Teguh Faluvie Profile picture
Dec 23, 2021 165 tweets 27 min read Read on X
DEDEMIT BUAYA PUTIH

Sebuah Kisah Bersembunyi Dalam Terang
- Bagian 4 -

HORROR(T)HREAD
Based on true story

“Alam kita yang paling sempurna, apapun yang kita inginkan pasti bisa terwujud, sekalipun itu nyawa"

----------

@ceritaht @IDN_Horor @diosetta Image
Hai selamat sore menjelang malam, karena ini adalah kamis malam seperti rutinitas kita biasanya, maka cerita akan segera berlanjut sesuai judul diatas. Lebih awal kembali, seperti minggu kemarin. Cuaca sedang sering hujan, semoga teman-teman tetap dalam keadaan sehat. Amin.
Seperti biasanya di bawah akan saya masukan beberapa Link, untuk teman-teman yang belum baca bagian satu sampai 3 bisa klik langsung, agar tidak bingung dengan lanjutan cerita kali ini.
Bagian 1 – 2 Des 2021 (klik dibawah untuk membaca)

Bagian 2 – 9 Des 2021 (klik dibawah untuk membaca)

Bagian 3 – 16 Des 2021 (klik dibawah untuk membaca)

Untuk teman-teman yang ingin membaca bagian 5, 6 & 7 (TAMAT), juga memberikan dukungan/ TIP kepada saya bisa langsung klik link, tersedia juga E-Book yang bisa kalian download, karena cerita sudah TAMAT di Karyakarsa.

Klik link :
karyakarsa.com/qwertyping
Catatan saja sudah lama tidak mengingatkan : Cerita ini berdasarkan kisah nyata, memiliki Narasumber yang bisa dipertanggungjawabkan, segala kesamaan Nama, Latar dan Tempat sudah disamarkan sesuai kesepakatan dengan Narasumber.
Dan tidak ada maksud apapun dalam cerita ini, selain untuk berbagi.

Di bagian akhir nanti saya masukan link agar teman-teman bisa baca duluan dan bisa memberikan dukungan. Oke tanpa berlama-lama lagi, izinkan saya membagikan ceritanya dan selamat membaca.

