sahut Wisnu.
Kami bertiga pun turun menyusuri jalur yang kami lewati tadi. Tapi hingga hampir sampai di lokasi saat kami istirahat sebelumnya, kami belum menemukan Andre.
Aku merasakan ada suatu kejanggalan di sini. Aku pun berusaha tenang lalu merekonstruksi ulang awal mula perjalanan dari saat kami terakhir kali istirahat tadi.
Tadi kami kembali melanjutkan perjalanan saat mendengar suara gamelan. Lalu ada sedikit gangguan...
..Dan selama perjalanan itu tim kami berempat masih lengkap. Tapi tak lama Andre hilang. Secara logika, jika dia berhenti sendiri entah dengan alasan apapun, seharusnya jaraknya tidak jauh. Tapi saat kami turun, bahkan hampir sampai di lokasi istirahat kami belum menemukannya..
"Gimana?" Ucap Anton membuyarkan lamunanku.

"Kita cari lebih ke bawah lagi!" jawabku yakin.

Kami bertiga pun kembali turun menyusuri jalur semula. Dan ketika kami sampai di lokasi kami istirahat tadi, kami bertiga benar-benar dibuat kaget dengan apa yang kami temui di situ..
Ternyata Andre berada di lokasi kami beristirahat tadi. Ia sedang duduk di sebuah batu besar sambil merokok.
Melihat kedatangan kami, Andre sempat terkaget lalu membuang sisa puntung rokoknya dan beranjak bangun.
"Lah ngapain kalian balik lagi? Kan udah aku suruh duluan tadi" ucap Andre.

Haaaah..?? Ini bagaimana maksudnya?? Aku benar-benar bingung atas situasi ini. Kulihat Anton dan Wisnu pun tak kalah bingung, terlihat dari ekspresi wajah mereka.
"Bentar-bentar, aku benar-benar bingung ini. Coba kamu jelasin dulu, Ndre. Dari mana saja kamu tadi?" Ucapku.

"Maksudnya gimana sih? Kalian bertiga kok kayak orang bingung ini ada apa sebenarnya?" Ucap Andre tak kalah bingung.
"Oke coba aku jelasin dulu ya. Sepertinya ada yang aneh ini" sergah Anton.

"Jadi tadi kan kita istirahat bareng di sini. Lalu kita lanjut jalan bareng berempat. Terus di tengah perjalanan kamu tiba2 hilang. Terus kita cari sampai di sini. Ternyata kamu balik lagi kesini, Ndre"
"Apa maksudnya, Ton? Dari tadi aku duduk di sini kok, ga kemana-mana. Kita emang tadi istirahat bareng di sini. Terus kalian kan ngajak jalan lagi. Nah, karena rokokku belum habis, jadi kalian kusuruh duluan, nanti aku nyusul.-
-Lagian, kupikir gak bakal sampai 3 menit paling rokokku habis dan bisa langsung nyusul kalian. Nah skrg pas aku lagi siap-siap mau jalan, tau-tau kalian malah balik lagi kesini sama wajah bingung kalian" Andre menjelaskan sudut pandangnya.
Aku tertegun mendengar penjelasan Andre. Dia bilang hanya 3 menit. Sedangkan aku, dan mungkin saja Anton dan Wisnu juga merasakan hal yang sama, merasa kami tadi sudah berjalan setengah jam lebih. Dan satu lagi yang aneh, kami merasa Andre tadi juga ikut jalan dan mengobrol..
Jika penjelasan Andre benar, bahwa dia tetap di sini, lantas siapa yang ikut jalan bersama kami tadi?..

"Kayaknya ada yang sedang permainin kita ini" ucapku
"Yang bawa jam, coba cek jam kalian masing-masing!" Perintahku pada yang lain.
Ketika kami memeriksa jam yang kami bawa, kami kembali merasa terheran.
Jam kami masing-masing menunjukkan waktu yang berbeda-beda. Jam milikku menunjukkan pukul 00.15. Milik Anton menunjukkan jam 03.45. Milik Wisnu menunjukkan jam 04.30. Sedangkan Andre tidak membawa jam..
"Kenapa beda-beda gini? Yakin jam kalian gak bermasalah?" Ucap Anton menyiratkan kecurigaan adanya kerusakan pada penunjuk waktu yang kami bawa.

"Punyaku ga mungkin kalo rusak. Ini jam masih baru. Baru beberapa bulan aku beli" Tegas Wisnu.
Dalam situasi yang membingungkan ini, kami juga baru menyadari jika sejak tadi kami belum tersusul tim yang berada di belakang kami. Padahal seharusnya mereka sudah menyusul kami, jika mempertimbangkan selisih waktu dan kemampuan fisik mereka, dan kami yg turun kembali ke bawah.
"Perasaan, rombongan belakang kok ga sampai-sampai ya.." Tanyaku, heran.

"Bener juga. Seharusnya mereka sudah sampai dari tadi kalau mereka jalan terus" sahut Anton.

"Mereka berhenti kali. Siapa tau ada masalah atau kelelahan" ucap Wisnu, berpikir logis.
"Bisa jadi. Terus sekarang kita mau gimana?" Sambung Andre.

"Jalan aja lagi yuk ah. Lagian Yono bilang ga ada percabangan jalan. Mereka pasti nyampai, ga mungkin nyasar" ucapku.
Kami pun sepakat melanjutkan perjalanan. Kali ini kami saling memegang tali tas teman yang berada di depan kami. Kecuali yang paling depan tentunya. Hal ini kami lakukan untuk antisipasi kejadian serupa seperti sebelumnya, yaitu hilangnya salah satu personil kami.
Selepas meninggalkan lokasi tempat kami istirahat tadi, aku merasa keheranan. Pasalnya jalur yg kami lalui berbeda dgn sebelumnya saat kami naik "tanpa" Andre. Meski baru 1x aku melalui jalur tadi, sedikit banyak aku bisa mengenalinya jika mengulangi lewat jalur yang sama.
Berbeda dengan tadi.. Pohon-pohon besar kini menghiasi sepanjang jalur yang kami lalui. Di setiap batangnya ditumbuhi lumut tebal dan hampir merata. Menyiratkan usia pohon itu sudah sangat tua. Tak hanya satu dua pohon saja. Di sekitar kami ada banyak sekali pepohonan besar.
Kami telah memasuki area rimba yang sangat lebat dan rapat. Bahkan langit pun tak terlihat karena tertutup dedaunan dari pohon-pohon itu. Hawa di sini juga jadi lebih dingin, bahkan sangat dingin..
Menyadari adanya keanehan, aku menghentikan langkahku. Kulihat ekspresi teman-temanku semuanya sama. Mereka sama-sama heran, kaget sekaligus takut menghadapi situasi ini..

