mwv.mystic Profile picture
Jan 3, 2022 356 tweets >60 min read Read on X
ASTANA RATU ANJANI
Sebuah Catatan Pendakian Rinjani, 2013

based on true story

a thread Image
Halo semuanya, ketika mwvers membaca ini, saya harap kalian sudah membaca kisah "Rimbun" sebelumnya yang menjadi awal berubahnya seluruh perjalanan pendakian saya. Selain itu latar belakang dan kisah hidup pribadi saya juga sudah saya sampaikan di cerita tersebut.
Bagi yang belum mengenal Rimbun dan saya, bisa baca dulu ini.

Kali ini, saya, Rama, kembali ingin menceritakan salah satu pendakian paling berkesan yang pernah saya lalui. Pendakian ini terjadi tahun 2013 lalu dengan lokasi di Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Pamulang, 2013

Hari itu saya seperti biasa berada di salah satu kedai saya. Dahulu saya merintis usaha kedai kopi dan sering berada di sana untuk sekedar nongkrong atau mengarahkan barista barista saya beberpa trik yang saya ketahui untuk membuat latte art.
Saat itu, setelah selesai melatih mereka, saya beranjak ke bangku kosong yang ada di sudut kedai ini.

Ditangan saya ada sebuah novel paling fenomenal yang merubah wajah pendakian Indonesia, apalagi kalau bukan 5cm.
Melalui buku itu, dunia pendakian menjadi suatu hal yang prestise dan menarik.

Padahal dahulu, kegiatan ini hanya digemari segelintir orang dengan tampang sangar dan gondrong dengan konotasi "buang buang waktu".
Saya mulai membaca novel yang sudah saya tamatkan lebih dari lima kali itu ditemani piccolo buatan saya sendiri.

Sampai ketika, saat saya masih konsentrasi dengan bacaan saya, sebuah kecupan lembut mendarat di pipi saya.
Refleks saya menegok ke samping, disana berdiri seorang perempuan dengan wajah sumringah.

“Wehh?? Jono???” kata saya sedikit berteriak karena kaget.

Teriakan itu sukses membuat saya mendapatkan sebuah pukulan pelan di kepala saya.
“JA-NI! JAAA—NII” ujar perempuan itu membantu saya membenarkan namanya.

Saya bergeming sambil tertawa, “gamau! Pokonya Jono!” kata saya enggan memanggil dengan nama asli perempuan ini.
Jani lalu berpindah ke samping saya dan segera merebahkan tubuhnya di sofa panjang. Ia keliatan kelelahan sambil terus menggerutu.
“Ngapain lu ke sini? Sana pulang lu ah, entar sepi warkop gue kalo ada lu” kata saya bercanda.

“Ogah. Numpang tidur yak. Ngantuk abis ngeskripsi kayak tai kucing ga abis abis” jawabnya, tidak memperdulikan para barista dan beberapa tamu lain yg melihat tingkahnya sambil tertawa.
Saya hanya geleng geleng kepala melihat kelakuan Jani. Saya bangkit dari sofa tersebut dan masuk ke bar. Saya buatkan untuk dia ice chocolate banana, minuman favorit Jani.
Ketika saya kembali, Jani sudah stand by duduk kaya anak kecil yang nunggu makan siang. Wajahnya sumringah sambil ngeliat ke arah es coklat pisang yang saya bawa.

“yeee, sini minuman gue sini” kata Jani gatau malu.
“bentar gue aduk dulu” kata saya sambil mencelupkan jari telunjuk saya ke minuman itu dan memutar mutarnya di dalam.

“jorok banget lu mbooo!!!” teriak Jani sambil narik minuman dari tangan saya lalu tanpa sungkan meminumnya.
Seperti dua teman yang sudah lama ga ketemu, kami mengobrol bercanda dan saling ejek satu sama lain. Sampai akhirnya Jani hendak merencanakan pendakian

“Mbo, Rinjani Minggu depan yukkk” ajak Jani.

“Ogah ah, bosen. Baru tahun kemarin kan kesana. Kerinci aja yuk ah” ajak saya.
“Yah lu mah belagu amat mentang mentang udah tiga kali. Ayo dong Mbo, temenin gue remedi nih” rengek Jani.
“Remedi” adalah istilah yang dipakai para pendaki yang gagal muncak dan ingin mengulangi pendakiannya.
Saya ragu. Bagaimanapun saya sudah sangat ingin ke Kerinci waktu itu.

“Ayo doong, ga kangen lu ama Pak Saat? Tiket gue bayarin deh nih. Temenin gue pliss” rengek Jani lagi sambil menoel noel lengan saya.
“Yah kalo Pak Sa'at ya jelas kangen lah. Tapi lu kenapa ngebet banget sih pengen remedi? Pengen ketemu kembaran lu Ra-tu An-ja-ni disana?” tanya saya.
“ho’oh mboo” jawabnya cepat sambil mengangguk angguk.

“hadehh.. yaudah gue temenin” akhirnya saya mengalah dan akan menemani Jani remedi ke Rinjani.

Jani bersorak riang banget. Kayaknya emang itu tujuan dia datang ke warkop saya hari itu.
“Nah, yuk jalan!” kata Jani tiba tiba aja.

“lah jalan kemana?? Kan kata lu Minggu depan” kata saya kaget.

“Ke rumah gue lah. Lu ngomong ke Papa biar gue diizinin. Yuk Rimbun mau ikut juga? Yuk yuk” jawab Jani enteng sambil seakan akan mengajak Rimbun.
“Si monyet, lu belom izin??”
Jani menggeleng kecil lalu ketawa.
Saya gatau kenapa Allah pertemukan saya dengan perempuan ini. Namanya Jani, kami bukanlah teman lama atau tinggal di tempat yang berdekatan. Pertemuan pertama kami terjadi sekitar setahun yang lalu saat saya berada di jalur summit Rinjani.
Rimbun, yang saat itu sudah mengikuti saya tiba tiba saja memberi kode agar saya berjalan ke salah satu spot di pinggir jalur utama. Rimbun kali itu seakan narik saya dengan wajah cemas yang awalnya saya gatau karena apa.
Karena posisi saya saat itu sebagai sweeper, saya sampaikan via handie talkie untuk rombongan di depan berjalan terus dan saya akan menyusul.

Setelah aba aba saya diterima rombongan, saya mengikuti arah yang ditunjukkan Rimbun.
Ketika saya sampai disana, saya mendapati seorang perempuan sedang duduk sendirian dengan tubuh menggigil kencang karena kedinginan. Mukanya pucat pasi.
Saya hendak melangkah maju untuk menolongnya, tapi saya berhenti karena tiba tiba saja saya teringat Sarah.. sosok yang saya temui di pendakian dan saya tidak sadari adalah lelembut gunung Salak..
Saya melihat ke Rimbun saat itu dan Rimbun yang seakan tau kekhawatiran saya berkata

“Tolonglah, dia manusia”.

Setelah diyakinkan Rimbun, Saya mendekat lagi ke posisi perempuan itu.
Setelah menyapa dan memohon izin untuk membantu, saya lalu menggendong perempuan tadi turun ke tenda tim saya di Plawangan Sembalun.

Sambil menggendong, saya kabari rombongan saya yang tadi sudah duluan melalui HT.
“Cek cek, Team, Sorry ya. Gue harus balik ke Plawangan duluan, ada yang hipo di jalur. Nanti gue ceritain di bawah. Selamat bersanding di Astana Ratu Anjani ya semua. Sorry gabisa nemenin. Bang Yon, gue titip anak anak yaa. Hati hati “ pesan saya kepada rombongan diatas.
Sesampainya di tenda, saya langsung masukkan perempuan tadi ke dalam sleeping bag. Saya buatkan dia air hangat dan saya minumkan berkali kali sambil mengusap usap tangannya untuk mentransfer panas.

Syukurlah, perlahan kondisinya mulai stabil dan suhu tubuhnya mulai menghangat.
Saya kemudian berinisiatif membuat perapian kecil untuk menghangatkan lingkungan sekitar tenda. Saat itu hari masih menjelang subuh karena rombongan saya berniat summit saat sunrise.
“Udah mendingan? Saya tinggal ke depan bikin perapian sebentar ya” kata saya izin ke perempuan itu.

Sama seperti yang sudah sudah, semua ucapan saya hanya dibalas anggukan pelan, hanya saja kini ia sudah tersenyum tipis kearah saya.
Ketika sedang membuat perapian dan menyeduh susu coklat, tenda tempat wanita tadi saya taruh terbuka dan dia nyembulin kepalanya keluar tenda.

“Eh? Kenapa keluar? Diluar dingin. Dalem aja. Bentar, saya lagi bikin susu coklat, diminum nanti ya” kata saya.
“I’m fine” jawab perempuan tadi.
Itu kalimat pertama yang dia ucapkan sejak pertemuan kami tadi.

Saya pun balik tersenyum dan bersyukur perempuan itu sudah sembuh dari hipotermianya.
Setelah perapian jadi dan susu hangat siap, saya masuk ke dalam tenda sambil menawari susu tersebut. Perempuan itu nampak sudah sangat sehat.
Lalu masih sambil menggenggam gelas berisi susu coklat buatan saya, perempuan itu bilang,

“Makasih ya mas. Maaf saya jadi ngerepotin. Karena saya, Mas jadi gagal muncak deh ya...” ada nada sedih yang saya tangkap dari nada suaranya yang bergetar.
“Oh, santai santai. Saya udah pernah muncak kok” jawab saya santai.

“Oh iya, Jani” katanya singkat sambil ngulurkan tangannya ke saya.

“Rama” jawab saya sambil nerima uluran tangannya.
Menit-menit berikutnya kami habisikan buat ngobrol di depan perapian. Saya juga tanya kenapa dia bisa sendirian disana, kemana temen-temennya dan lain lain

Jawaban Jani saat itu jujur bikin saya emosi dan semakin yakin kita harus cari orang yang tepat untuk teman mendaki.
Jani bilang temen-temennya termasuk pacarnya tetep lanjut summit dan ninggalin dia di jalur setelah dia bilang dia ngga kuat dan mau balik..
Itulah awal pertemuan saya dengan Jani, dan sekarang Jani mengajak saya untuk ke Rinjani lagi. Saksi pertemuan pertama kami berdua.

Tapi sebelumnya, saya ditumbalkan untuk dapat izin dari papanya Jani, Om Pri.
Ga susah sebenarnya untuk saya dapatkan izin pergi berdua dengan Jani.

Terlebih Om Pri tau sayalah yang menyelamatkan nyawa anaknya setelah ditinggal “si monyet”, panggilan Om Pri ke pacar Jani yang tega ninggalin anaknya hipo di pendakian tahun lalu.
“Oke boleh, gue titip anak gue ya Ram” pesan Om Pri diakhir obrolan kami.
Saya melirik ke Jani. Senyumnya lebar. Remedinya akan jadi dan cita citanya mencapai Astana Ratu Anjani akan terwujud dalam waktu dekat.
Kamipun kembali ke warkop saya, saat itu juga kami menyusun ROP untuk perjalanan kami ke Rinjani pekan depan. Tak lupa, kami mengontak rekan rekan kami yang ada di Lombok.

Walaupun Jani keliatan excited banget untuk pendakian kali ini, entah kenapa perasaan saya gak enak..
Lombok, seminggu kemudian

Kami berdua mendarat di Lombok. Jani semangat banget waktu ambil carrier sama daypack di bandara. Kami berjalan ke pintu keluar dan disambut oleh Bang Yon dan Lale Nonik.
Saya langsung memeluk keduanya dan memperkenalkan Jani. Bang Yon dan Lale Nonik adalah warga asli Lombok yang dari dulu support saya setiap saya berkunjung ke Lombok.
Saya mengenal keduanya saat kunjungan pertama saya ke Rinjani beberapa tahun sebelum pertemuan saya dengan Jani.
Keduanya berumur tiga tahun lebih tua dari saya, namun Lale Nonik menolak saya panggil kak. “lale saja” katanya.