***
“Kamu pasti tidak paham Ndi, 2 tahun kebelakang sampai saat ini setiap ada kejadian sekitaran danau, tenggelam dan mati, tuduhan itu selalu mengarah ke keluarga kami, H. Agah bapak saya yang selalu jadi sasaran karena sakitnya Yanti… Padahal saya juga ingin dia sembuh Ndi”
Ucap H. Agah sambil air matanya tidak bisa ditahan lagi.
Aku yang mendengar cukup kaget apa yang diucapkan H. Mudin apalagi rasa yang berbeda sekarang sedang datang menghampiri badanku, telinga sebelah kiriku bahkan merasakan panas yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.
“Ada kaitannya ini, pasti” Ucapku perlahan.
“Iyah benar Ndi, semua mengaitkannya dengan tumbal buaya putih” Jawab H. Mudin perlahan.
Dan aku cukup kaget ternyata ucapanku terdengar oleh H. Mudin.
“Maksudnya Pak Haji, maaf tumbal seperti apa?” Tanyaku perlahan, bahkan sekarang
badanku yang terasa sangat panas sekali.
“Orang-orang yakin dengan hal itu, setiap orang pintar datang ke rumah Bapak, selalu pulang tidak selamat. Bahkan kecelakaan dan gangguan di jalan pasti mereka alami hal itulah yang membuat mereka tidak datang kembali, dan selalu ada-
- kalimat; Buaya Putih sebelum mereka pulang Ndi” Ucap H. Mudin dengan perlahan dan sangat serius.
“Benar berarti ada kaitanya dengan kejadian yang sama kemarin malam di rumahku” Ucapku dalam hati, sambil mengaminkan semuanya yang H.Mudin ceritakan bisa saja benar atau sebaliknya
H. Mudin tatapannya semakin kosong, apalagi rokok yang dihisapnya terlihat semakin tidak tenang, padahal sore ini cuacanya sangat bagus sekali cerah, namun gambaran tentang H. Mudin yang berada didepan aku malah sebaliknya.
“Kenapa Pak Haji sepercaya itu cerita seperti ini -
- kepada saya pak, maaf saya ini ke pasar pelabuhan hanya berjualan saja, tidak bisa apa-apa, jika Pak Zaidan berbicara dilebih-lebihkan saya mohon maaf Pak Haji jangan sampai timbul harapan besar kepada manusia seperti saya, tapi jika hanya untuk sekedar teman mendengarkan -
- cerita dengan senang hati saya mendengarnya Pak Haji, mohon maaf saya bicara seperti ini jika tidak sopan” Ucapku perlahan.
Karena takut sekali padangan H. Mudin kepadaku menjadi berbeda, hanya mendengarkan cerita dari Pak Zaidan, karena semuanya bukan karena aku seorang,
melainkan hanya pertolongan dari pencipta alam ini.
“Tidak apa-apa Ndi, emang ada benarnya bahkan maaf sekali Bapak juga tidak percaya dengan cerita Pak Zaidan yang terkesan seperti berbohong ketika menceritakan Andi” Jawab H. Mudin dengan tidak enak hati.
“Alhamdulillah, emang-
- harusnya seperti itu Pak Haji, lagianya hanya kebetulan saja perkenalan saya dengan Pak Zaidan begitu juga dengan Kang Dadang, dan senang sekali juga bisa berkenalan dengan Pak Haji” Ucapku dengan perlahan dan merasa sangat tenang.
“Namun jika ada waktu dan kesempatan, -
-sesekali lihatlah Ndi adik perempuan saya satu-satunya bahkan sudah ada yang ingin meminangnya jika sudah sembuh, kasian sudah berumur” Ucap H. Mudin dan air matanya semakin terlihat bergelinang.
“Berat…” Ucapku dalam hati, dengan ucapan yang barusan H. Mudin keluarkan.
“Baik Pak Haji, namun bukan merasa apa-apa jika kedatangan saya hanya untuk menjenguk nanti saya usahakan Pak Haji” Ucapku perlahan.
“Alhamdulillah terima kasih Ndi, dua hari lagi ada acara di lapangan yang mungkin Andi juga sudah dengar, datang yah nanti saya kenalkan dengan-
- adik saya yang punya acara” Ucap H. Mudin.
“Insyaallah Pak Haji dan alhamdulillah jika bisa berkenalan menambah tali silaturahmi dan rezeki” Jawabku.
Tidak lama H. Mudin kembali memanggil Dani untuk segera mengantarkan aku kembali ke pasar.
“Pak Haji saya pamit lain waktu -
- jika berkenan untuk kembali bercerita saya siap mendengarkan” Ucapku perlahan.
“Terimakasih Ndi, insallah nanti saya suruh Dani lagi yah” Jawab H. Mudin.
Baru saja aku keluar dari halaman rumah H. Mudin, adzan ashar berkumandang.
“Anterin ke masjid saja Dan, tidak apa-apa -
-nanti ke pasarnya saya jalan kaki saja” Ucapku.
“Iyah Kang maaf saya masih banyak sekali kerjaan tidak apa-apa memangnya” Jawab Dani, sambil mengarahkan ke jalan menuju masjid.
“Segala minta maaf, harusnya saya yang terimakasih Dani sudah mau mengantarkan” Jawabku.
Setelah kumandang adzan ashar selesai, tepat sekali aku sudah berada di depan masjid yang memang tidak terlalu jauh dari rumah H. Mudin, kemudian Dani pamit kembali dan aku berjalan menuju masjid.
Benar adanya, sekarang yang menjadi pertanyaan aku dari beberapa kejadian
ke belakang ada sebabnya, dan aku masih merasa tidak enak hati dengan kebaikan H. Mudin, apalagi yang menimpa adik perempuan satu-satunya itu Yanti.
“Harus lebih hati-hati” Ucapku perlahan sebelum mengambil air wudhu, ketika teringat nama Dimas yang tadi datang ke rumah H. Mudin
karena sama sekali dengan apa yang aku lihat kemarin malam.
Bahkan sampai komat berkumandang aku tidak melihat H. Mudin ke masjid sama sekali, karena sebelumnya juga aku yakin tidak semua orang tua bisa menerima kenyataan yang sedang menimpa keluarga besarnya, apalagi kabar yang
berkembang bisa menjadi aib yang menyebar, di kalangan dimana sekarang aku berada.
Selesai sholat dan kembali berganti pakaian dengan perlahan aku menyusuri jalan menuju pasar dengan berjalan kaki, sambil memperhatikan kanan dan kiri jalan saja, apalagi pikiranku dibawa sendiri
oleh kemauannya selalu mengingat soal dedemit buaya putih itu.
“Jika benar, pasti dulu ada sebabnya seperti itu” Ucapku perlahan.
Tidak tahu kenapa tiap langkah kaki yang aku langkahkan menginjak bayangkanku sendiri didepan karena cuaca memang sore ini benar-benar cerah,
aku merasa ada yang mengikuti langkahku dibelakang, bahkan sudah hampir enam langkah aku merasakan hal yang sama, sambil doa terus aku ucapkan dalam hati.
“Harusnya benar ada yang mengikuti” Ucapku, memaksa untuk tidak melihat ke belakang.
Ketika sampai di pertigaan menuju pelabuhan dan pasar aku melangkahkan kaki sangat perlahan dan otomatis aku akan berbelok ke arah pasar dan bisa melihat sedikit siapa yang sedari tadi mengikuti aku.
“Dimas…” Ucapku dalam hati, dan langsung saja aku berbalik badan.
“Kenapa?” Tanya Dimas sambil mendekat dengan mata yang sangat merah.
“Tidak saya hanya melihat kebelakang saja” Ucapku.
“Saya kasih tau! Siapapun kamu tidak peduli kenal dengan Zaidan ataupun Si Dadang jangan ikut campur urusan dengan keluarga H. Agah, atau kamu akan menyesal”
Ucap Dimas berbicara dekat sekali denganku, sambil tangan nya beberapa kali menepuk pundakku.
Bahkan aroma dari mulut Dimas sudah sangat bau alkohol yang tidak asing lagi aku kenal.
“Mabuk orang ini” Ucapku dalam hati.
“Paham!” Ucap Dimas sambil melotot.
“Pertama saya tidak -
- mengenal kamu, dan H. Agah dengan H. Mudin saya hanya beli telur, maaf jika itu membuat salah, tidak usaha khawatir, dengan Pak Zaidan dan Kang Dadang juga sebatas kenal saja, saya hanya pedagang” Jawabku perlahan.
Beberapa orang yang melihat sambil menggunakan motor
tidak jarang melihat aku dan Dimas yang sedang berbicara di pinggir jalan saat ini.
“Alah! Orang sakit sosan, sehebat apa sih kamu hah!” Bentak Dimas dengan keras.
Segera aku melangkahkan kaki kembali dan tidak menanggapi Dimas dalam keadaan mabuk, bahkan aku pikir Dimas akan
semenankutkan itu ternyata tidak sama sekali.
“Ada kaitanya dengan keluarga H. Agah” Ucapku perlahan.
Tidak lama gerobak martabak sudah aku lihat dan Ajo dari kejauhan aku lihat sudah mulai membuat untuk beberapa orang yang sudah memesan sore ini.
“Jalan Ndi…” Tanya Ajo.
“Tadinya mau diantar kesini, tapi ke masjid dulu kasian Dani kalau nunggu” Ucapku, langsung membuat pesanan yang siapa kau buatkan.
“Gimana dengan H. Mudin Ndi?” Tanya Ajo penasaran.
“Nanti saja, selesai pesanan itu kamu istirahat dulu ngopi sana, kasian” Ucapku,
karena yang memesan hanya baru ada dua orang saja.
“Siap Ndi, pesanan pertama ini” Jawab Ajo sangat senang.
Aku berusaha terus memisahkan dan mengatur pikiranku kapan harus memikirkan obrolan dengan H. Mudin, karena mau bagaimanapun juga, ternyata semuanya saling berkaitan
apalagi sebuah teguran dari Dimas dalam keadaan mabuk bisa jadi ada benarnya.
“Ndi jangan jadi melamun kemanisan coba” Ucap Ajo perlahan menegurku.