"Sebenarnya dimana kita ini sekarang?.." Tanya Wisnu
"Aku juga ga tau, nu. Apa mungkin kita nyasar?" Jawabku.

"Kalo bener yang di bilang Yono, sepanjang jalur ini tidak ada percabangan, seharusnya kita tidak nyasar. Lagipula sejak kita mulai jalan tadi kita memang gak ketemu percabangan jalur...
...Tapi kenapa tempatnya beda dari yg tadi ya.." ucap Anton.

"Coba cek jam lagi" ucapku
Ketika kami melihat penunjuk waktu kami masing-masing, kami kembali terkejut.
Waktu yang ditunjukkan ternyata sama sekali tidak berubah dari terakhir kami melihatnya. 00:15 punyaku, 03:45 punya Anton, dan 04:30 punya Wisnu.

"Lah aneh?! kenapa jamnya tetep ya???" ucap Wisnu sambil memukul2 jamnya.
"Sepertinya kita memang sedang diusilin ini... Kalau menurutku, kita lanjut jalan aja ikuti jalur ini. Kita lihat dulu ada apa di atas sana. Dan ingat, jangan putus berdoa sebisa kita" Saranku.

Ketiga personil lainpun setuju.
"Jangan lepas pegangan kalian masing-masing. Tetap jalan beriringan dan jangan sungkan minta break kalo merasa kelelahan. Kita lalui situasi ini sama-sama dan kita harus keluar juga sama-sama" ucapku dgn yakin.
Usai berdoa bersama memohon perlindungan dan keselamatan, kami pun melanjutkan perjalanan yang entah sampai kapan dan sampai dimana akan berakhir.

Tak ada satupun makhluk gaib yang menunjukkan diri di sini. Tapi aku sendiri merasakan tempat ini benar-benar singup dan mencekam.
Tak kudengar pula suara binatang malam yang biasanya menemani setiap pendakian malam hari. Tempat ini benar-benar sunyi. Hanya ada suara gesekan daun atau ranting akibat terkena hembusan angin saja.
Hingga beberapa waktu lamanya kami semakin dalam memasuki hutan rimba ini, di kejauhan kulihat setitik cahaya berwarna jingga di arah depan. Ketika kami semakin dekat dgn sumber cahaya itu, tiba-tiba kulihat ada seseorang yang duduk di pinggiran jalur setapak yang kami lalui ini.
Seorang lelaki paruh baya berjaket hitam dengan sebatang rokok menyala di sela jari tangannya. Postur dan pakaiannya mirip orang yang menunjukkan jalan kepada kami ketika kami hampir nyasar di area perkebunan pada awal pendakian tadi.
"Kalian mau kemana?.." Ucap orang itu ketika kami sampai tepat di depannya.
"Ke puncak pak" jawabku.

"Mau ngapain ke puncak?" Tanyanya lagi sedikit aneh.

"Ya ngga ngapa-ngapain, pak. Kami hanya ingin menikmati keindahan alam saja, pak" jawabku.
"Hahahahaha.. aneh memang manusia ini. Kalian rela bercapek-capek bahkan membahayakan nyawa hanya sekedar untuk tujuan yang tidak jelas. Belum lagi sering kali mengotori tempat yang kalian datangi!" ucapnya diiringi tawa yang sedikit aneh.
"Mmm kamimi tidak mengotori, pak. Ya paling tidak kami berusaha tetap menjaga supaya tetap bersih" jawabku lagi.

"Hahahaha.. aku tahu.. sudah-sudah, ayo kuantarkan kalian. Kalau terlalu lama di sini kalian tidak akan bisa pulang" ucapnya lagi sekaligus membuatku terkejut.
Orang itu lantas beranjak dan mulai berjalan ke atas. Awalnya aku ragu apakah harus mengikutinya atau tidak. Aku tidak mengenalnya. Apakah aku bisa langsung percaya padanya?
Tapi melihat penampilannya, dia bukan seperti orang jahat. Bahkan lebih mirip warga perkampungan di kaki gunung ini. Tapi apa yang dia lakukan di atas gunung sendirian malam-malam begini?..
Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam kepalaku. Kulihat ketiga temanku juga diam tak berkata apapun. Bisa jadi mereka memikirkan hal yang sama denganku. Atau mungkin saja mereka pasrah saja mengikuti alur situasi ini.
Kami masih berjalan mengikuti orang misterius tadi. Hingga kami sampai di sebuah gubuk kecil dengan lampu minyak yg menyala di depannya. Nampaknya cahaya yang kulihat tadi berasal dari lampu ini.
Aku sempat berhenti di depan gubuk itu. Kurasakan badanku sudah teramat letih dan ingin istirahat meski sebentar.

"Jangan berhenti di sini! Jalan terus!" ucap orang tadi ketika aku baru hendak memasuki gubuk itu.

"Tapi kami capek pak, kita istirahat sebentar ya"pintaku
"Kalian mau selamanya di sini!!??" Ucapnya tegas dan membuatku tersentak.

Kami berempat saling pandang. Sepertinya kami memikirkan hal yang sama, yaitu kami belum sepenuhnya bisa mempercayai orang itu.
"Ayo jalan!" Ucapnya lagi.

