Teguh Faluvie Profile picture
Jan 12, 2022 331 tweets >60 min read Read on X
DEDEMIT BUAYA PUTIH

Sebuah Kisah Bersembunyi Dalam Terang
- Bagian 7 Tamat -

HORROR(T)HREAD
Based on true story

“Alam kita yang paling sempurna, apapun yang kita inginkan pasti bisa terwujud, sekalipun itu nyawa"

----------

@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @diosetta Image
7.0 - Hai selamat malam, tidak terasa perjumpaan kita sudah sampai Bagian 7 yang artinya cerita berakhir dibagian ini, namun karena ceritanya cukup panjang, akan saya bagi menjadi dua bagian 7.0 dan 7.1 yang akan berlanjut besok, tidak langsung selsai malam ini.
Teruntuk teman-teman yang belum baca bagian sebelumnya bisa ikutin info seperti pic dibawah ini agar mempermudah mencari cerita kali ini dan kumpulan cerita lainya yang sudah saya bagikan. Image
Cerita ini sudah lengkap di KaryaKarsa, sudah Tamat sampai bagian 7 dan sudah tersedia SPESIAL CHAPTER juga sudah ada tiga Bagian cerita baru yang bisa teman-teman baca terlebih dahulu juga bisa memberikan dukungan kepada saya, klik langsung link dibawah
karyakarsa.com/qwertyping
Klik link dibawah untuk membaca Bagian 7 (Tamat) lengkap.
karyakarsa.com/qwertyping/ded…
Dan ini adalah Bagian Spesial Chapter/ Bagian 8 yang hanya akan ada exclusive di Karyakarsa kepada teman-teman bisa klik link dibawah untuk membacanya. Menjadi bagian penutup dari cerita ini.
karyakarsa.com/qwertyping/ded…
Catatan saja untuk mengingatkan : Cerita ini berdasarkan kisah nyata, memiliki Narasumber yang bisa dipertanggungjawabkan, segala kesamaan Nama, Latar dan Tempat sudah disamarkan sesuai kesepakatan dengan Narasumber.
Dan tidak ada maksud apapun dalam cerita ini, selain untuk berbagi.

Oke tanpa berlama-lama lagi, izinkan saya membagikan ceritanya dan selamat membaca.

