BEDAKAN ANTI VAKSINASI DAN ANTI MANDATORY VAKSIN
.
.
.
.
Saat anda ingin pergi ke mall, warteg, salon atau masuk ke ruang publik tertentu dan anda diwajibkan menunjukkan bukti sudah divaksin, itu artinya hadir sebuah aturan baru. Sebuah kebijakan baru.
Secara logis, sebuah kebijakan harus diiringi dengan sebuah aturan main. Dalam hal ini produk hukum. Artinya, ada UU yang berbicara. Bila belum ada, harus dibuat terlebih dahulu.
Adakah perda atau perpu telah dibuat untuk mengatur itu?
Seandainya sudah, adilkah perda atau perpu semacam itu?
Bukan melulu soal orang tak mau divaksin, banyak sebab membuat jumlah orang tervaksin belum merata.
Bagaimana dengan mereka yang belum divaksin karena memang belum mendapat jatah namun ketika ingin beli susu bagi anaknya dilarang karena mall tersebut tak memberinya izin?
Bukankah itu artinya dia sudah dikenai hukuman bukan karena kesalahan yang dibuatnya?
Data akhir Desember 2021, vaksinasi dosis pertama mencapai 75,38% dan vaksinasi dosis kedua di Indonesia mencapai 53,21%. Artinya, tidak semua orang Indonesia sudah divaksin dong?
Dengan kata lain, adilkah aturan seperti itu?
Bagaimana bila tiba-tiba bukti vaksin booster juga dijadikan syarat misalnya? Bukankah itu makna semena mena sebuah aturan?
Itulah gambaran akan makna mandatori vaksin yang masih menyisakan banyak celah hadirnya ketidak adilan. Dan kita tahu, hukum harus adil.
"Bukankah itu hak warga neagara untuk divaksin maupun tidak?"
Undang-Undang Nomor 39 tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah :
Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
.
.
Adapun kewajiban adalah kewajiban dasar manusia yaitu seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.
Di sana, interpretasi itu dapat kita perdebatkan. Mana yang menjadi hak negara dan mana hak warga negara.
"Bukankah aturan itu dibuat agar supaya semua orang mau divaksin?"
Itulah unsur dilematis yang muncul. Ada unsur campur aduk antara orang yang memang tak mau divaksin dengan orang yang belum mendapat vaksin tapi aturan sudah dibuat.
Mandatory vaksin sendiri hingga saat ini tak pernah menjadi rujukan badan dunia PBB yakni WHO. Hingga saat ini baik Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan bahkan epidemiolog belum merekomendasikan hal ini.
Kenapa, karena fakta bahwa orang yang sudah di vaksin ternyata bukan jaminan tak tertular. Buktinya adalah adanya booster atau suntikan vaksin ke 3. Dan vaksin ke 3 juga bukan jaminan tidak akan muncul vaksin ke 4, 5 dan seterusnya.
Bahwa orang yang sudah di vaksin ternyata benar akan lebih bertahan terhadap penularan, itu tak perlu dibantah.
Dilansir dari laman WHO tentang Covid-19 and mandatory vaccination: Ethical considerations and caveats yang tayang pada 13 April 2021, vaksin memang merupakan alat yang paling efektif untuk melindungi orang dari Covid-19.
Oleh sebab itu, vaksinasi Covid-19 perlu dilakukan di seluruh dunia.
"Namun demikian, karena kebijakan yang mengamanatkan suatu tindakan atau perilaku mengganggu kebebasan dan otonomi individu,
mereka harus berusaha untuk menyeimbangkan kesejahteraan komunal dengan kebebasan individu," kata WHO dalam laman resminya.
"Tapi bukankah mandatori semacam ini bukanlah sesuatu yang baru?"
.
.
Ya sejak tahun 60an, pada beberapa negara pernah mensyaratkan adanya "Yellow Card" yakni semacam kartu keterangan bebas dari demam kuning sebagai syarat masuk pada negara tersebut.
Yellow card ini untuk menunjukkan apakah seseorang sudah di vaksin yellow fever, sejenis infeksi virus yang disebarkan nyamuk spesies tertentu.
Sebagai contoh lain, untuk masuk ke negara Pakistan dan Afganistan juga diharuskan sudah vaksin polio.
Namun wajib menunjukkan sertifikat vaksin di hotel, restoran, warteg, salon dan barbershop, destinasi wisata, hingga pelaku perjalanan domestik yang menggunakan mobil, sepeda motor, bus, kereta api, kapal laut, dan pesawat tentu cerita berbeda.
Mandatory vaksin semacam ini masih butuh perdebatan dan negara tak boleh sewenang wenang.
Kenapa?
Bukankah yang bikin program vaksinasi adalah negara?
Dan yang tak bisa memenuhi target dengan menyebar secara merata hingga semua orang mendapat vaksinasi juga negara?
Lantas kenapa ketika untuk menghukum segelintir orang yang dengan sadar menolak vaksin, masyarakat yang belum dapat giliran vaksin juga dikorbankan?
Bila sulit membedakan mereka yang tak divaksin karena menolak atau belum dapat jatah, bukankah para pejabat itu digaji besar memang untuk pekerjaan yang sulit?
Bukan cuma untuk dadah-dadah saat kunjungan dan tiduran saat sedang rapat kerja, ODGJ saja bisa.
Kita melawan siapapun yang berteriak anti vaksin apalagi mereka yang sengaja melakukan perlawanan terhadap program vaksinasi ini. Menolak mandatory vaksin tentu ini cerita yang berbeda.