Kami seolah tidak mempunyai pilihan lain. Kalau kami tidak mengikuti orang itu, kami juga bingung dengan lokasi kami saat ini. Jadi kami memutuskan mengikuti saja. Siapa tahu memang dia hendak menunjukkan jalan kepada kami.
Ketika aku hendak beranjak, sekilas aku melihat ke dalam gubuk itu dan tiba-tiba terlihat sepasang mata menyala yang menatap tajam padaku. Seketika aku tersentak dan merinding hebat.
"Ayo jalan aja... Jangan lama-lama di sini" ucapku kepada ketiga temanku.
Kami pun lanjut mengikuti orang misterius tadi. Kami terus berjalan menembus pekatnya malam dan rimbunnya belantara ini. Belantara aneh yang tidak seperti ciri khas Gunung Sindoro.
Tak satu pun kata-kata terucap dari mulut kami semua. Seolah kami dibisukan oleh suasana mencekam hutan ini. Suasana gelap, rimbun dan sunyi. Sangat sunyi, bahkan tak satu pun suara binatang malam terdengar, semua seperti lenyap..
Tak kupungkiri, eksistensi makhluk gaib sangat kental di sini. Mereka seolah memperhatikan dan mengawasi kami. Beruntung tak satu pun menampakkan diri secara jelas di depan kami. Hanya kelebatan bayangan berpindah2 dari satu pohon ke pohon lainnya lalu menyelinap dan menghilang.
"Apa emang kayak gini ya jalur ini?" Ucap Anton sedikit lirih di belakangku.

"Aku juga ga tau, Ton. Kalo jalur Kledung kan hampir semuanya terbuka, ga ada pohon-pohon gede kayak gini" jawabku.

"Nanti kita tanya Yono aja yang lebih tau" sambungku.
Orang misterius yang menunjukkan jalan di depan kami juga masih terus berjalan. Dia tak sekalipun mengajak kami bicara atau menoleh kepada kami. Kami yang hendak berbicara padanya pun merasa sungkan, bahkan sekedar menanyakan namanya saja pun kami tak berani.
Dia juga seolah tidak memiliki rasa lelah, padahal medan jalur ini terus menanjak. Bahkan kami yang mengikutinya sudah hampir kehabisan nafas. Kami benar-benar telah letih terus berjalan merayapi tanjakan demi tanjakan.
"Pak tolong berhenti dulu sebentar. Kami sudah kelelahan.." ucapku memberanikan diri dengan nafas tersengal.

Dia pun berhenti. Tetap tanpa menoleh atau pun bicara. Dia tetap berdiri dan terus menatap ke depan...
Merasa mendapatkan kesempatan istirahat, kami pun memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Kukeluarkan botol air minum dan menenggak isinya, lalu kuberikan kepada ketiga temanku supaya mereka ikut minum juga.
"Sudah. Ayo jalan lagi. Jangan terlalu lama di sini!" Ucapnya setelah beberapa saat tanpa menoleh kepada kami.

Seolah mendapatkan instruksi dari seorang pemimpin, kami berempat pun segera bangun dan bersiap berjalan lagi. Kami kembali berjalan mengikuti orang misterius itu.
Entah sudah berapa jam kami terus menyusuri hutan ini, tapi kami belum juga sampai di tujuan kami. Seolah jalur ini tak berujung. Melihat waktu pun percuma, karena penunjuk waktu kami masih tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Sesekali memang kami beristirahat, dan semua itu atas permintaan kami, bukan atas instruksi orang misterius itu. Dia memang seolah tidak memiliki rasa lelah sama sekali. Padahal sambil berjalan dia terus menerus menghisap rokok.
Hingga beberapa waktu kemudian, orang itu tiba-tiba berhenti di depan kami. Lalu untuk pertama kalinya sejak kami memulai perjalanan, ia berbalik menoleh kepada kami lalu berkata..
"Aku hanya bisa mengantar kalian sampai disini saja. Kalian lanjutkan sendiri perjalanan kalian. Ingat pesanku, jangan sekalipun menoleh ke belakang. Jika bertemu seseorang yang menawarkan makanan, tolaklah baik-baik. Jangan sekalipun kalian menerima, apalagi memakannya" ucapnya.
"Nanti jalan ini tembusnya kemana, pak?" Tanyaku

"Tujuanmu" jawabnya singkat. "...Hanya jika kau kuat" sambungnya.

Kami tak bisa berkata-kata lagi setelah mendengar kalimat terakhir darinya. Kami semakin yakin bahwa kami sedang tidak berada di alam kami sendiri.
Mungkinkah kami tersesat di alam gaib? Bisa jadi, bisa juga tidak. Kami tidak bisa memastikannya. Bahkan kami sendiri masih dibingungkan dengan situasi ini..
"Sudah, tidak perlu dipikirkan. Kalian pasti selamat. Dan kau (menunjuk padaku), jaga teman-temanmu. Ingat pesanku. Aku pamit dulu" ucapnya lagi, lalu dia segera pergi ke arah yang berlawanan dengan arah kami.
Hanya sekejap, dia lantas menghilang ditelan kegelapan belantara ini. Begitu cepat hingga kami bahkan tak sempat mengucapkan terima kasih..
Tak membuang waktu, kami pun melanjutkan perjalanan. Kami mengikuti saja arahan orang tadi. Toh kami tak punya pilihan lain. Kami terus mengingat pesan orang tadi.
Tapi hal yang membuatku selalu bertanya- tanya adalah, apa iya ada orang lain lagi di sekitar sini? Bukankah ini hutan belantara yang sangat rapat? Berapa lama kami akan keluar dari hutan ini?

Begitu banyak pertanyaan berkecamuk di dalam kepalaku yang tak terjawab.
Sepanjang perjalanan kami lalui suasananya masih tetap sama, sunyi, gelap, mencekam. Sesekali muncul kelebatan-kelebatan bayangan di sekitar kami berlalu lalang. Dan aku pun merasa ada banyak sekali mata mengawasi kami dari balik kegelapan.
"Break dulu sebentar" ucapku karena merasa sudah cukup kelelahan akibat terus berjalan di tempat yang seolah tak berujung.