***
“Apa ini karena dedemit buaya putih itu, jawab!” ucap Imas, kembali membentak.
Aku hanya bisa menganggukan kepala saja, apalagi semuanya belum memiliki waktu yang tepat untuk aku jelaskan kepada Imas secara rinci sebab dan akibatnya.
“Aku minta kamu jangan pergi hari ini Ndi” ucap Imas sambil air matanya mulai turun.
“Tidak bisa Mah… semua sudah aku mulai dan harus selesai” jawabku perlahan.
“Keluarga dan anak kita Ndi, yang dalam bahaya, aku minta jangan pergi…” ucap Imas, sambil berdiri dan masuk kembali
ke dalam rumah.
Hari ini sebelum keberangkatan aku ke pasar pelabuhan dengan tujuan menuntaskan masalah, malah masalah datang lebih awal menghampiri keluargaku sendiri. Apalagi sikap dan ucapan Imas sudah cukup menggambarkan betapa Imas sangat kecewanya kepadaku.
Namun dari sisi lain juga sama halnya ada perasaan seorang Ibu yang menanti anaknya sembuh dengan masalah yang jauh lebih rumit.
“Imas kenapa Ndi? Jadi beda sikapnya kepadaku barusan di dalam” ucap Ajo yang duduk disebelahku.
“Adonan kapan siap?” jawabku, tanpa menjawab
pertanyaan Ajo.
“Sebelum dhuhur juga kita sudah bisa berangkat, tapi Raka bagaimana Ndi?” ucap Ajo.
“Sudah jangan dulu bahas itu, selesaikan dulu sana adonan biar Ibu sama Imas urus Raka dulu” jawabku, sambil terus memikirkan cara bagaimana bisa pergi dengan memberikan
ketenangan kepada Imas, istriku.
Ajo tidak langsung beranjak dari duduknya, hanya lamunan dari pandanganya yang menatap lurus ke arah kebun singkong, sambil hisapan rokoknya benar-benar Ajo nikmati.
“Kadang berusaha menyelamatkan keluarga orang lain, malah keluarga kita sendiri-
- kadang jadi sasaranya Ndi, kalau ini semua adalah buah dari masalah kamu ikut campur dengan keluarga H. Agah, Kang Dadang dan Pak Zaidan…” ucap Ajo, sambil tetap menatap kosong.
“Apa, solusimu Jo?” jawabku pelan.
“Selesaikan Ndi, karena aku tau dari dulu orangnya seperti apa,-
- jawab, apa benar semua tentang dedemit buaya putih itu ada? Bahkan aku tidak benar-benar mengerti Ndi” ucap Ajo.
“Awalnya aku kira hanya cerita Jo…” jawabku, yang sudah memutuskan dengan cepat bicara sedikit kepada Ajo.
“Lalu…” ucap Ajo.
“Semuanya berkaitan Jo, -
-dedemit buaya putih mungkin iyah cerita yang sudah lekat di warga pelabuhan, tapi sakitnya Yanti dan keterkaitannya dengan keluarganya sendiri, ada benang merah dari cerita itu yang kini jadi nyata, dan tidak tau kenapa…” Ucapku, yang hampir keterusan menyebut nama -
- Ki Dalang Didi kepada Ajo, yang seharusnya aku sebut, namun ucapanku berhenti begitu saja dengan perlahan.
“Iyah aku paham, bahkan Kang Dadang pernah cerita, kalau Nek Sumiyanti betapa saktinya jaman dulu Ndi, maaf aku baru bilang begini awalanya itulah kenapa aku meminta kamu-
- kemarin-kemarin turun tangan membantu anaknya H. Agah, kasihan sudah ada yang mau meminangkan? Kang Dadang bercerita kepadaku sejauh itu Ndi” ucap Ajo.
Bahkan ucapan Ajo barusan membuatku cukup kaget, apalagi Ajo ternyata sudah sejauh itu, dan ucapan itu kembali mengulang
ucapan H. Mudin yang pernah beberapa hari kebelakang terucap langsung dari mulutnya, apalagi kemarin malam kejadian di rumah H. Mudin juga menjadi tanda tanya besar yang belum sempat aku temukan jawabanya.
“Sudah tidak perlu kamu jawab Ndi, saranku lagi-lagi saking percaya dan-
- mengenal kamu bukan sebentar mending selesaikan bagaimanapun caranya” ucap Ajo, sambil mematikan rokok ke atas asbak dan berdiri kemudian berjalan masuk ke dapur.
“Aku kira Ajo belum paham sampai sejauh itu, tapi ada bagusnya, bukan aku yang menceritakan, -
-apalagi Ki Dalang Didi belum Ajo tau” ucapku dalam hati.
Tidak lama kemudian aku berdiri dan berjalan masuk ke dalam rumah untuk melihat kembali keadaan Raka, yang ternyata sudah tidur disamping Imas, sementara Ibu sedang mengusap-usap punggung Raka.
“Gimana Bu keadaan Raka”
tanyaku, sambil mendekat.
Bahkan Imas sama sekali tidak memperhatikan jawabanku, terus menerus mengusap-usap kepala Raka dengan pelan.
“Jangan berisik, sudah tidak apa-apa seharusnya Ibu tanya ke kamu, kalau ada masalah disana jangan sampai begini Ndi, kasian” jawab Ibu perlahan.
“Makannya Bu, Andi mau minta doa buat menyelesaikan semuanya agar semua menjadi seperti semula” jawabku, sambil duduk disamping Ibu.
“Imas barusan bilang kepada Ibu ada benarnya juga Ndi kemauan istri kamu, tapi Ibu tahu kamu orangnya seperti apa” Ucap Ibu.
“Mah, sudahlah, maafkan bicaraku barusan di belakang yah” Ucapku sambil berdiri.
Bahkan dari mulut Imas tidak keluar satu katapun, ketika aku selesai bicara.
“Sudah biar Imas, Ibu yang jelaskan, bantu saja Ajo di dapur” ucap Ibu sambil menepuk bagian pahaku.
Aku juga paham betul kenapa sikap Imas seperti itu, semuanya hanyalah khawatirannya, namun mungkin begitulah khawatiran seorang Ibu untuk anak dan suaminya, tanpa aku masukan ke dalam hati, aku langsung berjalan menuju dapur kembali.
“Pak… tumben sudah pulang, belum juga dzhur”
ucapku, sambil mencium tangan Bapak yang sedang meminum kopi.
“Tidak enak hati, keinget sama kamu dan Raka terus Ndi, barusan juga Ajo sudah cerita sambil membuatkan kopi” ucap Bapak.
“Gimana Jo, masih lama” ucapku.
“Setengah jam lagi juga selesai Ndi” jawab Ajo sedikit berteriak
Padahal baru beberapa hari saja Ajo membuat adonan dan hal itu cukup membuatku bangga dengan cepatnya Ajo belajar dari ilmu yang Ibu berikan.
“Kenapa Pak, ada apa sampai segitunya…” ucapku, karena telihat jelas dari raut wajah yang semakin tua dari Bapak bahwa ada kecemasan
yang sangat besar sedang bapak pikirkan.
“Bapak juga tidak paham Ndi, dari mana pikiran ini dan kenapa tentang kakek kamu selalu terlintas selama Bapak di sawah, dan ingatan masa lalu cerita Kakek kamu ketika ke pelabuhan sana, perlahan begitu saja hadir, -
-takutnya ini amanah yang harus Bapak sampaikan…” ucap Bapak perlahan.
Sementara aku hanya mengangguk saja dan mengerti dengan apa yang Bapak ucapkan apalagi, niatanku hari ini sudah benar-benar yakin dengan apa yang akan aku lakukan.
“Apa itu Pak…” tanyaku.
“Dulu kalau tidak salah, dan baru bapak ingat petilasan yang Bapak gambarkan dan Bapak berikan kepada Andi itu, petilasan Ki Dalang Didi tidak sama dengan petilasan pada umumnya, coba kamu buka kembali gambar itu” ucap Bapak.
“Maaf Ada Ajo Pak… tidak enak sudah bicarakan saja”
jawabku perlahan.
“Sebelum tanda petilasan itu, itu dalam gambar belum jelas Ndi, takutnya kamu kesana dan bingung dimana petilasan itu, ingat saja nama pelabuhan lama dan ada pohon besar, dibawahnya bekas pohon yang ditebang ada dua, dulu biasanya tempat itu jadi -
-tempat istirahat kakek kamu, hanya itu gambaran yang benar-benar bapak ingat jika kakek kamu cerita sama nenek kamu…” ucap Bapak perlahan, dan mengerti akan keadaan yang aku maksud karena ada Ajo.
“Apa dulu Ki Dalang Didi pernah ada teman dekat Pak disana, -
-ini siapa Bapak ingat? Apa pernah tahu namanya” jawabku, sambil mengeluarkan dompet dari saku depan celana jeans dan mengeluarkan foto tempo hari yang pernah Bapak berikan dan menunjukan foto mirip dengan Aang yang muncul malam kemarin di rumah H. Agah.
Bapak langsung memperhatikannya dengan detail, bahkan foto yang sudah kusam itu di dekatkan dan hampir dekat dengan matanya. Hanya kepala Bapak saja yang mengangguk berkali-kali tanpa mengeluarkan satu katapun dari mulutnya.
“Bapak tidak ingat namanya, cuman wajahnya-
- tidak asing Ndi, dulu kalau tidak salah, dan tiba-tiba ingat orang ini yang suka jemput Ki Dalang Didi kalau mau pentas di pelabuhan sana” ucap Bapak sambil memberikan kembali foto itu dan langsung kembali aku masukan ke dalam dompet yang sedari tadi aku pegang.
“Tepat jawaban Bapak, sama dengan sangkaanku, perlahan mulai jelas Aang benar berarti seperti pengakuanya” ucapku dalam hati.
“Iyah Pak, sudah Andi ingat-ingat semua ucapan Bapak barusan dan semoga hari ini Andi mau menuju kesana tidak ada halangan, karena sakit anaknya-
- H. Agah ada kaitanya dengan Ki Dalang Didi mungkin, niat Andi tapak tilas saja ke tempat dimana kakek dulu beristirahat” ucapku perlahan, sambil memegang lengan Bapak.
“Bapak tidak paham masalahnya apa, sudah biarkan saja Raka, Ibu dan Imas bapak yang jaga, -
- insallah niatan baik walaupun cobaanya berat, bakalan diberi jalan. Lagian ini bukan hal pertama juga Ndi, pesan Bapak satu saja, berdoa.” ucap Bapak sambil menepuk pundak berkali-kali.
Terlihat di dapur Ibu sedang membantu Ajo menuangkan Adonan ke dalam wadah dan
mempersiapkan semuanya, hanya Imas saja yang mungkin masih didalam bersama Raka atau memang Imas masih marah kepadaku.
“Bu, Imas bagaiamana?” tanyaku.
“Sudah berangkat saja, ibu dulu juga pernah sama seperti Imas, kalau di rumah ada masalah yang aneh, tapi makin kesini paham”
ucap Ibu sambil melihat ke arahku.
“Baik Bu, doakan yah…” jawabku.
Segera aku dan Ajo mempersiapkan dua wadah dan segala perlengkapan dagang hari ini, sambil terus saja aku sedari tadi membacakan doa-doa dalam hati untuk meminta perlindungan untuk keluargaku, apalagi mungkin
terlihat baik-baik saja, namun semenjak kejadian Raka, apa yang aku alami jauh dari apa yang mungkin mata Ibu, Bapak, Imas dan Ajo lihat, semuanya hari ini perlahan menghampiriku hanya untuk menghadang kepergianku menuju pasar pelabuhan.
“tumben Ndi mau bawa air minum” ucap Ajo
ketika melihatku menuangkan air ke dalam botol.
Aku hanya tersenyum saja, dan langsung berjalan masuk ke dalam rumah untuk menemui Imas.
“Mah, ini kalau ada apa-apa basuh ke badan Raka, doakan yah” ucapku sambil duduk disebelah Imas yang tertidur di dekat Raka.
“Hati-hati Ndi, iyah aku juga paham dan barusan hilap disana juga ada sama hati seorang Ibu yang ingin anaknya sembuh, nanti cerita kalau sudah beres semua” ucap Imas, sambil mencium punggung tanganku, dan menerima air di dalam botol yang aku berikan.
“Alhamdulillah, aku berangkat mampir dulu ke rumah, sebelum aku pulang, jangan dulu ke rumah, sambil aku ambil salin yah” ucapku, sambil mencium kening Imas.
Akhirnya Imas mengiringi dan memulai kepergianku menuju pasar pelabuhan dengan sebuah pengertian yang mungkin sebelumnya
sudah Ibu jelaskan, dan tentunya itu adalah tenaga lebih selain doa dari Ibu dan Bapak hari ini.
“Gimana?” tanya Ibu.
“Alhamdulillah Bu…” jawabku.
“Pelan-pelan kalau sama perempuan itu makanya lain kali kasih penjelasan buktinya sama Ibu istri kamu bisa paham” ucap Ibu sambil
menepuk pundakku.
Aku langsung saja pamit kepada Ibu setelah memberi tahu bahwa aku sudah menyimpan botol diberikan kepada Imas, dan Ibu langsung paham apa yang aku maksud walau dibalas dengan senyumannya saja.
“Aku juga paham Ibu sangat khawatir tapi sama sekali tidak-
- menunjukkannya kepadaku” ucapku dalam hati setelah bersalaman dengan Ibu
“Antar dulu ke rumah yah Ndi” ucap Ajo yang sudah dua kali balikan menaikan adonan ke samping Si Joni yang sudah terpasang alat penyimpanan.
“Siap Jo, nanti juga sekalian ke rumah dulu bawa salin” jawabku.
Setelah dua wadah adonan tersimpan di samping kanan dan kiri Si Joni, aku pamit juga kepada Bapak, dari rautnya bahkan bapak tidak sepintar ibu menyembunyikan rasa khawatirnya.
Bapak hanya menepuk pundakku ketika aku menurunkan kepala dan mencium tanganya, bahkan tidak ada satu
patah kata pun yang keluar lagi dari mulut Bapak dan aku yakin obrolan sebelumnya sudah membuatku cukup, untuk melaksanakan niatanku hari ini.
Setelah Ajo juga pamit kepada Ibu dan Bapak, aku langsung menuju ke rumah Ajo terlebih dahulu untuk mengantar Ajo berganti pakaian saja.
“Kemana istrimu Jo” tanyaku, ketika sudah sampai di rumah Ajo, karena memang jarak yang tidak terlalu jauh.
“Ada acara pengajian gitu Ndi di rumah Ibunya sore ini, tunggu yah tidak usah turun ganti baju aja ini” jawab Ajo yang langsung dengan terburu-buru masuk ke dalam rumah.
Sambil duduk diatas Si Joni, perlahan aku keluarkan kertas yang berisikan gambar pentunjuk dari Bapak.
“Ini maksud Bapak itu” ucapku, sambil memperhatikan dimana tanda silang dan gambar pohon yang tidak terlalu jelas Bapak gambar, namun informasi dari Bapak terakhir sudah cukup
sekali membuatku yakin.
“Tinggal atur bagaimana nanti minta izin sama Ajo saja” ucapku perlahan, dan kembali memasukan kertas ke dalam saku celana jeans.
Tidak lama benar saja Ajo sudah kembali bahkan lebih cepat dari pada yang aku kira sebelumnya, segera aku menghidupkan
mesin Si Joni yang melaju menuju rumahku, apalagi siang ini matahari sudah benar-benar sangat tinggi.
“Lihat kertas apaan Ndi, tumben” tanya Ajo, ketika Si Joni sudah masuk ke dalam halaman rumah.
“Biasa Jo… Bapak…” ucapku, yang sama dengan cepatnya masuk kedalam rumah
setelah membuka kunci.
“Biar semuanya mudah nanti saja disana aku ceritakan…” ucapku, sambil memasukan salin untuk ibadah ke dalam plastik, dan mengganti baju, kemudian keluar kembali.
Hanya suara Si Robin saja yang sudah menjadi kebiasaan yang selalu aku dengar ketika
aku sampai rumah.
“Bisa, harus selesai” ucapku dalam hati, sambil kembali menaiki Si Joni.
Tidak lama langsung saja aku dan Ajo memulai perjalanan hari ini untuk menuju pasar pelabuhan, sepanjang jalan sebelum melewati pangkas rambut yang pasti dan sudah jelas tutup,
Ajo membahas bagaimana perkiraanya tentang acara yang akan meriah di lapangan pelabuhan sana.
“Aku lagi mikirin cara Jo, tapi semoga nanti kamu paham” ucapku perlahan, sambil terus menstabilkan laju Si Joni.
“Cara untuk apa Ndi?” tanya Ajo sangat penasaran.
Namun aku masih menjawab dengan menggelengkan kepala saja, sambil terus berkonsentrasi mengendarai Si Joni siang ini. Bahkan karena penasaranya Ajo menanyakan hal yang sama berulang-ulang kepadaku.
“Iyah nanti aku bilang” jawabku.
“Dasar aneh” ucap Ajo sambil menepuk pundakku
dengan keras.
Padahal yang sedang aku pikirkan sekarang tentang pertanyaanku pada diriku sendiri, apakah niatan yang akan aku lakukan nanti bisa menyelesaikan semuanya? Atau malah masalah baru sedang menantiku dan menunggu waktu yang tepat untuk datang.
Bahkan sampai melewati perbatasan kecamatan, lalu masuk hutan perhutani jalan yang biasa aku lalui, sama sekali tidak ada lagi obrolanku dengan Ajo. Tidak tahu kenapa ketika melihat seorang kakek tua yang sedang memanggul kayu di pinggir jalan, ingatanku pada setiap perkataan
yang keluar dari mulut Aang kembali aku ingat.
“Apa benar bakalan terjadi kerasukan itu” ucapku dalam hati, ketika pertemuan pertama dengan Aang, pernah berkata seperti itu.
Semakin aku pikirkan segala kekhawatiran dari semua ucapan Aang dan Kakeku Ki Dalang Didi, khawatiran lain
begitu saja datang perlahan dalam pikiranku saat ini, apalagi banyak sekali urusan yang harus aku selesaikan hari ini, selain berdagang di pasar pelabuhan nantinya.