Sementara Bang Yon juga ada di pendakian Rinjani saat saya menyelamatkan Jani waktu itu dan sudah kenal Jani.
Tujuan pertama kali atas request saya adalah makan plecing kangkung Taliwang. Lokasi yang tidak pernah saya lewatkan setiap kali berkunjung ke Lombok. Walaupun mungkin ada banyak plecing kangkung di pulau Jawa, entah kenapa buat saya yang di Lombok ini terasa khas.
“Yaudah, Yuk, itu pacarmu suka plecing kangkung juga tah?” tanya Bang Yon sambil menunjuk Jani.

“Pacarr??? Idihhh” kata saya dan Jani hampir berbarengan.

Bang Yon dan Lale Nonik tertawa melihat tingkah kami.
Kami berjalan terus ke arah parkiran mobil Lale Nonik. Sepanjang jalan menuju parkiran, saya mengedarkan pandangan saya memperhatikan kondisi bandara dan hiruk pikuk di dalamnya.
Pandangan saya tertuju pada sebuah sudut yang ada penari tradisionalnya. Sepertinya ini bentuk sambutan kepada tamu dan pendatang yang lazim ada di airport.

Saya sempat menatap ke arah penari itu dan memperhatikan gerakannya, hingga tanpa sengaja tatapan kami saling bertemu.
Penari tadi tersenyum ke saya dan saya yang salting segera mengalihkan pandangan saya ke arah lain.
Bukan, bukan karena saya sombong atau wanita tadi tidak cantik. Saya refleks memalingkan muka karena senyum wanita tadi tidak bisa dikatakan ramah. Senyumnya lebih cocok disebut menyeringai. Tajam, dingin dan mengintimidasi.
Saya mempercepat langkah saya hingga kami sampai ke mobil Lale dan tidak membicarakan apapun tentang penari tadi di sepanjang jalan.
Singkat cerita, kami sampai di salah satu rumah makan legendaris di Cakranegara, Mataram. Sambil menikmati ayam taliwang dan plecing kangkung, kami ngobrol banyak seputar rencana pendakian dan kenapa saya tidak jadi ke Kerinci dengan rombongan saya yang biasanya.
Ditengah obrolan, saya teringat penari yang saya temui tadi di bandara. Saya lalu mengatakannya pada Lale

“Lale, bandara Lombok sekarang keren ya, ada tarian tarian buat nyambut penumpang gitu” kata saya sambil lanjut menyuap nasi.
"tarian yang mana dek? Tidak ada ah” jawab Lale ragu.

“Loh tadi saya liat kok pas kita jalan ke mobil. Ada penari pakai baju adat kaya permaisuri gitu” jelas saya dengan yakin.
“hmm… salah liat kayanya kamu dek” jawab Lale Nonik ragu. Saya bisa melihat kekhawatiran dan kebingungan dari air mukanya.

Saya refleks melihat ke arah Bang Yon. Namun bang Yon segera mengangkat bahu, tanda bahwa dia pun tidak tahu.
“Permaisuri apaan siiii, halusinasi aja lu Ramboo, gue ga liat apa apa juga tadi di bandara. Kan Gue yang mau ketemu Ratu Anjani, kok malah lu yang halu deh?” kata Jani.
Lale Nonik segera melihat ke arah Jani dan menegurnya dengan halus.

“Hati hati bicaranya dek Jani, nanti kamu beneran ketemu Ratu Mas Prawira loh..” kata Lale sambil menyentuh tangan Jani.
Jani menendang kaki saya di bawah meja lalu bertanya “kenapa?” karena dia tidak merasa ucapannya aneh aneh dan salah.

Saya mengangkat alis saya tanda saya pun tidak mengetahuinya.

“Dek Jani memang kenapa ingin ketemu Ratu Anjani?” tanya Lale Nonik.
Jani menghentikan makannya lalu melihat ke arah kami semua, ia lalu mulai bercerita alasan kenapa ia begitu ingin bertemu Ratu Anjani.

Papa Jani, Om Pri, pernah tinggal di Mataram. Om Pri semasa mudanya dulu sering main ke daerah Rinjani bareng teman temannya.
Namun, suatu ketika Om Pri terpisah dari rombongan dan tersesat, Saat mencari jalan keluar dari rimbanya hutan belantara, Om Pri bertemu dengan seorang wanita yang berpakaian tidak lazim di zaman itu.
Wanita ini lalu menemani Om Pri sampai akhirnya ia berhasil menemukan jalan untuk turun ke sabana bawah. Anehnya ketika itu juga wanita tadi izin pamit untuk kembali lagi ke atas.
Saat ditanya siapa namanya dan tinggal dimana oleh Om Pri, wanita tadi mengaku bernama Anjani dan tinggal “disini”, di Gunung Rinjani.

Om Pri muda yg tidak begitu menangkap maksud wanita tersebut lalu hanya mengiyakan dan meneruskan perjalanannya pulang tanpa berfikir aneh aneh.
Sesampainya di rumah, Om Pri dengan santai menceritakan kejadian tadi kepada eyang, ibu dari Om Pri. Om Pri bercerita kalau tadi ia sempat tersesat dan beruntung bertemu seorang wanita bernama Anjani yang menuntunnya hingga sabana bawah.
Mendengar hal itu eyang langsung bersujud syukur dan dengan suara bergetar berkata

“Terima kasih Ratu sudah mengantarkan anak hamba pulang…”

Om Pri memperhatikan Eyang dengan bingung.

“Kenapa bu?..” tanya Om Pri.
Lalu saat itulah Eyang menceritakan tentang Sang Ratu Anjani yang konon bersemayam di Gunung Rinjani.

Kisah itu begitu berkesan dan pengalaman yang tidak terlupakan yang dialami oleh Om Pri tadi akhirnya menjadi alasan ia memberi nama Anjani kepada anak perempuannya,
Hal itu sebagai bentuk rasa kagum dan terima kasihnya.
“Nah karena itu, aku kepengen banget bisa mendaki Rinjani dan kalau bisa bertemu sama Ratu. Aku mau bilang terima kasih juga sudah menyelamatkan papa, karena mungkin kalau papa saat itu tersesat dan terjadi yang tidak tidak, Aku gaakan ada di dunia ini” jelas Jani panjang lebar.
“Sebenarnya tahun baru Jani juga udah ngedaki Rinjani sih Lale, tapi bukannya ketemu sama Ratu, malah ketemu sama Rambo ini nih” katanya mengejek saya.

“MasyaAllah,” ucap Lale Nonik sambil sedikit tersenyum.
“Tapi Lale, emang bener ya Ratu Anjani itu salah satu tokoh penyebar Islam disini? Ceritain dikit dong Lale, aku penasaran karena papa gapernah ceritain full” pinta Jani.
“Sepemahaman Lale dari cerita orang orang tua Lale sih begitu ya dek. Ratu Mas Prawira, itu julukan dari Ratu Anjani. Beliau konon bangsawan dari bangsa jin dan diubah jadi bangsa kita, lalu dikembalikan lagi ke bangsa jin.-
-Ketika beliau menjadi manusia, beliau punya 2 saudara kandung, Raden Mas Abdul Malik dan Raden Mas Abdul Rauf. Beliau semua memang dikenal sebagai penyebar Islam di Tanah Sasak ini” jelas Lale Nonik.
Saya dan Jani menyimak dengan antusias. Cara penyampaian Lale yang luas namun juga dengan hati hati membuat saya yakin Lale Nonik memang seseorang yang cerdas.
Belakangan, dari Bang Yon saya tau Lale masih keturunan bangsawan Lombok. Namun Lale memilih menyembunyikan identitas kebangsawanannya dan berbaur sebagai masyarakat biasa.
Seusai makan dan bercerita seputar Ratu Anjani, kami bergegas langsung ke Senaru.

Tujuan awal kami di Senaru adalah rumah Pak Sa’at. Pak Sa’at adalah warga lokal Semeru yang saya kenal waktu pertama kali naik ke Rinjani.
Saat itu sepulang pendakian, saya melewati Sembalun-Senaru dan sempat mampir di warung beliau. Pak Sa’at dan istrinya memiliki warung makan dan usaha souvenir kecil kecilan disana.
Selain itu di dalam warungnya terdapat sebuah kamar sederhana yang sering ia tawarkan secara cuma cuma bagi para pendaki lokal untuk beristirahat. Saat pendakian pertama itu, saya sempat menumpang di kamar tersebut dan akhirnya kami menjadi akrab.
“Assalamualaikum” sapa saya ketika tinggal beberapa langkah lagi sampai di warung pak Sa’at.

“Waalaikumsalam” sambut suara dari dalam warung. Tak lama muncul seorang bapak bapak dari rumah itu dan melihat ke arah saya.
Belum sempat bapak tadi menyadari saya, saya langsung mengangkat sebuah kresek putih yg dari tadi saya tenteng untuk diberikan kepada beliau.
“Ada pete niihhhh ahahaha” teriak saya sambil membuka tangan dan memeluk beliau erat. Pak Sa’at membalas pelukan saya dan tertawa renyah.
Saya lalu menyium tangan beliau, Pak Sa’at mengelus elus pundak saya sambil matanya memperhatikan bungkusan putih yang saya bawa.

“Buuu ada anakmu nih” panggil Pak Sa’at pada istrinya, yang biasa saya panggil Bu Sa’at.
Tak lama keluar Bu Sa’at dengan tangan yang basah lalu beliau lap ke bajunya sendiri. Wajahnya berbinar melihat saya dan kamipun berpelukan layaknya seorang ibu dan anak kandungnya.
Kehangatan warung sederhana ini dan isinya membuat saya selalu rindu ke Rinjani untuk sekedar bertemu keduanya.

Bang Yon, Lale dan Jani yang tertinggal di belakang akhirnya menyusul. Bang Yon geleng geleng kepala ngeliat kelakuan saya dan keluarga pak Sa’at.
Sementara Jani dan Lale tertawa tipis disana.

“Nonik, Yon ayo ayo masuk” ajak Bu Sa’at yang memang juga sudah mengenal Lale Nonik dan Bang Yon. Keduanya lalu menghampiri bu Sa’at dan mencium tangan beliau.
“Eh ini satu lagi siapa? MasyaAllah cantiknya” tanya Bu Sa’at ke Jani yang nampak malu malu.

“Kenalin, Aku Jani Bu..” sapa Jani sambil mencium tangan bu Sa’at.

“Jani.. istrinya Rama?” tanya bu Sa’at tanpa rem.
Saya kaget. Begitu juga Bang Yon dan Lale Nonik yang melotot sambil menahan tawanya.

Sementara Jani wajahnya memerah karena malu.

“Eh?? Bukan bu bukaan” jawab Jani canggung.

“Doain aja dulu bu” jawab saya, membuat Jani semakin tenggelam dengan kecanggungannya.
“Aamiin, pasti kami doain nak, Ya kan Pak?” tanya bu Sa’at ke Pak Sa’at yang dibalas dengan anggukan.

Wajah Jani benar benar sudah merah seperti tomat rebus karena menahan salting.
Setelah semua masuk ke dalam warung, Jani berjalan lebih cepat lalu menghampiri saya dan berbisik..
“Monyet…”

Tentu saja saya tertawa dan lanjut masuk ke warung sambil melihat wajah Jani yang dibuat buat seakan kesal.
Selepas sholat Maghrib, kami semua makan nasi goreng pete buatan bu Sa’at. Tentu saja pete yang dimasak adalah pete yang saya bawa di kresek putih tadi. Pete adalah makanan favorit pak Sa’at yang selalu saya bawa dan kirimkan dari Jawa hampir setiap bulan kepada beliau.
Selesai kami makan, Bang Yon mengajak saya dan Jani ke Sembalun untuk nanya kondisi sekaligus registrasi agar besok pagi pagi buta bisa langsung trekking.

Ya, karena tujuan kami memang muncak, kami ambil jalur Sembalun karena lebih dekat melalui jalur itu ketimbang Senaru.
Namun persis sebelum kami berangkat, kabar ga enak itu datang.

“Ram, anak anak Unram batal naik, ada kegiatan kampus” kata Bang Yon ke saya.

“Lah? Jadi kita berempat doang nih bang?” tanya saya.