"Kok ga sampai-sampai ya Hen. Kayaknya kita udah jalan lama banget tadi. Dan kayaknya kok ini waktu malam jadi lama banget" ucap Anton.
"Ga tau, Ton. Aku sendiri juga bingung. Kalo diitung-itung nih, kayaknya kita jalan udah ada 6 jam lebih dari awal kita masuk hutan ini. Harusnya ya udah sampe puncak. Dan seharusnya juga sudah pagi" ucapku.

"Sumpah jadi takut aku" ucap Wisnu.

"Sama" sambung Andre.
"Aku juga takut. Kita semua takut. Tapi ga boleh diam aja, kita harus keluar dari sini!" ucapku.

"Udah cukup. Ayo jalan lagi" sambung Anton.

Memang tidak seharusnya kami berlama-lama disini. Apalagi kurasakan suasana semakin mencekam.
Terkadang kami sayup-sayup mendengar suara alunan gamelan, lantas menghilang lalu terdengar lagi. Ya.. kami semua memang mendengarnya. Bukan hanya aku atau salah satu dari kami yang mendengarnya.
Tak kuhiraukan lagi suara2 yg muncul menemani perjalanan kami. Yg kami pikirkan saat ini adalah sesegera mungkin keluar dari hutan ini.

Tak berapa lama kami berjalan, aku melihat sebuah bangunan di pinggir jalur ini. Tepatnya sebuah gubuk kayu dgn dinding dr anyaman bambu.
Dari kejauhan gubuk itu terlihat sangat reot seperti hendak roboh. Tapi semakin kami mendekatinya, terlihat bahwa bangunan gubuk itu ternyata masih cukup kokoh berdiri.
Kami terus berjalan mendekati gubuk itu. Gubuk itu terlihat cukup terang karena ada sebuah lampu teplok menyala di salah satu pilarnya.
Keberadaan gubuk itu sudah seperti oasis ditengah gurun pasir bagi kami. Berjam jam berjalan tanpa kepastian dan titik terang, kini kami mendapati sebuah kehidupan di depan kami, dan sepertinya ini pertanda baik bahwa pemukiman penduduk sudah semakin dekat.
Ketika kami sampai di depan gubuk itu, ternyata ada orang duduk di sebuah kursi panjang tanpa sandaran di depannya. Di dalam gubuk juga ada orang sedang berdiri. Nampaknya gubuk ini sebuah warung, karena aku merlihat aneka jajanan kecil tersaji di beberapa piring tanah liat.
"Silahkan mampir, mas. Istirahat dulu" sapa seseorang dengan ramah dari dalam gubug yang ternyata adalah seorang wanita paruh baya. Mungkin dia penjaga atau pemilik warung ini.
Usai mendengar sapaan pemilik warung tadi, tiba2 saja kurasakan perutku sangat lapar. Aku jadi tertarik untuk mencicipi jajanan yang tersaji di warung itu. Berbagai jajanan yg sangat menggugah selera. Ada pisang goreng, singkong rebus, kacang rebus dan bermacam jajanan lainnya.
Tidak ada salahnya untuk istirahat sebentar sambil menyemil makanan ringan.. Toh kami sudah berada di jalur yang tepat dan ada beberapa penduduk lain di warung ini.

Tapi ketika aku hendak mendekat untuk meraih jajanan warung itu, tiba-tiba langkahku dihentikan oleh Anton.
"Mau kemana?" Ucap Anton.

"Laper, Ton. Istirahat dulu lah. Terakhir kita makan kan di basecamp tadi" jawabku

"Ayo kita istirahat dulu di sini" sambungku.

Anton belum merespon perkataanku. Tapi kulihat genggaman tangannya di pergelangan tanganku jadi semakin kuat.
Kulihat Wisnu dan Andre hanya tertegun memandangku.

"Ga inget apa yang dibilang orang tadi?.. Coba lihat lagi Hen" perintah Anton.

Ketika aku kembali melihat ke arah warung tadi, ternyata hanya kegelapan yang ada di sana. Warung yang tadi kulihat kini sirna.
Yang lebih mengerikan, ketika kuarahkan cahaya senter ke arah tempat warung tadi berdiri, ternyata ada jurang menganga yang sangat dalam yg bahkan saat ku senter, tak terlihat lagi dasarnya...
"Astaghfirullahaladzim.." ucapku.
Beruntung Anton menyadari kejanggalan tadi dan segera mencegahku mendatangi warung yang kulihat tadi. Jika tidak, mungkin saja aku sudah berakhir di dasar jurang itu.
"Ayo jalan lagi" ucap Anton.
Kali ini gantian Anton yang memimpin di depan. Kami bertiga mengikutinya dengan tetap berpegangan pada tali ransel teman yang ada di depan kami.
Kami terus berjalan menyusuri pekatnya malam dan kesunyian belantara misterius ini.
Tak terhitung lagi berapa banyak penampakan yg menyertai perjalanan kami. Tepatnya ketiga temanku ini yg sering melihat penampakan mereka. Sedangkan aku hanya melihat bayangan2 sekilas yg tidak terlalu jelas. Tapi aura keberadaan mereka dapat kurasakan dgn sangat jelas dan kuat.
Semakin lama, hutan ini jadi semakin terbuka. Pohon-pohon besar yang tadi sangat rapat menjadi semakin jarang. Medan yang kami lalui sekarang pun menjadi semakin landai, bukan lagi tanjakan-tanjakan curam yang menguras tenaga dan menguji kekuatan otot paha dan betis kami.
Kini kami mulai memasuki hamparan padang rumput yg terlihat sangat luas. Pohon2 besar sudah tidak ada lagi. Di kejauhan tepat di depan kami terlihat beberapa titik cahaya. Semakin kami mendekatinya, titik2 cahaya itu terlihat semakin jelas dan menunjukkan bentuk yg sebenarnya...
Titik titik cahaya itu ternyata adalah hamparan lampu dari perkampungan kecil. Kami menjadi semakin heran, apakah kami sudah sampai di perkampungan kaki gunung? Padahal seingat kami, kami tadi berjalan terus menanjak.
Tak berapa lama, kami menemui persimpangan jalan. Ada dua arah di hadapan kami dan kami harus memilih salah satunya.