“Ndi, jangan beginilah tidak biasanya…” ucap Ajo sangat kencang sekali, bahkan lebih kencang dari
suara knalpot Si Joni.
“Jo… iyah tidak aku lagi mikirin Raka saja” jawabku, berbohong agar membuat Ajo tenang.
Benar juga bahkan dalam kondisi seperti ini, banyak orang yang harus aku buat tenang, karena orang-orang terdekatku bahkan tidak akan paham sebenarnya yang terjadi
seperti apa dan aku tidak bisa egois hanya untuk diriku saja saat ini.
“Kan… sudah tenang nanti sampai kamu telponlah Imas yah” ucap Ajo sambil menepuk pundakku.
Bahkan tidak terasa, barusan jalanan pemukiman warga sebelum menginjak jalanan beton yang akan menuju pasar pelabuhan
sudah aku lalui, anehnya hari ini tidak jarang beberapa mobil sudah menyalipku.
“Benarkan Ndi, tuh liat sudah tiga mobil aku hitung, tidak biasanya, emang kalau ada acara dampaknya kemana-mana yah” ucap Ajo.
“Iyah Jo biasanya hanya satu atau dua mobil saja yang bareng sama-
- kita yah” jawabku, sambil sedikit menambah kecepatan Si Joni karena ingin ketika adzan dzuhur berkumandang sudah sampai pasar pelabuhan.
Sepanjang jalan Ajo banyak cara dan banyak bahasan agar membuatku tidak untuk kesekian kalinya tidak bisa ditanya oleh Ajo, dari hal-hal lucu
yang pernah terjadi selama dagang dan beberapa keberuntungan yang terus aku dan Ajo alami di pasar.
“Hari ini ke rumah H. Agah lagi Ndi?” tanya Ajo.
“Barusan saja buat ketawa-tawa malah begini tanyanya” jawabku.
Dan tidak terasa jalanan menanjak terakhir yang sedang aku lalui
adalah jalanan dimana tidak akan lama lagi, pemukiman warga akan terlihat yang artinya menuju pasar pelabuhan dan lapangan yang selama ini aku pertanyakan akan segera aku lalui.
“Cerita saja, aku bakal paham Ndi… mungkin aku juga tahu apa niatmu hari ini, berangkat dari siang…”
ucap Ajo dekat sekali dengan telingaku.
“Sampai nanti, aku ceritakan…” jawabku.
Hanya agukan kepala Ajo yang terlihat di spion Si Joni yang aku lihat dan aku juga tidak menyangka, semoga saja Ajo benar-benar paham dengan ucapanya barusan.
Bengkel yang ternyata adalah teman dekatnya Dimas sudah perlahan aku lalui, apalagi siang ini banyak sekali orang yang sedang berkumpul di bengkel itu, mungkin karena ada acara besar nanti malam.
“Benar-benar mewah…” ucapku ketika pertama kali melihat lapangan sepakbola
benar-benar berubah drastis.
“Yakin Ndi bakalan ramai sekali, lihat saja jajaran gerobak pedangan, mungkin gerobak kita sendiri disana” jawab Ajo.
Perlahan sekali sampai aku perhatikan orang-orang yang semakin banyak mempersiapkan untuk acara nanti malam berkumpul dan
mengerjakan apapun di dalam tenda besar itu.
“Masih ada…” ucapku, langsung menarik sedikit gas Si Joni.
“Woy pelan Ndi, kaget, lagian masih ada apa sih!” sahut Ajo dengan sedikit keras.
“Engga sudah aku pengen ke air Jo, sudah tidak tahan” jawabku memberikan alasan.
Baru saja aku melihat sekitaran pasar dan ternyata tidak semua gerobak dagang berjualan di pasar masih ada yang bertahan mungkin dengan alasan yang sama denganku, susah untuk memindahkanya jika bergadang di lapangan sana.
Tidak lama mesin Si Joni mati karena sudah berada tepat di
samping gerobak, adzan dzuhur berkumandang, segera Ajo dan aku menurunkan dua adonan dengan sangat cepat, karena Ajo paham dan langsung menyuruhku ke masjid terlebih dahulu.
“Aku saja yang beres-beres lihat beberapa juga sudah siap-siap Ndi” ucap Ajo.
Aku hanya menepuk Ajo dan langsung kembali menaiki Si Joni untuk menuju masjid bahkan dengan sangat kencang, melihat jalanan masih kosong.
“Sudah sembuh rupanya…” ucapku ketika sudah terparkir di halaman masjid melihat H. Mudin sedang berjalan ke dalam, namun perlahan perasaan
aneh sudah dari lapangan sepakbola semakin datang menghampiriku apalagi semakin bertambah melihat H. Mudin.
“Harusnya tidak begini…” ucapku dalam hati, sambil turun dari Si Joni tidak lupa membawa salin dan berjalan menuju kamar mandi, apalagi kumandang adzan akan segera selesai
Tidak lama dan dengan cepat setelah berganti pakaian dan kumandang komat sudah disuarakan aku segera memasuki masjid, heranya H. Mudin hanya melihatku sepintas dan membuang mukanya begitu saja.
“Benar…” ucapku dalam hati.
Selesai solat kali ini, aku lumayan cukup lama bersila,
meminta kepada yang maha pencipta untuk satu hal yaitu keselamatan. Setelah beberapa menit berdzikir beberapa jamaah masjid yang bisa terhitung oleh jari perlahan mundur dan di ikuti juga olehku.
“Pak Haji…” ucapku, menyapa H. Mudin dan mengambil tanganya untuk mencium tangan,
bersalaman.
“Ndi…” jawab H. Mudin dengan singkat dan langsung melepaskan tanganya dengan cepat kemudian berjalan begitu saja, sambil berbicara dengan jamaah lain.
“Tenang saja Pak Haji, itu hanya caraku untuk bagaimanapun juga sopan, benar-benar Sumiyanti ini” ucapku dalam hati,
ketika kembali berganti pakaian di kamar mandi.
Tidak lama aku sudah berada di atas Si Joni, dan langsung saja aku bergegas menuju pasar kembali.
“Tid.. tid… tid…”
“Kang Dadang…” ucapku.
“Nanti Pak Zaidan ke gerobak…” ucap Kang Dadang sambil menyalipku dengan kencang sekali.
“Baik Kang…” teriakku.
“Harusnya ada kabar tidak baik” ucapku.
Sesampainya di gerobak dagang terlihat Ajo sudah duduk dengan dagangan sudah tertata sebagaimana mestinya hanya kurang telur saja.
“Ketemu Haji Mudin engga Ndi barusan” ucap Ajo.
“Ada di masjid, harusnya dikirim-
- bentar lagi, tapi aku lupa bilang” jawabku, sambil duduk disebelah Ajo.
“Tapi kalau engga nyari saja Jo” ucapku tiba-tiba karena ingat kejadian barusan, dan tidak tahu kenapa ada perasaan benar-benar tidak enak sekali datang.
“lah tidak enak Ndi…” jawab Ajo.
“Sudah cepat sekarang cari saja di tempat lain, nanti kalau kiriman datang dari H. Mudin juga bayar saja potong dari jatahku, tidak usah tanya lagi yah Jo” ucapku.
Ajo kemudian segera bergegas tanya menanyakan lagi maksud dari ucapanku, apalagi perasaan yang benar-benar
aku rasakan ini ada dampak dari kedatanganku malam kemarin ke rumah H. Agah.
“Tenang… bisa…” ucapku perlahan, sambil membakar rokok Ajo yang lupa dia bawa.
Benar saja tidak lama Dani yang biasa mengantarkan telur anak buah H. Mudin sudah terlihat dari jauh membawa pesanan di
belakang joknya, ketika sudah semakin mendekat aku keluarkan uang simpananku dari celah-celah dompet yang biasanya aku gunakan untuk berjaga-jaga saja.
“Ada pesan Dan, dari Pak Haji?” tanyaku, sambil memberikan uang dan menurunkan pesanan.
“Tidak Kang, hanya bilang antarkan saja”
jawab Dani.
Setelah semua pesanan aku bantu turunkan Dani langsung pergi kembali, setelah memberikan penjelasan bahwa pesanan ini H. Mudin sendiri yang menyiapkannya, dan hal itu yang membuatku sedikit kaget karena tidak biasanya.
“Untung saja…” ucapku, sambil memegang
satu persatu telur dan bukan aku simpan diatas agar pembeli bisa melihat dari kaca, namun aku masukan kedalam gerobak.
Dengan panas yang semakin menjadi apalagi tengah siang seperti ini, selama Ajo mencari telur beberapa pedagang silih bertanya dari kejauhan namun aku hanya
balas dengan senyuman saja, karena tidak enak dan belum berani untuk berteriak, sama sekali aku bukanlah Ajo.
“Mana Pak Zaidan katanya mau datang” ucapku perlahan, sambil memperhatikan ke arah setumpuk telur yang bagian penutup gerobaknya belum aku tutup.
Malah suara Si Joni dari arah lapangan yang aku dengar suaranya, dan terlihat Ajo sudah mendapatkan telur dengan jumlah yang sama.
“Mahal Ndi beli di warung…” ucap Ajo sambil aku bantu menurunkan telur di belakang jok Si Joni.
“Jauh bedanya emang Jo?” tanyaku.
“Engga sih malah heran si Bapak warungnya dan tanya kenapa engga ambil di Pak Haji gitu Ndi” jawab Ajo.
Dengan cepat Ajo membereskan telur dan langsung menjajarkan di tempat semula dengan perlahan, sementara aku kembali duduk memikirkan cara bagaimana dan kapan aku harus
berangkat menuju petilasan Ki Dalang Didi.
“Lah Ndi, ini ada telur kan di kirim sama Pak Haji…” ucap Ajo sambil melihat ke bawah gerobak yang pintunya terbuka sedikit.
“Iyah sudah aku bayar…” jawabku perlahan.
“Buat cadangan gitu Ndi maksudnya” ucap Ajo yang belum
mengerti maksudku.
“Udah beres itu?” jawabku.
“Sudah Ndi kenapa…” tanya Ajo sambil mendekat dan membakar satu batang rokok.
“Pokoknya jangan di ambil satupun telur itu yah Jo” ucapku perlahan.
“Baik Ndi aku nurut, kalau sudah serius begini aku paham maksudnya” jawab Ajo.
Segera aku berdiri dan mengambil plastik hitam yang biasanya aku dan Ajo gunakan untuk memasukan martabak manis atau telur yang sudah jadi. Dan aku langsung mengambil satu telur kiriman dari H. Mudin dan kembali duduk di sebelah Ajo.
“Ini sebabnya Jo…” ucapku,
sambi membuka plastik hitam dan memecahkan telur yang aku benturkan ke ujung kursi dengan keras sedikit menggunakan tenaga.
“Astagpirulloh Ndi” ucap Ajo sangat kaget melihat isi dari telur yang terpecah.
“Aku dan kamu saja yang tahu sudah, ini ada kaitanya dengan segala hal-
- yang sudah aku alami selama disini” ucapku, sambil merapikan plastik dan aku ikat mati plastik hitam yang sekarang aku pegang.
“Paham Ndi, untung saja bagaimana kalau sudah ada pembeli, hancur sudah usaha ini” jawab Ajo masih dengan sangat kaget.
“Makanya Jo, ini semua-
- berkaitan hal ini yang kalau kamu ingat sebelumnya di jalan yang ingin aku jelaskan” ucapku perlahan.
“Tega benar kalau itu kelakuan H. Mudin pasti guna-guna bukan sembarangan orang Ndi, apalagi isinya bisa darah begitu, itu semuanya?” tanya Ajo, sambil menghisap rokok
dengan tidak tenang.
“Harusnya tidak, tapi menjaga tidak ada salahnya Jo… iyah Jo kalau ingat dengan nama Yanti dan Sumiyanti ini ada kaitanya dengan segala kejadian, kalau waktunya mendukung hari ini aku ada yang harus diselesaikan, tidak apa-apa dagang sendiri dan-
- kalau ada yang tanya bisakan jawab tidak tahu aku pergi kemana” tanyaku dengan serius kepada Ajo.
“Iyah Ndi aku ingat nama itu, harus Ndi, harus berangkat bahaya semakin kesini semakin ngeri tidak terbayang barusan kalau kejadianya aku tidak ikuti kata kamu Ndi” ucap Ajo.
“Hanya pertanda saja Jo, ini perlindungan dari maha kuasa, kalau ketika aku pergi ada anak-anak atau siapapun kelaparan minta, tolong kasih yah, dan satu lagi, kalau jam 11 malam aku belum datang juga kesini, pulang saja duluan bawa Si Joni, tenangkan Imas, Ibu dan Bapak” ucapku,
dengan suara bergetar.
“Tidak Ndi, tidak bisa, jangan bilang begitu” ucap Ajo.
“Bisa Jo, ini bisa terjadi… pahamkan…” ucapku, sambil menempelkan tanganku yang sudah dingin ke lengan Ajo.
“Iyah tapi…” jawab Ajo.
“Biar semuanya selesai… -
- mungkin kamu tidak bakalan paham Jo, tapi semoga saja…” ucapku.
“Baik Ndi, kemana dan kapan akan pergi” tanya Ajo sangat serius.
Dan ini pertama kali aku dan Ajo benar-benar terlibat obrolan yang sangat serius sekali.
Segera aku berdiri dan membawa tong sampah yang biasa
digunakan membuang sampah dan segera memasukkannya plastik yang sudah berisikan hal yang sangat tidak enak itu.
“Belum tahu kapan, pulang dari masjid Kang Dadang teriak katanya Pak Zaidan mau kesini, sampai saat ini belum datang juga” jawabku.
“Kapanya sudah terjawab,-
- kemananya Ndi?” tanya Ajo.
“Ada Jo… tenang saja…” jawabku pelan, sambil memberikan raut wajah ketenangan kepada Ajo.
Dan bahkan yang aku kira akan sulit berbicara kepada Ajo tentang hal ini malah sangat dipermudah, dengan kejadian barusan sebuah kiriman telur dari H. Mudin
yang membuat obrolan serius aku dan Ajo mengalir begitu saja.
“Sebelum malam tiba dan mumpung masih jam segini ada baiknya sekarang saja Ndi…” ucap Ajo, sambil menepuk pundak aku.
“Benar juga sih Jo, ini dompetku simpan didalam laci gerobak” ucapku memberikan dompet setelah
mengambil foto yang pernah bapak berikan aku masukan ke saku sebelah kiri bersama kertas yang pernah bapak berikan.
“Yasudah bawa saja Ndi” ucap Ajo.
“Sudah aku bilang simpan Ajo…” jawabku.
Ajo hanya mengelengkan kepalanya saja dan menerima dompetku.
“Aku bawa rokok kamu,-
- kalau Pak Zaidan datang, bilang aku jalan kaki ke pelabuhan” ucapku, sambil berdiri membawa rokok dan korek api milik Ajo
“Baik Ndi, hati-hati…” jawab Ajo sambil berdiri dan jelas sekali khawatiran tergambar dari raut wajah Ajo.
Segera dengan perlahan untuk pertama kalinya,
aku berjalan menuju pelabuhan dan meninggalkan Ajo sendirian di gerobak, walaupun segala kemungkinan yang akan terjadi belum aku tahu akan bagaimana dengan langkah kakiku ini. Apalagi waktu itu kesan pertama kali aku melihat pelabuhan memang indah sekali dengan bagaimana
cara pencipta membuat keindahanya, namun lain di mataku saat itu dan lain sekali saat ini di perasaanku.
Sudah lebih sepuluh langkah kaki masih ingin aku melihat keadaan Ajo namun aku juga sangat yakin obrolan singkat barusan sudah cukup semua pesan aku sampaikan kepada Ajo
tanpa ada yang kurang sama sekali.
Beberapa menit dibawah sinar matahari yang semakin panas hari ini bahkan aku sudah melewati jalan dimana yang biasanya aku berbelok untuk menuju masjid, dengan membawa plastik hitam yang berisikan salin saja, beberapa orang yang berpapasan
denganku yang mungkin sudah mengetahui bahwa aku tukang dagang martabak menyapaku, namun hanya aku balas dengan senyuman dan anggukan kepala saja.
“Huhh…” ketika melihat kembali bagaimana pelabuhan untuk kedua kalinya, yang berarti aku tinggal menuruni jalan yang biasa
digunakan oleh mobil dan motor maka tidak akan lama sampai ke pelabuhan.
“Ndi…”
“Eh Kang… kirain siapa” jawabku yang memang mendengar dari belakang suara motor mendekat.
“Maaf akang sibuk urus buat keamanan di lapangan, baru saja mau jemput Andi, Pak Zaidan nunggu di pelabuhan
kata Ajo sudah jalan, maaf yah Ndi… ayo naik” ucap Kang Dadang.
“Tidak apa-apa kang, baik…” jawabku, yang langsung menaiki motor Kang Dadang.
“Benar-benar hari ini sibuk dari pagi buta, maklum Ndi malam ini syukuran adiknya H. Mudin…” ucap Kang Dadang.
“Iyah udah lihat juga-
- barusan pas lewat Kang, alhamdulillah bakalan banyak yang datang” jawabku, walaupun ketika kembali mendengar H. Mudin tidak tahu kenapa perasaan tidak enak aku rasakan walaupun sedari tadi memang sudah ada terus menerus.
“Bapak emangnya ada dimana Kang…” tanyaku, ketika
pertama kali melihat pelabuhan semakin dekat, apalagi siang ini aktivitas di pelabuhan aku melihat orang-orang sangat sibuk sekali.
“Disana Ndi, kantor kaya begitulah, tempat anak-anak kumpul, biasanya Bapak suka di halaman belakang yang menghadap ke danau” jawab Kang Dadang dan
langsung menuju salah satu bangunan yang paling besar di pelabuhan ini.
“Sesuai petunjuk dari gambar, benar belok kesini” ucapku dalam hati.
Tidak lama motor Kang Dadang sudah terparkir di halaman rumah yang biasa Pak Zaidan gunakan, dan memang benar terlihat beberapa orang yang