“Iya nih kayaknya, gimana lu nya?” tanya bang Yon lagi.
“Yaudahlah lanjut aja gapapa, mau gimana lagi” kata saya, pasrah.
Belum selesai sampai sana, tiba tiba saja Lale Nonik keluar rumah dan menghampiri kami dengan wajah cemas.
“Dek Rama, Dek Jani, Lale barusan dapat kabar duka. Kayaknya Lale harus balik ke Mataram malam ini. Maaf banget ya dek. Kalian ke Sembalun aja dulu buat registrasi pake mobil Lale” ujar Lale sambil menatap kami satu persatu.
Matanya memerah dan ada genangan air mata disana, sepertinya salah satu keluarga dekat Lale ada yang berpulang.

Pikiran saya ruwet. Ini alamat saya bakal mendaki berdua dengan Jani. Gak mungkin Lale pergi sendirian tanpa Bang Yon.
Saya biasa mendaki dalam jumlah sedikit, tapi entah kenapa kali ini perasaan saya berkata akan ada hal buruk terjadi..

Jani memandang ke arah saya dengan tatapan pasrah.
“bentar ya Jan, gue omongin sama Bang Yon dulu” kata saya sambil menarik tangan bang Yon menjauh.
Kami berdua berdiri tepat di gerbang masuk pendakian Senaru.

“Bang, gimana?” tanya saya.

“Lo gimana? Fisik aman gak?” tanya balik bang Yon.

“Fisik sih aman bang, tapi gue gatau kenapa perasaan gue ga enak yah?” kata saya jujur.
Lalu tanpa sengaja mata saya melihat ke arah gerbang masuk pendakian..

Disana berdiri seorang wanita dengan kulit yang sangat putih dan kontras dengan gelapnya malam. Wanita itu persis dengan yg saya lihat di bandara, ia juga terus menari disana dan tersenyum lebar kepada saya.
Tidak. Senyumnya tidak hanya lebar.. tapi bibir wanita itu sudah sobek hingga hampir ke telinganya..

Saya segera memalingkan muka ke arah Bang Yon lagi.
“Sebenernya ya Ram, jujur sejak lo di rumah makan tadi bilang lo liat penari di bandara, perasaan gua juga udah ga enak. Kayaknya emang ada yang ikutin kita, tapi gatau kenapa yang ini gua engga bisa liat” jelas Bang Yon.
Bang Yon memang salah satu orang yang memiliki kekurangan bisa melihat sosok tak kasat mata.

“Lah itu yang diomongin ada di gerbang” kata saya sambil menunjuk sosok penari itu dengan bibir.

“Kampreeet pergi luuu” kata bang Yon sambil memberikan gestur mengusir ke arah gerbang.
“Ram kata gua, lo batalin aja deh” perintah bang Yon.

“Hah? Gimana bang? Gue gaenak sama Jani. Udah jauh jauh kesini masa batal? Fisik aman kok”

“Hm, cewek lo mana? Daritadi ga keliatan”

“Rimbun?”

“He’eh”

“Gatau.Terakhir bilang mau nemenin sih”

“Yakin?” tanya Bang Yon ragu.
“Ya gatau juga, kan gue bukan tuannya dia yang bisa nyuruh nyuruh semau gue” jawab saya.

“Yaudah gini aja deh. Besok lo ama Jani tetep naik sesuai plan awal. Lusa gua nyusul. Tapi usahain lusa siang kalian udah selesai summit, terus turun ke Segara dan ngecamp semalem disana.
Pokonya jangan langsung naik ke Plawangan Senaru. Gua susul lo ke Segara. Besok paginya baru kita bareng bareng naik Plawangan Senaru, langsung sikat turun ke Pak Sa’at lagi. Gimana?” jelas Bang Yon panjang lebar. Beliau emang udah hapal banget dan memahami betul Rinjani.
Saya mengangguk pelan berusaha memahami dan membayangkan skenario dari Bang Yon.

“Nanti kalo lu ada kenapa kenapa, pastiin jangan pisah ama Jani. Jangan maksain gerak. Lu bedua break aja atau ngecamp sekalian, Paham?” tambah Bang Yon tegas.

“Oke. Paham bang” jawab saya.
“Gua sebenernya lebih khawatir ama Jani. Feeling gua gaenak sama dia, tapi semoga aja Cuma perasaan gua aja..” kata Bang Yon.
Setelah menyetujui skenario itu, saya dan Bang Yon menyampaikannya ke Jani dan dia menyetujui rencana itu.
Setelah persiapan dan rencana dirasa cukup jelas, kita bergegas ke pos pendakian TNGR di Simbalun.
Halangan demi halangan kembali datang. Saya rasa ini semacam tanda dari Allah agar kami mengurungkan niat kami, tapi kami tidak membaca itu sebagai sebuah pertanda.

Ketika kami sampai di pos pendakian TNGR, kami mendapat kabar pendakian ditutup sementara.
Saya jelas protes karena seharusnya penutupan pendakian diikuti dgn edaran resmi dan diberitahukan di media, namun kali ini tidak. Penjaga juga mengatakan berbagai macam alasan penutupan, mulai dari ada acara upacara, jalur gempa minor sampai sekedar jawab “arahan dari pusatnya”.
Nada bicara saya meninggi karena kesal dan hampir debat kusir dengan penjaga pos itu kalau saja Bang Yon tidak menahan saya dan meminta saya untuk sabar.

“Ram.. udahlah..” kata Bang Yon sambil narik saya menjauhi pos registrasi.
“Tapi bang, ga profesional banget lah masa kaya gitu. Harusnya ada info dulu ga kayak gini. Ga mikirin orang udah jauh jauh dateng keluarin banyak duit tapi ketemu kondisi kayak gini apa?!” kata saya emosi.
“Iya gue paham. Tapi lo coba gausah kebawa emosi gitu. Tenang lah Ram, kasihan si Jani sampai shock gitu liat lu” kata Bang Yon sambil menunjuk Jani yang sudah terduduk sendirian di ujung teras pos dengan posisi nunduk.
Saya lalu mendekati Jani, awalnya saya kira Jani ketiduran atau kelelahan.

“Jan, wei, bisa bisanya ketiduran jam segini” kata saya sambil menepuk nepuk pundaknya.

“….” Jani diam. Matanya terbuka tapi dia ga membalas candaan saya seperti biasanya.
“Jani.. lu gapapa?” tiba tiba saya merasa ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda.

“Kita pulang aja yuk Mbo..” kata Jani dengan merintih dan suara yang sangat pelan.

“Pulang?..”
“Kayanya Tuhan emang ga izinin gue kesini lagi. Padahal kan niat gue cuma pengen ketemu Ratu dan bilang makasih, ga lebih dari itu. Emang salah ya kalo gue pengen begitu sampai kita dipersulit gini?” Jani menatap saya dengan mata yang sudah basah.
Saya bisa saja membantah Jani saat itu juga. Saya mau menjelaskan bahwa bertemu dengan makhluk halus tidak semudah itu dan akan ada efek samping yang kita rasakan. Tapi sekarang bukan saatnya untuk ceramah..
“Emang lu bisa liat mereka Jan?” tanya saya.
“enggak sih mbo..”
“terus?”
“ya setidaknya gue bisa summit, bisa sampai ke istananya walaupun mata gue ga bisa liat atau rasain. Terus gue mau bilang makasih disana, Cukup itu aja Ram, gue ga ngotot harus ketemu tatap tatapan, enggak. Tapi kalo gue bisa ketemu langsung, itu lebih bagus..” ungkap Jani.
Mendengar kalimat itu seketika saya merinding. Seakan ada dorongan yang buat saya merasa harus mewujudkan permintaan Jani walaupun saya tidak ada hubungannya sama hal itu.
“Jan, lu tunggu sini. Gue akan coba sebisa gue, tapi lu janji, diatas nanti, lu gaboleh pisah dari gue. Deal?”

“Tapi gimana caranya? Kan pendakiannya ditutup mbo..”

“Bawel! Janji ama gue, lu gaakan pisah dari gue”

“Iya.. gue janji..”
Saya masuk lagi ke pos tadi dengan kepala yang lebih dingin. Saya merendahkan nada bicara saya ketika masuk dan meminta maaf atas perlakuan saya tadi yang saya akui terbawa emosi. Selama saya dan Jani berbicara tadi, sepertinya Bang Yon bercerita banyak dengan si penjaga pos.
Jika tadi saya mencoba bernegosiasi dengan emosi, kali ini saya mencobanya dengan memohon. Memohon agar diizinkan summit walaupun hanya satu malam dan keesokannya turun.
Saya juga menjelaskan latar belakang Jani sampai begitu berniat bisa summit di Rinjani. Saya juga menjamin keselamatan kami berdua selama pendakian.
Setelah mengucapkan banyak alasan dan jaminan bahwa saya mampu, akhirnya petugas itu melunak.

“Yaudah. Ini itung itung kamu temannya Yon, dan Yon bilang dia yang tanggung jawab, dari saya, saya persilahkan. Tapi saya ga bisa tanggung jawab apa apa selama kamu di atas...
...Besok pagi kamu kesini dulu, terus naik, lusa kamu udah harus turun lewat sini lagi. Gaboleh lintas Senaru” jelas petugas itu.

Saya dan bang Yon menyimak dengan wajah sumringah karena merasa ada titik terang.
“.. Kalau nanti kalian ketemu petugas di atas dan disuruh turun, langsung ikut turun! Jangan ngeyel. Kalo ditanya, bilang aja kamu sudah ke pos tapi tidak ada petugas. Bilang juga kamu udah catet nama kamu dan temanmu, dan pura pura ndak tau kalau pendakian lagi tutup” tambahnya.
Saya menyimak sambil mengangguk anggukan kepala.

“Gimana? Bisa dikondisikan? Persiapanmu udah lengkap?” tanya petugas itu lagi.

“Bisa. Makasih banyak pak. Aman semua lengkap. Sekali lagi saya minta maaf sama perbuatan saya sebelumnya” kata saya sambil menjabat tangannya.
Saya keluar pos dengan perasaan lega dan menyiapkan kejutan buat Jani.

“Jan, jadi nih kita ketemu Ratu Anjani” kata saya dengan senyum lebar.

“gausah kasih harapan deh Mbo.. “

“Lah serius, tanya bang Yon sono”
Mata Jani yang awalnya sayu dan lemas seketika terang dan bersemangat.

“Hah serius mbo????”
Saya anggukin kepala dan Jani tersenyum riang sekali.

“Nah gitu dong, itu baru Anjaniku” kata saya lega melihat Jani sudah bersemangat lagi.

Rinjani, kami datang kembali.
----twitt akan dilanjut besok----
Bagi yang ga sabar nunggu dan ingin langsung membaca versi lengkapnya tanpa menunggu permalamnya, bisa klik link berikut yaa :

karyakarsa.com/Mwvmystic/asta…
Setelah mengantongi izin dan prosedur naik besok, saya, Jani dan Bang Yon kembali ke rumah Pak Sa’at.

Saat masih di mobil dan melintasi gerbang Senaru, penari itu berlenggak lenggok lagi dalam kegelapan. Senyumnya begitu lebar dan licik dari wajahnya yang tidak simetris.
Malam itu juga, kami berpisah dengan Lale Nonik dan Bang Yon.
Jani izin masuk kamar duluan untuk istirahat sementara saya masih ngobrol ngobrol dengan Pak Sa’at. Tak sampai satu jam kemudian, kami memutuskan untuk tidur. Saya menggunakan sleepingbag dan tidur di depan kamar.
Pak Sa’at sempat nyuruh saya untuk masuk sekamar dengan Jani, tapi saya menolaknya.

Baru akan memejamkan mata dan masuk ke dunia mimpi, sayup sayup saya mendengar suara musik tradisional yang berbisik diantara keheningan malam..
lalu disela sela musik itu saya mendengar suara wanita bernyanyi. Saya tidak paham keseluruhan bahasanya, namun yang saya tangkap adalah salah satu kalimat terakhirnya..
…Selamat datang kembali...
datanglah untuk pulang...
pulang selamanya….
Itu adalah lirik terakhir yang saya ingat sebelum akhirnya saya terlelap.

Saya terbangun pukul 3.30 dini hari. Setelah minum air putih hangat, saya beranjak keluar kamar untuk streching dan menghirup aroma pagi Senaru.
Ketika mengedarkan pandangan ke sekeliling, saya menemukan banyak kerlap kerlip kekuningan yang saya yakini adalah kunang kunang. Namun lama kelamaan kunang kunang itu berkumpul ke satu titik dan membentuk siluet si penari..
Suara musik semalam pun kembali dan sosok itu bersenandung

“.. Selamat datang di keabadian..”