Satu arah di sebelah kanan terlihat sedikit terbuka seolah sering dilewati.
Sedangkan arah lainnya di sebelah kiri terlihat sedikit rimbun dan banyak ranting-ranting kering menghalangi, seolah jalan ini sudah lama tidak dilalui.
Kami berhenti di sini memikirkan arah mana yang harus kami ambil. Dan dari kedua percabangan jalur itu tidak terlihat arah mana yang nantinya bisa menuju ke perkampungan yang tadi terlihat.

"Bukannya tadi Yono bilang tidak ada percabangan di sepanjang jalur ini ya.." ucap Wisnu.
"Memangnya kita tadi masih di jalur yang sama? Kalau aku yakin sih kita sejak tadi sudah melenceng, jadi wajar kalau jalur ini sudah tidak sesuai petunjuk dari Yono" jawabku.

"Bener juga sih. Terus kita jalan kemana ini?" timpal Anton.
"Kalian lihat perkampungan di depan sana ga?" Tanyaku pada mereka dan mereka semua mengangguk menandakan juga melihat apa yang kulihat.

Memang sejak menemui hutan dengan vegetasi pohon-pohon besar tadi aku sudah tidak yakin bahwa kami masih melalui jalur yang benar.
Apalagi banyak kejanggalan yang tadi kami temui. Jadi aku pun tidak yakin bahwa perkampungan itu juga sebuah kewajaran.
Usai berfikir beberapa saat, aku sudah punya keputusan mau ambil jalur yang mana. Tapi aku harus membicarakan dulu dengan mereka dan mengambil keputusan bersama.
"Kalau menurutku, kita ambil kiri saja. Memang jalurnya terlihat seperti hampir tertutup, tapi melihat arah kanan yang terlihat seperti mulus saja, aku takut ini sebuah jebakan yang memang sengaja mengarahkan kita kesana. Bagaimana menurut kalian?" Tanyaku pada mereka.
"Aku sama-sama ragu dengan kedua jalur ini. Tapi melihat keanehan sepanjang perjalanan tadi, aku setuju denganmu, Hen. Kalian bagaimana?" Jawab anton.

"Aku ngikut aja lah mau kemana. Udah capek mikir yang aneh-aneh dari tadi" jawab Wisnu pasrah.

"Sama" sahut Andre.
"Yaudah kita bedoa dulu. Semoga pilihan kita tidak salah" ucapku.

Usai berdoa, kami pun melanjutkan perjalanan ke arah yang kami pilih. Meski masih ada keraguan, tapi kami berusaha meyakinkan diri bahwa arah yang kami ambil benar.
Jalur yang kami lewati ini memang sedikit menyulitkan pergerakan kami. Banyak ranting semak menghalangi seolah sengaja di taruh untuk mencegah orang melewati jalur ini. Bahkan beberapa diantaranya berduri hingga sempat melukai tubuh kami.
Hal itulah yang sempat membuat kami semakin ragu. Tapi kami tetap melalui jalur ini dan terus meyakinkan diri berharap pilihan kami memang benar.
Beberapa waktu kemudian ketika kami masih berjibaku dengan ranting-ranting semak yang menghalangi pergerakan kami, tiba-tiba datang kabut tebal menyelimuti area kami berada. Kabut ini sangat pekat hingga benar-benar menghalangi pandangan kami.
Bahkan cahaya senter kami tak mampu menembusnya. Kami terpaksa harus menghentikan langkah kami dikarenakan datangnya kabut pekat ini.
Tak ada yg bisa kami lakukan selain hanya menunggu kabut ini menipis atau lebih baik lagi, hilang. Hingga sesaat kemudian kami dikejutkan dengan munculnya suara derap langkah terdengar di sekitar kami..
Awalnya hanya terdengar suara derap dari satu orang.. Tapi lama kelamaan sumber suaranya semakin bertambah dan kini terdengar cukup ramai suara orang-orang berjalan di sekitar kami..
Mereka hanya berjalan di sekitar kami mengelilingi tempat kami berada saat ini tanpa sekalipun menunjukkan bentuk dirinya. Ketika aku mengarahkan cahaya senter pun tak ada hasilnya. Cahaya senter yang kubawa tak mampu menembus pekatnya kabut di sekitar kami.
Dalam himpitan rasa takut ini kami tak mampu berbuat apapun. Semua pilihan sama-sama sulit dan beresiko. Jika kami nekat lanjut atau kabur juga berbahaya karena kami tidak mengenal wilayah dan kontur tanah disekitar sini.
Ditambah adanya kabut tebal menyelimuti, jelas akan mengacaukan kemampuan orientasi kami. Diam di tempat pun sama juga. Kami tidak tahu makhluk apa yang meneror kami dengan suara langkah mereka. Meski tidak menampakkan wujudnya, kami tetap saja khawatir akan membahayakan kami...
Dalam suasana mencekam membaur dengan hati yang kalut, tiba-tiba suara-suara langkah itu terdengar semakin cepat, lalu suara yg terdengar teratur itu tiba2 jadi tak beraturan kemudian perlahan menghilang seolah menjauh. Entah apa yang terjadi.
Aku yang penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi mencoba mengarahkan senter ke beberapa arah. Siapa tahu ada petunjuk mengenai kejadian barusan, atau petunjuk arah perjalanan kami.
Pada suatu titik aku menghentikan gerakan tanganku dan mencoba fokus ke cahaya yang kuarahkan karena pandangan mataku menangkap sesuatu..