ada didepan rumah itu dengan ukuran badan yang jauh lebih besar dan dengan kesan gagah sedang bersantai duduk, namun ketika melihat Kang Dadang bersama aku semuanya memberikan hormat dengan menundukan kepalanya.
“Tidak menyangka sampai sebegininya ternyata kekuasaan Pak Zaidan”
ucapku dalam hati.
Aku hanya mengikuti langkah Kang Dadang saja yang tidak masuk ke dalam rumah, melainkan jalan melalui samping rumah, untuk sampai ke halaman belakang yang sebelumnya Kang Dadang sudah ucapkan.
“Assalamualaikum…” ucapku, ketika melihat Pak Zaidan sedang duduk
sambil merokok dengan salah seorang laki-laki.
“Walaikumsalam Ndi, sini, maaf saya tidak jadi ke gerobak banyak pertimbangan” jawab Pak Zaidan dan memberikan kode kepada laki-laki juga Kang Dadang untuk segera meninggalkan aku dan Pak Zaidan.
“Tidak apa-apa Pak, ya memang-
- harusnya Andi yang kesini sekalian silaturahmi” jawabku, sambil duduk di kursi yang sudah tersedia.
“Sebentar Ndi… tunggu” ucap Pak Zaidan langsung memanggil anak buahnya dan berbicara tanpa aku dengar ucapannya.
“Nyaman yah Pak disini bisa melihat langsung ke arah danau dan-
- kolam-kolam apung” ucapku.
“Yah beginilah Ndi alhamdulillah, semalam Yanti aneh pulangnya Andi diantar oleh Dadang bisa bicara normal dengan Ibu Haji lama sekali tidak biasanya Ndi…” ucap Pak Zaidan.
“Alhamdulillah…” jawabku merasa lega mendengarkan ucapan Pak Zaidan.
“Sampai saya dan Dadang menunggu kepulangan Pak Haji dan Ibunya sampai tengah malam banget jam 1 malam baru tiba, dan anehnya malah semakin menjadi ketika Nek Sumiyanti ke kamar Yanti, dari situ saya, Dadang dan Bu Haji bahkan penjaga pintu juga tidak ada yang bilang-
- bahwa Andi sudah datang sebelumnya. Tidak lama Pak Haji dan Nek Sumiyanti ke rumah Haji Mudin, karena ada kabar sakit, di waktu itu Yanti jadi sejadi-jadinya Ndi…” ucap Pak Zaidan menceritakan dengan sangat serius.
“Pantas Haji Mudin setega itu padaku” ucapku dalam hati.
“Pak ini…” ucap salah satu anak buah Pak Zaidan.
“Sini, simpan disini…” jawab Pak Zaidan.
Langsung saja dua gelas es kelapa muda dan rokok untuk aku sudah berada tepat diatas meja.
“Padahal Pak tidak usah begini, merepotkan…” ucapku.
“Tidak apa-apa Ndi… itu kenapa-
- Ndi bisa seperti itu” jawab Pak Zaidan.
“Tempo hari kita sudah sepakat Pak, jika aku datang bapak maaf aku hanya mengingatkan saja, akan menceritakan Nek Sumiyanti, mungkin itu jawaban kenapa yang bapak tanyakan jawabanya ada disitu” jawabku perlahan.
“Iyah saya ingat,-
- saya hidup di jaman Nek Sumiyanti sudah menuju tua, namun waktu itu H. Agah belum memiliki anak perempuan, sampai lahirlah Yanti, hal itu yang mungkin aneh jika aku ceritakan Ndi…” jawab Pak Zaidan.
“Tidak ada yang aneh Pak…” ucapku perlahan, memaksa agar Pak Zaidan terbuka.
“Konon katanya, ibu dari Nek Sumiyanti berarti neneknya Haji Agah sakti penguasa danau dan kawasan ini, turunlah ke Nek Sumiyanti segala hal kemampuannya dulu, saya dengar cerita ini dari Ibu dan Bapak saya Ndi, mitosnya semua harus diturunkan kembali,-
- apa mungkin selanjutnya Yanti…” jawab Pak Zaidan menjelaskan perlahan.
Seketika bulu pundak dan perasaan mual dalam perutku datang begitu saja setelah kedua bibir Pak Zaidan rapat kembali setelah penjelasan itu.
“Benar… sesuai dengan sangkaanku” jawabku dalam hati.
“Lalu Pak…” tanyaku, karena terlihat masih ada yang ingin Pak Zaidan sampaikan.
Bahkan keindahan yang sesekali aku perhatikan sepanjang mata lurus memandang ke arah danau tidak ada artinya dengan semua yang ingin aku ketahui akhirnya siang ini perlahan aku dengar.
“Lalu, Yanti kecil sampai dewasa sangat dekat dengan Nek Sumiyanti, cucu perempuan yang mereka inginkan Ndi, namun berubah setelah dua tahun mungkin lebih ke belakang kepulangan Yanti sore itu dari pelabuhan sana… setelah melihat tanah baru Haji Agah yang baru di beli -
- dari salah satu warga sini, kabarnya saya juga tidak tahu kebenaranya hanya berdua Yanti dengan Neneknya, namun seketika Yanti sakit aneh-aneh usaha Haji, maaf tidak maksud menjelekan, semakin melesat” jawab Pak Zaidan menjelaskan sambil tidak hentinya-hentinya menghisap rokok
“Sudah cukup…” ucapku dalam hati.
“Mungkin ini cerita dari saya, bisa salah Ndi, karena banyak sekali orang pintar yang berbeda menjelaskan tapi itu yang saya tahu, apalagi kecurigaan Nek Sumiyanti pada Andi ketika bisa melepaskan sosok perempuan dari saya, dan hal itu awal -
-semuanya mungkin sudah takdir jadi membawa Andi kesini” ucap Pak Zaidan meneruskan ucapanya.
“Benar Pak, sudah cukup bapak menebus janji menceritakan Nek Sumiyanti, semenjak kejadian di pangkas dan sampai saat ini duduk di rumah ini bersama Bapak, kita sudah sama-sama menebus-
- janji waktu itu aku harus silaturahmi kesini…” ucapku perlahan sambil tersenyum, padahal di sisi lain perasaanku sedang tidak senyum sama sekali.
“Tapi Ndi, pesan dari Bu Haji kalau ketemu Andi harus ditanyakan kapan datang kembali menyembuhkan Yanti” ucap Pak Zaidan.
Sambil mengeluarkan rokok dari saku celanaku dan membakar satu batang, bahkan aku sedang memikirkan jawaban yang mungkin Bu Haji atau Pak Zaidan tidak paham keberadaanku dan Nek Sumiyanti seperti apa, karena tidak bisa dijelaskan.
“Secepatnya Pak, tapi harus ada urusan yang aku-
- urus sebelumnya, apalagi semoga saya salah, ketika Yanti sakit memang tidak penting kenapa dari sakitnya dan yang penting sembuhnya bukan begitu pak, tapi semuanya insya allah kalau gusti allah mengizinkan melalui aku perantaranya, pasti aku datang lagi Pak” jawabku,
padahal ingin sekali aku jelaskan semuanya kepada Pak Zaidan, namun hati dan perasaanku sama sekali tidak memberikannya.
“Malah saya berpikir apa Yanti bisa sembuh, tanpa sepengetahuan Pak Haji dan Neneknya yah Ndi?” tanya Pak Zaidan.
“Akhirnya Pak Zaidan berpikir ke arah situ”
ucapku, yang sedari tadi dari langkah pertamaku meninggal Ajo dan gerobak dzikir dan doa terus aku ucapkan dalam hati.
“Tidak tahu pak, semoga saja bukankah semua yang atur sakit dan sembuh, hidup dan mati dan segala yang berkaitan bukan kita manusia Pak, jadi semua mungkin saja-
- dalam hidup ini, maaf bukan maksud mengajari Pak, maaf juga jika salah ucapan aku ini, belum pantas juga mengatakan hal barusan” ucapku sangat merasa salah.
“Tidak apa-apa Ndi segala minta maaf kaya baru pertama bicara saja dengan saya, benar lagian yang Andi ucapkan, -
-kabar terakhir Haji Mudin sembuh malam itu ketika dijenguk Nek Sumiyanti dan Haji Agah” ucap Pak Zaidan perlahan.
“Alhamdulillah Pak…” jawabku, sambil tersenyum, padahal aku tahu betul dengan caranya H. Mudin berkelakuan seperti itu pasti ada suruhan dari Nek Sumiyanti.
Aku melihat jam dari yang tertempel di lengan Pak Zaidan sudah hampir jam 2 siang ini, yang berarti waktuku semakin mepet sekali untuk menemukan petilasan kakeku, dan sedang mencari cara bagaimana pamit kepada Pak Zaidan.
Beberapa detik aku melihat Pak Zaidan kembali dengan padangan kosongnya ke arah danau sambil menghisap rokoknya dengan perlahan. Aku hanya memperhatikan saja sampai menunggu ucapan apa selanjutnya yang akan Pak Zaidan keluarkan.
“Tenang, tidak tahu kenapa setelah-
- menceritakan barusan saya merasa tenang Ndi…” ucap Pak Zaidan dengan tiba-tiba.
“Alhamdulillah, terimakasih juga pak ceritanya, saya hanya ingin tahu saja dan itu sudah sangat cukup…” jawabku perlahan.
“Habis ini langsung ke pasar Ndi… nanti biar saya antar atau anak buah-
- saya yah” ucap Pak Zaidan.
“Iyah Pak, tapi tidak apa-apa saya jalan saja, tadi juga memang jalan kaki, ketemu sama Kang Dadang di jalan, sudah beberapa hari disini pengen ngerasain aja jalan-jalan pak” ucapku memberikan alasan dan semoga masuk akal untuk diterima Pak Zaidan.
“Panas begini Ndi masa jalan-jalan sih” jawab Pak Zaidan.
“Iyah benar juga, tapi beneran pak tidak apa-apa emang niatanya pengen jalan-jalan saja” ucapku.
“Yasudah, paling itu saja Ndi, semoga saja bisa menjawab pertanyaan Bu Haji dengan kedatangan Andi kembali kesana yah.-
- Itu rokok bawa” jawab Pak Zaidan, yang paham bahwa aku harus segera menuju pasar dan aku yakin Pak Zaidan berpikiran seperti itu, kenyataanya sama sekali bukan.
“Baik pak semoga…” ucapku, sambil bersalaman mencium tangan Pak Zaidan.
Padahal bukan hal yang pertama tetap saja
ketidaknyamanan dari wajah Pak Zaidan terlihat padahal aku hanya berusaha terus menghargai Pak Zaidan dengan caraku sendiri.
Berjalan kembali melewati samping rumah yang sebelumnya sudah aku lalui, dan berpamitan kepada semua orang yang sedang duduk didepan membuat mereka
sedikit canggung karena mau bagaiamanapun di pikiran mereka aku adalah tamunya Pak Zaidan apalagi kedatanganku sebelumnya bersama Kang Dadang.
Ingin rasanya langsung aku lurus langsung dari keluarnya halaman rumah Pak Zaidan karena memang satu arah dengan tujuanku menuju
petilasan Ki Dalang Didi, namun pandangan orang-orang Pak Zaidan aku yakin masih memperhatikanku. Akhirnya aku putuskan untuk melangkah sedikit jauh sehingga tidak terlihat dan kemudian di samping jalan setelah memastikan semuanya aman, aku masuk ke dalam kebun, agar kembali ke
jalur yang akan aku tuju, walaupun sedikit memutar, dengan langkah yang tenang, sambil memikirkan kembali cerita-cerita dari Pak Zaidan tentang Nek Sumiyanti.
“Untung panasnya semakin turun” ucapku, sambil terus berjalan dan sudah terlihat danau semakin dekat.
Segera aku ambil kertas dari dalam saku celana dan kembali membukanya.
“Benar ini sudah di jalanya” ucapku sambil memperhatikan kembali gambar dalam kertas.
Bahkan aku sudah berada di jalan setapak yang memang hanya tanah yang sepertinya sudah dibuatkan jalan untuk orang-orang
yang akan memancing.
Setelah kembali memahami akan kemana langkahku selanjutnya, aku langkahkan kembali kaki, sambil membawa plastik selain yang tetap aku bawa.
“Harusnya benar ini, apalagi ada jalanan begini” ucapku sambil terus berjalan dan memperhatikan dengan dekat danau ini,
yang diikuti oleh bayangan bagaimana pertama kalinya aku melihat sosok nenek-nenek yang sedang menggendong perempuan ketika dalam mimpiku waktu itu.
Semakin yakin dengan langkah yang sudah terlanjur aku mulai bahkan kemungkinannya kecil sekali untuk kembali, terus saja
aku melangkah lurus mengikuti jalan, sampai tidak terasa sebelumnya pandangan rakit-rakit yang biasa digunakan untuk orang memancing yang awalnya kelihatan kecil karena semakin mendekat rakit-rakit itu berukuran normal.
“Harusnya sudah setengah jam lebih aku berjalan” sambil
melihat ke jam tua jelek yang aku gunakan.
Sepanjang jalan aku bahkan tidak berjumpa dengan manusia sama sekali, karena hanya hamparan kebun saja di sebelah kananku dan kiriku danau yang aku lihat, yang bisa jadi kebun ini kalau air danau meluap di musim hujan akan meninggi
airnya dan terbenam.
Hanya beberapa orang saja yang berada di atas rakit yang sedang memancing, mereka juga tidak melihat ke arahku karena aku berada di belakang mereka, dan sama sekali tidak ada niatan untuk menyapa mereka karena tidak mau mengganggu konsentrasi mereka,
yang aku lihat sangat fokus sekali.
Sudah hampir satu jam aku berjalan setelah melewati rakit-rakit itu, dan belum sama sekali tanda dimana pohon besar itu aku lihat, apalagi sekarang aku sudah kembali melihat rakit itu mengecil yang artinya langkahku semakin jauh, dan jalanan
setapak sudah tidak ada lagi, hanya rumput-rumput yang tingginya sampai lutut saja aku lihat.
“kemana lagi ini” ucapku, sambil terus berdoa dan berdzikir dalam setiap langkahku, karena aku tetap yakin bagi yang maha semua urusan di dunia ini sangatlah kecil sekali.
Sambil mengambil rokok dalam bungkusnya satu batang, dan membakarnya, kemudian aku kembali membuka kertas yang sudah aku keluarkan dari saku celanaku.
“Harusnya benar gambar bapak ini, tapi posisi danau yg bapak gambar beda” ucapku, seketika kembali pelabuhan lama yang pernah
bapak ucapkan, dan menyesalnya aku pertemuan beberapa jam kebelakang dengan Pak Zaidan tidak aku tanyakan, namun setelah beberapa menit aku pikirkan ada benarnya tidak aku tanyakan yang akan menimbulkan pertanyaan lain.
“Disana saja aku berhenti” ucapku melihat satu pohon kecil
yang bisa aku gunakan untuk berteduh.
Harusnya juga dengan waktu yang aku lihat adzan ashar pasti sudah berkumandang dan aku masih kebingungan dimana letak petilasan Ki Dalang Didi.
Sambil duduk dibawah pohon yang tidak terlalu besar, menikmati rokok yang sekarang rasanya bahkan
sudah tidak enak menjadi kesalahan keduaku tidak membawa sebotol air minum.
Hanya tarikan nafas dan keringat saja yang sedari sudah mulai aku rasakan hadir di punggungku dan sedikit lelah perlahan datang.
“Suara langkah orang” ucapku, ketika mendengar langkah kaki di belakang
kebun sana.
“Iyah benar, orang…” ucapku ketika melihat kakek tua yang sedang berjalan ke arahku dengan membawa setumpuk kayu, namun wajahnya belum aku lihat karena tertutup oleh topi yang kakek tua itu gunakan.
“Lah anak muda sedang apa kamu disini” tanya Kakek tua sambil duduk
disebelahku, setelah kayu dalam pundaknya dijatuhkan semuanya.
“Eh Kek, biasa istirahat saja…” ucapku, sambil bersalaman dan mencium tangan kakek tua.
“Kotor tangan kakek anak muda…” jawab kakek tua, yang baru aku lihat wajahnya.
“Sebentar lagi sore, kalau bilang mancing-
- tidak mungkin karena kamu tidak membawa alat pancing hanya plastik saja, lantas mau kemana, kesana tidak ada jalan lagi… hanya ke arah sana menuju pelabuhan dan perumahan warga dan itu sudah cukup jauh” ucap Kakek tua, sambil membuka air minum dan langsung menuangkan air
kedalam tutup botolnya.
“Iyah benar yang kakek katakan…” jawabku, tidak meneruskan ucapanku.
“Ini… minum aku tau dari keringat dan caramu merokok sudah tidak enak” ucap Kakek tua memberikan tutup botol yang sudah terisi air.
“Terimakasih kek, kakek saja jauh lebih capek-
- membawa setumpuk kayu seperti itu, aku tidak apa-apa” jawabku perlahan.
“Dalang itu memang orang baik, baik sekali namun sayang ketika pentasnya semakin ramai di lihat banyak orang, pergi tanpa alasan, bulan selanjutnya baru paham kenapa Dalang itu pergi, Ha-ha-ha. Sekarang-
- malah dengan cucunya aku berjumpa, hutang waktu kampung ini dulu, dan kampung sana” ucap Kakek tua, sambil mengambil rokok aku yang tergeletak begitu saja.
“Lah maksudnya Kek? Aku tidak paham…” jawabku perlahan, sambil memberikan korek kepada kakek tua itu.
“Tidak usah paham… kesana sebentar lagi… pelabuhan lama berada, disana petilasan kakek kamu… orang dibelakang sana yang menyuruhku” ucap Kakek tua, sambil dengan perlahan berdiri dan kembali menaikan kayunya ke atas pundaknya.
“Maksudnya kek…” tanyaku masih heran.
“Lihat saja kebelakang…” jawab kakek tua sambil berjalan sama pelanya ketika pertama aku melihatnya.