“Ha-ha-ha enggak bakalan Jo ahli dua hari masa iyah” Jawabku dengan bercanda.
“Aku duluan pake Si Joni, rokok masih ada” Ucap Ajo.
“Ada, pagi beli di pangkas” Ucapku perlahan, sambil memasukan pesanan untuk seorang gadis remaja.
Setelah membayar dan memberikan kembalian aku langsung duduk di kursi dan membakar rokok.
“Iyah makhluk dipangkas juga harus aku urus, siapa dalang semuanya ini” Ucapku perlahan
sambil menghisap rokok.
Baru saja beberapa hisapan rokok aku nikmati dengan perlahan, ada suara yang membuyarkan lamunanku sedang memikirkan Daud di pangkas dan berdoa supaya ramai.
“Ndi…”
“Eh kang, ayo sini duduk” Ucapku sambil memberikan kursi pada Kang Dadang.
“Ada anak barusan liat kamu bicara dengan Dimas dan katanya kamu dibentak sama Dimas, benar?” Tanya Kang Dadang, sambil mengeluarkan rokok di dalam sakunya dan meminjam korek api.
“Iyah Kang, pulang dari rumah H. Mudin, cerita soal adiknya” Jawabku perlahan, karena aku sudah -
- tau dari Ajo bahkan Kang Dadang juga menyuruhku untuk mengobati Yanti. Dan tidak menyangka juga ternyata salah satu anak buahnya Kang Dadang ada yang melihat aku dan melaporkannya langsung pada Kang Dadang.
“Dimas itu orang paling brengsek yang dipiara oleh H. Agah Ndi, -
- pegang kawasan kolam apung, anak buahnya disana banyak, tapi jika membuat ulah di kawasan pasar dan pelabuhan aku gorok kepalanya sampai lepas” Ucap Kang Dadang sangat kesal.
Bahkan aku sangat kaget dengan ucapan Kang Dadang yang benar-benar serius dan baru kali ini melihat
dari raut wajahnya seperti tidak ada lagi kata kecuali, benar-benar serius.
“Tidak Kang, jangan salah paham, aku hanya ditegur sama Dimas jangan ikut campur urusan keluarga H. Mudin saja dan itu benar adanya Kang” Jawabku perlahan, sambil menenangkan Kang Dadang.
“Tidak Ndi salah, Dimas tidak ada hak secara keluarga, bahkan H. Mudin saja yang menyuruhku membujuk Andi, Dimas dianggap keluarga oleh H. Agah karena bisa membuat bisnisnya aman saja di kolam apung.” Jawab Kang Dadang.
“Oh begitu kang, maaf kalau saya salah, cuman minta maaf-
- juga sudah membuat Akang datang kesini, mungkin Akang sedang sibuk, memang salah saya Kang” Ucapku perlahan, karena tidak mau terjadi hal-hal yang tidak aku inginkan dan semuanya gara-gara aku saja.
Kang Dadang hanya mengangguk saja setelah mendengarkan permintaan maafku dan
sepertinya berpikiran yang sama akan ketakutan yang tidak mau terjadi yang aku inginkan.
“Baik Ndi selama aman dan tidak mengganggu usaha kamu, Pak Zaidan bilang, kamu kenal dengan Nek Sumiyanti?” Tanya Kang Dadang.
Bahkan aku yang mau bertanya kepada Kang Dadang tentang
Nek Sumiyanti malah aku urungkan karena ada Bapak-Bapak yang baru saja turun dari motornya memesan martabak.
“Sebentar yah Kang” Ucapku perlahan.
Kang Dadang hanya mengangguk saja dan langsung menyapa Bapak itu karena sepertinya kenal sekali.
“Dang, tumben Si Dimas -
-ada di bengkel Si Acuy terus yah” Ucap Bapak itu sambil duduk disebelah Kang Dadang.
“Kolam apung lagi sepi kali Pak, kalau ada apa-apa bilang saja Pak biar anak-anak gebukin itu Si Dimas” Jawab Kang Dadang.
Aku hanya mendengarkan saja percakapan antara Kang Dadang dan Bapak
yang memesan martabak ini, dan sekarang bahkan aku paham kenapa bengkel yang sebelumnya memandangi aku sampai sebegitunya ketika aku mengisi angin ban Si Joni, karena pemilik bengkel itu temanya Dimas.
“Ya mau dimana lagi memangnya coba Pak, Si Dimas kalau nongkrong hanya-
- di bengkel itu, paling mabuk sampai meninggal” Jawab Kang Dadang.
Apalagi ucapan Kang Dadang menambah yakin penyebab pemilik bengkel itu memperhatikan aku sampai sebegitunya.
“Hati-hati lagi” Ucapku dalam hati.
“Si Ajo kemana emangnya Ndi?” Sahut Kang Dadang.
“Biasa kang asaran, giliran paling sambil ngopi” Jawabku.
Tidak lama pesanan Bapak itu selesai dengan cepat sesuai permintaannya dan malah kembaliannya sama sekali tidak diterima dan diberikan kepadaku.
“Terimakasih banyak ini Pak” Ucapku perlahan.
“Anak saya kemarin beli dan -
- enak, makanya itu buat beli kopi saja” Ucapku perlahan.
Sementara Kang Dadang yang melihatku ikut tersenyum dan menggelengkan kepalanya berkali-kali.
“Emang sih Ndi enak, anak-anak juga di pelabuhan pada suka” Ucap Kang Dadang.
“Alhamdulillah Kang, oiyah barusan sampai mana Kang” Tanyaku.
“Sampai saya tanya Andi kenal tidak dengan Nek Sumiyanti?” Tanya Kang Dadang dengan serius.
“Tidak kang, atau mungkin nenek-nenek yang ada di rumah H. Agah, Pak Zaidan yang bilang, tapi aku lupa Kang, -
- kenapa memangnya?” Ucapku menjelaskan.
Kang Dadang hanya mengangguk saja berkali-kali sambil kembali membakar rokok yang tidak tahu sudah habis berapa batang selama duduk di belakang gerobak martabak ini.
“Kata Pak Zaidan mohon maaf soal kalimat usirah di rumah Pak Haji -
-oleh Ibunya itu Ndi, dan tidak tau kenapa setelah tau sosok yang Andi buang dari badan Pak Zaidan waktu Akang dan Bapak ke pangkas masih ingat?” Tanya Kang Dadang.
“Masih Kang” Jawabku.
“Pasti ada kaitanya ini” Ucapku sambil perasaan yang tidak enak datang kepadaku.
“Iyah ingat Kang, oh masalah itu tidak apa-apa Kang masalah di rumah itukan niatnya juga mengantar pesanan” Ucapku.
“Masalahnya Ndi, sampai saat ini Nek Sumiyanti malah membenci sama kamu dan kenapa Dimas sampai seperti itu, itu karena suruhan, makanya saya langsung-
- datang kesini takut kenapa-kenapa” Ucap Kang Dadang sangat serius.
“Lah memangnya kenapa Kang, sampai sebegitunya” Tanyaku, sambil melihat Ajo datang dan turun dari Si Joni.
“Akang tidak tahu persisnya seperti apa, cuman memang dari jaman dulu juga Nek Sumiyanti orang sakti-
- disini, mungkin alasan yang akang pahami itu, cuman sudah jangan bahas ini ada Ajo, nanti juga Pak Zaidan bicara sama Andi yah” Ucap Kang Dadang dan aku juga setuju dengan ucapan terakhir Kang Dadang saat ini.
“Sudah lama Kang?” Ucap Ajo sambil bersalaman dengan Kang Dadang.
“Nunggu yang buat martabak telor lama jadinya ngobrol sama Andi” Jawab Kang Dadang sambil tersenyum.
“Mau dibuatkan Kang?” Sahutku.
“Boleh yang telor aja nanti ada anak-anak ngambil kesini, tiga yah Jo” Jawab Kang Dadang sambil berdiri kemudian pamit.
Ajo langsung saja dibantu
olehku membuat pesanan Kang Dadang supaya lebih cepat, apalagi tidak biasanya sore ini pembeli tidak seperti sore kemarin yang langsung berdatangan dengan banyak. Dan benar saja tidak lama anak buah Kang Dadang mengambil pesanan dengan memberikan uang lebih dan tidak mau menerima
kembalian yang aku berikan sama sekali.
“Sepi yah Ndi tumben” Ucap Ajo.
“Hujan juga ada berhentinya Jo” Ucapku.
Masih saja pikiranku bersama obrolan dengan Kang Dadang sebelumnya, apalagi kebencian Nek Sumitanyi kepadaku tanpa alasan yang jelas.
“Apa yang diceritakan Bapak-
- soal nenek sakti itu adalah Nek Sumiyanti, jika benar usianya tua sekali…” Ucapku dalam hati, sambil tidak percaya, jika yang diceritakan oleh Bapak adalah benar Nek Sumiyanti.
Bahkan aku selalu bersembunyi di depan Ajo berusaha tidak terlihat memikirkan sesuatu takutnya malah
membuat Ajo curiga dengan apa yang sedang aku pikirkan saat ini.
“Ndi kenapa setelah ngobrol dengan Kang Dadang jadi banyak melamun sih, ngomongin keluarga H. Agah lagi yah?” Tanya Ajo.
“Baru saja bilang…” Ucapku dalam hati.
“Iyah Jo, lagian aku sudah bicara panjang dengan-
- Kang Dadang bahkan aku cerita pulang dari rumah H. Mudin, dan urusannya sudah selesai.” Jawabku menjelaskan.
“Selesai, maksud kamu?” Tanya Ajo semakin penasaran.
“Iyah aku jelaskan tujuanku kesini berdagang saja sudah tidak lebih” Jawabku.
“Iyah mendingan begitu Ndi, -
- kasian kalau menyimpan banyak harapan adiknya pengen sembuh” Ucap Ajo.
Bahkan sampai sore terlewati dengan perlahan dan warna langit berubah menjadi gelap sama sekali belum ada lagi yang membeli daganganku dengan Ajo sore ini.
“Pulangnya agak malam, bilang ke Imas jadikan-
- saja menginap di rumah Ibu jangan pulang Jo” Ucapku.
Segera ajo mengeluarkan handphone dari sakunya dan mengirimkan pesan kepada Imas.
“Iyah Ndi sayang adonan kalau tidak habis, ya walaupun bisa sih di akalin kata Ibu kamu juga, cuman berati patokanya kaya kemarin saja-
- buat besok berdagang yah” Ucap Ajo.
