DUH! Debat soal #Permendikbud30 masih panas aja. Makin banyak juga penumpang gelapnya. Bikin masalah jadi melebar ke mana-mana, tuding sana-sini. Gimana harusnya kita melihat semua ini? Setidaknya ada 3 hal yang harus kita urai. Penumpang gelap harus kita usir.

--- Utas ---
Polemik & perdebatan soal #Permendikbud30 masih terus berlangsung dan makin panas. Saling tuding antara kelompok yang pro & kontra kian hari kian liar, penumpang gelap dlm perdebatan ini juga semakin banyak. Siapa?
Penumpang gelap adalah mereka yang bikin seolah ini tentang melindungi atau tidak melindungi korban kekerasan seksual, soal pro perempuan atau mengagungkan laki-laki dalam relasi kuasa tertentu. Padahal bukan itu.
Semua itu mengaburkan esensi bahwa sebenarnya gak ada satupun pihak yg setuju pada ide untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi. Semua sangat setuju.
Sekali lagi, gak ada satupun ormas atau tokoh agama, termasuk Muhammadiyah, Aisyiyah & MUI, yg g mau #Permendikbud30 ini ditegakkan utk menyelamatkan & melindungi kelompok rentan kekerasan seksual di kampus--apapun gendernya. Bukan cuma perempuan, lho.
Masalah sesungguhnya adalah kritik terhadap Permen ini sbg produk hukum formal negara. Sebagai sebuah kebijakan publik, ia tidak boleh anti kritik dan tertutup peluangnya untuk direvisi. This!
Lagipula, perdebatan dan polemik yang ada seolah menciptakan kultur demokrasi yg eksklusif, yang memaksakan perspektif tertentu, gak akomodatif sama perspektif yg lain. Kita butuh ‘demokrasi yg inklusif’ (Baca: Arran Gare, ‘Beyond Social Democracy?, Democracy & Nature, 2003).
Padahal, semestinya Mas Menteri tahu bahwa cita2 kita berdemokrasi adl dg usung prinsip demokrasi deliberatif. Demokrasi yg tempatkan konsensus sbg inti dr decision making. Demokrasi yg menampung & mengayomi semua aspirasi, apalagi bangsa ini adl bangsa yg majemuk (bhinneka)...
Sementara masyarakat yg memegang teguh nilai2 agama, dlm hal ini aspirasinya diwakili oleh civil society agama, jumlahnya gak sedikit & gak boleh diabaikan gitu aja (majority rule) (Helene Landemore, ‘Deliberative Democracy as Open, Not (Just) Representative Democracy’, 2017).
Setidaknya sy mencatat 3 problem utama dr polemik #Permendikbud30 ini. Pertama, problem prosedural. Kemendikbud Ristek mesti terbuka tentang proses bagaimana peraturan menteri ini dihasilkan.
Apakah memang sdh melibatkan semua pihak & unsur2 terkait, termasuk kelompok masyarakat sipil keagamaan? Jika memang sudah, apakah gagasan dan aspirasi mereka ditampung dan diakomodasi?
Jangan sampai ada keluhan seperti disampaikan Aisyiyah, bahwa sebelumnya mereka diundang proses diskusi mengenai Permen ini tetapi di saat2 akhir aja, saat draft Permen justru sudah berada di Kementerian Hukum dan HAM?
Pada saat diundang itu, Aisyiyah menyampaikan sejumlah aspirasi, termasuk soal frasa ‘tanpa persetujuan korban’ yang sekarang bikin rame itu, tetapi aspirasi itu sama sekali gak diakomodasi.
Dan bleid Permen yang diteken serta disahkan 31 Agustus itu konon sama sekali gak berubah dr draft awal yg didiskusikan. Kalo bener gini, apakah pelibatan unsur masyarakat atau ormas hanya bersifat formalitas? Saya percaya nggak gitu.
Nah, poin keberatan Muhammadiyah & Aisyiyah di antaranya adalah soal prosedur ini. Dlm berbagai keterangan resmi jelas mereka menyinggung persoalan prosedur formal ini.
Maka, hei Kemendikbud, jawablah secara terang soal ini, jelaskan ke publik. Jgn sampai bola liar dibiarkan & sebagian pihak justru jadi nuduh Aisyiyah, Muhammadiyah, atau MUI gak pro sama pencegahan penanganan kekerasan seksual di kampus.
Faktanya, bahkan jauh sebelum Permen ini ada, lewat Majelis Hukum dan HAM (MHH) Aisyiyah udah inisiasi &dirikan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) utk bantu para perempuan mengadukan persoalan2 hukum yg mereka hadapi, termasuk KDRT & kasus kekerasan seksual.
Skrg Aisyiyah udah punya Posbakum di 25 wilayah & 10 daerah. Ini menunjukkan bahwa komitmen Aisyiyah sbg salah gerakan perempuan tertua di Indonesia sama kekerasan seksual & isu perempuan gak perlu diragukan lagi.