- Besambung -

lanjut besok yah teman-teman, karena ceritanya masih panjang.
Klik link dibawah untuk membaca Bagian 7 (Tamat) lengkap.
karyakarsa.com/qwertyping/ded…
Dan ini adalah Bagian Spesial Chapter/ Bagian 8 yang hanya akan ada exclusive di Karyakarsa kepada teman-teman bisa klik link dibawah untuk membacanya. Menjadi bagian penutup dari cerita ini.
karyakarsa.com/qwertyping/ded…
Juga cerita dengan judul baru PENJAGA KEBUN TEBU sudah bisa teman-teman baca terlebih dahulu sudah ada tiga bagian yang saya upload di KaryaKarsa, langsung saja klik linknya.
karyakarsa.com/qwertyping/pen…
Bagian II “Sebelum tubuh ini utuh, sebelum penasaran ini selesai, dan sebelum dendam ini tuntas, ini adalah tempatku.” Teman-teman bisa baca terlebih dahulu dengan memberikan dukungan, bisa langsung klik link di bawah.
karyakarsa.com/qwertyping/pen…
Dan ini link bagian III karena cerita akan terus berlanjut! Bisa baca duluan. Klik link di bawah.
karyakarsa.com/qwertyping/pen…
Kita lanjut besok, untuk membaca cerita lain bisa klik link diatas, sampai jumpa besok, bisa teman-teman tinggalkan rt, dan likenya. Terimakasih, salam. Besok di jam yang sama.
7.1 - Hai selamat malam, kita lanjutin sampai benar-benar tamat bagian 7 ini kali ini, mohon maaf telat banget karena sesuatu hal, semoga teman-teman bisa meninggalkan rt, love dan replynya di akhir cerita.
Oke, tanpa berlama-lama lagi, izinkan saya melanjutkan ceritanya. Selamat membaca.
“Aang…” ucapku, sambil melihat kebelakang dengan cepat, dari rimbun kebun yang gelap berdiri Aang yang sedang tersenyum ke arahku, kemudian Aang berbalik badan dan berjalan masuk ke dalam kebun yang rimbun itu.
Namun wujud nyata dari kakek tua itu masih aku lihat berjalan ke
arah jalan yang sebelumnya aku lewati ke arah pelabuhan, dan memang hal seperti ini sulit aku terima walaupun semuanya aku yakin untuk mempermudah ku.
“Kek ini ketinggalan…” teriakku, sambil mengacungkan botol air yang masih ada setengahnya.
Kakek tua itu bahkan sama sekali tidak menoleh lagi kebelakang dan berjalan begitu saja, sangat perlahan.
“Benar-benar diluar nalar aku manusia” Ucapku perlahan dan kembali berdiri setelah kembali memasukan rokok dan korek api ke dalam saku celana.
Harusnya sebentar lagi, sesuai pentunjuk yang datang secara tiba-tiba mengahampiriku, segea aku berjalan kembali ke arah yang sama sesuai gambar walaupun dalam gambar semuanya sudah tidak sesuai sama sekali, dan aku juga memaklumi ingatan bapak yang harus kembali ke ingatanya
beberapa puluh tahun kebelakang.
Terus saja aku melangkah walaupun perasaan lelah bukan lagi datang perlahan melainkan sudah bersamaku sekarang, hanya ingatan tentang segala yang sudah aku korbankan saja seperti Imas, Ibu, Bapak dan Raka yang menunggu semuanya
kembali baik-baik saja yang menjadi tenaga tambahanku saat ini. Apalagi harapan-harapan dari Pak Zaidan, Kang Dadang juga Bu Haji Dyah sudah cukup kenapa langkah kaki ini terus aku langkahkan, dan bagiku tidak mungkin juga tidak alasan kuat yang bisa aku pertimbangkan
untuk kembali.
“Masih belum terlihat…” ucapku yang sudah sangat jauh melangkah, bahkan sudah jam 4 lebih sekarang ketika melihat jam tua jelek yang aku gunakan.
“Apa pohon itu sudah tidak ada” ucapku, karena sepanjang mata melihat di tepian danau saat ini sama sekali tidak ada
pohon besar yang aku lihat, dan juga tekstur tanah yang menggambarkan dulunya bekas pelabuhan juga sudah tidak terlihat, hanya rimbun rumput-rumput saja yang makin meninggi yang sekarang berada disamping kanan dan kiriku, yang artinya sudah jarang sekali ada manusia masuk
kedalam kawasan ini.
“Sudah jalan saja…” ucapku pasrah setelah meminum sedikit air yang sebelumnya milik kakek tua yang tertinggal.
Matahari semakin turun dan langkahku menuju petilasan kakek yang sama sekali tidak aku ketahui semakin aku lakukan, dengan yakin bahwa akan segera
aku temukan pelitasan itu, walaupun benar mungkin petilasan itu sudah tidak ada puluhan tahun lamanya, hanya berjalan dengan keyakinan saja dan membawa harapan-harapan dari orang-orang yang menunggu aku kembali.
Sudah hampir penuh saku biasa yang aku gunakan menyimpan dompet
dengan puntung-puntung rokok yang sudah habis aku bakar pasti aku buang ke dalam saku celana setelah apinya mati, karena sama sekali tidak mau menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan apalagi aku hanya berjalan sendiri, bisa saja hal aneh terjadi kapan saja.
Sudah beberapa jam berjalan di tepian danau dan semakin jauh sekali dari tempat aku beristirahat, diatas sana aku melihat rumput dan tanaman tidak tinggi, dan memang tidak ada sama sekali pertanda ada pohon besar di area yang aku lihat sekarang.
“Harusnya disana bisa istirahat…”
ucapku, karena melihat jam sudah jam 5 sore.
Segera aku menanjak cukup curam melewati rumput-rumput tinggi, hanya karena tanah yang kuat bisa menahan hentakan kaki aku sebagai pijakan untuk menuju tempat sana.
“Sudah jarang ada orang kesini” ucapku, ketika sampai dan duduk
diatas tunggul besar, seperti bekas tebangan pohon dan ada dua tunggul.
“Tadi aku dari sana… jauh sekali…” ucapku baru sadar sudah sejauh ini aku melangkah sambil membuka air minum dan meminumnya dengan sedikit karena sisanya bisa aku minum untuk nanti perjalanan pulang.
Bulu pudak berdiri begitu saja ketika duduk dan melihat ke arah danau yang tidak jauh aku pandang, sambil mata terus dengan cepat mencari tanda-tanda yang mendekati segala petunjuk lalu terus menerus mengingat ucapan-ucapan bapak.
“Sulit… tidak ada petilasan itu-
- susah aku temukan” ucapku perlahan.
Semakin melihat ke arah danau dengan matahari yang semakin turun dan beberapa batang rokok yang sudah aku bakar, ada perasaan sedih yang muncul beberapa saat apalagi warna air danau semakin menguning akibat bergantinya awan sore
yang terus menampakan warna nya.
“Heh bu… jangan… jangan…” teriakku melihat ibu membawa seperti gumpalan dalam tanganya yang terbungkus seperti memanggku bayi, berjalan ke arah danau yang mucul dari semak-semak.
Ingin rasanya aku bangun dan turun dengan cepat,
mencegah ibu untuk berjalan masuk ke dalam air yang aku yakin sangat dalam.
“Bu jangan…” teriakku sangat kencang, namun sulit sekali aku untuk bangun dari duduk aku yang sekarang.
“Bu sudah bu, bisa tengelam…” teriakku sekuat tenaga.
“Sudah biarkan saja Ndi… ini yang ingin-
- kakek lihatkan ingat perempuan dalam mimpi itu”
“Astaghfirullah…” ucapku kaget dan tidak tahu sejak kapan ada orang yang duduk bersila di sebelahku saat ini.
Setelah aku lihat beberapa detik.
“Kakek…” ucapku perlahan sekali namun badanku semakin lemas bahkan aku sadar rokok
yang berada dalam jepitan jariku jatuh begitu saja dan sangat tidak kuat menahan mata yang semakin ingin terlelap apalagi angin sore ini benar-benar melewati bahu dan punggung aku sangat nyaman sekali.
“Jangan kamu lawan biarkan saja…” ucap kakek perlahan sekali.
Aku menuruti ucapan kakekku yaitu Ki Dalang Didi yang tidak tahu kenapa hadir dengan tiba-tiba.
Mataku semakin terlelap bayangan sosok Kakek berganti perlahan dengan bayangan gelap yang semakin datang untuk aku lihat.
Imas, Bapak, Ibu dan Raka juga Ajo aku lihat wajahnya dengan
jelas perlahan hadir dalam gelap mata yang aku lihat.
“Kek…” ucapku, sambil membuka mata perlahan.
“Tidak lama, bawa ini… dan selesaikan saja, kasihan mungkin waktu sudah merencanakan semua ini, setelah itu seperti kakek jangan kembali…” ucap kakek memberikan
gelang yang sama yang mudah sekali aku ingat yang sebelumnya ada dalam foto yang pernah bapak berikan.
“Baik kek, kemana wanita itu” tanyaku perlahan dengan badan yang sangat lemas, bahkan sekarang aku duduk dibawah tunggul dan badanku menyeder ke tunggul kayu yang
sebelumnya aku duduki.
“Singkat, namun itu bermakna dari situ semuanya berawal, persekutuan, mereka menganggap alam mereka paling sempurna semua bisa terwujudkan sekalipun itu nyawa, namun semua berlalu, bayi itu Sumiyanti… sampai situ harusnya sudah paham” jawab kakek perlahan.
“Kembali saja, sudah banyak yang menunggu malam ini” ucap kakek perlahan, tiba-tiba rasa mual dalam perutku kembali hadir, dan tidak bisa tertahan, muntahan dari perut kosong berisikan air keluar begitu saja.
Bahkan perasaan lemas badan dan mata yang ingin kembali terpejam
aku rasakan sekarang, benar-benar jauh tidak seperti biasanya, setelah muntah untuk kedua kalinya, sudah tidak tertahan lagi mata ini untuk terpejam dengan tangan masih menggenggam gelang dari akar kayu yang kakek berikan.
Hanya suara burung-burung sore saja yang aku dengarkan
saat ini dari mata yang terpejam gelap dan perasaan badan yang sangat lemas sedang aku rasakan. Bahkan perlu tenaga yang sangat kuat untuk membuka mata ini, beberapa kali gagal, namun setelah yakin sekali dan mengingat semua ucapan Kakek, untuk kesekian kalinya aku kembali
paksakan membuka mata dengan perlahan.
Bahkan ketika pertama kali aku melihat hanya burung-burung saja yang sudah terbang ketika aku mengerjakan badanku yang terselunjur lemas saat ini dengan bersandar ke arah ke tunggul kayu.
“Berapa lama aku terpejam…” ucapku, sambil dengan
pelan menggerakan tangan.
“Astagfirullah sudah jam 6 lebih, lama sekali…” ucapku, sambil berusaha mengambil air minum di sebelahku dan meminumnya langsung dari botol bahkan aku habiskan saking merasa haus sekali.
Perlahan aku paksakan kembali duduk di tunggul kayu yang besar
sebelum terlelap aku duduk diatasnya seperti sekarang.
“Disini mungkin dulu petilasan Ki Dalang Didi, sudah jauh berubah” ucapku, sambil sama sekali tidak melepaskan gelang yang dari tadi aku pegang.
“sudah gelap…” ucapku melihat ke arah danau hanya cahaya dari awan saja yang
menyamarkan gelap malam ini.
Sementara aku masih terduduk sambil membakar rokok untuk yang tidak tahu ke berapa batang aku bakar, walaupun masih ada sisa satu bungkus dari pemberian Pak Zaidan yang niatnya aku berikan kepada Ajo sebagai ganti rokok yang sudah aku bawa.
Terus saja semua ucapan dari Ki Dalang Didi aku ingat sambil mengembalikan kondisiku yang semakin melemas, apalagi belum terbayang olehku apa bisa kembali ke pasar pelabuhan sana dengan kondisi selemah ini.
Setelah hampir setengah jam hanya duduk, apalagi ingatan ibu itu hanya
membuat bulu pundakku berdiri begitu saja, aku keluarkan dari dalam saku yang untungnya sedari siang tidak mau meninggalkan foto ini dalam dompet dan membawanya.
“Mirip sekali…” ucapku ketika melihat samar-samar dari gelapnya suasana dan buramnya foto yang sedang aku pegang.
Tidak tahu kenapa ketika aku memegang korek api, setelah memasukan semua puntung rokok yang berserakan ke dalam saku celanaku dan akan langsung membakar rokok yang berikutnya baru aku sadari bahwa korek api milik ajo memiliki senter lampu yang kecil.
“Bisa berguna sekali ini”
ucapku.
Kemudian tidak lupa aku mengirimkan doa kepada Kakeku Ki Dalang Didi ditempat yang aku yakini ini sesuai petunjuk dari Bapak apalagi baru sadar dan ingat bahwa Bapak pernah bilang; ada dua tunggul kayu besar.
Setelah selesai, dan hampir jam 7 malam, aku perlahan
menuruni tempat yang sebelumnya aku susah payah memanjat tanah, dan hampir saja badanku terpeleset berutungnya masih ada sedikit tenaga dari kaki menahan berat badanku.
“Qodho shalatku banyak ini” ucapku, sambil kembali berjalan dan sedikit kembali berdiri ketika dimana kejadian
aku melihat Ibu itu keluar dari semak-semak yang sekarang tepat aku berdiri.
Langkah selanjutnya dengan sangat perlahan, aku kembali berjalan menuju pelabuhan yang tidak tau dan tidak terbayang akan selama aku berjalan, hanya saja ucapan dari Ki Dalang Didi saja yang membuatku
lagi-lagi ada tenaga lebih.
“Lelah sekali ya allah…” Ucapku sudah berjalan jauh lebih pelan sekali, padahal berjalan dengan nafsu dan pikiranku ingin sekali cepat sampai.
Hanya membayangkan bagaimana raut wajah Imas, Ibu dan Bapak langkahku semakin bertambah sedikit kencang
walaupun aku tahu harus mengatur tenagaku kali ini, setelah kejadian yang aku anggap itu petilasan Ki Dalang Didi cukup banyak mengeluarkan tenaga, dan banyak juga kesalahanku tidak menyiapkan dan membawa air minum adalah kesalahan fatal hari ini.
Bahkan sudah satu jam lebih baru aku melewati tempat tadi sore berjumpa dengan Kakek tua dan Aang di tempat ini yang artinya perjalananku tidak akan lama lagi.
Ingin rasanya aku beristirahat kembali, namun aku urungkan karena tidak mau membuat Ajo lama menunggu
dengan sejuta khawatirnya yang aku yakin sedang dialami sekarang. Semantara gelang, ketas dan foto tetap aku simpan didalam saku, walaupun aku belum terbayang dengan cara apa menyelesaikanya.
Tidak jarang beberapa tangisan aku dengar di antara kebun-kebun yang aku lewati saat ini
hanya penerangan dari korek api saja yang aku gunakan, bahkan beberapa kali aku matikan jika jalanan benar-benar jelas.
“Disana… alhamdulillah” ucapku, ketika melihat cahaya dari rakit pemancingan yang sangat kecil, yang berarti semakin dekat saja.
Lelah dan capek yang aku rasakan terus saja aku abaikan walaupun aku belum tahu selanjutnya akan seperti apa.