Tidak lama lantunan suara adzan magrib berkumandang dengan merdu dari arah masjid yang sudah biasa aku gunakan selama dua hari disini.
“Aku ke masjid duluan saja Jo” Ucapku.
Ketika aku menyalakan mesin Si Joni melewat tiga mobil mewah yang
berjalan sangat kencang, apalagi di bagian depannya menggunakan motor trail sebagai pembuka jalan dan terlihat dari lampu rem belakang mobil yang berwarna merah dari kejauhan berbelok ke arah jalan buntu yang artinya ujungnya adalah rumah H. Agah.
“Tumben yah Ndi” Ucap Ajo.
Aku hanya menggelengkan kepala saja dan langsung menarik gas motor Si Joni menuju masjid, karena tidak seperti biasanya juga lantunan suara komat di speker arah masjid terdengar lebih cepat dari biasanya.
“Ada apa tumben” Ucapku, sambil sedikit mempercepat laju Si Joni kali ini.
Ketika sampai aku langsung tegesa-tegesa bersalin pakaian dan mengambil wudhu. Bahkan aku tertinggal satu rakaat dari imam yang sudah memulai dan ketika melihat jam di masjid benar saja kali ini solat lebih cepat.
Setelah selesai semuanya, dan aku baru selesai juga mengucapkan
salam terakhir, terdengar pengumuman dari Imam masjid bahwa hari ini ada acara pengajian di rumah H. Agah dan mengundang seluruh jamaah masjid untuk berkenan datang.
“Siapa juga coba yang mau datang” Ucap Bapak yang bersila disampingku.
“Pantas saja tadi ada mobil mewah,-
- mungkin itu adiknya H. Mudin” Ucapku dalam hati dan menanggapi ucapan Bapak di sebelahku dengan senyum saja.
Setelah selesai aku kembali ke pasar dengan sedikit cepat karena tidak mau kejadian seperti magrib kemarin melihat Ajo sibuk meladeni pembeli.
“Masih sepi…” Ucapku
dari kejauhan melihat Ajo sedang melamun sambil menghisap rokok di lengannya.
“Aneh Ndi, aku lihat-lihat orang sepertinya tidak melihat gerobak kita deh, aku perhatiin kaya yang lewat saja.” Ucap Ajo, ketika aku sudah duduk disebelahnya.
“Pijam Handphone, telpon Daud” Ucapku.
Langsung saja Ajo memberikan handphone yang sudah terhubung dengan nomor Daud.
“Jo…” Ucap Daud di telpon.
“Ud ini Andi, gimana pangkas ramai?” Ucapku.
“Kebetulan Ndi kamu tlp, masa aku dari siang belum sama sekali mencukur sepi banget, aneh” Ucap Daud.
“Yasudah berarti uang tadi siang cukup yah lumayan buat nutupin hari ini” Tanyaku.
“Cukup Ndi untung saja kamu kasih lebih” Ucap Daud.
Setelah itu saku tutup telpon Daud, dan kembali memberikan handphone ke Ajo.
“Sama Daud juga sepi Ndi?” Tanya Ajo.
Aku hanya mengangguk saja dan
mencoba memahami lebih dalam, sebenarnya apa yang terjadi hari ini.
“Dari tadi kakek tua disana melihat ke arah kita terus, beberapa pedagang yang kasih makanan lihat saja dibiarkan begitu saja Ndi, sudah coba aku kasih uang juga malah tidak mau dan sesekali melihat ke arah-
- gerobak kita” Ucap Ajo menjelaskan dan aku lihat langsung ke arah Kakek yang sangat tidak terawat dengan sarung yang menyampai di bahunya.
“Oh iyah Jo dari tadi?” Tanyaku perlahan.
“Kata tukang gorengan, orang gila baru biasanya yang dibuang dan berjalan ke arah sini, -
- tapi katanya sudah lama tidak ada orang gila baru di pasar dan baru kali ini ada lagi” Ucap Ajo perlahan dan berdiri dari tempat duduknya.
Aku hanya mengangguk saja sambil mencoba tidak melihat ke arah kakek tua itu lagi.
Ajo langsung pergi menggunakan Si Joni untuk bergantian
denganku, melaksanakan ibadah sholat magrib. Benar saja hampir 10 menit aku perhatikan orang-orang yang melewati gerobak aku bahkan sama sekali tidak sekalipun melirik, padahal secara logika ini hari kedua dan seharusnya orang-orang belum tau semua, apalagi sebelumnya juga sore
tadi ketika ada Kang Dadang, Bapak itu kembali membeli karena kemarin anaknya membeli dan rasanya cukup memuaskan.
“Sini…” Ucapku sambil melambaikan tangan ke arah kakek tua yang berbadan kurus dengan rambut yang berantakan.
“Dari tadi sudah panggil-panggil aku kasihan, -
- siapa kakek ini” Ucapku yang akhirnya aku lambaikan kedua kalinya tanganku. Panggilan seperti ini biasanya pertanda.
Telihat kakek itu bangun dari duduknya dan berjalan sedikit bungkuk menuju ke arah aku sedang duduk.
“Mau kakek martabak saya buatkan” Ucapku.
Kakek itu hanya duduk di tanah dan tidak menerima kursi plastik yang aku berikan bahkan sama sekali tidak menjawab ucapanku.
“Dari mana?” Ucapku perlahan duduk bersila di dekat kakek tua.
“Lusa, disana akan ada orang berteriak teriak gila, aku kesini mengingatkan saja-
- hari dimana perjanjian itu ada, cucu harus siap…” Ucap Kakek dengan suara pelan sekali.
“Perjanjian apa kek?” Tanyaku mencoba memahami ucapan kakek tua ini yang mungkin terkesan mengada-ada namun beda ucapannya begitu saja masuk kedalam hatiku dengan perlahan sekali.
Tangan kakek itu memperagakan gerakan membentuk danau tanpa berbicara sama sekali, kemudian menggerakan tanganya membelai rambutnya yang sangat berantakan.
“Hati-hati… dan kalau bisa jangan ikut campur” Ucap Kakek dengan suara yang sama pelannya, kemudian mengeluarkan
air didalam plastik.
Aku hanya mengangguk saja setelah mendengar jelas yang Kakek tua ini ucapkan.
“Siram pelan…” Ucap kakek menyodorkan air dalam plastik yang aku taksir bekas gigitan kakek ini sebelumnya untuk minum karena terlihat dari plastik yang ditalikan sudah tidak rapi.
“Siram dimana kek?” Tanyaku perlahan, sambil menerima air dalam plastik putih.
Dari kejauhan Ajo bahkan sudah terlihat mendekat ke arah gerobak martabak dan melihat aku sedang duduk berbicara dengan kakek tua ini.
Tanpa berbicara kakek tua itu menunjuk ke arah gerobak
dan langsung berusaha berdiri dengan perlahan.
“Sini aku bantu Kek… Baik kek terimakasih air nya” Ucapku sambil membantu Kakek tua berdiri.
Kemudian perlahan berjalan berpapasan dengan Ajo bahkan kakek itu hanya menunduk saja sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali,
sambil mengacuhkan pertanyaan Ajo.
“Siapa Ndi… kenal kok sama kamu biasa ngobrol, barusan aku lihat” Tanya Ajo penasaran.
“Tidak tau Jo…” Ucapku, sambil menyiramkan air yang diberikan kakek tua yang masih aku lihat berjalan dengan pelan ke arah pelabuhan.
“Benar juga, ini sudah tingkatan tinggi, bahkan sedari sore aku tidak menyadarinya” Ucapku dalam hati sambil membuang bekas plastik ke tong sampah yang berada di dekat gerobak.
“Akang kenal sama orang gila barusan” Ucap tukang gorengan sedikit berteriak.
“Engga Kang,-
- biasanya orang tua suka pengen didengarkan, dari pada melamun sepi sekalian saja saya dengarkan ceritanya” Jawabku sambil tersenyum.
“Air apa Ndi” Sahut Ajo.
“Sudah siap-siap sebentar lagi banyak yang beli coba” Ucapku.
Lusa yang kakek tua itu maksud bahkan aku lebih membuat
sangkaan buruk pada acara yang akan terjadi di lapangan sepakbola, apalagi sebelumnya juga aku pernah mengalami hal sama disana, namun aku rasa itu hanya sebuah teguran saja agar aku benar-benar tidak ikut campur dengan urusan yang sudah ada disini. Apalagi ketika mengingat
gerakan kakek tua barusan membentuk danau juga ada kata “Perjanjian” sudah membuat aku tau harus mengambil keputusan apa selanjutnya.
Bahkan sebelum adzan isya berkumandang, satu persatu pembeli datang silih bergantian, sembari melayani pesanan martabak aku dan Ajo benar-benar
sibuk karena tidak menghitung jam setelah air dari kakek tua itu aku siramkan, sekarang para pembeli harus sampai ada yang berdiri sambil menunggu giliran pesanannya aku dan Ajo buatkan.
“Bukan sembarangan kakek barusan” Ucapku dalam hati.
“Coba dari sore yah Ndi” Ucap Ajo.
“Alahamdulillah segini juga Jo, walaupun tetap akan pulang malam sekali” Jawabku perlahan.
“Mungkin semuanya berkaitan dan datang kepadaku secara satu persatu, ya allah jika semuanya adalah jalan terbaik yang engkau berikan kepada hambamu yang lemah ini, tolong dengan segala-
-isi dunia ini hanya kepadamulah hambamu ini meminta pertolongan juga perlindungan” Ucapku dalam hati.
“Acara syukuran malah Yanti yang kerasukan, teriak-teriak padahal kalau tidak niat bikin acarakan jadi aib yah” Ucap Bapak disebelahku perlahan, yang sedang berdiri menunggu
pesanannya beres, berbicara dengan temannya.
“Sudah bukan rahasia dari dua tahun kebelakang juga siapa yang tidak tau penyakit juragan itu Pak” Jawab teman Bapaknya.
