Pada 24 Februari 1954 diselenggarakan Konferensi Besar I Lembaga Pendidikan Ma’arif NU di Semarang untuk merealisasikan gagasan pembentukan organisasi pelajar NU yang berskala nasional. Dalam pertemuan tersebut,
turut hadir perwakilan dari Surakarta/Solo, Semarang, dan Yogyakarta. Momen pertemuan ini yang kemudian dijadikan sebagai Hari Lahir Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU).
Adapun tokoh yang mewakili ketiga daerah tersebut yakni M. Sufyan Cholil (Yogyakarta),
H. Mustahal Achmad (Surakarta), dan Abdul Ghony Farida (Semarang). Di beberapa buku yang menulis tentang sejarah IPNU seperti KH Moh Tolchah Mansoer Biografi Profesor NU yang Terlupakan (Caswiyono dkk, 2009) juga artikel-artikel yang beredar di media online,
entah karena kesalahan penulisan yang kemudian dikutip berulang-ulang, nama Mustahal ditulis Musthafa. Melalui artikel ini, penulis sekaligus hendak meluruskan kesalahan tersebut. Mustahal Achmad merupakan putra Kiai Masyhud, seorang kiai besar yang dikenal,
khususnya sebagai ahli ilmu nahwu. Santri Kiai Masyhud tidak hanya berasal dari wilayah Soloraya, namun juga dari Jawa Timur dan wilayah lainnya.
Bahkan, menurut penuturan salah satu tokoh di Solo, pada zaman itu para santri yang hendak khataman kitab Alfiyah,
belum lengkap apabila belum sowan dan ditashih Kiai Masyhud. Kiai Masyhud, yang juga tokoh pendiri NU Surakarta, mewariskan perjuangannya di NU kepada anak cucunya. Selain Mustahal, putrinya yang menjadi tokoh, yakni Hj Mahmudah Mawardi, Ketua PP Muslimat NU (1950-1979).
Kemudian cucu Kiai Masyhud, di antaranya Chalid Mawardi (deklarator PMII) dan Farida Mawardi (Ketua PP IPPNU 1963-1966). Sedangkan Mustahal, di tingkatan lokal, keterlibatannya di NU, khususnya IPNU, dia pernah didapuk menjadi Ketua IPNU Surakarta periode pertama.
Kemudian di tingkat pusat, ia juga masuk ke pengurus PP IPNU periode pertama (1954-1955), di bawah kepemimpinan Tolchah Mansoer. Kala itu, Mustahal Achmad masuk ke dalam kepengurusan, dan tercatat dengan nama Mustahal A.M.
Di era Mustahal menjadi Ketua IPNU Surakarta ini, Kota Solo menjadi tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Panca Daerah (Konferensi Segi Lima) pada 30 April-1 Mei 1954. Pertemuan yang diikuti perwakilan dari lima daerah, yakni Yogyakarta, Solo, Semarang, Jombang,
dan Kediri ini sebagai tindak lanjut setelah disahkannya pendirian IPNU tanggal 24 Februari 1954 pada Konferensi Nahdlatul Ulama Ma’arif di Semarang.
Semasa menjadi ketua IPNU Surakarta, Mustahal juga merangkap jabatan sebagai Ketua PMII Surakarta (1960-1962).
Selepas dari keduanya, Mustahal tetap aktif di kepengurusan NU dan banomnya, yakni Ketua PC GP Ansor Surakarta (1958-1964), Wakil Ketua PCNU Surakarta (1964-1967). Sedangkan di bidang politik, ia pernah menjadi anggota DPRD Jawa Tengah hasil dari Pemilu 1971 (Partai NU)
dan Pemilu 1977 (PPP). Demikianlah kiprah singkat, tokoh pendiri IPNU, kelahiran Solo 8 Januari 1935 tersebut. Kecintaannya pada NU tidak hanya tercermin dalam kesehariannya, hal tersebut bahkan diabadikan dalam nama putera-puterinya,
yang kesemuanya diberikan nama berinisial “NU”. Mereka yakni Ni’matun Ulfa, Niswatul Umah, Najmatul Usrah, Nasirul Umam, Naimul Unsi dan Nasikhul Ukhwan. Dalam usia 59 tahun, tepatnya pada 1 Juli 1994, H. Mustahal Ahmad, BA mengembuskan napasnya yang terakhir.
Jenazahnya dikebumikan berdekatan dengan sang kakak, Nyai Hj Mahmudah Mawardi, di Makam Pulo, Laweyan, Surakarta. Penulis: Ajie Najmuddin Editor: Abdullah Alawi
Artikel ini bersumber dari @nu_online silakan kunjungi websitenya nu.or.id untuk membaca tulisan-tulisan penting lainnya.
Untuk teman-teman, jangan lupa ikuti @SejarahUlama ya, jangan cuma like dan retweet saja. Hehe
Di Pondok Pesantren Mbah Maimun, santri dilarang memakai peci putih. Alasannya, karena orang pergi haji di desa-desa adalah dengan menjual tanah, sawah, tegal atau menabung belasan tahun bahkan sampai berpuluh-puluh tahun.
Sementara simbul yang mereka pakai setelah pulang dari haji adalah peci putih.