Dalam cahaya yang terbias kabut, samar kulihat seperti ada seseorang berdiri di sana. Jaraknya tidak dekat, tapi juga tidak terlalu jauh..
Tapi posisi orang ini seperti berdiri melayang karena tak kulihat kakinya menapak pada tanah atau pun batu..
Aku mencoba lebih memfokuskan pandanganku, tapi tetap saja hanya bayang bayang samar yang mampu kulihat. Meski begitu, aku tetap bisa mengenali bahwa itu sosok manusia, bukan bentuk makhluk yang aneh.

Perlahan, kulihat tangannya bergerak ke depan lalu menunjuk ke arahku..
Aku pun bergerak mendekatinya supaya bisa lebih jelas melihat serta memahami apa maksudnya.

"Mau kemana?" Ucap Anton yang menyadari gelagatku.

"Itu ada orang ton!. Siapa tau bisa nolong kita!" jawabku.
"Orang apa? Mana ada? Dari tadi ga ada apapun di situ! Jangan aneh-aneh kamu Hen! Bahaya!" Sergah Anton.

Aku yang tak mengindahkan peringatan anton masih berusaha mendatangi sosok tadi. Tapi ketika kembali kuarahkan cahaya senter padanya, sosok itu telah lenyap entah kemana.
Dan sejak hilangnya sosok itu, perlahan kabut ini menghilang menyisakan halimun tipis yang tidak terlalu mengganggu jarak pandang.
Aku masih bertanya-tanya dalam hati mengenai sosok itu. Tapi yang kurasakan adalah dia bukan membawa niat jahat kepada kami.
Aku juga merasa dia bukan orang misterius yang sebelumnya menolong kami. Dia sosok yang berbeda.

Melihat kondisi sedikit membaik, setidaknya sudah tidak ada kabut tebal yang menghalangi pandangan, kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Kami terus menyusuri jalanan setapak diantara semak belukar yg terkadang batang-batang keringnya menghalangi jalan kami.

Jalanan ini masih terus menanjak, meski sudah tidak seterjal sebelumnya. Sesekali masih ada beberapa penampakan penghuni gunung yg menunjukkan eksistensinya.
Semakin lama semak belukar di sekitar kami terlihat semakin rapat dan tinggi. Meski sudah tidak ada lagi penghalang di sepanjang jalur ini. Hingga tak lama kemudian, kami sampai di semacam terowongan yang terbentuk dari semak yang ditembus bagian tengahnya.
Terowongan ini seperti berkelok karena tak terlihat ujungnya di seberang sana, mirip sebuah labirin.
Meski ragu, tapi kami tetap melanjutkan perjalanan memasuki terowongan semak tersebut karena tidak ada jalan lain untuk melaluinya.
Benar saja, terowongan ini berkelok dan cukup panjang. Dan yang kami takutkan adalah hadangan binatang buas yg bisa kapan saja berada di tengah-tengah terowongan ini.
Kekhawatiranku semakin menjadi2 ketika Anton yang berada di depanku berhenti mendadak. Dia tak bicara apapun, hanya berdiri dan terus menatap ke depan.

"Kenapa Ton?" Tanyaku pelan.

"Ada yang menghadang" jawabnya.

"Apa?"

"Ada 2. Makhluk besar dan seperti kakek-kakek" ucapnya.
Aku memang tak melihatnya, tapi aku memang merasakan adanya perubahan aura di sini. Tandanya ada makhluk gaib di sekitarku yang hendak berinteraksi.

"Apa balik lagi aja?" Ucapku lagi.

"Tunggu aja bentar, siapa tau setelah ini aman" jawab Anton.
Kami pun mengikuti saran Anton. Tak ada yang kami lakukan sembari menunggu situasi ini berubah.
Demi mengusir hawa dingin dan rasa takut, aku pun membakar rokok dan menghisapnya untuk menenangkan diri. Dan ternyata ketiga temanku mengikuti apa yang aku lakukan.
Mereka mengaku sampai lupa merokok sejak tadi gara-gara diliputi ketakutan. Ada-ada saja.

Setelah beberapa waktu Anton kembali memberi isyarat bahwa situasi sudah sedikit aman.

"Ayo jalan lagi. Udah hilang" ucapnya

"Yaudah ayo" kami menjawab serempak.
Kami pun melanjutkan kembali perjalanan kami. Kembali menyusuri labirin semak yang berkelok ini. Hingga pada suatu ketika, samar di kejauhan kami melihat cahaya terang berpendar di antara ranting dan daun semak ini.
Semakin kami mendekatinya, cahaya itu terlihat semakin nyata dan terang. Hingga ketika kami sampai di kelok terakhir labirin ini kami melihat jelas jalan keluar dengan cahaya sangat terang di luar sana.
Melihat adanya cahaya, kami menjadi lebih semangat dan lebih tenang. Setidaknya nyali kami telah kembali.
Ketika kami keluar, ternyata kami telah memasuki area padang edelweis yang sangat luas. Dan yang lebih mengejutkan adalah sekarang hari telah terang, bukan lagi malam hari!
Entah kapan terjadi pergantian hari ini. Mungkin ketika kami masih di dalam labirin semak tadi. Semak tadi memang sangat rapat, jadi mungkin cahaya tak bisa menembusnya, sehingga kami tidak menyadari bahwa matahari telah terbit dan hari telah berganti.
Karena semangat kami telah kembali, maka kami segera bergerak kembali menyusuri jalanan setapak di antara pepohonan edelweis ini.

Sekilas kulirik jam di pergelangan tanganku, ternyata waktu telah menunjukkan jam 08.00 pagi.
Aku baru ingat tentang kejanggalan penunjuk waktu yang kami bawa semalam. Maka aku pun menanyakan kembali kepada temanku.

"Cek jam kalian. Jam berapa sekarang" ucapku.