Ajo yang mungkin sama mendengarkan percakapan antara Bapak-bapak di sebelahku hanya menyenggolkan tangannya ke
lenganku sebagai pertanda.
“Sudah Jo ah…” Ucapku, bahkan aku juga paham sekali dengan ucapan mereka karena sebelumnya H. Mudin kakaknya Yanti sudah bercerita kepadaku.
Satu persatu pesanan sudah beres, bahkan sudah dua jam lebih silih berganti martabak telor dan manis terjual
dengan cepat aku dan Ajo bahkan tidak diberi jeda untuk membakar rokok satu batang pun. Hanya tinggal tiga orang lagi yang sedang aku dan Ajo buatkan pesanannya.
“Ada lagi…” Ucapku, sambil melihat ke arah kebun ujung pasar yang kemarin Dimas muncul.
“Kalau orang itu-
- macam-macam aku dor saja Ndi” Ucap Ajo.
“Jo… jangan samakan dengan pergaulanmu di kota sana” Jawabku yang ternyata Ajo juga mengetahui Dimas sedang memperhatikan dari arah kebun sana ke arah gerobak.
“Baik Ndi” Jawab Ajo.
Setelah tiga orang pembeli selesai dan membayar
mereka langsung pergi dengan menggunakan sepeda motor dan ada juga yang berjalan perlahan.
“Jo! Jangan sampai bikin ulah” Ucapku yang sudah melihat Ajo sedikit mengeluarkan beceng ilegal dari tempat penyimpanan uang, yang sudah dia miliki sejak kerja di kota yang aku paham
sebagai pelindung saja.
“Jaga-jaga saja, pengen tau sekebal apa orang itu, risih Ndi dari kemarin mungkin dia orangnya” Ucap Ajo.
Sementara Dimas yang terus berdiri hanya memandang ke arahku sambil merokok dari arah kebun.
“Sialan tidak sendirian, maunya apa orang itu.” Ucapku
dalam hati karena aku lihat dari jauh bahkan Dimas membawa dua sosok wanita yang sedang berada dibalik badanya.
“Sumiyanti Nenek itu oh…” Ucapku setelah meminta perlindungan dari pencipta sambil membacakan doa didalam hatiku.
“Jangan Ndi, nanti tambah masalah”
“Baik nanti saja-
- kalau mengganggu” Jawabku kepada diri sendiri.
Baru saja aku akan menegur Dimas dari jarak jauh, tiba-tiba Dimas pergi begitu saja dan menghilang diantara gelapnya kebun itu, dan sosok wanita itu masih melihat ke arahku dengan sangat tajam, namun tetap aku biarkan.
Bahkan sudah jam 10 malam ini beberapa pedangan sudah ada yang melakukan beres-beres dagangan sementara aku dan Ajo terus-terusan membuatkan pesanan dan masih saja ada orang yang membeli.
“Sisa beberapa lagi Ndi tidak apa-apa selesai hari ini kita pulang” Ucap Ajo.
“Kerajaan, pantas” Ucapku sambil terus berpikir dan merasakan dari segala informasi yang datang, padahal aku baru saja dua hari disini.
“Semoga ucapan kakek itu salah, tentang lusa nanti” Ucapku perlahan, sambil duduk beristirahat.
Ajo langsung membereskan gerobak setelah melihat
jam sudah jam 10 lebih malam ini bahkan tinggal belasan menit lagi sudah mau jam 11 malam, sementara aku masih saja duduk memikirkan semuanya siapa yang tega berniat berusaha jahat pada pangkas dan gerobak daganganku.
“Benar adanya…” Ucapku perlahan.
“Imas Ndi…” Ucap Ajo
sambil memberikan handphone kepadaku
“Ndi, dari 2 jam kebelakang di kebun kata bapak kaya ada orang yang memperhatikan rumah Bapak dan Ibu, ini juga kita semua belum bisa tidur Ndi” Ucap Imas dengan ketakutan.
“Kasih ke bapak aku mau bicara” Jawabku yang cemas
mendengar suara Imas.
“Itu gangguan dari sini Pak, Sumiyati siapa, cepet jawab Pak” Ucapku perlahan.
“Sumiyati… Bapak tidak tahu Ndi, apa dia kenal dengan Ki Dalang Didi” Jawab Bapak di telepon.
Seketika bulu pundakku berdiri dengan cepat dan panas dibadan datang dengan cepat
begitu saja ke badanku yang sekarang sedang duduk di kursi plastik ini.
“Baik, Andi tidak pernah bicara dengan nya Pak, dia orang sakti disini kata cerita teman Andi dan itu Ibu dari H. Agah, ingat tidak Pak atau tau informasi apa saja?” Tanyaku, bahkan Ajo langsung melihat
ke arahku, aku hanya memberikan isyarat dengan jari telunjuk ke arah mulutku kepada Ajo.
“Tidak Ndi sama sekali Bapak tidak tahu, yang di kebun juga masih ada barusan bapak pura-pura duduk di teras, tapi bapak yakin bukan orang Ndi” Ucap Bapak perlahan.
“Jaga Ibu, Imas dan Raka-
- Pak, Andi segera pulang” Ucapku perlahan.
Segera aku tutup telpon dan langsung mengajak Ajo membereskan gerobak dengan cepat sekali.
“Ada orang di kebun Bapak, jangan berisik cepat bereskan dan kita pulang” Ucapku berbisik kepada Ajo.
Ajo hanya mengangguk saja, bahkan beceng
yang Ajo punya sudah kembali dimasukan di antara celana jeans yang Ajo gunakan.
Tidak berselang lama dan sangat terburu-buru aku dan Ajo sudah menaikan wadah adonan di kanan dan kiri Si Joni.
“Pelan saja Ndi, jangan sampai kita juga ikut celaka” Ucap Ajo.
Bahkan aku tidak menjawab ucapan Ajo dan fokus kepada Si Joni yang sedang aku kendarai sekarang, ketika melewati lapangan sepakbola benar saja tenda sudah berdiri dan masih banyak orang yang sedang berada disana dengan penerangan lampu yang sangat luar biasa.
“Ini sudah keterlaluan bahkan aku tidak tau masalahnya, lagi-lagi sasarannya keluarga aku sendiri” Ucapku dalam hati.
“Megah sekali” Ucap Ajo ketika melihat ke arah lapangan sepakbola itu.
Tidak lama aku sudah melewati bengkel yang tadi siang aku mengisi angin dan masih saja
orang-orang disitu melihat ke arahku sambil memperhatikan aku melewat bengkel dan masih sempat aku bilang permisi kepada orang-orang yang ada di bengkel itu.
“Bengkel itu temanya orang yang tadi memperhatikan kita Jo, hati-hati yah” Ucapku sambil terus memacu laju Si Joni.
“Kan tidak ada urusan juga Ndi” Jawab Ajo.
Benar juga ucapan dari Ajo, hanya aku yang terlalu khawatir saja dengan Ajo, yang tingkahnya kadang tidak berpikir dua kali.
Tidak lama karena laju Si Joni semakin aku putar gasnya, tanjakan paling panjang sudah aku lewati dan memasuki
belokan tajam jalanan beton ini.
“Ndi kakek tadi masa?” Ucap Ajo melihat dari kejauhan.
“Mana?” Jawabku.
“Itu didepan sedang duduk” Ucap Ajo.
Dan aku baru melihat ketika lampu Si Joni menyorot ke arah kakek tua itu, sebelumnya aku masih ingat kakek tua itu berjalan
ke arah pelabuhan, malah sekarang berada di samping jalan yang belakangnya masih hutan belantara.
“Kek mau pulang kemana?” Ucapku sambil berhenti di dekat kakek tua.
“Sana” Ucap kakek tua sambil menunjuk ke arah belakang yang terdapat hutan belantara.
“Yasudah Andi duluan kek”
Ucapku perlahan, sambil kembali jalan.
“Sana” Jawab kakek tua yang sudah aku pastikan sama dengan barusan yang aku panggil ke gerobak dan memberikan air.
“kenapa berhenti Ndi seram” Ucap Ajo.
“Aman Jo” Ucapku perlahan.
Dan dari arah spion kanan Si Joni aku melihat kakek tua itu
masih duduk, bahkan ketika ada suara mobil ikan di belakangku karena jalanan sedikit lurus, kakek itu masih saja duduk di pinggir jalan.
“Bukan kakek biasa” Ucapku perlahan, walau belum mengetahui pasti siapa kakek itu sebenarnya.
Aku kembali mengajak Si Joni melaju kencang,
karena pikiranku sudah sangat khawatir dengan keadaan orang di rumah Ibu.
Bahkan ini adalah perjalanan pulang tercepat aku bersama Ajo dan juga Si Joni mobil ikan yang melaju kencang saja seperti menerangi aku dan Ajo karena hanya terus mengikuti aku dan Ajo dari belakang saja,
sampai tidak lama aku sudah keluar dari jalanan benton.
“Ayo duluan” Ucap supir mobil ikan sambil menyalakan klakson.
Aku hanya membalas dengan lambaian tangan dan melayakan klakson juga.
“Ndi tenang dari tadi ngebut terus” Ucap Ajo. Ketika melewati jalanan perhutani.
“Sampai rumah Ibuku dengar baik-baik, kamu jangan turun dan mengikuti langkahku, kamu Jo ke arah sebelahnya lagi, orang yang Imas dan Bapak bilang ada di kebun, kalau ada, ingat, jangan kamu apa-apakan, tangkap dan pukul sudah cukup” Ucapku.
“Baik Ndi paham, berarti ada-
- di sekitar kebun singkong yah” Jawab Ajo.
“Harusnya iyah dan itu kebun larinya ke sawah kalau lari ke sawah biarkan okeh” Jawabku.
Bahkan hampir satu jam lebih aku dan Ajo sudah keluar dari jalan perbatasan kecamatan, makin saja aku dan Ajo melaju dengan kencang dan
beruntungnya motor tuaku ini Si Joni masih bisa di ajak lari.
“Daud ramai Ndi” Ucap Ajo ketika melihat ke arah pangkas rambut.
“Iyah Alhamdulillah…” Jawabku yang niatanya akan berhenti dahulu namun keadaan benar-benar tidak mendukung.
Tidak lama sudah hampir dekat dengan rumah
Ibuku dan segera aku matikan mesin Si Joni agar tidak terdengar suara motor datang.