Sosok wanita tadi lalu melayang dan terbang mengarah ke rumah pak Sa’at.
Saya buru buru masuk dan membangunkan Jani dengan alasan persiapan packing. Saya tidak ingin mengacaukan impiannya ini dengan gangguan semacam itu.
Seusai sholat shubuh, saya dan Jani pamit ke Pak dan Bu Sa’at.

“Hati hati ya nak, jangan lepas wudhu. Sarapannya jangan lupa dimakan biar kuat” pesan Pak Sa’at kepada kami sambil diiringi pelukan hangat.
Saya sengaja memilih berangkat pagi pagi agar tidak kepanasan selama perjalanan sampai pos 1, karena treck kesana berupa padang rumput terbuka tanpa pohom rindang.

Begitu sampai di pos yang saya kunjungi semalam, saya bertemu dengan penjaga pos yang sama.
Setelah melalui beberapa pengarahan, kamipun memulai pendakian berdua, hanya saya dan Jani di Rinjani yang sedang ditutup dari pendakian..
Sepanjang perjalanan Jani benar benar ceria. Apapun yang ia lihat dan rasakan dia ceritakan secara lisan ke saya.
“Jan, jangan cepet cepet jalannya. Santai aja, simpen tenaga buat Bukit Penyesalan” pesan saya.

“Iyaaa” jawabnya masih dengan wajah yang sumringah.
Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan bapak yang sepertinya hendak pergi ke ladang dari pagi pagi buta.

Sebagai ramah tamah, saya menganggukan kepala pelan sambil mengucap permisi kepada beliau.
Bapak itu membalasnya dengan senyuman, namun pandangannya tidak fokus.
Sesekali ia melihat ke saya, lalu melihat ke Jani. Lalu tiba tiba ia menghampiri saya

“Hati hati nak mendakinya. Sepertinya ada yang ngawasi kalian. Ini, bawa untuk jaga jaga. Ndak usah dikembalikan, ambil buat kalian..” ujar bapak itu.
Ia lalu menyerahkan kertas yang dilipat segitiga ke saya dan Jani.
Awalnya saya ragu untuk menerimanya, tapi atas dasar segan dan menghormati perhatiannya bapak itu, kami menerimanya dan berterimakasih.
Setelah berpamitan, kami lanjut jalan. Tak jauh setelah bapak tadi Jani akhirnya berkomentar..

“Apaan nih mbo??”

“Gatau, jimat kali ahaha”

“Lah kalo jimat kenapa lo terima? Bukannya lo ga percaya beginian ya?”
“Gue lebih ke ngehargain aja sih Jan. Gue masih ga percaya ama ginian kok sampe sekarang” jawab saya.
Beberapa langkah setelah setelahnya, saya menepuk Jani yang jalan begitu bersemangat tanpa lihat ke kiri kanan.

“Jan jan, lihat deh..” kata saya sambil menunjuk ke arah timur.
Mata Jani terbuka sangat lebar dan terpaku tanpa berkata apapun
.
“..Sunrise di kaki Rinjani Jan” kata saya lagi.

Untuk beberapa saat Jani hanya diam sambil memandangi pemandangan indah itu. Setelah itu ia berbalik mendekati saya dan memeluk saya tanpa aba aba.
“Makasih ya mbo..”

“Idih apasih lu pake meluk meluk najis” kata saya bercanda sambil mendorong tubuhnya pelan.

Sayangnya momen indah dan romantis itu dirusak seketika dengan siluet hitam yang bergerak gerak seperti menari.
Lalu telinga saya kembali mendengar senandung nyanyian nyanyian yang saya tidak tau bahasanya.

“Gila, ini udah mau subuh loh, baru sampai sini udah dua kali nampakin diri!” kata saya dalam hati.

“Jan, buruan dikit yuk jalannya” ajak saya sambil narik tangan Jani.
“Lah tadi nyuruh pelan pelan, sekarang buru buru, labil lo ah!”

“Udah nurut aja, bawel!”
Sekitar dua jam lebih perjalanan, kami sampai di pos 1. Kita break sebentar sekedar ngelurusin kaki. Saya tanya ke Jani mau sarapan di pos ini atau pos 2, dan Jani memilih di pos kedua aja.
Saya keluarin vepless yang isinya kopi. Saya nyeruput itu sambil mandangin hamparan ciptaan Tuhan di hadapan kita. Hamparan padang rumput hijau dengan latar langit biru dihiasi awan awan putih seperti kapas. Kita ga berbicara apapun.
Kesibukan kami berdua saat itu hanya memandangi langit yang tidak kunjung membuat kami bosan.

“Udah jan?” tanya saya ke Jani memecah keheningan kami.
Jani mengangguk.

“Yuk lanjut. Udah laper gue” kata saya sambil memasang lagi carier.
Kesibukan kami berdua saat itu hanya memandangi langit yang tidak kunjung membuat kami bosan.

“Udah jan?” tanya saya ke Jani memecah keheningan kami.
Jani mengangguk.

“Yuk lanjut. Udah laper gue” kata saya sambil memasang lagi carier.
Beberapa waktu kemudian, ditengah perjalanan Jani meminta saya untuk berhenti sejenak.

“Mbo, denger suara itu gak?”

“Suara apaan?” kata saya malas sambil meneruskan pendakian.

“Ih dengerin duluu. Masa lo ga denger?”

Saya memasang pendengaran saya dalam dalam. Lalu..

BROOOTTT
Jani tertawa keras dan berlari menjauh. Sementara saya yang sudah keberatan carrier hanya bisa menghujat Jani dengan teriakan.

“Najis cakep cakep kentutnya bau banget!”
Saya meneruskan pendakian dan bisa menyusul Jani lagi. Saat itu Jani diam dan seakan memberi kode untuk saya memasang telinga lagi

“halah kentut lagi kan lo” kata saya.

“Enggak enggak, ini beneran. Lo denger suara kuda ga?..” ujar Jani serius.
Saya terdiam hingga suara nafas kami bisa terdengar. Dan Jani benar, ada suara ringkikan kuda samar samar terdengar saat itu.

“Tuh ada kan? Suara apa ya tuh? Jadi takut gue” cemas Jani.
“Kaya suara kuda sih.. tapi siapa yang masih naik kuda hari gini?.. eh tapi Jan.. jangan jangan itu suara kereta kencananya Ratu Anjani Jan!” kata saya dgn wajah dibuat buat. Saya tau ada banyak kuda liar yang merumput di daerah sana.

“Ah Mbo jangan bercanda ah..” rengek Jani.
Namun tiba tiba tanah mulai bergetar dan terdengar suara deru langkah kuda yang mendekat. Kami saling bertatapan satu sama lain..
“KABUR JAAANNN LARIIII!!!!” saya dan Jani tanpa pikir panjang berlari sekuat yang kami bisa setelah sadar ada beberapa kuda liar yang berlarian ke arah kami.

Kami berlari masuk ke arah hutan kecil, setidaknya ini akan melambatkan kuda itu karena keberadaan pohon pohon disini.
Beruntung, kami berhasil menghindari kuda kuda itu. Kami beristirahat sambil mengatur nafas yang tersengal sengal.

Tanpa kami sengaja, kami saling pandang satu sama lain dan refleks kami berdua tertawa.
“Ape.. bener… gue.. naek sama lo jooon, ah.. hah… seumur umur naik gunung…, baru ini gue dikejar kudah ahahaha” kata saya disela sela nafas yang masih ngos ngosan.

“wahaha iya sama, baru ini gue ngerasain dikejar kuda, biasanya cowok” canda Jani.
Setelah berisirahat dan minum sejenak. Kami melanjutkan perjalanan menuju pos 2.

Perjalanan dari pos 1 ke pos 2 biasanya saya tempuh dalam waktu kurang dari setengah jam. Tapi karena sepanjang jalan Jani berulah, dia ngoceh dan ga berhenti bercanda sepanjang perjalanan.
Hal itu membuat perjalanan molor hingga hampir satu jam.

Akhirnya kami sampai di pos 2 pukul 08.13, meleset setengah jam dari perkiraan saya diawal.
Kami langsung sarapan dengan bekal yang disiapkan Pak Sa’at. Biasanya pos 2 ini ramai dengan para pendaki, namun karena kondisi pendakian sedang ditutup, pagi itu hanya ada kami berdua disana.
Hal ini jadi pengalaman baru buat saya, ngedaki Rinjani sehabis musim hujan, waktu lagi ijo ijonya dan gaada orang lain selain saya dan Jani disini.

Saat sedang asyik menikmati sarapan, tiba tiba saya mendengar suara deru motor.

“mampus dah, kayaknya ranger” kata saya.
Jani menatap saya dengan khawatir, namun saya segera bilang

“Tenang aja, kalo emang ranger, nanti gue negoin lagi. Setidaknya kita bisa ngecamp agak semalem di Plawangan Sembalun. Gapapa kan lonya?” tanya saya ke Jani.
Wajah Jani yang tadi terlihat khawatir lantas cerah lagi dan sumringah. Ia menganggukkan kepalanya tanda setuju.
“Gapapa Mbo, kalopun nanti disuruh turun juga gapapa. Kita udah janji di bawah tadi. Gue bisa sampe sini aja udah seneng banget kok Mbo” kata Jani tenang.

Entah kenapa ketika Jani bilang begitu, saya justru semakin ingin memperjuangkan pendakian ini.
Saya mau wujudin impian Jani injekin kakinya di atap Nusa Tenggara ini.

Beberapa menit kemudian, dugaan saya terbukti. Sebuah motor menghampiri kami dengan mengangkut dua orang. Satu menggunakan seragam, yang saya duga adalah ranger, dan satu lagi berkaus biasa tanpa bawa tas.
“Selamat pagi mas dan kakak” sapa pria berseragam itu.

“Pagi pak” jawab saya sambil beranjak bangun dan menjabat tangan keduanya. Jani mengikuti hal yang sama.

“Betul dengan mas Rama?” tanya Ranger itu.
“Betul pak. Maaf ya pak sebelumnya kami lancang naik kesini. Saya sudah koordinasi sama petugas di basecamp dari semalem, beliau sebetulnya berat ngasih kami izin, tapi akhirnya dibolehin dengan catetan cuma ngecamp semalem terus summit dan turun lewat Sembalun lagi.
Terus katanya kalo ketemu Ranger dan disuruh turun, ya harus nurut. Kebetulan kita lagi sarapan pak, nanti setelah selesai sarapan kami langsung turun lagi ya pak” kata saya panjang lebar padahal Ranger itu cuma nanya saya Rama atau bukan.
Ranger itu tersenyum lalu menepuk pundak saya.

“Terima kasih mas buat kejujurannya” ujar Ranger itu.
“Iya sama-sama pak. Harus dong pak, kami juga ngga mau kenapa2 diatas sana gara2 bohong pak. Oiya pak, udah sarapan pak? Ini kebetulan sarapan kami lebih, sarapan dulu yuk pak, ngopi juga ada pak. Aman.” saya mulai lanjutin strategi negosiasi dgn bikin lawan saya nyaman dulu.
“Sudah-sudah ngga usah repot-repot. Saya harus balik piket ke basecamp. Saya cuman mau mastiin, ini bener Mas Rama temannya Bang Yon sama Pak Sa’at kan?”

“Iya bener pak”

“Yang tahun lalu ikut bantu evakuasi pendaki perempuan yang hipo kan ya?” tanya Ranger itu lagi
“Oh, iya bener pak. Ini anaknya nih pak yang kedinginan sendirian ditinggalin pacarnya... Hahaha...” kata saya sambil ngacak-ngacak rambut Jani. Jani tersenyum simpul karena malu, orang orang masih ingat kejadian hipo dia tahun lalu.
“Nah ini ceritanya dia mau remedi pak. Tapi ya ngga tau ternyata pas sampe sini, begini kondisinya.” Lanjut saya mulai coba narik simpati ranger itu.
Ranger itu mengangguk pelan ketika saya kasih penjelasan sambil matanya menyisir kondisi fisik saya, Jani dan perlengkapan yang kita bawa.