Mereka pun mengecek penunjuk waktu mereka. Ajaibnya, sekarang jam kami semua menunjukkan waktu yang sama!
Melihat kesamaan waktu ini, kami jadi yakin bahwa kami telah kembali di jalur yang semestinya. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan dengan penuh semangat, meski tetap diliputi rasa lapar di perut kami.
Sekitar satu jam berikutnya, kami memasuki area yang mendatar. Di kejauhan kami melihat beberapa orang. Semakin kami mendekatinya, semakin terlihat ada banyak orang di sini. Dan kami jadi semakin lega karena pada akhirnya kami menemui orang2 yang kami kenal, salah satunya Yono.
Ketika kami sampai di tempat yang paling atas, aku baru bisa mengenali bahwa ini adalah puncak. Puncak Gunung Sindoro, tapi dari sisi yang lain, bukan dari sisi Jalur Kledung.
Seketika kami berempat pun sujud syukur karena masih diberikan keselamatan dan bisa sampai di puncak.
Satu hal yang menjadi tanda tanya kami saat itu adalah, rombongan yang tadi berada di belakang kami telah sampai lebih dulu daripada rombonganku, padahal aku dan ketiga temanku tadi tidak merasa didahului oleh siapapun.
Itu artinya kami memang tidak melalui jalur yang sama dengan jalur yang mereka lalui. Entah kami tadi masih di alam nyata atau alam lain kami pun tidak mampu memastikannya.
Usai menikmati sarapan, aku sempatkan cerita kepada Yono mengenai kejadian yang kualami semalam. Tapi Yono tidak memberikan jawaban atau penjelasan apapun. Dia hanya bilang nanti setelah sampai rumah baru akan diceritakan.
Yang penting nanti saat turun kami harus berjalan bersama, jangan terpisah-pisah lagi supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Sebelum turun dari puncak, aku dan yang lainnya menyempatkan berenang di kawah Puncak Sindoro. Ya, benar sekali, kami berenang di kawah.
Waktu itu Gunung Sindoro dalam kondisi "tidur panjang" dan tidak ada aktifitas vulkanik apapun dalam jangka waktu lama, sehingga kawahnya jadi terisi air hujan yang tertampung mirip seperti danau dan kami bisa berenang di dalamnya.
Kalau sekarang jangan harap bisa menikmati suasana yang sama karena Gunung Sindoro sekarang telah kembali aktif menunjukkan aktifitas vulkanisnya, tepatnya sejak tahun 2011.

Usai menikmati suasana di puncak dan telah puas berenang, kami pun bersiap untuk turun.
Memang saat itu masih ada beberapa orang personil pendakian ini yang belum sampai puncak. Tapi kami sengaja tetap turun dan ketika nanti bertemu di jalur mereka akan sekalian kami ajak turun juga.
Mempertimbangkan waktu, maka lebih baik mereka tidak melanjutkan pendakian ke puncak karena waktu yang tidak memungkinkan.

Perjalanan turun kami cukup lancar. Yang membuat kami berempat bingung terheran adalah kami sama sekali tidak menemukan tempat yang kami lalui semalam.
Labirin semak, hutan rimba, dan yang lainnya sama sekali tidak ada. Ketika kuedarkan pandanganku ke sekeliling pun aku tidak menemukan tanda-tanda area yang kami lalui semalam. Dan hal itu sukses membuatku merinding.
Tak mau memikirkan hal itu lagi, aku pun memilih diam tidak dan tidak membahasnya lagi. Lebih baik kami semua segera turun dan segera sampai di basecamp.

Di tengah perjalanan turun kami bertemu personil lainnya yang tercecer. Mereka pun setuju ketika kami mengajak turun.
Selepas maghrib kami telah sampai di basecamp. Kami pun segera membersihkan diri. Ketika Anton baru masuk kamar mandi dan aku mengantri di depannya, tiba-tiba dia kembali membuka pintu kamar mandi dan bicara denganku..
"Aku menemukan ini di kantong celanaku" ucapnya sambil menunjukkan sebuah cincin berhias batu berwarna merah.

"Yakin bukan punyamu?" Ucapku.

"Bukan. Aku tidak pernah memiliki cincin seperti ini.. Tadi di puncak sampai perjalanan turun juga aku tidak-
-merasa ada sesuatu di dalam kantong celanaku. Aku baru menyadari ketika hendak mandi tadi" Jelasnya.

"Yaudah nanti kita tanyain sama Bang Sandi aja" ucapku.
Satu lagi keanehan di sini. Anton tidak merasa membawa benda tersebut. Bahkan dia merasa tidak pernah memiliki benda seperti itu. Tapi ketika turun dari Sindoro tiba-tiba ada benda itu di kantong celananya.
Usai mandi kami menemui Sandi untuk bercerita tentang kejadian semalam sekaligus menanyakan tentang benda yang ditemukan Anton di kantong celananya.

Berdasarkan penjelasan Sandi, ditambah Yono. Kami berempat semalam sebetulnya hanya berputar-putar saja.
Dan tempat-tempat seperti hutan rimba, warung, perkampungan dan labirin semak sebetulnya tidak ada di jalur pendakian pada dunia nyata. Tapi karena ada sedikit gangguan, maka kami merasa seperti berada di tempat yang jauh dan asing..
Lebih tepatnya adalah mata kami yang disamarkan oleh semacam ilusi yang dibuat oleh "mereka", atau memang alam bawah sadar kami yang dibawa ke alam mereka..
Beruntung,kami mendapatkan pertolongan. Entah siapa yang menolong kami, Sandi atau pun Yono juga tidak bisa memastikannya. Tapi kami perlu mensyukuri saja bahwa kami telah berhasil keluar dgn selamat.
Sedangkan benda yang ditemukan Anton di saku celananya merupakan sebuah cinderamata dari Sindoro. Hanya sesederhana itu penjelasan mereka.