“Bagus untung kamu matikan mesin nya Ndi” Ucap Ajo perlahan dan bersamaan denganku turun dari Si joni.
“Nanti saja ini biarkan dulu disini, cepet jalanya” Ucapku dengan langkah yang cepat
berjalan lurus masuk ke halaman rumah Ibu.
“Ada Jo ini bakalan masih ada” Ucapku perlahan dengan perasaan yang tidak enak.
“Aku sikat saja Ndi yah” Ucap Ajo sambil berjalan ke arah lain.
Segera aku berjalan ke samping rumah Ibu dan sudah berada di dekat teras.
“Assalamualaikum-
- Ini Andi Pak” Ucapku di depan pintu dapur, dan langsung ke arah kebun singkong ketika mendengar langkah kaki yang akan membukakan pintu.
“Anjing! Sialan sini” Teriak Ajo sangat kencang.
Baru saja aku akan berlari ke arah Ajo, terdengar suara ketawa cekikikan wanita yang berasal
dari burung koreak yang terbang dengan ukuran besar.
“Jo!” Ucapku teriak.
“Bangsat Ndi, padahal wanita, ketika aku melihatnya malah terbang sialan” Jawab Ajo kesal.
Terlihat sorot dari senter besar Bapak ke arahku dan Ajo.
“Sudah biarkan” Ucapku perlahan.
“Tapi Ndi emang bisa-
- seperti itu” Jawab Ajo sambil berjalan denganku ke arah Bapak.
“Ndi, Jo baik-baik saja…” Sahut Bapak.
“Pak memang awalnya gimana?” Tanyaku yang sudah duduk di teras dengan Bapak, sementara Ajo langsung memasukan Si Joni dan membawanya ke arah dapur.
“Awalnya ada yang mengetuk-
-pintu Ndi berkali-kali, Bapak buka takutnya kamu, ternyata tidak ada orang, pas Bapak sorot Bapak lihat ada kaya orang di kebun singkong itu” Ucap Bapak menjelaskan.
“Ibu takutnya orang jahat bawa senjata Ndi” Sahut Ibu sambil membawa minum.
“Tapi kenapa cekikikan burung-
- barusan kaya suara kuntilanak yah Ndi” Sahut Imas yang membantu menurunkan wadah adonan dari samping Si Joni.
“Sudah bukan apa-apa tenang saja Mah” Jawabku.
Setelah itu Ibu kembali masuk karena sudah mengantuk begitu juga dengan Imas, sementara aku, Bapak dan Ajo menghabiskan
terlebih dahulu air minum yang sudah ibu sediakan sambil membakar rokok.
“Sumiyanti itu Ndi…” Ucap Bapak perlahan.
“Maksudnya Pak” Jawabku.
Bahkan Ajo yang mendengar langsung melihat ke arah Bapak.
“Jika dia adalah orang sakti yang bapak ceritakan, harusnya seumuran dengan-
- kakek kamu mungkin sudah tidak ada” Jawab Bapak perlahan.
“Mungkin Pak, Andi juga tidak tahu cuman semuanya jadi berurutan informasi yang Andi dapat, dari sakitnya anak H. Agah sampai beberapa kejadian hari ini” Ucapku.
“Takutnya seperti itu yah Ndi” Sahut Ajo.
“Benar Jo,-
- makanya aku tidak mau ikut campur dengan keluarga mereka, sakitnya Yanti juga sebenarnya aku tidak mau tahu, tapi H. Mudin malah cerita dan banyak yang bilang akibat dedemit buaya putih” Ucapku menjelaskan.
Tiba-tiba bapak terbatuk ketika mendengar apa yang aku ucapkan kali ini
apalagi barusan sekali aku lihat baru menghisap asap dari rokoknya.
“Ini Pak minum” Ucap Ajo, sambil memberikan minum kepada Bapak.
“Dedemit itu masih ada Ndi?” Tanya Bapak.
“Andi tidak paham Pak tentang dedemit buaya putih itu maksudnya apa dan apakah ada kaitanya dengan -
- sakitnya Yanti juga Nek Sumiyanti dan keluarga H. Agah, Andi sampai saat ini juga belum tahu, namun sudah bulat Andi tidak mau ikut campur” Ucapku.
“Bapak kira hanya cerita dan nyata adanya…” Jawab Bapak perlahan.
Yang membuatku semakin bimbang, keadaan rumah Ibu dan rumahku
bahkan selama aku berjualan jadi seperti ini selalu ada hal aneh apalagi kejadian barusan.
“Sudahlah Pak jangan terlalu dipikirkan, yang penting semuanya baik-baik saja” Ucapku.
Masih saja aku bisa membuat orang-orang disekitarku agar merasa tenang, padahal perasaanku sendiri
sekarang jauh dari kata tenang sama sekali.
“Ndi aku pamit pulang, besok pagi aku kesini saja” Ucap Ajo sambil berpamitan juga dengan Bapak.
Tidak lama ketika aku masuk ke dapur dan ke kamar mandi untuk mandi dan mengambil wudhu untuk melaksanakan ibadah isya yang sudah
tertinggal beberapa jam lamanya, bahkan terlihat Bapak masih saja di luar sambil tatapannya kosong, seperti melamunkan sesuatu.
Tidak lama setelah shalat dan berdzikir aku sudah terbaring di dekat Imas yang sedang berada di sebelah Raka.
“Alhamdulillah adonan sisa sedikit Ndi,-
- maaf barusan aku membuat kamu cemas yah” Ucap Imas.
“Tidak apa-apa Mah, yang penting semuanya baik-baik saja” Ucapku sambil memejamkan mata, dan merasakan istirahat yang nyaman ketika badanku dalam posisi terlentang.
“Istirahat yang cukup Ndi, kasihan pasti capek” Ucap Imas.
“Tidak apa-apa Mah yang terpenting selalu ada rezekinya untuk kita semua” Ucapku sambil terpejam semakin dalam.
Masih saja dalam terpejamnya mata, bayangan kakek tua dan segala permasalahan yang aku dapatkan informasinya di pasar pelabuhan mengganggu pikiranku malam ini.
Apalagi ucapan H. Mudin soal akan di persuntingnya Yanti dalam keadaan sakit membuat hatiku merasa kasihan, apalagi aku juga sama-sama mempunyai anak dan perasaan orang tua pasti sama.
“Bagun ayo kita ke makam… tuh kakek sudah menunggu” Ucap Bapak sambil menepuk
lenganku berkali-kali.
Segera aku bangun dengan keadaan masih mengantuk dan sudah menunggu kakek yang sama sekali baru aku lihat sedang duduk di teras belakang.
“Ganteng sekali…” Ucapku.
“Wah ini cucuku… pertama yah kita ketemu, Yuk kasihan pengen lihat makam bukan?”
Ucap Kakek sambil merangkul lenganku berjalan keluar halaman rumah Ibu.
“Bapak tidak ikut kek?” Tanyaku.
“Tidak biar dia di rumah saja, bentar lagi teman kakek datang” Ucap Kakek yang bahkan aku belum tau namanya.
Tidak lama datanglah seorang kakek-kakek dengan pakaian
yang sangat kusut dengan rambut yang berantakan bahkan seperti orang gila yang tidak terurus.
“Mari Ki Dalang…” Ucap Kakek sambil membukakan pintu mobil tua.
“Kek saya masih mengantuk…” Ucapku sudah duduk disebelah kakek yang barusan di panggil Ki Dalang.
“Tidur saja sebentar-
- lagi sampai kakek bangunkan Andi yah” Ucap Ki Dalang sambil mengusap pundak aku seperti yang sering aku lakukan kepada Raka.
Sambil mata terpejam aku merasakan jalanan turunan dan menanjak juga berbelok seperti jalanan yang akhir-akhir ini sering aku lalui. Bahkan jalannya
seperti bukan aspal karena tidak rata, lebih kepada jalanan beton.
Beberapa kali bahkan turunan yang tajam aku rasakan sambil mata terpejam karena untuk membuka pun masih terasa berat sekali.
“Sebentar lagi sampai” Ucap Ki Dalang perlahan ditelingaku.
Bahkan ketika mobil berhenti, tidak tahu kenapa aku sudah berdiri mematung dengan Ki Dalang dan kakek tua yang kusut berada disamping Ki Dalang.
“Ingat Ndi?” Tanya Ki Dalang.
“Lapangan sepakbola…” Ucapku kaget.
“Makam, ini makam…” Ucap Ki Dalang sambil menepuk pundakku.
Apalagi matahari perlahan muncul sinarnya menerangi setiap nisan yang terbuat dari kayu juga sudah ada yang terbuat dari semen, berjejer sangat luas sekali, apalagi danau yang pernah aku lihat indah masih terpangpang jelas.
“Kasih Andi minum” Ucap Ki Dalang.
Kakek yang berada di sampingku langsung memberikan air putih dari plastik dan memberinya kepadaku.
“Kakek ini…” Ucapku langsung ingat sesuatu.
“Sudah ingat Ndi?” Tanya Ki Dalang, sambil menggerakan tanganya, yang ternyata gelangnya sama persis dengan yang pernah aku lihat
di foto, yang pernah Bapak berikan kepadaku.
Aku hanya mengangguk saja berkali-kali dan tidak mengerti dengan semua ini.
“Sudah dengan melihat ini nanti kamu bakalan paham, lepaskan kek” Ucap Ki Dalang.
Dengan jalan yang perlahan kakek tua yang kusut itu berjalan ke tengah-tengah makam yang sangat luas, aku dan Ki Dalang mengikuti dengan perlahan dibelakangnya.
“Kita ke danau sana” Ucap Ki Dalang.
Aku bahkan tidak menjawab ketika berjalan diantara celah satu makam dengan makan yang lainya.
“Nek sumiyanti! Perempuan itu siapa Ki?” Tanyaku, ketika melihat dari jauh ke arah danau, yang sebentar lagi aku akan sampai.
Ki Dalang hanya tersenyum ke arahku, ketika mendengar ucapanku yang kaget.
“Mereka selalu bilang Ndi, alamnya yang paling sempurna, apapun yang mereka ingin pasti bisa terwujud, sekalipun itu nyawa.” Ucap Ki Dalang.
Sementara aku masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang, bahkan ucapan Ki Dalang hanya masuk kedalam telinga dan aku tidak bisa berkata apapun lagi saat ini.