“Ikuti saja terus…” ucapku, ketika merasakan gesekan kaki tanpa sandal terus berada semakin dekat menuju ke arahku, yang memang sedari tadi mencoba menggangguku.
Bahkan tidak lama dari suara itu dari gelapnya malam ini, ketika lampu di korek api aku nyalakan seekor ular besar sudah menghalangi jalanku, dan aku yakin sekali ini hanya cobaan untuk. Tanpa berkata apapun aku hanya melewatinya dengan perlahan sekali melipir ke sebelahnya
dengan doa dan dzikir yang terus aku baca.
“Harus selesai bagaimanapun” ucapku.
Inginnya aku ladeni suara langkah kaki dan wujud ular tersebut tapi energi dari gelang dan keyakinanku bahwa semua ini untuk menolong dan yakin pertolongan lebih besar dari yang maha kuasa datang
untuk aku, mempermudah langkahku.
“Dari mana kang malam-malam…” Tanya salah seorang yang sedang mancing mungkin melihat dari sinar cahaya lampu korek api ini.
“Sana kang sama temen” ucapku.
“Pentesan… bagus ikan nya disana Kang…” sahut temanya satu lagi.
“Sama aja kang, -
- aku duluan kang…” ucapku sambil berteriak.
Hanya lambaian tangan saja dari salah seorang pemancing dan aku berjalan sedikit cepat karena sudah benar-benar lelah, yang artinya sudah semakin dekat.
“Jam 8 lebih hampir jam sembilan” ucapku, terus melangkahkan kaki.
“Harusnya selesai, tidak ada pilihan lain, aku menuju saja langsung rumah H. Agah” ucapku, ketika sudah terlihat bagunan rumah Pak Zaidan yang sore tadi aku berkunjung ke rumahnya.
Malam dengan sinarnya semakin menunjukan keharusannya, bahkan cahaya bulan dan bintang malam ini
sedari tadi aku meliriknya sama sekali tidak muncul, apalagi sinar cahaya dari lampu korek api sudah perlahan melemah.
“Untungnya sudah dekat…” ucapku perlahan.
Dari kejauhan sudah ada dua orang yang berdiri, yang satu berbadan sangat besar yang satunya lagi jauh lebih kecil.
“Siapa orang itu…” Ucapku yang sudah semakin dekat menuju jalan besar rumah Pak Zaidan.
Beberapa kali sorotan cahaya lebih besar mengarah ke danau, dan langsung mengarah ke arah langkahku, karena mungkin melihat cahaya lainya juga dari lampu korek api yang aku gunakan.
“Ndi…” teriak kang Dadang.
“Kang…” Jawabku perlahan dengan badan yang lemas yang langsung duduk.
“Mana sini air jang…” ucap Kang Dadang.
“Sana Ujang duluan, kabarin Pak Zaidan, saya sudah bareng Andi” ucap Kang Dadang, sambil memberikan sebotol air dan aku langsung meminumnya
dengan sangat cepat sampai habis.
Teman Kang Dadang langsung pergi setelah menyalakan mesin motornya begitu saja, sementara Kang Dadang duduk disebelahku yang benar-benar sangat lemas.
“Dua kali bahkan empat kali Akang ke gerobak, Ajo tidak mau jawab, karena Andi yang nyuruh,-
- Pak Zaidan sudah menunggu di rumah H. Agah, acara di lapang sedang berlangsung” ucap Kang Dadang perlahan.
“Sebentar kang, istirahat dulu…” Ucapku, kemudian mengeluarkan rokok dari saku dan membakarnya langsung.
“Tenang saja… semua sudah tahu Ndi, Pak Zaidan sudah bicara-
- empat mata dengan H. Agah…” jawab Kang Dadang sambil duduk di dekatku.
Bahkan ucapan selanjutnya belum bisa aku ucapkan karena masih mengatur nafas dan tenaga yang tersisa malam ini, walaupun ucapan terakhir Kang Dadang belum sama sekali apa maksudnya.
Hampir satu batang rokok akan habis dan Kang Dadang memberikan kembali air minum dalam botol barulah perlahan nafasku sudah kembali bisa aku atur.
“Bagaimana Akang tahu saya ada pelabuhan…” tanyaku perlahan.
“Ajo dan Pak Zaidan bilang terakhir Andi kesini…” jawab Kang Dadang.
Aku hanya mengganggu saja dan bisa jadi yang aku pikirkan benar Ajo dapat kabar dari orang rumah.
“Ajo gimana kang rame dagangnya?” ucapku.
“Terakhir lihat biasa aja Ndi, karena orang-orang tumpah di lapangan, apa tidak terdengar suara speaker sampaikan kesini juga”
jawab Kang Dadang.
“Iyah denger Kang, walau pelan” ucapku.
“Bayangkan saja jarak dari lapang kesini masih jauh tapi suaranya masih terdengar” jawab Kang Dadang.
“Ayo Kang antar ke rumah H. Agah…” ucapku sambil berdiri dengan tenaga sisa, dan basah di baju bagian belakang sudah
penuh keringat.
Tanpa menjawab lagi, Kang Dadang langsung dengan cepat menaiki motornya dan disusul olehku, bahkan kecepatanya sangat kencang sekali, karena yakin Pak Zaidan sudah menungguku di rumah H. Agah.
“Maaf Kang, maksudnya H. Agah sudah tahu semua kenapa?” tanyaku dengan
sedikit keras karena laju motor yang sangat kencang.
“Nek Sumiyanti sesumbar tidak akan ada yang bisa menyembuhkan Yanti, namun H. Agah dan Pak Zaidan setuju nunggu dulu Andi untuk menjenguk Yanti lagi, karena ada sedikit perubahan yang dipercayai oleh Bu Haji, selepas malam-
- kemarin Andi datang” jawab Kang Dadang, sambil sedikit mengurangi kecepatan laju motornya.
“H. Agah dan Nek Sumiyanti ada di rumahnya Kang?” tanyaku yang bahkan tidak percaya dengan ucapan Nek Sumiyanti dari cerita Kang Dadang.
“Ada bahkan Dimas juga ada… tapi jangan takut-
- urusan Dimas kalau berulah Akang habisin malam ini juga, itu perintah dari Pak Zaidan” jawab Kang Dadang dengan serius.
Tidak lama bagunan rumah H. Agah sudah kembali aku lihat bahkan aku sedang bertarung dengan perasaanku terlebih dahulu.
“Bukankah ini waktunya…” ucapku,
sambil membayangkan sosok Guruku yang berbicara seperti barusan.
Aku hanya mengangguk saja berkali-kali, entah apa yang sedang aku setujui dengan anggukan kepala ini, bahkan hal yang sulit aku jelaskan saat ini. Apalagi ketika motor Kang Dadang sudah terparkir tepat di samping
mobil Pak Zaidan.
“Sudah beda, pasti semua sudah berkumpul seperti malam kemarin di kamar Yanti” ucapku dalam hati.
Terlihat di depan rumah H. Agah tidak ada siapa-siapa bahkan hanya sosok perempuan saja yang pernah aku lihat di awal pertemuan dengan Pak Zaidan sedang berdiri,
namun bukan lagi tertunduk malah tatapannya sangat tajam ke arahku, sambil terus menunjuk ke arahku, aku hanya melemparkan senyum saja. Sambil sedari tadi tidak henti-hentinya dalam hatiku berdzikir dan meminta perlindungan dari yang maha kuasa.
“Pada dimana Kang…” tanyaku
ketika melangkahkan kaki di keramik marmer rumah H. Agah.
“Tunggu dulu Ndi disini…” jawab Kang Dadang yang segera masuk sendirian.
Sementara aku sudah berdiri bersebelahan dengan sosok perempuan yang sepertinya dan bahkan yakin sangat tidak menyukai kedatangan aku malam ini.
“Malam ini kamu mati…” bisik sosok perempuan dengan suara pelan.
Aku hanya mengangguk saja, dan perlahan aku bacakan doa tepat disamping perempuan itu.
“Hidup dan mati, bukan milik kalian” ucapku perlahan.
“Ndi masuk…” ucap Pak Zaidan yang sudah berdiri di dekat pintu
dan tidak lama Kang Dadang keluar menghampiriku.
“Hati-hati, H. Agah sudah sangat tidak suka, hal ini aku sampaikan informasi dari Pak Zaidan…” bisik Kang Dadang sambil berpapasan denganku.
Segera aku bersalaman dengan mencium tangan Pak Zaidan.
“Dari mana Ndi, sudah jangan-
- berbohong lagi tinggal jawab, beberapa waktu berjam-jam tidak ada di gerobak” ucap Pak Zaidan perlahan.
Aku hanya tersenyum saja menjawab pertanyaan Pak Zaidan, dan Pak Zaidan hanya menepuk pundakku berkali-kali saja, entah aku sama sekali tidak paham dengan maksud Pak Zaidan.
Kembali aku masuk ke dalam rumah H. Agah untuk yang kedua kalinya, dengan kesan dan perasaan jauh berbeda sekali, apalagi informasi dari Kang Dadang di jalan dan barusan sudah cukup kondisiku disini seperti apa.
Terlihat H. Agah, Bu Haji Dyah dan Nek Sumiyanti sedang duduk
didepan kamar Yanti yang ternyata baru aku dengar sedang teriak sangat kencang apalagi dengan kedatanganku saat ini yang berjalan mendekat.
Baru saja mulutku akan mengucapkan salam, H. Agah langsung menghampiriku.
“Saya tidak paham harus percaya kepada omongan Zaidan-
- dan Istri saya sendiri tentang kamu tanpa alasan apapun, di lapangan sudah banyak tamu yang menunggu saya kembali kesana, jangan pernah main-main dengan keluarga saya!” ucap H. Agah dengan tegas.
“Maaf pak jika kedatangan saya malam ini atau sebelumnya malah menjadi-
- masalah besar, namun tidak lain saya hanya bersilaturami dan menjenguk Yanti saja tidak lebih” jawabku tanpa berani melihat ke arah H. Agah.
Bahkan Nek Sumiyanti langsung terdiam ketika berpapasan mata denganku, dalam kondisiku sedang menunduk, karena sedari tadi serangan
sudah Nek Sumiyanti lancarkan kepadaku.
“Urusan Yanti sembuh belakangan, yang aku tidak suka keluargaku terganggu oleh nama kamu!” ucap Pak Zaidan.
Sementara Pak Zaidan hanya terdiam saja dan seolah kaget dengan perkataan yang keluar dari mulut H. Agah.
“Hanya maaf Pak Haji yang-
- bisa aku ucapkan, walaupun sama sekali tidak ada niatan mengganggu sama sekali” jawabku perlahan.
Anehnya teriakan Yanti begitu saja terhenti ketika aku sedang berhadapan dengan H. Agah.
“Jadi bagaimana Pak Haji?” sahut Pak Zaidan.
“Pengen tahu aku cerita kamu dan istriku-
-bagaimana Yanti yang sudah kelihatan sembuh oleh orang ini” jawab H. Agah.
“Bukan karena aku Pak Haji maaf, semua berkat pertolongan gusti Allah, mungkin bukan melalui saya tapi doa-doa dari orang yang ingin Yanti sembuh saja, saya tidak bisa apa-apa” ucapku perlahan,
tidak melebihi nada tinggi bicara Pak H. Agah.
H. Agah langsung terdiam dan tidak ada kalimat lagi yang di keluarkan dari mulutnya, sementara hal yang sama juga di lakukan oleh Pak Zaidan.
“Sudah silahkan Ndi kalau mau masuk lagi ke kamar Yanti” sahut Bu Haji Dyah.
“Baik Bu… bagaimana Pak Haji?” jawabku.
“Iyah sana masuk” ucap H. Agah dengan pelan.
Yang Pak Zaidan lihat dan H. Agah juga Bu Haji Dyah adalah obrolan biasa saja, namun yang sedari tadi aku lakukan sudah berbeda dan mereka tidak akan mengerti, seisi ruangan yang dekat kamar
Yanti sekarang semua makhluk yang sudah berkumpul di dekat Nek Sumiyanti.
Nek Sumyanti sendiri hanya terdiam saja, apalagi sudah beberapa kali aku curi pandang agar bisa melihat dengan jelas wujud dibalik hasil persekutuanya itu dengan penunggu danau atau dedemit buaya putih
yang sebelumnya aku tahu hanya sebatas cerita dan sekarang nyata.
“Permisi Bu Haji, Nek…” ucapku ketika melewati Bu haji Dyah dan Nek Sumiyanti untuk masuk ke kamar Yanti.
“Saya ikut…” ucap Nek Sumiyanti perlahan, dan mengikuti langkahku masuk.
“Akhirnya…” ucapku dalam hati.
Tidak tahu siapa yang menutup kamar, namun tidak aku pedulikan kehadiran Nek Sumiyanti yang aku lihat Yanti masih dengan kondisi yang sama terbaring saja. Dan Nek Sumiyanti dengan perlahan jalan melewati aku yang sudah duduk bersila di dekat Yanti, sementara Nek Sumiyanti duduk
dengan perlahan di dekat kepala Yanti.
“Siapa kamu sebenarnya… saranku tidak usah ikut campur” ucap Nek Sumiyanti dengan suara yang sangat pelan.
“Saya Andi Nek, keadaan dan takdir yang membawa saya kesini, niatan saya hanya berdagang namun garis gusti beda, membawa-
- saya pada keadaan saat ini” jawabku perlahan.
Walaupun ucapan aku dan Nek Sumiyanti terkesan biasa saja, namun sangatlah jauh berbeda ketika hati dan perasaan terus menahan serangan Nek Suminyanti. Apalagi sekarang sosok-sosok yang sangat banyak sudah berdesakan ada
dibelakangku sedang berdiri, ketika bau amis kembali aku cium dengan perlahan.
“Ini tradisi… apapun akan saya lakukan…” ucap Nek Sumiyanti.
“Cucu tidak sama dengan anak kandung…” jawabku perlahan sambil menatap ke arah wajah Nek Sumiyanti.
Dan aku yakin ucapanku akan membuatnya marah.
Seketika Yanti bangun dengan mata yang masih terpejam dan langsung menempel ke punggung Nek Sumiyanti, seperti sosok yang aku lihat dalam mimpi di lapangan sepakbola yang sekarang ada acara besar kenyataanya itu adalah makam dalam
mimpiku.
“Kamu siapa!” ucap Nek Sumiyanti dengan pelan namun sangat tegas, sambil wajahnya menunjukan yang asli sama dengan sosok yang sudah pernah aku lihat.
“Cucu Ki Dalang Didi…” ucapku perlahan, dan tidak tahu kenapa perlahan aku keluarkan gelang yang aku dapatakan
dari tempat yang tidak tahu benar atau tidak, petilasan Ki Dalang Didi.
“Aku pikir perjanjian itu tidak akan pernah nyata dan hanya cerita…” ucap Nek Sumiyanti perlahan dan seolah tidak percaya.
Langsung saja aku genggam gelang ini dengan erat sambil memejamkan mata,
lalu mengeluarkan segala doa dan semakin kuat meminta perlindungan yang maha, karena sosok-sosok di belakang sudah sedari tadi mencoba menyentuhku akibat perintah Nek Sumiyanti.
“Ibu dulu… pernah bilang ada Dalang Didi yang pernah mengusirnya…” ucap Nek Sumiyanti perlahan.
Seketika teriakan Yanti dan Nek Sumiyanti sangat keras keluar apalagi gelang yang aku genggam semakin erat, bahkan suara pintu dari luar sudah terdengar beberapa kali di gedor dengan sama kencangnya karena mendengarkan teriakan Yanti dan Nek Sumiyanti yang tidak berhenti
dan semakin keras.
“Sudah, sudah….” ucap Nek Sumiyanti perlahan meringis kesakitan.
Terus saja doa-doa itu aku bacakan dengan kondisi badan yang semakin melemah, namun pertemuan ini aku yakin tidak akan datang kedua kalinya dalam hidupku dan aku tidak akan menyia-nyiakannya.
Dan untuk kesekian kalinya lagi teriakan terakhir dari Yanti sangat kencang sekali.
“Kembalikan Yanti…” ucapku perlahan dengan mata yang masih terpejam.
“Alam kita yang paling sempurna, apapun yang kita ingin pasti bisa terwujud, sekalipun itu nyawa.” jawab Nek Sumiyanti yang