Jika Anton yakin ingin memiliki benda itu maka disimpan saja tidak masalah. Tapi jika ragu-ragu, ia boleh membuangnya.
Mau dimanapun dibuang tidak masalah, dia akan kembali ke tempat asalnya atau kembali kepada Anton, asal jangan diberikan kepada orang lain. Begitu penjelasan Sandi.
Dan sesampainya di rumah, Anton mengaku membuang benda itu di sungai depan rumahnya. Tapi dia tidak pernah menceritakan apakah benda itu kembali padanya atau tidak.
Sedangkan Diki yang menemukan benda semacam keris pun pada akhirnya mengembalikan benda itu di tempat dia menemukannya ketika dia turun. Dia mengaku takut karena tidak pernah memiliki atau menyimpan benda-benda semacam itu. Maka lebih baik dia kembalikan saja.
Demikian cerita pendakianku dulu di Gunung Sindoro saat malam satu suro. Aku bukan orang yang menggeluti hal gaib, bukan pula memiliki kemampuan khusus dalam dunia mistis. Segala yang terjadi pada diri ini hanyalah sebuah kebetulan semata dan kehendak dari Yang Maha Kuasa.
Yang terpenting dimanapun kita berada, selalu berusahalah untuk menghormati mereka yang telah tinggal lebih dulu di sana dengan tidak merusak dan mengotorinya serta menghargai tata kehidupan, adat istiadat dan budaya yang berlaku di sana. Begitulah prinsip yang selalu kupegang.
Semoga ada kesempatan bagiku untuk kembali bercerita pengalaman-pengalaman pendakian lainnya. Mohon maaf jika ada kesalahan, baik dalam penulisan maupun penyampaian..

Sekian, Salam rahayu..

Wassalamualaikum Warahmatullah..
-Henry Setiawan
Please support akun ini untuk lebih banyak lagi membagikan cerita horror dan sejarah dgn retweet, like dan komen yaa. Bagi pembaca yg mau support melalui donasi kreator, mwv ada di saweria, cukup klik link di bawah. Terima kasiih
saweria.co/mwvmystic

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with mwv.mystic

mwv.mystic Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @mwv_mystic

Oct 28
Setelah memotong kemaluan korban hidup hidup dan menampung d4rahnya untuk diminum, pelaku memut1l4si dan menjual daging korban dengan kedok daging sapi. Salah satu pembelinya bahkan sudah mengonsumsinya sebagai olahan rendang hati.

a thread Image
M. Delfi adalah seorang pemuda yang tinggal bersama ayahnya, Basri Tanjung, di Kabupaten Siak, Riau. Sehari hari, ia bekerja serabutan. Terkadang ia membantu ayahnya berjualan sate, kadang mengambil upah sebagai buruh bangunan. Image
Hingga akhirnya ia menjadi karyawan sebuah usaha isi ulang galon. Saat usianya masih sangat muda, 19 tahun, pada Februari 2013 ia menikah dengan Dita yang juga berumur sama dengannya. Namun pernikahan ini kandas hanya 8 bulan setelahnya tanpa sempat memiliki keturunan.
Read 21 tweets
Oct 20
ABI KUSNO NACHRAN

JURNALIS YANG DIANIAYA HINGGA CACAT PERMANEN PASCA BONGKAR KEGIATAN PERDAGANGAN KAYU ILEGAL DI KALIMANTAN.

a thread Image
Abi Kusno Nachran, merupakan seorang pria kelahiran Pangkalan Bun tahun 1941. Ia berprofesi sebagai jurnalis untuk Tabloid Lintas Khatulistiwa, sebuah surat kabar lokal di Kalimantan.
Tulisan tulisan Abi Kusno sering menyentil para oligarki dan mafia mafia dibalik pembabatan serta penjualan kayu ilegal dari hutan di Kalimantan. Tidak hanya menulis, ia kerap melaporkan hasil temuannya kepada aparat untuk diusut.
Read 18 tweets
Oct 14
SOTO DAGING MANUSIA DI TERMINAL KAMPUNG RAMBUTAN

a thread Image
Apa jadinya kalau kalian pergi ke sebuah warung soto lamongan, membeli sebungkus soto ayam dan memakannya lalu tiba tiba kalian diberitau kalau warung soto tersebut baru saja digrebek polisi karena menghidangkan soto dengan daging manusia?.. Ilustrasi soto lamongan
Ya, ini bukan potongan adegan film, namun kejadian nyata kasus yang sangat menggemparkan pada masanya : kasus Benget Situmorang dan soto dari daging istrinya.
Read 25 tweets
Oct 7
KISAH TRAGIS OMAYRA SANCHEZ

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, para relawan hanya bisa menemani Omayra menuju kematiannya setelah tersangkut dan terendam air selama 60 jam.

a thread Image
Pada 13 November 1985, Gunung berapi Nevado del Ruiz di Kolombia meletus. Meskipun tanda tandanya sudah terdeteksi, pemerintah setempat gagal melakukan evakuasi dan berakibat pada jatuhnya ribuan korban. Image
Kota Armero, salah satu daerah paling terdampak, bahkan kehilangan 20 ribu dari total 29 ribu penduduknya. Mereka umumnya tewas akibat banjir lahar yg menerjang kota. Salah satu korban di daerah itu adalah keluarga Omayra Sanchez Garzon, seorang gadis berusia 13 tahun.
Read 19 tweets
Oct 3
PALASIK MAYIK
PART 9

Ilmu hitam asal Sumatera Barat yang mengharuskan penggunanya meminum air bekas mandi jenazah

a thread Image
Bagi yg baru bergabung, Part 1-8 bisa dibaca dulu pada utas ini ya :

Kita mulai utasnya jam 20.30 wib. Please support dgn like dan retweet banner judul Part 9 diatas yaa.
Read 172 tweets
Sep 23
KISAH NYATA TUMBAL PROYEK PULAU X

sebuah utas Image
Cerita kali ini gw dapetin dari saudara yg kerja di proyek salah satu pulau. Nama pulaunya mungkin kita simpen dulu ya, meskipun kisah ini mungkin beberapa dari kalian udah tau. Di lokasi tempat dia kerja, beberapa bulan terakhir ada kasus yg booming dan memakan banyak korban.
Gangguannya cukup parah, sampai harus ada ‘pembersihan’ dari hal hal mistis agar para pekerja bisa aman di pulau itu.

Info yang beredar, karena gangguan mistis, ada pekerja yang jari tangannya kepotong dan ada yang kejatuhan potongan pohon yang lagi diangkat crane.
Read 13 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(