***
Sebuah perjalan yang semakin jelas, semakin banyak datang juga pertanda menghampiri Andi, informasi masa lalu dan kenyataan sekarang bukan lagi datang tanpa alasan, apalagi satu persatu tentang keluarga H. Agah terbuka.
Apakah ini pertanda baik? Atau sebaliknya ketika Andi berjumpa dengan Ki Dalang? Apakah itu Ki Dalang Didi kakeknya Andi? Atau? Bahkan dedemit buaya putih yang selama ini diam dalam perasaan dan pikiran Andi seperti teka-teki yang akan segera terungkap jawabnya.
“Bagaimanapun kita menghindar dari kenyataan, ketika cara tuhan ikut bekerja kenyataan itu tetap akan datang untuk kita, karena selalu ada cara bagaimana pencipta memberikan yang terbaik entah itu musibah ataupun anugrah”
Kita berjumpa di Bagian 5! Karena perjalanan Andi bersembunyi dalam terang akan terus berlanjut, akan berjumpakah Andi dengan Damayanti Maharani Kartika (Yanti)?

Bagian 5 baca duluan di KaryaKarsa klik link
karyakarsa.com/qwertyping/ded…
Bagian 6 baca duluan di KaryaKarsa klik link

karyakarsa.com/qwertyping/ded…
Bagian 7 (TAMAT) baca duluan di KaryaKarsa klik link