"Kalau kamu memakai peci putih seharga 5.000 rupiah, apakah tidak menyakiti hati mereka?" ujar Mbah Maimun sebagaimana diceritakan oleh Gus Baha'.
Bukan haram dalam kategori fiqh,
tapi haram dalam kategori akhlaq. Begini, kata Mbah Moen, ini menurut Gus Baha ya, bahwa orang-orang yang berangkat haji itu butuh perjuangan yang hebat, bahkan dibela-belanin jual sawah segala.
Nah, Mbah Moen tidak ingin melukai perasaan orang-orang yang
[utas] Pesan Penting Gus Dur Agar Indonesia menjadi Bangsa yang Besar
Ketika KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden, Jaya Suprana pernah mewawancarai beliau di Istana Merdeka. Wawancara itu berlangsung sekitar 40 menit dengan beragam tema yang sangat menarik.
Di akhir wawancara, Gur Dur memberikan pesan khusus untuk masa depan Bangsa Indonesia:
“Kita semua harus punya rasa mengabdi kepada bangsa dan negara. Ini yang paling penting. Sebab dengan kita mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara,
dan mendudukkan kepentingan kita sendiri di tempat nomor dua, maka kita akan bisa mengangkat derajat negara kita. Hal inilah yang membuat Amerika besar, Republik Rakyat Cina (RRC) besar, Jepang besar. Semua negara tadi memegang kebanggaan dirinya sebagai bangsa.”
Menjelang Muktamar NU ke-25, 1971, kiai Wahab Hasbullah mengalami naza' setlah sakit keras beberapa lama.Beliau menyuruh Kiai Sholeh Abdul Hamid, keponakan beliau,untuk mengumpulkan santri dan membacakan Yasin
"Jangan berhenti baca Yasin sampai aku mengucapkan Syahadat",
pesan Mbah Wahab. Semua yang hadir tak kuasa menahan air mata.
Bacaan Yasin laksana dengung kumpulan lebah segera memenuhi ruangan, sampai akhirnya Mbah Wahab memberi tanda. Bacaan terhenti. Ruangan senyap seketika.
"Asyhadu allaa ilaaha illallaah... wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah..."
Lalu senyap lagi. Tak ada suara. Ketegangan mencekam.
Tiba-tiba Mbah Wahab tersenyum sumringah,
"Nggak jadi!" kata beliau, "aku sudah ngomong-ngomong sama Malaikat Izro'il,
Kiai Hamim atau Gus Miek, Beliau adalah seorang Ulama besar yang selalu menyembunyikan diri ketika bergaul dgn orang-orang yg terpinggirkan. Beliau sembunyikan Ke ULAMAannya, ke KIAIannya ketika berkumpul dengan orang-orang dunia malam.
Beliau adalah orang yang selalu tersenyum kepada siapapun lawan bicaranya. Dengan perkataannya yang sejuk dan pandangan matanya yang seakan menembus dada, selau membuat tergetar orang yang dipandangnya.
Tanpa sekat Beliau bergaul dengan siapa saja.
Bergaul dengan para tukang becak, Beliau bicara tentang seputar kehidupan mereka. Berkumpul dengan para penjudi, Beliau ikuti permainan mereka. Berkumpul dengan para pemabuk, Beliau ikut menemani mereka.
Mohon do'a kesembuhan untuk Buya Husein Muhammad, yang menurut Fahmina Institut, Cirebon sedang dalam keadaan sakit. Semoga lekas diberikan kesembuhan dan sehat kembali.
KH. Husein Muhammad adalah seorang ulama dan cendekiawan yang lahir di Cirebon pada 9 Mei 1953.
Setelah pulang dari al-Azhar Kairo pada 1983 beliau menjadi salah seorang pengasuh PP Dar at-Tauhid Cirebon yang didirikan kakeknya pada 1933.
Beberapa LSM untuk isu-isu hak-hak perempuan beliau dirikan antara lain Rahima, Puan Amal Hayati, Fahmina Institute,
Alimat dan WCC Balqis. Pernah menjadi Komisioner Komnas Anti Kekerasan terhadap perempuan. Pada 2013 Fahmina Institute yang didirikannya mendapatkan Opus Prize dari Amerika Serikat.
Banyak menulis buku, dua diantaranya yang saya pajang di sini.
IJAZAH SALAM MASUK RUMAH, AGAR RIZKI LANCAR DARI GUS BAHA'
Gus Baha’ mengijazahkan amalan, agar rezeki kita lancar dan tidak menjadi fakir. Yaitu pada saat kita masuk rumah khususnya rumah kita sendiri, yg dimungkinkan tidak ada orang yang menjawabnya,
maka kita membaca salam untuk diri kita sendiri dengan membaca: “Assalaamu ‘Alainaa Wa Alaa `Ibaadillaahish Shaalihiin”.
Artinya: “Keselamatan semoga dilimpahkan kepada diri kami dan hamba2 Allah yg saleh”. Dan para Malaikat yg akan menjawab salam yang kita ucapkan.
Kenapa orang yg mengucapkan salam tsb rezekinya lancar?
Gus Baha’ menerangkan, orang yg mengamalkan, mendapatkan jaminan dari Allah, swt ” tahiyyatan min indhillahi mubarakatan thayyiba “. Mendapatkan keberkahan dari sisi Allah swt.