“Memang rencana awalnya gimana?”
“Tadinya mau ngelintas ke Senaru pak. Cuman ya karena lagi begini, udah pasti batal sih. Saya ngikut aturan aja pak, biar aman” kata saya, memelas

“Hoo..betul-betul” kata Ranger itu.
Saya merasa ranger ini mulai bersimpati dengan keadaan saya dan Jani.
Melihat adanya “buying signal”, disitu saya mencoba pakai ilmu marketing saya.

“Mmm...kira-kira, kalo saya izin ngecamp semalem – dua malem aja di Plawangan boleh kan ya pak? Kasian juga nih anak ini, udah jauh-jauh, masa tidurnya di rumah Pak Saat doang. Hahaha..” ujar saya.
Saya sengaja diakhiri dengan tawa agar ranger itu tidak merasa kami membangkang.

Ranger itu memperhatikan saya dari ujung kepala sampai kaki. Seperti membaca saya.

“Anak marketing ya? Bisa aja nego nya” ujarnya sambil tersenyum.
“Hahaha. Iya pak. Jadi...boleh kan ya pak? Janji deh pak ngga summit” pinta saya lagi, meminta konfirmasi.

Tiba-tiba ranger itu ngeluarin sebuah surat dari kantongnya dan nyerahin ke saya. Surat yang saya kira adalah surat denda yang nantinya harus saya tanda tangani.
“Apa ini pak?” tanya saya sebelum membuka surat tersebut.

“Udah ngga usah nego-nego saya, ngga bakal mempan, saya juga dulu lama di marketing, ilmu mu itu udah kebaca sama saya mas” ungkap ranger tadi sambil tersenyum lebar.
Merasa siasat saya “terbaca” oleh ranger ini, saya Cuma bisa senyum getir dan pasrah kalau memang diusir saat ini juga.

“Itu, surat izin pendakian kamu, saya yang tanda tangan langsung, saya yang tanggung jawab. Hadiah dari saya karena kamu udah 2 kali bantu evakuasi...
..Kamu boleh summit, boleh ke Segara, boleh ngelintas ke Plawangan Senaru. Kalo ketemu petugas di atas, kasihin aja surat itu. Kalo udah turun ke Senaru, kasihin ke petugas basecamp sana ya” ujar ranger itu.
Saya sontak membuka surat yang ia berikan. Dan benar, isinya merupakan sebuah surat pernyataan izin pendakian yang sudah ditanda tangani.
“Tapi untuk bisa lanjut, syaratnya ini, kalian harus ditemani Pak Mahlin. Beliau warga sini. Jangan jauh2 dari beliau. Saya sudah komunikasi juga sama Yon, dia sibuk banget hubungin saya dari semalem, dia titip pesan, jalanin plan awal, nanti dia nyusul kamu di Segara"
Paham kan ya?” tanya ranger itu kepada saya.

Saya mengangguk paham.
“Yowes saya pamit dulu. Hati-hati. Jangan lupa berdoa. Pak Mahlin, minta tolong ya” Pesan ranger itu menutup penjelasan panjangnya.
Saya cuma melongo seakan nggak percaya sama apa yang barusan saya dengar. Betapa Allah, lewat Bang Yon, Pak Saat dan bapak ranger ini begitu baik sama saya dan Jani. Saya harus berterima kasih kepada keduanya.
Saya tersadar dari lamunan saya dan segera mengucapkan terima kasih berkali kali ke ranger itu. Begitu pula dengan Jani, saya bisa melihat kelegaan sekaligus wajah bahagianya mengetahui tidak ada lagi kekhawatiran.
Setelah berpamitan dan mengenalkan Pak Mahlin, Ranger itu kemudian pergi dengan motornya.

Setelah tinggal kami bertiga, saya berkenalan dan mengobrol dengan Pak Mahlin. Ternyata beliau berasal dari Senaru, lebih tepatnya beliau adalah kenalan Pak Sa’at.
Pak Sa’at lah yang meminta tolong beliau untuk menyusul saya dan Jani sekaligus meminta bantuan ranger untuk mendapatkan izin. Secara kebetulan, ranger yang ditemui pak Sa’at dan pak Mahlin adalah ranger yang juga dihubungi Bang Yon.
Saya takjub dengan segala skenario Tuhan Yang Maha Esa kepada kami.
Kami melanjutkan perjalanan menuju pos 3.
Kali ini saya berpesan ke Jani untuk jangan banyak berhenti kecuali sudah capek. Apalagi didepan jalurnya sudah mulai menanjak, kalau lebih lambat lagi bisa bisa kami kesorean sampai di Plawangan Sembalun.
Pak Mahlin memaksa untuk membawakan barang barang kami. Awalnya kami menolak karena segan, namun beliau memaksa karena merasa aneh jika mendaki tanpa membawa apapun.
Akhirnya saya kasih carrier saya ke Pak Mahlin, sedangkan daypack Jani saya yang bawa sementara Jani hanya menyandang travel bag kecil.
Kurang lebih dua setengah jam berikutnya, kami sampai di pos 3. Saya sengaja minta rest disini untuk mempersiapkan mental dan fisik sebelum memulai “pendakian gunung yang sebenarnya”.
----twitt akan dilanjut besok----
Bagi yang ga sabar nunggu dan ingin langsung membaca versi lengkapnya tanpa menunggu permalamnya, bisa klik link berikut yaa :

karyakarsa.com/Mwvmystic/asta…
Saya cek kesiapan masing masing. Jani aman, dia masih kuat dan ngerasa fit. Pak Mahlin jangan ditanya, seperti tidak lelah sama sekali dan bahkan beliau merokok di pos 3.
Kami istirahat setengah jam sambil menyeduh kopi dan teh. Sejenak, saya memandangi bukit yang sudah ada di depan mata saya. Bukit penyesalan, kami tiba.
Empat jam dua puluh menit berikutnya, akhirnya kami tiba di Plawangan Sembalun. Kami disambut dengan Danau Segara Anak dengan Gunung Baru Jari ditengahnya. Danau ini juga dikelilingi barisan bukit Plawangan Sembalun dan Senaru dengan tebing tebingnya yang kehijauan.
12 jam perjalanan serasa impas dengan apa yang ada di hadapan kami saat itu.

“Jadi, selamat datang kembali di tempat kita pertama kali ketemu, Jani”
Jani tersenyum ke arah saya.
“Ciee yang dulu ditinggalin pacar sampe kedinginan” saya merusak saat saat yang harusnya romantis itu seketika.

“Reseee! Manis dikit ke gue napee” protes Jani.
“Mas Rama, kita mau buka tenda dimana?” tiba tiba dari belakang pak Mahlin memanggil saya.

Saya menghentikan gurauan dengan Jani dan mulai mengorientasi medan. Suasana yang sepi dan cerah membuat saya lebih leluasa memilih spot.
Akhirnya saya menunjuk sebuah titik yang cukup landai yang berjarak beberapa meter dari lokasi kami berdiri. Kami berjalan ke sana selama beberapa menit dan mendirikan tenda disana.
Setelah tenda berdiri dengan bantuan pak Mahlin, kami segera bongkar logistik yang kami bawa. Semua logistik langsung saya berikan kepada pak Mahlin karena beliau menawarkan diri untuk memasak walaupun akhirnya kami “mengeroyok” proses masak itu bersama sama.
Menu makan saat itu adalah nasi goreng tanpa kecap, dadar kornet, tahu sumedang, lalapan dan sambal buatan pak Mahlin yang rasanya masih bisa saya ingat sampai sekarang. Enak banget.
Setelah perut kenyang, saya di lokasi yang ngasih view danau segara anak terbaik. Jani nyusul saya dan duduk pas di sebelah saya. Kami sama sama mengagumi keindahan alam yang dimiliki Indonesia dan bersyukur kami dilahirkan disini.
Tiba tiba saja pak Mahlin beranjak ke dekat kami. Lalu beliau bertanya

“Mas Rama, Saya boleh tanya?”

“Ya? Nanya apa ya pak?” jawab saya

“Tujuan mas Rama naik kali ini untuk apa mas?” tanya pak Mahlin dengan wajah serius. Berbeda dengan yg beliau tunjukkan selama perjalanan.
“Hah? Oh.. ini. Saya nganterin Jani, katanya dia mau ketemu Ratu Anjani langsung” kata saya sambil menunjuk Jani.
Saya lalu menceritakan sedikit latar belakang Jani hingga kenapa dia mau mendaki demi sekedar mengucapkan terima kasih.

Pak Mahlin menyimak cerita saya dan Jani sambil sesekali menganggukan kepala, namun tidak memberikan komentar apapun.
Setelahnya, beliau tidak menanyakan hal itu lagi dan berbagi pengalamannya seputar pendakian Rinjani yang pernah beliau lakukan serta obrolan ringan lainnya.
Obrolan kami berlangsung hingga tanpa terasa senja pun tiba. Seusai sholat Maghrib berjamaah, kami mulai merencanakan kegiatan dua hari kedepan.

Pak Mahlin menolak untuk muncak. Alasannya? Udah bosen katanya.
Mau ga mau, hanya saya dan Jani yang akan summit.
Jujur saya cukup ragu untuk summit bedua saja, apalagi dengan wanita. Saya berharap ada pendaki nekat lain yang berhasil menembus pos jaga dan menyusul kami untuk setidaknya jadi barengan ke atas.
Perkiraan saya, jam 2 dini hari nanti saya dan Jani akan melanjutkan perjalanan. Perkiraan sampai di puncak sekira jam 9an, dan turun jam 10. Estimasi sampai ke Plawangan Sembalun di jam 1 siang dan turun ke Segara sebelum senja, sekaligus ketemu sama Bang Yon kalau jadi nyusul.
Besok paginya sekira jam 8 kita naik ke Plawangan Senaru, istirahat buat mandangin Astana Ratu Anjani dari sisi lain lalu bablas turun sampai rumah pak Sa’at.
Setelah rencana sudah saya anggap matang, saya izin tidur kepada Jani dan pak Mahlin. Tidak lupa saya minta dibangunkan jam 8 malam karena saya belum sholat isya.
Setelah masuk tenda, tak lama saya tertidur. Namun di tidur itu, saya mendapati mimpi yang aneh....
Saya bertemu dengan penari itu lagi.
Kali ini sosok penari itu nampakin wujudnya hanya beberapa meter di depan tenda saya dan Jani, posisinya melayang diatas Segara Anak.
Sosok ini tidak diam, dia meliuk liuk seperti menari namun dengan gerakan yang mengerikan. Wajahnya pun tidak enak dilihat. Posisi mata kanan dan kirinya tidak lurus dan bibirnya miring.
Tiba tiba saja Jani keluar dari tenda tanpa mengatakan apapun.

Pandangannya kosong dan melangkah lurus ke arah penari tadi.
Bersamaan dengan Jani yang makin mendekat, gerakan penari itu semakin kencang dan brutal.
Saya lalu beranjak dan memegangi tangan Jani. “Jani! Jangan!” teriak saya. Namun Jani tidak mengacuhkannya sama sekali. Tangan Jani terasa keras sekali dan saya bahkan terseret olehnya.
Jani semakin dekat dengan bibir danau, sementara saya masih terus berusaha menahan tubuhnya dengan berbagai cara. Tapi tetap saja, justru saya yang terseret oleh kekuatan Jani yang bertambah berkali kali lipat.
“Hihihi… percuma! Kawanmu sudah jadi milik saya! Hihihihi”
Tiba tiba saja sosok penari itu berbicara.

Secara fisik, wujudnya memang seperti perempuan muda, namun suaranya sudah seperti nenek nenek yang parau.
“Lo apain temen gue hah! Balikin Jani sekarang juga!!” kata saya berteriak penuh emosi.

“Kembalikan?.. hihihi tidak bisa. Dia harus ikut saya sekarang juga UNTUK MENEBUS KESALAHANNYA!!”
Saya tertegun. Kesalahan?? Kesalahan apa???

“Kamu manusia lemah tidak usah ikut campur. Kamu jelas bukan tandingan kami semua hihihi” tambah sosok itu angkuh.
Tiba tiba aja saya terpental dari Jani yang sudah sampai di bibir danau Segara.