karyakarsa.com/qwertyping/ded…
Percayalah kita tidak pernah benar-benar sendiri ketika membaca cerita ini, kita selalu berdampingan! Selamat membaca dan selamat berjumpa kembali dengan Andi.
Saya ucapkan terimakasih telah membaca cerita ini, dukungan yang kalian berikan sangat berarti sekali untuk saya, semoga terbalas lebih apa yang sudah kalian berikan.

“Typing to give you a horror thread! You give me support!”

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Teguh Faluvie

Teguh Faluvie Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @qwertyping

Oct 4
Permainan yang nggak pernah bakal gw ulang seumur hidup! Sampai gw trauma kalau denger ANAK-ANAK HITUNG 1.. 2.. 3.. SAMPAI 10, saat mereka main PETAK UMPET!

Gw masih ingat di kasih makan dalam wadah batok kelapa, yang ternyata itu cacing hidup!

"A THREAD"

#bacahoror Image
Image
Cerita ini adalah kiriman sender melalui DM, dia dapat teror setelah melanggar sesuatu ketika main petak umpet, ‘DIPIARA’ istri guru ngaji berhari-hari dan ‘TEROR’ yang ngeri! Bayangin dia dikasih makan cacing! bagian paling bikin gw mual!
Yuk langsung aja. Saya disini hanya membagikan cerita yang sudah dirapikan sedikit, atas kesepakatan dengan sender, agar lebih nyaman dibaca.
---------
Read 62 tweets
Sep 5
KAMPUNG KASARUNG

Diatas tanah kampung Jayamati, semua dipertaruhkan. Terdapat harga setimpal untuk kesepakatan, sekalipun itu kesesatan dan kematian.

"A THREAD"

[ Part 4 ]

@bacahorror @IDN_Horor
#bacahoror Image
Selamat datang kembali teman-teman di Kampung Kasarung, mohon maaf beberapa minggu kebelakang harus absen karena ada beberapa kesibukan yang tidak bisa dilewatkan, serta kesehatan yang sedikit terganggu. Semoga upload kali ini seperti biasa dapat menemani kamis malam kalian.
Kini kita akan memasuki Part 4. Tapi sebelum itu ada informasi penting dulu yang harus teman-teman ketahui. Tepat tanggal ini, mulai tanggal 3-9 September, Buku Kampung Jabang Mayit sedang dalam Pre Order.
Read 38 tweets
Jul 4
KAMPUNG KASARUNG

Diatas tanah kampung Jayamati, semua dipertaruhkan. Terdapat harga setimpal untuk kesepakatan, sekalipun itu kesesatan dan kematian.

"A THREAD"

@bacahorror @IDN_Horor
#bacahoror Image
[PROLOG]

Diatas tanah kampung yang mempunyai nama Jayamati dengan segala campur tangan sang pencipta sedang menampakan keberkahan luar biasa. Hasil bumi yang melimpah, ladang peternakan, hingga perkebunan telah menyelimuti kampung itu setidaknya dalam kurun 10 tahun kebelakang.
Hal itu terjadi setelah dapat mengusir monyet-monyet yang kerap turun dari bukit Jayamati yang selalu memakan hasil bumi adalah awal tombak kesejahteraan tertancap, dimana para petani dan orang-orang luar kampung bahkan tidak jarang menaruhkan nasib pada tanah kampung Jayamati.
Read 130 tweets
May 29
PAGELARAN SAREBU LELEMBUT

Lekuk indah tubuh, suara merdu dan senyuman teramat cantik adalah malapetaka yang harus ditebus oleh nyawa. Manakala panggelaran sarebu lemlembut berlangsung.

[ Part 9 Tamat – Tangkal Mayit ]

@bacahorror @IDN_Horor
#bacahorror Image
Selamat datang kembali di Pagelaran Sarebu Lelembut bagian akhir! Untuk teman-teman yang belum baca part sebelumnya, silahkan klik tautan dibawah.
Bantu tinggalkan qoute, repost, dan like pada threadnya yah..

Par (1) Janur Kematian

Part (2) Tapak Sasar

Part (3) Juru Keramat

Part (4) Selendang Mayat



Read 226 tweets
May 23
PAGELARAN SAREBU LELEMBUT

Lekuk indah tubuh, suara merdu dan senyuman teramat cantik adalah malapetaka yang harus ditebus oleh nyawa. Manakala panggelaran sarebu lemlembut berlangsung.

[ Part 8 – Kesumat Rasa ]

@IDN_Horor @bacahorror
#bacahorror Image
Selamat datang kembali di Pagelaran Sarebu Lelembut!

Untuk teman-teman yang belum baca part sebelumnya, silahkan klik tautan thread dibawah.
Bantu tinggalkan qoute, repost, dan like pada threadnya yah..

Part (1) - (4)

Part (1) Janur Kematian


Part (2) Tapak Sasar


Part (3) Juru Keramat


Part (4) Selendang Mayat



Read 135 tweets
May 15
PAGELARAN SAREBU LELEMBUT

Lekuk indah tubuh, suara merdu dan senyuman teramat cantik adalah malapetaka yang harus ditebus oleh nyawa. Manakala panggelaran sarebu lemlembut berlangsung.

[ Part 7 – Tanah Pagelaran ]

@bacahorror @IDN_Horor
#bacahorror Image
Selamat datang kembali di Pagelaran Sarebu Lelembut! Untuk teman-teman yang belum baca part sebelumnya, silahkan klik tautan dibawah.

Bantu tinggalkan qoute, repost, dan like pada threadnya yah..
Read 164 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(