Permendikbud Ristek No 30 th 2021 itu bagus. Tapi harus diakui ada problem substansi. Apa salahnya dengarkan masukan Muhammadiyah, Aisyiyah, MUI, & ormas keagamaan lain untuk merevisi bagian yg bermasalah itu? Sesusah itukah? Atau ada agenda lain?

Sebuah utas.

#permendikbud30
Kalau ada pihak yg minta #permendikbud30 dicabut, bukan berarti tdk setuju pencegahan & penanganan kekerasan seksual di kampus. Memang kalau produk kebijakan publik bermasalah yg perlu direvisi, harus dicabut dulu, lalu direvisi, lalu terbitkan yg baru hasil revisi.
Sebetulnya nggak ada satupun ormas yang menolak usaha pencegahan dan penanganan terhadap tindakan kekerasan seksual di perguruan tinggi yang diatur Permen ini. Semua bahkan sangat setuju. Masalahnya, ada bagian substansi yang problematik pada peraturan menteri ini. Apa itu?
Di antaranya frasa ‘tanpa persetujuan korban’ yang ditengarai bias sekularisme dan dinilai membuka pintu bagi terbukanya seks bebas dan perzinahan. Frasa itu bahkan bisa mengaburkan konsep kekerasan seksual itu sendiri. Kita bahas ya.
Pasal 5 yang mengatur peraturan menteri tersebut dianggap cenderung multitafsir dan bertentangan dengan norma agama. Aktivitas seks berbasis persetujuan (sexual consent) tidak bisa dibenarkan di Indonesia, tak dikenal dalam logika hukum formal di negeri ini.
Bangsa ini merupakan bangsa religius yang tidak memperbolehkan aktivitas seksual di luar institusi pernikahan, apapun bentuk dan alasannya, apalagi jika itu diformalisasikan dalam peraturan selevel menteri. Nanti saya bahas apa itu sexual consent.
Ada yang bilang gini, ‘Hanya penjahat kelamin saja yang menolak Permendikbud Ristek’, seolah bahwa keberatan para tokoh dan ormas-ormas keagamaan adalah pada keseluruhan substansi peraturan menteri itu. Aduh ini menyesatkan. Siapa yang logikanya gini?
Keberatan utama pihak yang gak setuju terletak pada penggunaan logika ‘sexual consent’ yang berkali-kali disebut dalam sejumlah ayat di pasal 5 dengan frasa ‘tanpa persetujuan korban’.
Sementara, produk hukum & kebijakan yg multitafsir, apapun dalilnya, adalah produk hukum & kebijakan yang tidak baik. Pakar kebijakan publik tahu ini. Maka pemerintah harusnya sadar bahwa #Permendikbud30 cacat formal & substansial, mesti terbuka untuk dikoreksi bahkan direvisi.
Kedua, secara bahasa, frasa ‘tanpa persetujuan korban’ pun sangat bermasalah. Logika kebahasaannya menjadi kacau. Lihat deh definisi korban di KBBI.