“JANI!!!!!” saya teriak sekuat kuatnya.
Tapi sia sia..
Jani terus berjalan ke tengah. Air mulai berjalan lurus ke arah tengah, menghampiri penari tadi yang semakin menggila..
Hingga akhirnya Jani menghilang tenggelam di Segara Anak..
“Plak Plak Plak” tiga buah tamparan mendarat di pipi saya.

“Mbo! Mbo! Bangun! Kenapa lo?” sayup sayup suara Jani menyadarkan saya.
Perlahan saya membuka mata. Di kanan sudah ada Jani yang menatap saya dengan wajah khawatir. Sementara di kiri sudah ada Pak Mahlin yang juga menatap saya.

“Kenapa Jan?” tanya saya bingung.

“Lah? Lo yang kenapa Mbo. Ngigo sambil manggil manggil gue” ungkap Jani.
“ah? Gue ngigo ya. Iyanih tadi gue mimpi buruk Jan”

“Mimpi apa kok sampe panggil panggil nama gue?”tanya Jani.

“Gue mimpi nikah sama lu masa. Ngeri” jawab saya berbohong. Tentu saja jawaban saya itu dijawab dengan sebuah tamparan di pipi saya.
Saya sengaja tidak menyampaikan yang sebenarnya. Saya khawatir itu adalah sebuah firasat dari setan yang nantinya akan memperburuk keadaaan jika Jani mengetahuinya.
“Ayo mas, syukur kalo gak kenapa kenapa. Makan dulu biar kuat muncaknya” ajak pak Muhlin.
Saya keluar tenda dan dihadapkan sengan hidangan tahu campur yang masih mengepul.
“katanya mbak Jani, mas Rama suka banget tahu campur. Jadi tadi kita masak ini, saya cuma bantu bantu aja, yang masaknya mah Mbak Jani. Belajar masak buat calon suami katanya” ujar pak Mahlin sambil tersenyum penuh arti.
Saya melihat ke arah Jani. Dan benar saja, wajahnya sudah memerah lagi mendengar ucapan pak Mahlin.

“Eh pak. Bukan gituu. Maksudnya belajar masak buat calon suami saya nantinya. Bukan Rama yang jadi calonnyaa” kata Jani meralat ucapan pak Mahlin.
Saya dan pak Mahlin tertawa melihat kecanggungan Jani.

“HEH JANGAN GEER LO MBO!” bentak Jani kesal.
Kamipun makan masakan itu dengan lahap. Sesekali kami mengobrol seru satu sama lain. Namun, momen makan tahu campur malam itu terganggu dengan kehadiran si penari dari salah satu pohon disana.
Sosok itu lama kelamaan mendekat. Matanya bergerak tidak stabil namun terlihat melihat ke arah satu orang, Jani.
Saya mulai cemas. Saya yakin mimpi tadi adalah tanda dan petunjuk bahwa ada hal lain yang terjadi disini sehingga sosok ini terus muncul sejak kami menginjakkan kaki di pulau ini, dan Jani adalah penyebabnya.
Tapi apa, dan kenapa? Saya juga tidak tau. Saya harus menginterogasi Jani, apa kesalahan yang sudah ia perbuat.
Baru ingin memulai percakapan, saya melihat ke arah pak Mahlin. Saat itu pandangan pak Mahlin bukan melihat ke arah saya, makanan, ataupun Jani. Tapi pak Mahlin melihat ke arah pohon tempat sosok itu sekarang berada.
Wajah pak Mahlin terlihat marah namun juga cemas.
“Udah, cuekin aja pak” kata saya kepada pak Mahlin.

Pak Mahlin terlihat tidak siap ketika saya mengatakan itu. Ia kaget dan sontak bertanya
“Loh mas Rama?”

“Udah dari semalem itu pak. Gatau kenapa” jelas saya seadanya.
Jani kebingungan karena percakapan saya dan pak Mahlin.
“Mas Rama, saya boleh ngomong berdua sebentar?..” tanya pak Mahlin.

“GA BOLEH! Saya gamau ditinggal sendirian. Ada apa pak? Mbo?” tanya Jani semakin penasaran.

Saya memandang pak Mahlin ragu. Saya khawatir Jani akan tersugesti dan tidak nyaman.
“yakin lu mau denger Jan?” tanya saya.

“Iya” jawabnya singkat.
Akhirnya saya memutuskan untuk menceritakan semuanya, sekaligus mengkonfirmasi mimpi saya tadi.. apa yang sudah Jani perbuat.
“Oke.. Jadi gini Jan.. Sejak kita sampai di bandara, hingga detik ini ada sosok wanita penari yang ngikutin kita. Dia tadi muncul di mimpi gue dan sekarang dia ada disini..
...awalnya gue mikir ini pikiran gue aja, tapi barusan pak Mahlin juga liat.. dan gue gatau apa penyebabnya dia ikutin kita..” jelas saya secara hati hati.
Jani terdiam. Berusaha mencerna apa yang saya sampaikan.
“Mas Rama, Mbak Jani.. Sosok yang mas Rama liat itu penunggu di sini. Saya khawatir tujuan kemunculannya ini kurang baik. Saya udah sadar kehadiran dia daritadi, makannya saya tanya tentang tujuan mas Rama dan mbak Jani kesini sebenarnya apa?.. benar hanya remedi, atau..
...ada maksud lain..?” selidik Pak Mahlin yang ternyata sudah menyimpan kecurigaan kepada kami.
Saya melihat ke arah Jani. Bagaimanapun, pendakian ini adalah ide dan permintaanya.

Gestur tubuh Jani berubah, ia terlihat tidak nyaman dan takut. Saya bisa menangkap itu karena saya tau Jani tidak begini kalaupun saya menceritakan cerita horror.
“Jan.. lo tau kan gue bela belain batalin ke Kerinci sama anak anak demi bisa nemenin dan jagain lo disini. Boleh ga Jan, jujur.. tolong jujur sama gue, sebenernya apa alasan lo pengen banget remedi kesini?.. bener cuma mau bilang terima kasih atau lo ada maksud lain?..
...gue gamau kita semya kenapa kenapa karena salah satu dari kita nyembunyiin sesuatu..” jelas saya sambil menatap Jani dalam dalam.

Jani diam, menunduk dan menghindari kontak mata langsung dengan saya maupun pak Mahlin.
Saya dan pak Mahlin diam, menunggu Jani siap untuk berbicara dan menceritakan kemungkinan hal yang disembunyikan dari kami.

Tiba tiba Jani merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah batu berwarna putih. Kita bertiga diam.
Suasana hening dan seketika saya ingat batu merah delima, tempat tinggal Rimbun.. dan saya merasa batu inipun sama dengan batu merah delima Rimbun..

Batu itu adalah rumah dari sosok penari yang mengikuti kami.. dan Jani ada dalam bahaya..
Jani masih nunduk. Dia cuma menunjukkan batu itu tanpa melihat kearah kami.

“Astaghfirullah..” ujar pak Mahlin.
Saya refleks mengambil batu itu dari tangan Jani.
Saya melihat ke arah sosok penari di belakang Jani. Matanya langsung berpindah ke arah tangan saya.
Senyum lebar dan mengerikan tersungging di bibirnya.

Saya tidak mempedulikan sosok itu dan kembali beralih ke Jani.

“Jan.. ini apa Jan???..” tanya saya ke Jani dengan menahan emosi saya.
Jani menghela nafas panjang. Saya bisa dengar ia menangis sedikit terisak.
“Gue.. gue gatau itu apa Mbo. Itu batu gue temuin sebelum kita ketemu di atas.. gue waktu itu jalan sama cowok gue, terus tanpa sengaja gue nemu batu putih. Kata salah satu temen gue, batu putih di Rinjani itu maknanya kita disambut sama sang Ratu Anjani.
Karena seneng dan bisa buat kenangan, gue simpen batu itu. Tapi setelahnya gue ngerasa dingin dan lemes. Karena cowok gue kesel gue dikit dikit berhenti, akhirnya gue suruh cowok gue duluan aja dan gue stand by di lokasi itu..” jelas Jani panjang lebar.
Saya baru mendengar kisah lengkap ini dari Jani. Selama ini saya hanya tau dia ditinggalkan oleh cowoknya aja, dan gatau perihal batu dan lain lain.
Jani melanjutkan ceritanya..
“Terus ketika mereka udah ninggalin gue, gue ngerasa makin lemes dan dingin.. tapi di mata gue, ada banyak dayang dayang yang ngelilingin gue sambil nari nari. Karena takut, gue ngeringkuk sampai akhirnya lu dateng mbo..
..Selama gue belom bisa ngomong, gue ngerasa diikutin dari atas sampai bawah. Pas di basecamp, gue denger suara yang seakan muter muter di kepala gue.. suara itu bilang..
Kamu sudah ambil sesuatu yang bukan milikmu. Kalau kamu tidak kembalikan itu saat purnama, saya akan ikuti kamu seumur hidup!’” jelas Jani.
“Sejak itu, gue selalu ngerasa diikutin sesuatu yang gue gabisa liat Mbo. Karena itu gue ajak lu kesini.. gue mau ketemu Ratu Anjani, sekaligus balikin batu putih ini..
...gue gatau purnama itu kapan dan apa maksudnya, tapi gue ngerasa gue emang harus balikin ini.. maafin gue mbo.. maafin saya juga pak Mahlin....” kali ini Jani memandangi kami dengan mata yang sudah dipenuhi air mata.
Jani langsung memeluk saya dengan terus menangis terisak. Saya dan Pak Mahlin membiarkan Jani menumpahkan seluruh tangisannya. Kondisi seperti ini sudah tidak kondusif untuk melanjutkan pendakian.
Saya ga tau harus berbuat apa. Dalam pikiran saya, kali ini kita hanya akan mendaki dan selesai, bukan berhubungan dengan hal hal seperti ini.
Ditengah kebingungan itu, saya ingat kami belum sholat isya. Kami sholat berjamaah dan dilanjutkan dzikir.
Selama sholat berlangsung, dari arah belakang terdengar cekikikan tawa sosok penari tadi yang terkesan mengejek kami.

Saya dzikir terus menerus dengan memejamkan mata. Meminta petunjuk Allah atas permasalahan yang kami hadapi saat ini.
Ketika saya membuka mata, Rimbun muncul dalam wujud wanita berbaju kerajaannya. Namun wajahnya tidak dalam bentuk baik.

Pak Mahlin kaget dengan kemunculan Rimbun dan beristighfar dengan cukup keras.
Namun saya segera tenangkan beliau bahwa Rimbun ada di pihak kita, dan memberikan gestur bahwa saya mengenal Rimbun.

Rimbun kemudian melayang ke arah sosok penari dan seperti terlibat percakapan yang saya gatau membicarakan apa. Mulut keduanya tidak bergerak sama sekali.
Saya memilih melanjutkan dzikir bersama Jani dan pak Mahlin.
Tak lama, Rimbun kembali ke sisi saya dan berkata..
“Dia penjaga mustikanya, dia minta batu tadi dikembalikan ke tempat ditemukan, suruh temanmu meminta maaf dan setelah itu berjanji untuk tidak mengulanginya lagi” ujar Rimbun.
Awalnya saya berpikir ini akan mudah. Kami tinggal mendaki ke atas, mencari lokasi dimana saya dan Jani bertemu, lalu menaruh batu putih itu disana, selesai. Namun Rimbun belum selesai..

“Tapi.. dia minta hanya satu orang saja yang boleh mengembalikan..” tambah Rimbun.
Pak Mahlin yang juga bisa mendengar ucapan Rimbun kaget. Begitu juga saya yang tidak mengira ada syarat seperti itu.
Mata saya memandang Jani yang masih terpejam sambil membaca dzikir. Saya ga mungkin biarin dia ngedaki sendirian ke atas, apalagi dengan membawa batu ini. Ngga mungkin. Harus ada cara lain.