Kedua, problem substansi. Harus diakui bahwa ada persoalan substansi di Permen ini, terutama di pasal 5. Apakah itu soal basis ideologi yg dipake, konsep yg diadopsi (consent), atau masalah kebahasaan yg bikin ambigu dan multitafsir.
Apapun itu, masalah ini nyata & buat publik debat panjang. Sampai2 perdebatan ini seolah kembali membelah publik, ditumpangi banyak ‘free rider’ yg saling serang satu sama lain dengan sinisme masing2 yg sebetulnya gak sepenuhnya relevan dg substansi persoalan.
Bermula dari perdebatan dan polemik di tengah publik ini, terutama di media sosial, bersyukur Menteri Nadiem akhirnya bergerak. Mulai dari menemui Aisyiyah untuk mengajak berdialog dan mendengarkan masukan...
Hingga melakukan sosialisasi mengenai Permendikbud Ristek No. 30 ini di berbagai platform, mulai dari berita, posting media sosial, hingga podcast bersama ‘public figure’. Udah banyak. Lihat deh.
Akhir2 ini kita senang Mas Menteri udah mulai komentar bahwa dia mempertimbangkan revisi, seperti yg disampaikan saat bertemu dengan Aisyiyah, hanya perlu bersabar dulu karena ia masih berkeliling ke pihak-pihak lain, katanya.
Sy kira inilah masalah ketiga dari polemik ini. Masalah sosialisasi. Saat melakukan sosialisasi mengenai #Permendikbud30 ini, saya melihat ada penumpang2 gelap yang justru menyusupi agenda sosialisasi Mas Menteri ini.
Sebagian mereka membabi-buta menuduh siapapun yang tidak setuju pada konsep ‘consent’ yang diadopsi Permen itu sebagai pihak yang kolot, pro kekerasan seksual, moralis, dan seterusnya. Sampai menghina agama.
Meskipun sebaliknya juga sih, di pihak yg ingin Permen ini direvisi pun banyak penumpang gelapnya, mereka yang berpikir “pokoknya apapun dari pemerintah salah”. Nggak gitu juga konsepnya.
Nah. Di sinilah negara harus bersikap. Negara dlm hal ini Kemendikbud Ristek gak boleh berada pada salah satu sisi. Negara perlu berada di tengah untuk mendengarkan & mengakomodasi semua masukan masyarakat.
Kalau justru Kemendikbud ikut menggerakkan opini publik utk setuju atau gak setuju pada salah satu kubu, negara sudah memaksakan kehendak dan perspektifnya. Ini tak baik bagi dunia kebijakan publik kita. Bukan demokrasi deliberatif.
Terakhir, sy percaya Menteri Nadiem & Kementeriannya akan dengarkan semua masukan berbagai pihak, termasuk Muhammadiyah, Aisyiyah, dan MUI. Seperti sy percaya tak pernah ada niat dari Kemendikbud Ristek legalisasi perzinahan.
Dan sy percaya kita masih menganut demokrasi deliberatif yang inklusif tadi. Masalahnya, memang produk hukum formal negara harus bisa menampilkan prinsip yang sifatnya normatif, termasuk norma agama, budaya dan masyarakat. Kita gak bisa mengabaikan itu.
Lalu, apa revisinya? Saya kira revisi yg tepat akan didapat dr proses demokratis yang melibatkan semua pihak. Ajak lagi diskusi MUI, Muhammadiyah, Aisyiyah, & ormas2 lainnya. Dengarkan masukan mereka, terima keberatan mereka, akomodasi gagasan mereka.
Kalau sy dimintai pendapat, sy kira solusinya simpel, ilangin frasa ‘tanpa persetujuan korban’ & buat satu pasal baru yg menegaskan bahwa penerapan sanksi atau hukum terhadap kasus kekerasan seksual…
harus bersifat adil dan gak mengabaikan suara korban. Kita semua setuju bahwa korban harus dilindungi & peraturan harus mengakomodasi sudut pandang korban yang rata2 perempuan. Laki juga banyak sih.
Mudah2 polemik ini cepat selesai. Sayang energi kita diabisin buat saling serang, saling tuding, saling jatuhkan. Mas Menteri tahu lah Presiden mau kita hidup guyub & rukun. Hindari semua polemik yg berpotensi memecah sentimen publik.

Tabik!
Ini typo: maksudnya gak ada satupun pihak yang nggak setuju pada upaya PPKS.
Saya simpan artikelnya di sini. Silakan dibaca dan disebarkan bisa perlu. Terima kasih.

inilah.com/penumpang-gela…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Fahd Pahdepie

Fahd Pahdepie Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(