kbbi.web.id/korban
Definisi korban dalam KBBI disebutkan sebagai “(2) orang, binatang, dan sebagainya yang menjadi menderita (mati dan sebagainya) akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya”.
Artinya, korban adalah ‘objek’ yg dikenai tindakan yg tdk diinginkan oleh dirinya, tindakan yg menimpa dirinya itu membuatnya menderita. Logikanya, tak akan ada korban yg setuju dirinya menjadi korban. Frasa tanpa atau atas ‘persetujuan korban’ sangatlah bermasalah secara bahasa
Jika Kemendikbud Ristek menggunakan frasa ini sebagai terjemahan dari hadir atau tidaknya ‘sexual consent’, setidaknya harus kita akui bahwa itu penerjemahan yang salah kaprah dan keliru belaka.
Kata Melanie A. Beres dalam ‘Spontaneous Sexual Consent: An Analysis of Sexual Consent Literature’ yang diterbitkan di jurnal Feminism & Psychology (2017), ‘sexual consent’ adalah persetujuan untuk terlibat dalam aktivitas seksual.
Seseorang bisa dikatakan korban kekerasan seksual jika tidak setuju, tetapi tidak bisa dianggap sebagai korban kekerasan seksual jika sebelumnya sudah ada persetujuan.
Itu pun bahkan tidak sesederhana ‘yes means yes’ dan ‘no means no’ karena bisa jadi ada konteks yang kompleks di dalam sebuah hubungan seksual tertentu.
Artinya, adanya persetujuan atau tidak adanya persetujuan sebenarnya adalah logika ‘pengadilan’ pasca sebuah tindakan seksual terjadi. Seorang hakim atau otoritas tertentu yang menengahi pelaporan tentang adanya kekerasan seksual bisa menanyakan ada atau tidaknya persetujuan itu.
Ini mirip pertanyaan polisi saat ada laporan pencabulan atau pemerkosaan, “Apakah dilakukan atas dasar suka sama suka?”. Memang seringkali pertanyaan atau logika interogasi ini merugikan para korban, di situlah ide ‘sexual consent’ berkembang.
Namun, betapapun pentingnya gagasan ini untuk memberikan perlindungan kepada para korban, tetap saja menerjemahkan ‘sexual consent’ menjadi ‘persetujuan korban’ adalah kesalahan berbahasa yang ajaib.
Mana ada korban yang setuju? Atau, korban kok setuju? Maka di sini, paling tidak Kemendikbud harus mengakui ada kesalahan bahasa dalam #Permendikbud30 itu. Dengan argumen ini, kemungkinan revisi seharusnya terbuka. Kementerian pendidikan dan kebudayaan kok bisa salah berbahasa?
Ketiga, ini paling penting. Memang logika ‘sexual consent’ ini berkembang di negara-negara Barat yang sama sekali memisahkan (bahkan meniadakan) unsur moral agama dalam produk kebijakan alias negara-negara sekuler.
Masalahnya Indonesia bukanlah negara sekuler, sila 1 Pancasila sebagai dasar negara ini ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Dilengkapi dengan UUD 1945 yang jelas mengatur tata kehidupan beragama serta menyebut bahwa agama merupakan bagian tak terpisahkan dari cita-cita bangsa dan negara.
Lihat UUD 1945 pasal 31 ayat 3 menyebutkan bahwa, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Dan dalam ayat 5 disebutkan, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”
Maka jelas jika para tokoh agama & masyarakat sipil keagamaan merasa keberatan dg substansi #Permendikbud30 itu, seharusnya pemerintah melalui mendengarkan masukan mereka. Karena merekalah yang selama ini MEMBANTU pemerintah dalam melaksanakan amanat UUD 1945 dimaksud.
Yang paling menyedihkan dari polemik adalah dua hal berikut ini. Pertama, tuduhan bahwa yang tidak setuju #Permendikbud30 ini berarti tidak setuju pada pencegahan dan pemberantasan kekerasan seksual di kampus-kampus, termasuk tuduhan kepada @muhammadiyah dan @PPAisyiyah.
Padahal, Muhammadiyah dan Aisyiyah-lah yang selama ini paling getol dan konsisten menyuarakan pentingnya perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak, termasuk di dalamnya dari kekerasan dan kejahatan seksual.
Lagipula, tuntutan Muhammadiyah dan Aisyiyah pada Permen dimaksud selama ini jelas, fokus kepada substansi ayat 5 dan cara bagaimana Permen ini dihasilkan--bukan pada keseluruhan isi Permen.
Kerap kali kebijakan semacam ini tidak melalui proses yang melibatkan pihak-pihak terkait, misalnya unsur perguruan tinggi, kelompok masyarakat sipil seperti Muhammadiyah dan Aisyiyah, dan lainnya.
Padahal, dalam logika demokrasi dan pembuatan kebijakan publik modern, pemerintah tidak bisa hanya sepihak membuat kebijakan tertentu tanpa melibatkan kelompok masyarakat sipil, pers, dan lainnya.
Apakah polemik #Permendikbud30 ini kasus pertama? Nggak. Sebelumnya ada PJP, Kampus Merdeka, POP. Semua itu relatif cacat prosedural karena dibuat tanpa melibatkan pihak-pihak terkait. Polemik #Permendikbud30 ini menambah daftar panjang persoalan formal prosedural Kemendikbud.
Kedua, ancaman turunnya akreditasi, penghentian bantuan keuangan, dll bagi kampus2 yang tidak setuju & tidak ikut #Permendikbud30 ini. Katakanlah Muhammadiyah dan Aisyiyah tidak setuju, maka ancaman itu menyasar pula kampus-kampus Muhammadiyah dan Aisyiyah di seluruh Indonesia.
Logikanya begini, Muhammadiyah ini berdiri sejak 1912, bahkan sebelum Republik ini merdeka, selama 109 tahun berkhidmat di bidang pendidikan membantu mencerdaskan anak-anak bangsa. Muhammadiyah selama ini membantu negara, bahkan tanpa meminta biaya negara.
Apakah sekarang saat Muhammadiyah tdk setuju satu peraturan menteri karena dianggap tidak sesuai dg norma dan nilai2 agama, lantas pemerintah menghukum Muhammadiyah, organisasi yang selama ini justru MEMBANTU negara dlm hal pendidikan? Ini sikap negara atau perusahaan sih?
Maaf utas ini agak panjang. Tapi ini udah mau selesai. Bagi saya, polemik ini harus diakhiri dengan satu pertanyaan, bukan oleh debat-debat canggih tentang siapa yang paling membela korban atau mengabaikan korban kekerasan seksual.
Pertanyaan itu adalah: Apakah negara ini diseret kepada logika kebijakan yang sekuler, mengabaikan nilai-nilai agama, atau kita masih setia pada Pancasila dan UUD 1945 yang mengamanatkan pentingnya peran agama dalam negara dan pemerintahan kita?
Dg berbagai pertimbangan, versi tweet bag akhir utas Permendikbud30 sy hapus. Daripada timbulkan kebisingan yg tdk perlu. Kita fokus ke pokok argumen/kritiknya.

Mungkin krn bisa dibaca terpisah. Jadi bikin salah. Saya mohon maaf. Di tulisan asli ttp ada: inilah.com/tanpa-persetuj…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Fahd Pahdepie

Fahd Pahdepie Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @fahdpahdepie

Nov 17, 2021
DUH! Debat soal #Permendikbud30 masih panas aja. Makin banyak juga penumpang gelapnya. Bikin masalah jadi melebar ke mana-mana, tuding sana-sini. Gimana harusnya kita melihat semua ini? Setidaknya ada 3 hal yang harus kita urai. Penumpang gelap harus kita usir.

--- Utas ---
Polemik & perdebatan soal #Permendikbud30 masih terus berlangsung dan makin panas. Saling tuding antara kelompok yang pro & kontra kian hari kian liar, penumpang gelap dlm perdebatan ini juga semakin banyak. Siapa?
Penumpang gelap adalah mereka yang bikin seolah ini tentang melindungi atau tidak melindungi korban kekerasan seksual, soal pro perempuan atau mengagungkan laki-laki dalam relasi kuasa tertentu. Padahal bukan itu.
Read 36 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(