sekarang sudah bukan Nek Sumiyanti lagi, terdengar beda dari suaranya.
“Itu di alam kalian, beda dengan disini, Yanti punya jatah hidup dan bukan kalian yang menentukan, semua miliknya dan hanya kepadanyalah yang mempunyai hak kembali” jawabku perlahan.
Semakin dalam doa-doa dan
semakin erat aku pegang gelang pemberian Ki Dalang Didi.
“Buka mata kamu Ndi” ucap guru yang hadir dalam gelapnya mata yang sedang tertutup.
Seketika Nek Sumiyanti melemparkan Yanti dari punggungnya dengan kencang sehingga dalam kondisi Yanti yang sudah terbentur ke tembok kamar.
Berkali-kali suara Pak Zaidan, dan H. Agah terus menerus teriak karena tidak tahu kenapa kamar bisa terkunci begitu saja.
“Ini yang dimaksud dengan dedemit buaya putih itu” ucapku sambil melihat ke arah Nek Sumiyanti yang sedang duduk lemas, dan disampingnya sudah ada sosok
yang selama ini aku pertanyakan akhirnya wujudnya menjadi sebuah jawaban.
Sementara sosok-sosok di belakang sudah tidak tahu kemana perlahan menghilang, Hanya Nek Sumiyanti saja aku lihat masih sama dengan posisi duduknya dan sosok mahluk disebelahnya.
Perlahan Nek Sumiyanti bangun dan berjalan ke arahku sambil tatapanya pada gelang yang masih aku pegang. Tidak ada sepatah kata lagi dari Nek Sumiyanti ketika perlahan melewati aku yang masih bersila dengan penuh keringat bahkan lebih banyak dari keringat biasanya.
Seketika suara pintu terbuka terdengar dari suaranya.
“Antarkan aku Agah” ucap suara Nek Sumiyanti.
Pak Zaidan dan Bu Haji Dyah juga Kang Dadang langsung masuk ke dalam kamar dan membenarkan posisi Yanti yang sangat mengenaskan akibat lemparan barusan.
“Ini kenapa bisa-
- begini Ndi” Tanya Bu Haji Dyah dengan matanya yang sembab.
“Kang ambilkan saja minum” ucapku.
Kang Dadang langsung keluar dan kembali sangat cepat masuk ke dalam kamar.
“Ini Ndi…” ucap Kang Dadang.
“Maaf Bu Haji, sebentar…” ucapku yang sudah berada di samping Pak Zaidan dan
kepala Yanti, yang sebelumnya posisinya tidurnya sudah dibenarkan oleh Pak Zaidan.
Setelah gelang aku pakai, dan tidak tahu ada dorongan dari mana aku basuhkan air ke wajah Yanti dengan perlahan, dan ketika aku melirik ke arah luar kamar.
“Aang…” ucapku dalam hati.
Aang hanya tersenyum dan mengangguk berkali-kali.
Karena Pak Zaidan melihat ke arah yang sama juga, dan aku yakin menimbulkan pertanyaan dari Pak Zaidan segera kembali aku basuh untuk kesekian kalinya lagi wajah Yanti perlahan.
“Nama lengkapnya saya lupa Pak, maaf” tanyaku
perlahan.
“Damayanti Maharani Kartika, itu Ndi” sahut Bu Haji Dyah perlahan dengan suara yang mulai serak mungkin akibat tangisannya.
Segera aku bacakan doa khusus untuk Yanti sementara Pak Zaidan sedari tadi mencuri pandang pada gelang yang aku gunakan, sementara Kang Dadang
dan Bu Haji Dyah masih saja terdiam.
“Kang kalau ada air yang botolnya besar yah” ucapku.
“Tolong ambil diluar Dang” sahut Bu Haji Dyah.
“Ndi apa ini akan sembuh sekarang, kenapa barusan dengan Nek Sumiyanti?” tanya Bu Haji Dyah.
Dan aku yakin pertanyaan yang sama ada dibenak
Pak Zaidan juga.
“Sudah bu yang lebih terpenting sekarang kesembuhan Yanti saja yah” ucapku perlahan.
“Kang di luar sudah ada orang menunggu” ucap Kang Dadang sambil memberikan botol aqua, segera kubuka dan memberikan doa.
Sementara Kang Dadang dan Pak Zaidan langsung keluar kamar.
“Bu Haji nanti selepas aku pulang, pakai air ini untuk membasuh seluruh badan Yanti dan pindahkan kamarnya jangan disini yah… berdoa juga dibarengi dengan sedekah insallah Yanti sembuh” ucapku, sambil berdiri,
karena keringat yang semakin turun dari badanku.
Bu Haji Dyah tetap saja menanyakan kenapa dengan Nek Sumiyanti namun aku tidak bisa menjelaskan lebih banyak hanya bilang tidak tahu dan tetap kesembuhan Yanti yang utama.
Setelah itu tidak lama Pak Zaidan kembali bersama Kang Dadang, kemudian dengan dibantu olehku, memindahkan Yanti ke kamarnya.
“Dan, jangan kemana mana dulu sudah di rumah ini dulu” ucap Bu Haji, ketika sudah sampai di kamar Yanti.
“Bu Haji, aku izin merokok di luar” ucapku.
Bahkan aku baru saja ketika melihat jam yang besar di ruangan tengah rumah H. Agah sudah jam 10 malam lebih, yang aku ingat selanjutnya adalah Ajo dan keluargaku di rumah.
Kang Dadang lalu mengikuti langkahku dan sudah duduk di kursi biasa didepan rumah H. Agah.
Aku sudah merasakan hal lain dengan suasana berbeda di rumah ini. Namun seketika dari arah pasar pelabuhan dan arah lapang burung-burung yang tidak pernah aku lihat terbang sangat banyak.
“Baru saja selesai disana ada masalah lagi Ndi” ucap Kang Dadang.
“Maksudnya kang?” tanyaku
sambil melihat yang sama dengan Kang Dadang.
“Beberapa orang kerasukan di lapangan sana, padahal acaranya belum selesai” jawab Kang Dadang perlahan.
Baru saja aku merasa tenang, kembali teringat pembicaraan dengan Aang ketika pertama berjumpa dan malam ini ucapan
Aang benar-benar terbukti.
“Nanti saja kang satu-satu” ucapku, sambil mengambil rokok dari saku celanaku, dan membuang puntung yang banyak dari saku lainya ke dalam asbak.
Kang Dadang yang melihat tingkahku hanya mengelengkan kepalanya saja.
“Ada-ada saja emang kamu ini Ndi,-
- bagaimana Yanti apakah bisa sembuh Ndi” tanya Kang Dadang.
“Harusnya kang…” jawabku perlahan, sambil tersenyum.
Aku juga sadar sedari tadi Kang Dadang melirik beberapa kali ke arahku tanganku yang masih menempel gelang dan hal itu ingin Kang Dadang tanyakan namun mungkin
karena melihat kondisiku hal itu kembali diurungkan.
“Alhamdulillah Ndi membaik dan sudah bangun Yanti…” ucap Bu Haji Dyah sambil berjalan keluar bersama Pak Zaidan.
“Alhamdulillah Bu Haji, aku tidak akan lama…” ucapku sambil berdiri dan mematikan rokok di atas asbak.
“Tolong kali ini terima sekali saja” ucap Bu Haji Dyah perlahan.
“Sama Bu Haji untuk kesembuhan Yanti saya terima, namun sedekahkan saja, lagian mungkin ini cara gusti Allah saya berjodoh menjadi perantara saja” ucapku, sambil mencium tangan Bu Haji Dyah.
“Ndi saya tidak akan-
- tanya gelang apa itu, tolong sekali lagi bantu yang di lapangan kasihan” sahut Pak Zaidan sambil mengantaran aku menuju motor Kang Dadang.
“Benar Pak lapangan itu dulunya bekas pemakaman” tanyaku perlahan dan hal itu sontak membuat Pak Zaidan dan Kang Dadang kaget dengan
ucapanku kali ini.
“Benar, namun tidak tahu juga awalnya bagaimana, namun jadi bisa hak milik keluarga ini” ucap Pak Zaidan yang terlihat sangat jujur.
“Pantas saja Pak, namun sudahlah, lagian aku hanya ingin dengar jawabanya saja Pak” jawabku sambil tersenyum.
Tetap saja Pak Zaidan masih menunjukan wajah yang tidak percaya.
Segera aku menaiki motor Kang Dadang, dan aku berencana mendatangi gerobak saja karena sudah sangat lelah sekali hari ini. Bu Haji hanya mematung melepas kepulanganku dari rumahnya dan tidak hentinya-henti tersenyum
Walaupun aku tidak tahu setelah ini apa yang terjadi kedepannya.
“Langsung ke lapangan Ndi…” ucap Kang Dadang sambil mengendarai sedikit perlahan berbeda ketika awal kedatangan ke rumah H. Agah.
“Gerobak saja dulu Kang…” jawabku perlahan.
Dan sudah tidak ada lagi pertanyaan
dari Kang Dadang karena sangat paham dengan kondisiku saat ini.
Terlihat dari kejauhan gerobak bahkan sudah rapi dan kosong sudah tertutup oleh terpal dan Ajo sedang melihat ke arah handphonenya.
“Ndi… alhamdulillah” ucap Ajo sambil berdiri.
“Kang sini duduk dulu…” ucapku.
“Siap Ndi…” jawab Kang Dadang.
“Kang suruh anak buah akang bawa dua atau tiga botol saja air minum untuk orang yang kerasukan, aku sudah tidak kuat datang kesana” ucapku.
Bahkan Ajo yang mendengarkan ucapanku langsung diam karena aku yakin dia tidak mengerti apa yang
aku bicarakan. Tidak lama Kang Dadang selesai menelpon anak buahnya dan tidak lama dari itu juga dua orang turun dari motornya mengantarkan air minum dalam botol.
“Sudah nanti Akang kesana” ucap Kang Dadang.
Langsung saja tiga air minum dalam botol itu aku buka dibantu oleh Ajo
dan Kang Dadang, selanjutnya aku bacakan doa cukup lama sambil duduk di kursi plastik yang biasa digunakan pembeli untuk menunggu.
“Ini sudah kang… Kang boleh minta sesuatu” ucapku perlahan karena sudah sangat lemas sekali.
“Apa itu Ndi, katakan saja” ucap Kang Dadang perlahan.
“Tolong lindungi keluargaku dan Ajo, juga dagangan lapak ini kang aku takut dengan omongan Pak Haji Agah, takutnya bukan sama aku Kang… Ajo dan keluargaku” ucapku perlahan dengan serius.
“Pasti dan Pak Zaidan juga sudah memikirkan hal itu, tenang saja Ndi” jawab Kang Dadang
memberikan sebuah ketengangan kepadaku.
Tidak lama aku suruh Kang Dadang segera pergi ke lapangan dan jika belum sembuh juga nanti sambil pulang aku berhenti disana, karena melihat jam sudah sangat larut malam, jam 11 malam lebih.
“Aku saja yang bawa Si Joni kamu terlihat-
- lemas sekali Ndi” ucap Ajo.
“Makasih Jo sudah nurut hari ini dan bagaimana dagangan?” tanyaku sangat pelan sekali.
“Laris semua terjual, telur itu aku buang semua Ndi” jawab Ajo.
Aku hanya mengangguk saja mendengarkan Ajo bercerita soal Imas yang beberapa kali menanyakan
apa aku sudah kembali atau belum dan cukup membuatku tenang tidak ada kejadian aneh di rumah selama aku berada di pasar pelabuhan.
“Ayo takut keburu malam banget Jo” ucapku sambil berusaha berdiri sekuat tenaga.
Segera Ajo menghidupkan mesin Si Joni karena dua wadah sudah
tersimpan di kanan dan kiri Si joni, dan perlahan melaju menuju lapangan yang masih menggelar acara syukuran keluarga H. Agah.
“Harusnya H. Agah sadar dan paham” ucapku dalam hati.
“Sudah disini saja Jo berhenti…” ucapku ketika sampai di lapangan.
Bahkan tidak terlihat keberadaan Kang Dadang sama sekali.
“Jo panggil tukang parkir itu dan suruh panggil Kang Dadang kesini suruh Andi gitu saja, cepat” ucapku.
Ajo langsung turun malah menghampiri tukang parkir dan terlihat berbicara sementara aku masih duduk diatas
Si joni saja.
Tidak lama Ajo kembali dan tidak lama juga Kang Dadang sudah terlihat berjalan dengan tergesa-gesa menuju arahku.
“Alhamdulillah Ndi pada sadar dan airnya bisakan yah di campur takutnya ada lagi” ucap Kang Dadang bicara dekatku.
“Aku mau pamit pulang, -
-dan mungkin ini hari terakhir aku kesini kang, salamkan pada Pak Zaidan dan keluarga H. Agah semuanya yah” ucapku sambil mencium tangan Kang Dadang.
“Ndi…” jawab Kang Dadang.
“Akang bisa ke pangkas kapan saja, tapi tidak untuk aku kesini lagi” ucapku perlahan.
Kang Dadang hanya mengangguk saja dan melepaskan kepergianku dengan menahan sedih yang tergambar dari wajahnya. Bahkan Ajo juga yang mendengarkan ucapanku sangatlah kaget.
“Kalau Yanti menikah jangan undang aku yah Kang, itu pesanku, tolong di ingat” ucapku,
kemudian menyuruh Ajo untuk segera menyalakan mesin Si Joni.
“Assalamualaikum” ucapku.
Kang Dadang hanya mengangguk saja dan seolah setuju dengan pesan terakhir yang aku ucapkan.
Aku hanya tertunduk dan menempel ke punggung Ajo saja selama beberapa menit dan sudah tidak ingin
melihat kanan dan kiri aku sama sekali, bahkan soal urusanku dengan Dimas juga sudah aku lupakan semenjak keluar dari kawasan pelabuhan dan sudah berada di perjalanan pulang.
Sambil beristirahat di atas Si Joni, Ajo sangat mengerti kondisiku dan tidak bertanya apapun,
hanya satu kali memberikan dompetku yang sebelumnya aku titipkan pada Ajo. Sementara gelang dari Ki Dalang Didi aku lepas dan aku masukan kedalam saku bareng dengan dompetku.
Sudah hampir setengah jam aku hanya diam dan mencoba menenangkan pikiranku, apalagi semuanya menyeretku
dengan paksa pada suatu kondisi yang sudah aku lalui saat ini.
“Ndi…” ucap Ajo.
“Hah, iyah Jo…” jawabku perlahan.
“Ini sudah keluar jalanan beton” ucap Ajo.
Segera aku tegakan kepala dengan badan yang sama masih dalam kondisi lemas sekali.
“Apa serius dan benar ucapan-
- terakhir kamu tidak akan ke pasar pelabuhan lagi” tanya Ajo tiba-tiba.
“Iyah Jo, kamu teruskan dan yakin bakalan aman cari lagi teman, kamu harus paham dengan kondisiku, urusan hasil dari modal aku ikut saja, aku akan kembali ke pangkas saja Jo, setelah semuanya sehat.” Ucapku
perlahan.
“Baik Ndi aku paham, dan aku juga merasa itu hal yang paling baik” jawab Ajo perlahan.
Aku hanya kembali menundukan kepala di punggung Ajo dan menggerakkannya berkali-kali seolah itulah tanda aku setuju dengan ucapan Ajo.
Sepanjang perjalanan pulang badanku semakin melemah, bahkan beberapa kali mataku sudah tertutup bahkan tidak sadar sudah melewati perbatasan kecamatan apalagi dengan tahu kondisiku, laju Si Joni semakin cepat Ajo kendarai.
“Daud buka kok Ndi” ucap Ajo yang mungkin
sudah melewati pangkas.
Aku hanya melakukan hal yang sama menganggukan kepala ke punggung Ajo saja, dan tidak lama laju Si Joni semakin perlahan dengan suara mesin yang sudah mati. Bahkan yang aku ingat terakhir adalah memejamkan mata, dan suara kaget Ajo lalu berteriak meminta
tolong, lalu terdengar tidak lama suara langkah kaki yang masih bisa aku dengar dengan jelas namun mataku sudah tidak bisa aku buka kembali hanya bayangan gelap saja yang sedang aku lihat dengan sekujur badan yang terasa benar-benar lemas.