“Apa gak ada cara lain? Gak boleh berdua aja?” banding saya ke Rimbun.
“Saya sudah mencoba menawar, namun mereka hanya mengizinkan satu orang saja. Saya tidak bisa berbuat banyak karena ini wilayah mereka. Dan ini juga karena temanmu yang percaya hal hal musyrik seperti itu” pungkas Rimbun.
Saya pusing. Ini adalah urusan Jani karena kesalahan yang dia perbuat. Namun disisi lain, saya ga sanggup biarin dia naik sendiri. Saya khawatir jika dia melakukannya, ini akan jadi kali terakhi saya bisa melihat Jani dan mimpi saya waktu di Segara Anak kemarin menjadi kenyataan.
“Kalau berduanya sama kamu apa boleh?” tawar saya lagi ke Rimbun.
Rimbun melayang lagi ke arah penari tadi, lalu berbalik kembali.

“Saya diizinkan ikut, namun hanya mendampingi. Tidak boleh ikut campur..”
“Oke kalau begitu, biar saya yang kembalikan!” ujar Pak Mahlin tiba tiba.
Jani yang daritadi merem seketika melek karena suara pak Mahlin namun ia tidak tau kenapa.

“Hihihihihi”
Saya, pak Mahlin dan Rimbun refleks melihat ke arah sosok penari itu.
Dia tertawa dan menyeringai tinggi sekali. Lalu ia menggeleng dengan patah patah dan kemudian menunjuk ke arah saya..

“OKE GUE YANG BALIKIN!” jawab saya tegas sekaligus menantang balik.
Pak Mahlin kaget begitu juga Jani. Bedanya Jani kaget karena bingung atas apa yg sedang terjadi.

“Mbo, ini kenapa sih?Kenapa jadi lo yang balikin?? Ini kan urusan gue. Gue aja gapapa kok. gue gamau libatin lu lebih dari ini..” ujar Jani coba menahan saya dan mulai menangis lagi.
Rimbun bergerak ke hadapan saya dan bertanya
“Rama, kamu yakin?”
Saya ngangguk. Saya yakin Allah akan selalu melindungi hamba-Nya jika tujuan sang hamba baik. Dan Kuasa Allah lebih besar ketimbang mereka semua.
“Ssshh.. udah Jan. Biar gue yang beresin ini. Lu gatau apa yang sedang lu hadapin sekarang. Lo baik baik disini sama pak Mahlin, pak, titip Jani ya” kata saya ke Jani dan pak Mahlin yang keduanya nampak khawatir.
Jani lalu kembali memeluk saya dan menangis sejadi jadinya tanpa melepaskan pelukannya.

“Maafin gue mbo.. maafin gue banget. Gue gatau bakal sampe kayak gini mbo.. maafin gue” ucap Jani di sela sela tangisnya.
“Iya iya.. ini jadi pelajaran buat pendakian pendakian lo berikutnya ya..”

Pak Mahlin menyiapkan segala perlengkapan yang saya butuhkan, sementara saya menyiapkan fisik saya dengan pemanasan ringan. Tidak lupa saya mengantongi batu putih tadi ke saku jaket saya.
Perhitungan saya, perjalanan bolak balik akan menghabiskan waktu 6 jam. Jika tidak ada kendala berarti, saya bisa sampai di lokasi tenda ini sekitar jam 4 subuh esok hari.
“Pak, kalau perhitungan saya benar dan lancar, saya bakal sampai disini lagi jam 4 pagi. Nanti kita turun lewat Sembalun aja” pesan saya kepada pak Mahlin.
“Oh iya jan, lo nemu batunya ga jauh dari posisi kita ketemu kan? Gue bakal taro seperkiraan gue ya dari titik kita ketemu” tanya saya ke Jani yang dibalas dengan anggukan.
“Yaudah, saya jalan dulu. Doain saya ya.. Pak Mahlin, kalau sampai jam 9 pagi saya belum turun, bapak sama Jani bisa tolong turun duluan ya. Pak Mahlin tau harus bagaimana.. “ tambah saya ke pak Mahlin yang beliau balas dengan anggukan.
----twitt InsyaAllah akan dilanjut besok----
Bagi yang ga sabar nunggu dan ingin langsung membaca versi lengkapnya tanpa menunggu permalamnya, bisa klik link berikut yaa :

karyakarsa.com/Mwvmystic/asta…
“Makasih banyak pak. Maaf jadi ngerepotin”

Saya menghadap Jani dan berpesan “Jan, doain gue ya”

Tapi Jani langsung memeluk saya kembali.

“Mbo, hati hati. Sekali lagi maafin gue sampai bikin lo harus begini. Gue harap ‘dia’ ada disana..” ucap Jani.
“Em.. mbo, sebelum semua telat. Gue sayang sama lo sejak lo nyelametin gue waktu itu..” ujar Jani dengan wajah tanpa bercanda.
Tapi bagi saya itu adalah pengakuan yang bikin saya ketawa, dan karena salting, Jani melampiaskannya dengan nyubit saya.
Saya awali langkah pertama saya menuju summit sendirian dengan bismillah. Malam itu, di Astana Ratu Anjani menjadi summit terhening yang pernah saya lalui dari pengalaman bertahun tahun saya mendaki gunung.
Rimbun memang mengikuti saya, namun posisinya cukup jauh dari saya. Hal ini selain agar kekuatan saya tidak terserap olehnya, Rimbun juga terikat janji kepada si penari selaku “tuan rumah” lokasi ini.
Si penari juga mengikuti kami dengan melayang beberapa meter di depan saya sambil terus tertawa.

Setelah dua jam perjalanan, saya memutuskan untuk istirahat sebentar. Fisik saya mulai terkuras setelah dari pagi belum benar benar bisa istirahat.
Sambil beristirahat, saya mengeluarkan batu putih itu dan memandanginya. Rasanya kehidupan saya selalu bersinggungan dengan hal hal seperti ini sejak Rimbun mengikuti saya.
Namun ternyata keputusan saya mengeluarkan batu itu adalah tindakan yang salah..
Suasana hening yang daritadi saya rasakan tiba tiba saja berubah riuh dan ramai.. lambat laun satu demi satu lelembut penghuni Rinjani menampakkan dirinya di hadapan saya!
Jangan bayangkan yang muncul adalah pocong, kuntilanak atau genderuwo yang biasa kalian temui di cerita cerita horror pada umumnya.

Sosok yang hadir saat itu benar benar berbeda dan terus membekas di ingatan saya sampai sekarang bahkan ketika saya mengetik kalimat ini.
Ada satu jin yang muncul di samping kiri saya. Wujudnya berwarna kulit biru tua, matanya hanya satu berwarna hijau dan letaknya ngga simetris di tengah, tapi agak kepinggir dan miring ke kiri, ia memiliki tanduk satu ditengah,
telinganya runcing, dengan telinga kanan lebih tinggi dari yang kiri, sosok ini ga punya punya idung dan bibir, tapi memiliki gigi. Giginya kuning bertaring dan rambutnya tipis jarang-jarang.
Sementara di depan saya, ada satu jin berwarna hitam legam, bahkan lebih pekat dari gelapnya malem. Matanya ada dua, berwarna merah tanpa pupil dan memiliki dua tanduk merah juga tapi ngga sejajar. Tanduknya bertumpuk depan belakang, muncul dari sela-sela rambutnya yang lebat..
Ia memiliki taring dua yang panjang, sebelah kiri lebih panjang dari sebelah kanan.

Satu jin lainnya muncul di sebelah kanan saya berwarna ungu gelap, sekeliling matanya item pekat, tapi matanya sendiri warnaya ungu muda, ngga bertanduk,
tapi telinganya panjang banget, rambutnya lebat pendek keriting, bibirnya tebel dan maaf, sumbing, posisinya juga ngga simetris, agak ke kanan dari letak bibir manusia, taringnya cuman satu yang nongol keluar. Sisanya? Mirip-mirip.
Selain dikelilingi oleh sosok sosok itu, Rimbun yang ada di kejauhan pada saat itu juga nunjukin wujud yang sama yang pernah saya liat di mimpi saya. Wujud terburuk namun juga wujud sebenarnya Rimbun...
Nyali saya seketika ciut, bahkan nyaris hilang. Saya nutup mata saya dan mulai berdzikir dengan suara yang agak dikeraskan.
Sementara suara ramai dan berisik terasa terus mengelilingi saya. Suaranya seperti orang bergumam, sebagian lagi seperti orang mengobrol namun tidak saya pahami bahasanya.
“Astaghfirullah… astaghfirullah… astaghfirullah…” lisan saya terus saya usahakan melantunkan dzikir pada-Nya. Tidak ada yang bisa saya lakukan selain berharap lindungan dari-Nya.
Disela suara riuh itu, saya dengar sebuah suara lantang yg membuat suara lainnya hening seketika.

“INI DIA MANUSIA LEMAH! MANUSIA LAKNAT YANG MAU BERSEKUTU DENGAN KITA! MANUSIA YANG AKAN MENEMANI KITA DI NERAKAA!! HAHAHAHA!!” ujar suara yg saya tidak tau wujud maupun asalnya.
Mendengar saya diremehkan seperti itu, entah keberanian darimana, saya membuka mata saya dengan emosi.

Saat itu saya melihat ke sekeliling saya, dan mereka semua memang berkumpul mengerubungi posisi saya istirahat namun tidak ada yang berani mendekat sejangkauan saya.
“DEMI ALLAH SAYA BUKAN MANUSIA YANG SEPERTI ITU!!” bentak saya balik sambil bangun dan meneruskan perjalanan saya.
Makhluk makhluk di sekitar saya memberi saya jalan untuk meneruskan summit, namun mereka terus menertawai saya dan berlalu lalang di hadapan saya.

Nampaknya mereka memang mau memecah konsentrasi saya berdzikir dan menimbulkan rasa cemas dan takut dalam hati saya.
Alhamdulillah, Allah berikan saya kekuatan saat itu sehingga saya mampu terus melangkah maju walaupun jumlah lelembut gunung yang muncul sudah tidak bisa saya hitung lagi saking banyaknya.

Ini jadi kali pertama perjalanan summit yang tidak bisa saya nikmati sebagaimana biasanya.
Dua jam setelahnya, saya sampai di lokasi yang menurut perhitungan saya adalah lokasi saya bertemu Jani dulu. Sebenarnya saya tidak begitu ingat lokasi persisnya, saya hanya mengandalkan insting dan estimasi lokasi saya saat mendaki saat itu terhadap waktu tempuh pendakian.
Badan saya saat itu udah hampir mencapai batasnya. Saya menggigil sejadi jadinya bahkan untuk sekedar mengambil batu di saku saja sudah sangat berat dan sulit.
Ketika batu itu saya keluarkan, lelembut tadi kembali berkerumun dan mengelilingi saya. Wujudnya semakin rusak, aneh dan mengganggu. Jumlahnya yang banyak dengan tampilan yang selama ini tidak pernah saya bayangkan membuat nyali saya seketika ciut kembali.
Sosok sosok itu masih belum berani mendekat. Namun aura mereka seakan mengerumuni saya dengan berbagai macam bentuknya.

Tenaga saya terkuras, nafas saya sesak, kepala saya pusing luar biasa. Sepertinya tekanan ini bertambah parah ketika saya mengeluarkan batu ini.
Saya menaruh batu putih tadi di tepian tebing lalu berjalan lagi menjauh dari lokasi itu.

Ditengah beban dan tekanan yang begitu menyakitkan itu, satu hal yang saya pikirkan adalah sholat taubat. Berharap dengan itu saya bisa terlepas dari segala gangguan ini.
Saya lalu tayamum, membentangkan alas seadanya dan mulai bertakbir.

Dibawah terang bulan purnama, di dua pertiga malam, dalam dekapan Rinjani dan ditengah kepungan lelembut gunung, saya melaksanakan sholat taubat, tahajjud dan witir.
Saya pasrah. Apapun yang akan terjadi pada saya setelah ini, saya serahkan kepada Allah ta’ala.