***

Tiba-tiba aku terbangun di rumah
Ibu dengan sudah berpakaian berbeda dengan Imas dan Ibu sudah berada di sampingku.
“Berapa lama aku tertidur Mah” ucapku pelan.
“Ini hari kedua Ndi setelah malam itu pulang dan kamu pingsan pas banget sampai, udah jangan dulu di paksakan” sahut Ibu perlahan.
“Ajo…” ucapku pelan
“Ajo tetap dagang sesuai amanah dan tiap pulang dan pergi selalu datang juga kesini, sudah istirahat dulu” ucap Imas.
Bahkan aku tidak sadar dengan waktu yang cukup lama, namun perasaan lemas masih saja aku rasakan. Sampai butuh waktu 4 hari baru aku bisa kembali ke pangkas
setelah Daud dan Ajo sering menjenguk aku. Namun Ajo tidak pernah cerita apapun lagi kepadaku tentang yang terjadi di pasar pelabuhan dan hal itu yang memang sengaja aku bilang kepada Ajo.
Sampai di penghujung tahun ini, yang artinya sudah 4 bulan lamanya tidak kembali kesana,
dan semua ingatan tentang segala kejadian sudah perlahan aku lupakan apalagi gelang Ki Dalang Didi sudah aku kembalikan kepada Bapak berserta lengkap dengan gambar dan foto yang pernah Bapak berikan adalah salah satu cara, memang niatakanku hanya menolong saja.
Sampai terdengar kabar dari Ajo bahwa Yanti sudah menikah beberapa kebelakang hanya senyum saja yang aku berikan dan berpesan kepada Ajo, kalau berjumpa dengan Kang Dadang menyuruhnya main ke pangkas, karena aku sudah siap kembali dengan segala hal yang hanya akan aku dengarkan
saja sebuah cerita yang pernah aku lakukan disana.
Tahun baru sudah berlalu sekitar satu minggu lamanya dan malam ini seperti malam-malam sebelumnya keadaan pangkas terus membaik bahkan benar-benar stabil keadaanya.
“Kang kosong…” ucap pemuda tampan yang aku lihat turun dari
mobil mewahnya.
“Boleh A duduk saja langsung” jawabku yang langsung mempersiapkan kursi pangkas untuk di duduki pemuda tampan ini.
“Saudara dari istriku pernah bilang pangkas ini bagus cukuranya dan aku coba, malah baru sempet kang” ucap pemuda tampan.
“Oh iyah memangnya-
- dari mana aa ini asalnya” tanyaku sambil mulai merapikan rambut yang memang sudah sedikit panjang.
“Saya suaminya Yanti, dari pelabuhan sana” ucap pemuda tampan sambil tersenyum manis.
“pelabuhan mana emangnya a” jawaku.
“Damayanti Maharani Kartika a, Yanti cerita banyak-
- soal aa, sekalian mau ngucapin terimakasih” ucap pemuda tampan sambil melihat ke arahku dari pantulan kaca pangkas.
Aku hanya mengangguk saja sambil membalas senyum pemuda tampan ini dan kembali aku mengingat pesan terakhirku pada Kang Dadang yang ternyata dilakukan dengan baik
juga segala keamanan yang Ajo ceritakan juga aku alami disini sudah cukup seimbang dengan hal yang sudah aku lakukan di pasar pelabuhan sana.

TAMAT
DEDEMIT BUAYA PUTIH
Sebuah Kisah Bersembunyi Dalam Terang
Begitulah akhir dari Sebuah Kisah Bersembunyi Dalam Terang, mohon maaf jika masih banyak kekurangan dalam hal tulisan, typo dll. Kiranya ini cerita hanya untuk dibagikan dan semoga bisa menjadi sebuah pelajaran untuk saya penulis dan untuk kalian teman-teman pembaca cerita ini.
“Biarkanlah cerita sebagaimana mestinya, dan tidak perlu dipertanyakan kebenaranya, cerita tetaplah cerita karena niat saya hanya ingin berbagi yang kiranya dan mudah-mudahan bisa terima.”
Ada satu bagian yang khusus di KaryaKarsa dan itu cukup untuk membalas rasa penasaran
kalian, saya beri judul Spesial Chapter karena cerita ini tidak akan saya buat menjadi Buku, mohon maaf sekali. Bisa klik link di bawah dan memberikan dukunganya, terimakasih.
Akhir kata dari cerita yang sudah selesai ini, saya ucapakan banyak terimakasih juga dukungan yang
diberikan, itu benar-benar sangat berharga untuk saya, agar tetap bisa terus berkarya lewat tulisan, dan semoga rezeki teman-teman di balas lebih. Amin.
Dan ini adalah Bagian Spesial Chapter/ Bagian 8 yang hanya akan ada exclusive di Karyakarsa kepada teman-teman bisa klik link dibawah untuk membacanya. Menjadi bagian penutup dari cerita ini.
karyakarsa.com/qwertyping/ded…
“Biarkanlah cerita berjumpa dengan tuan dan puan nya masing-masing”

“Typing to give you a horror thread! You give me support!”

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Teguh Faluvie

Teguh Faluvie Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @qwertyping

Oct 4
Permainan yang nggak pernah bakal gw ulang seumur hidup! Sampai gw trauma kalau denger ANAK-ANAK HITUNG 1.. 2.. 3.. SAMPAI 10, saat mereka main PETAK UMPET!

Gw masih ingat di kasih makan dalam wadah batok kelapa, yang ternyata itu cacing hidup!

"A THREAD"

#bacahoror Image
Image
Cerita ini adalah kiriman sender melalui DM, dia dapat teror setelah melanggar sesuatu ketika main petak umpet, ‘DIPIARA’ istri guru ngaji berhari-hari dan ‘TEROR’ yang ngeri! Bayangin dia dikasih makan cacing! bagian paling bikin gw mual!
Yuk langsung aja. Saya disini hanya membagikan cerita yang sudah dirapikan sedikit, atas kesepakatan dengan sender, agar lebih nyaman dibaca.
---------
Read 62 tweets
Sep 5
KAMPUNG KASARUNG

Diatas tanah kampung Jayamati, semua dipertaruhkan. Terdapat harga setimpal untuk kesepakatan, sekalipun itu kesesatan dan kematian.

"A THREAD"

[ Part 4 ]

@bacahorror @IDN_Horor
#bacahoror Image
Selamat datang kembali teman-teman di Kampung Kasarung, mohon maaf beberapa minggu kebelakang harus absen karena ada beberapa kesibukan yang tidak bisa dilewatkan, serta kesehatan yang sedikit terganggu. Semoga upload kali ini seperti biasa dapat menemani kamis malam kalian.
Kini kita akan memasuki Part 4. Tapi sebelum itu ada informasi penting dulu yang harus teman-teman ketahui. Tepat tanggal ini, mulai tanggal 3-9 September, Buku Kampung Jabang Mayit sedang dalam Pre Order.
Read 38 tweets
Jul 4
KAMPUNG KASARUNG

Diatas tanah kampung Jayamati, semua dipertaruhkan. Terdapat harga setimpal untuk kesepakatan, sekalipun itu kesesatan dan kematian.

"A THREAD"

@bacahorror @IDN_Horor
#bacahoror Image
[PROLOG]

Diatas tanah kampung yang mempunyai nama Jayamati dengan segala campur tangan sang pencipta sedang menampakan keberkahan luar biasa. Hasil bumi yang melimpah, ladang peternakan, hingga perkebunan telah menyelimuti kampung itu setidaknya dalam kurun 10 tahun kebelakang.
Hal itu terjadi setelah dapat mengusir monyet-monyet yang kerap turun dari bukit Jayamati yang selalu memakan hasil bumi adalah awal tombak kesejahteraan tertancap, dimana para petani dan orang-orang luar kampung bahkan tidak jarang menaruhkan nasib pada tanah kampung Jayamati.
Read 130 tweets
May 29
PAGELARAN SAREBU LELEMBUT

Lekuk indah tubuh, suara merdu dan senyuman teramat cantik adalah malapetaka yang harus ditebus oleh nyawa. Manakala panggelaran sarebu lemlembut berlangsung.

[ Part 9 Tamat – Tangkal Mayit ]

@bacahorror @IDN_Horor
#bacahorror Image
Selamat datang kembali di Pagelaran Sarebu Lelembut bagian akhir! Untuk teman-teman yang belum baca part sebelumnya, silahkan klik tautan dibawah.
Bantu tinggalkan qoute, repost, dan like pada threadnya yah..

Par (1) Janur Kematian

Part (2) Tapak Sasar

Part (3) Juru Keramat

Part (4) Selendang Mayat



Read 226 tweets
May 23
PAGELARAN SAREBU LELEMBUT

Lekuk indah tubuh, suara merdu dan senyuman teramat cantik adalah malapetaka yang harus ditebus oleh nyawa. Manakala panggelaran sarebu lemlembut berlangsung.

[ Part 8 – Kesumat Rasa ]

@IDN_Horor @bacahorror
#bacahorror Image
Selamat datang kembali di Pagelaran Sarebu Lelembut!

Untuk teman-teman yang belum baca part sebelumnya, silahkan klik tautan thread dibawah.
Bantu tinggalkan qoute, repost, dan like pada threadnya yah..

Part (1) - (4)

Part (1) Janur Kematian


Part (2) Tapak Sasar


Part (3) Juru Keramat


Part (4) Selendang Mayat



Read 135 tweets
May 15
PAGELARAN SAREBU LELEMBUT

Lekuk indah tubuh, suara merdu dan senyuman teramat cantik adalah malapetaka yang harus ditebus oleh nyawa. Manakala panggelaran sarebu lemlembut berlangsung.

[ Part 7 – Tanah Pagelaran ]

@bacahorror @IDN_Horor
#bacahorror Image
Selamat datang kembali di Pagelaran Sarebu Lelembut! Untuk teman-teman yang belum baca part sebelumnya, silahkan klik tautan dibawah.

Bantu tinggalkan qoute, repost, dan like pada threadnya yah..
Read 164 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(