Suara bising dan riuh terus mengelilingi saya selama saya sholat. Sampai akhirnya saya mengucap salam tahiyyat akhir witir, tiba tiba saja semuanya hening…
Hanya ada desir angin dan seluruh makhluk tadi sudah menghilang dari pandangan saya. Saya refleks sujud syukur.. Allah sekali lagi sudah membantu saya menghadapi hal diluar akal sehat yang saya alami.
Setelahnya, saya makan bekal yg sudah disiapkan pak Mahlin. Walaupun jujur perut saya menolak untuk makan, namun saya paksakan mengunyah roti dan coklat batang untuk energi saya turun kembali ke camp.
Rimbun juga tidak lagi dalam mode tempurnya, ia sudah berwujud wanita kerajaan cantik seperti dulu.
Saya kemudian turun dengan berhati hati. Saya harus menjaga kesadaran saya dan bertahan dengan kondisi fisik saya yang sebenarnya sudah mencapai batasnya.
Beruntung, mata saya sudah terbiasa dengan gelap plus dibantu bulan purnama yang menerangi jalan sehingga saya bisa berjalan lebih cepat.

Namun ternyata, badan saya memang tidak sekuat itu.
Berkali kali saya terpeleset dan jatoh karena kaki yang sudah tidak mampu bertahan lagi, namun saya coba bertahan dan melanjutkan perjalanan.
Dua jam berjalan, saya sampai di batas vegetasi Plawangan Sembalun. Tinggal beberapa turunan dan belokan, saya akan sampai di tenda, ketemu Jani dan Pak Mahlin, merebahkan badan saya dan paginya ke Segara ketemu bang Yon.. saya ga boleh nyerah disini..
Tapi Allah punya rencana lain.. pada satu turunan, saya terpeleset karena salah mengambil pijakan.

Saya terguling ke depan mengikuti kontur tanah dan kepala saya terbentur batang edelweiss.. itu hal terakhir yang saya ingat sebelum semuanya gelap...
Hal pertama yang saya lihat saat membuka mata adalah langit langit ruangan yang agak kusam. Saya coba gerakin badan namun muncul perasaan nyeri yang amat sangat. Badan saya terasa kram sepenuhnya. Saya memejamkan mata saya dan menghela nafas panjang.
Saya melihat ke sekitar dan menemukan Jani berada disisi saya. Dia tidur dengan posisi duduk di lantai sambil menggenggam tangan saya dan tangan saya dijadikan “bantal” untuk kepalanya.
Saya menggerakkan sedikit jari saya yang lantas disadari Jani dan sontak membuatnya terbangun. Kami saling menatap satu sama lain cukup lama dan kilauan air mata mulai terlihat di mata Jani.

“cup”

Sebuah kecupan halus mendarat di bibir saya. Ciuman itu bertahan beberapa detik.
Pipi saya sampai basah oleh air mata Jani. Untuk sepersekian detik, kami hanyut dalam suasana itu.

“Udah udah, jangan lama lama, nanti aja di hotel” ejek saya sambil menepuk pundak Jani.

Jani menjauhkan wajahnya dengan mimik kesal dan menampar kepala saya yg ternyata diperban.
“SAKIT MONYET!” bentak saya ke Jani.

“LO YANG MONYET! OTAK MESUM! ITU KECUPAN SAYANG, BUKAN NAFSU!” bantah Jani.

Kami kemudian kembali larut dalam tawa kami.
Tawa kami yang keras sepertinya mengundang Pak Mahlin, Bang Yon dan Lale Nonik untuk masuk.

“Wah jagoan kita udah bangun” kata bang Yon seraya memeluk saya. Saya balas pelukan hangat itu dengan erat walaupun tangan dan badan saya masih ngilu ngilu.
Berikutnya giliran pak Mahlin dan Lale yang bergantian memeluk saya.

Suasana terasa begitu haru buat saya. Saya pasrah kalau tadi adalah kali terakhir saya bisa hidup dan bertemu mereka, alhamdulillah Allah masih mengizinkan saya hidup dan berkumpul kembali dgn orang orang ini.
Setelah semuanya berkumpul, saya minta diceritakan apa yang sudah terjadi pada saya.

Pak Mahlin kemudian ceritain semuanya. Ketika saya tidak juga muncul, ketimbang turun Pak Mahlin memilih naik menyusul saya dan mendapati saya tengah terbaring pingsan di jalur pendakian.
Beliau mengevakuasi saya ke tenda namun tidak kunjung sadar. Akhirnya saya digendong pak Mahlin sampai basecamp sementara semua perlengkapan ditinggal di atas.

Beruntung saat dicek oleh petugas medis di basecamp, tidak ada cedera serius yang saya alami.
Pak Mahlin lalu menghubungi Bang Yon dan Lale Nonik untuk mengabari kabar saya. Semua Pak Mahlin lakukan sendirian...
Selesai cerita, mata saya tidak mampu menahan air mata yang sudah menggenang. Pak Mahlin adalah cara Allah menyelamatkan saya. Saya cium tangan beliau dan memeluk beliau erat erat.
Saya membayangkan bagaimana pak Mahlin menggendong saya menuruni jalur pendakian dengan logistik terbatas dan waktu yang secepat mungkin demi keselamatan saya.

“Terima kasih banyak pak.. terima kasih…” isak saya sambil terus memeluk pak Mahlin.
Setelah semua dirasa cukup membaik dan saya bisa berjalan normal, kami langsung berangkat ke rumah pak Sa’at.

Alhamdulillah saya cuma mengalami lecet dan beberapa memar.
Sesampainya di rumah pak Sa’at, kami bercengkrama dan saling cerita perjalanan di atas kepada sang pemilik rumah. Kami sengaja menutupi kejadian yang baru saja saya alami agar Pak Sa’at dan bu Sa’at tidak khawatir dan nantinya kami merepotkan mereka.
Keesokan harinya, saya berpamitan dengan Pak Sa’at, Bu Sa’at dan Pak Mahlin. Saya menciumi tangan mereka satu persatu dan berpamitan. Untuk Pak Mahlin, saya berkali kali mengucapkan terima kasih dan kembali memeluk beliau sambil menangis.
“Pak Mahlin terima kasih.. saya gatau gimana jadinya kalau gak ditolong bapak..” bisik saya disela tangis yang sudah tidak bisa saya tahan.
“Nggak apa apa mas Rama.. Apa yang saya lakuin nggak ada apa apanya dibanding yang udah mas Rama lakukan buat mbak Jani. Saya salut sama mas Rama..” ujar pak Mahlin sambil mengusap punggung saya.
Pak Saat sepertinya bingung dengan kalimat kami barusan namun beliau tidak bertanya lebih jauh setidaknya selama kami masih berada di sana.
Sepanjang perjalanan pulang, di dalam pesawat Jani gak berhenti genggam tangan saya. Sesekali kami saling menatap dan tersenyum, sisanya kami diam merenung dan hening. Terlalu banyak hal yang tidak akan kami lupakan di pendakian kali ini.
Setelah pendakian Rinjani, saya memutuskan untuk vakum sementara dari dunia pendakina. Bayangan kejadian diluar nalar yang saya alami selama menjajaki Astana Ratu Anjani benar benar membekas di pikiran saya.
Saya yang biasanya melihat gunung dari keindahan alamnya, kini memandangi gunung dengan hal lain yang menyelimutinya.
Puasa mendaki saya akhirnya pecah di tahun 2014 saat salah satu teman saya meminta tolong nge-backup dia untuk mendaki Gunung Gede bersama teman teman kantornya yang semuanya adalah pendaki pemula.
Awalnya saya ragu karena kejadian mengerikan yang saya alami di Rinjani masih terbayang di pikiran saya. Namun akhirnya saya beranikan diri dan menerima tawaran tersebut.
Nyatanya pendakian Gunung Gede 2014 itu akan sangat berpengaruh dengan kehidupan saya di masa depan.
Pada pendakian itu saya akhirnya bertemu dengan seorang wanita bernama Resty Nur Octaviana, seseorang yang kelak jadi pasangan hidup saya..
Astana Ratu Anjani,
Narasumber : @Rama_EP

-Tamat-
Epilog, untuk pembaca yang penasaran dengan sosok Pak Mahlin dan kebersamaannya dengan Rama : Image
Cerita Astana Ratu Anjani versi sudut pandang Jani, diupload disini :

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with mwv.mystic

mwv.mystic Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @mwv_mystic

Oct 28
Setelah memotong kemaluan korban hidup hidup dan menampung d4rahnya untuk diminum, pelaku memut1l4si dan menjual daging korban dengan kedok daging sapi. Salah satu pembelinya bahkan sudah mengonsumsinya sebagai olahan rendang hati.

a thread Image
M. Delfi adalah seorang pemuda yang tinggal bersama ayahnya, Basri Tanjung, di Kabupaten Siak, Riau. Sehari hari, ia bekerja serabutan. Terkadang ia membantu ayahnya berjualan sate, kadang mengambil upah sebagai buruh bangunan. Image
Hingga akhirnya ia menjadi karyawan sebuah usaha isi ulang galon. Saat usianya masih sangat muda, 19 tahun, pada Februari 2013 ia menikah dengan Dita yang juga berumur sama dengannya. Namun pernikahan ini kandas hanya 8 bulan setelahnya tanpa sempat memiliki keturunan.
Read 21 tweets
Oct 20
ABI KUSNO NACHRAN

JURNALIS YANG DIANIAYA HINGGA CACAT PERMANEN PASCA BONGKAR KEGIATAN PERDAGANGAN KAYU ILEGAL DI KALIMANTAN.

a thread Image
Abi Kusno Nachran, merupakan seorang pria kelahiran Pangkalan Bun tahun 1941. Ia berprofesi sebagai jurnalis untuk Tabloid Lintas Khatulistiwa, sebuah surat kabar lokal di Kalimantan.
Tulisan tulisan Abi Kusno sering menyentil para oligarki dan mafia mafia dibalik pembabatan serta penjualan kayu ilegal dari hutan di Kalimantan. Tidak hanya menulis, ia kerap melaporkan hasil temuannya kepada aparat untuk diusut.
Read 18 tweets
Oct 14
SOTO DAGING MANUSIA DI TERMINAL KAMPUNG RAMBUTAN

a thread Image
Apa jadinya kalau kalian pergi ke sebuah warung soto lamongan, membeli sebungkus soto ayam dan memakannya lalu tiba tiba kalian diberitau kalau warung soto tersebut baru saja digrebek polisi karena menghidangkan soto dengan daging manusia?.. Ilustrasi soto lamongan
Ya, ini bukan potongan adegan film, namun kejadian nyata kasus yang sangat menggemparkan pada masanya : kasus Benget Situmorang dan soto dari daging istrinya.
Read 25 tweets
Oct 7
KISAH TRAGIS OMAYRA SANCHEZ

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, para relawan hanya bisa menemani Omayra menuju kematiannya setelah tersangkut dan terendam air selama 60 jam.

a thread Image
Pada 13 November 1985, Gunung berapi Nevado del Ruiz di Kolombia meletus. Meskipun tanda tandanya sudah terdeteksi, pemerintah setempat gagal melakukan evakuasi dan berakibat pada jatuhnya ribuan korban. Image
Kota Armero, salah satu daerah paling terdampak, bahkan kehilangan 20 ribu dari total 29 ribu penduduknya. Mereka umumnya tewas akibat banjir lahar yg menerjang kota. Salah satu korban di daerah itu adalah keluarga Omayra Sanchez Garzon, seorang gadis berusia 13 tahun.
Read 19 tweets
Oct 3
PALASIK MAYIK
PART 9

Ilmu hitam asal Sumatera Barat yang mengharuskan penggunanya meminum air bekas mandi jenazah

a thread Image
Bagi yg baru bergabung, Part 1-8 bisa dibaca dulu pada utas ini ya :

Kita mulai utasnya jam 20.30 wib. Please support dgn like dan retweet banner judul Part 9 diatas yaa.
Read 172 tweets
Sep 23
KISAH NYATA TUMBAL PROYEK PULAU X

sebuah utas Image
Cerita kali ini gw dapetin dari saudara yg kerja di proyek salah satu pulau. Nama pulaunya mungkin kita simpen dulu ya, meskipun kisah ini mungkin beberapa dari kalian udah tau. Di lokasi tempat dia kerja, beberapa bulan terakhir ada kasus yg booming dan memakan banyak korban.
Gangguannya cukup parah, sampai harus ada ‘pembersihan’ dari hal hal mistis agar para pekerja bisa aman di pulau itu.

Info yang beredar, karena gangguan mistis, ada pekerja yang jari tangannya kepotong dan ada yang kejatuhan potongan pohon yang lagi diangkat crane.
Read 13 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(