.
.
.
____________
Foto diambil dari mana-mana
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
SRI MULYANI DAN BASUKI HADI MEMANG DUA TANDUK JOKOWI
.
.
.
Basuki Hadimuljono dan Sri Mulyani sepakat untuk menunda waktu pemberlakuan Tapera.
“Dari kapan ke kapan?”
Dari tahun 2027 ke waktu yang belum beliau sebut.
“Emang pak Jokowi ingin Tapera itu diberlakukan lebih cepat?”
Dalam PP terbaru, PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020, beliau bicara terkait iuran wajib. Jokowi memberlakukan iuran wajib Tapera bagi pegawai negeri maupun pegawai swasta.
Harus diingat, PP itu lahir karena perintah konstitusi. Presiden wajib mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) setelah DPR mengesahkan sebuah UU, dalam hal ini UU No 4 tahun 2016 Tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Para wakil rakyatlah yang menggagas, mendiskusikan, mengesahkan UU itu dan lalu konstitusi mengharuskan Presiden membuat PP nya.
Dan Jokowi melalui PP terbaru tersebut tidak bicara atau merubah jangka waktu. Itu masih sama dengan isi PP lama, PP Nomor 21 tahun 2020 yakni 7 tahun atau tahun 2027.
Bantèng perkasa jelas adalah Jokowi. Dia memporak porandakan kemapanan tanpa teriak jumawa. Konon hanya dengan kerja, kerja dan kerja, tiba - tiba dia melampaui ekspektasi banyak pihak.
Sama seperti bantèng seharusnya, Jokowi pun bersenjatakan dua tanduknya, BASUKI dan Sri Mulyani.
Ketika kita bicara duet dua orang ini, ribuan kilometer jalan sebagai urat nadi sebuah bangunan ekonomi negara dengan puluhan bandara serta puluhan pelabuhan dan ribuan infrastruktur dalam bentuk lain terbangun melayani publik plus dengan fiskal terjaga adalah bukti tak terbantahkan.
Luar biasanya, sebagai orang yang sudah dianggap pahlawan, keduanya tak bicara politik, pun posisi. Tak bicara pilkada apalagi pilpres untuk karir dirinya. Berdua, mereka bekerja profesional hanya pada tupoksinya saja. Basuki bertempur di ranah eksekusi, Sri Mulyani menyediakan semua pelurunya sambil tetap menjaga ruang fiskal yang ada.
Sebagian besar dari kita pernah sangat berharap bahwa UU Perampasan Aset Koruptor benar bisa diberlakukan. Tapi harapan itu pupus saat hampir semua fraksi di DPR tak beranjak ingin membuat tuntas RUU tersebut.
Kita marah pada perilaku banyak pejabat negara ini yang tanpa malu - malu maling duit negara. Lebih lagi, kita muak dengan aturan hukum yang ada manakala si pejabat divonis penjara tapi justru masih dapat perlakuan istimewa di penjara.
Mereka seolah adalah adalah kaum istimewa negeri ini. Mereka jelas bukan bagian dari kita manakala diksi rakyat kita gunakan. Mereka bukan kita dan maka kita sepakat bila RUU Perampasan Aset Koruptor itu diundangkan.
Namun ketika kita bicara tentang sibuk aparat bea cukai yang belakangan ini rajin pungut pajak atas barang bawaan kita dari luar negeri, kita marah. Kita tak sepakat dengan perlakuan mereka pada banyak saudara kita. Kita marah karena bisa jadi kitalah suatu saat nanti adalah si korban.
“Tapi bukankah aparat itu belakangan ini benar keterlaluan?”
Sesekali kita pantas menggunakan angle berbeda. Kita lihat dari sudut yang tak banyak dibicarakan orang terutama sudut pandang orang - orang yang sedang merasa dirugikan.
Tak ada salahnya sesekali kita sedikit melambung dan melihat dari sudut yang sulit dimana justru keributan belakangan ini adalah bias perlawanan para pengemplang pajak yang selama ini sukses bermain dengan oknum bea cukai itu sendiri. Para pelaku jastip misalnya.
JANGANKAN INDONESIA YANG SANGAT KAYA DENGAN RAGAM BUDAYANYA| bahkan Arab Saudi negeri berlimpah minyak saja kini melirik industri pariwisata. Ada potensi devisa sangat besar yang sedang ingin mereka rebut.
Ga tanggung - tanggung, pada sektor ini mereka mentargetkan kontribusi sekitar 10 persen dari GDP pada tahun 2030 dan menerima 100 juta wisatawan per tahun dan menyediakan satu juta pekerjaan.
Tak seperti bangsa kita yang sangat kaya dengan budayanya, mereka membangun konsep wisata mewah.
Beberapa proyek pariwisata ambisius itu diantaranya adalah kota futuristik Neom di Provinsi Tabuk, barat laut negara yang menghadap Mesir di seberang Laut Merah.
BUDIMAN SUDJATMIKO, DIA PASTI ADALAH SIAPA - SIAPA
.
.
.
Kalau saat ini dia benderang berada di sisi sebelah Ganjar misalnya, 100 persen pasti gak ada kisah bulian padanya. Seratus persen ga ada ungkit mengungkit dosa - dosanya yang benar - benar sangat sulit dicari.
Budiman terlalu lurus. Bisa dibilang dia satu dari sejuta politisi kita yang idealis dan maka tetap miskin tanpa data deretan mobil mewah di garasinya.
Dan lalu, ketika korupsi sebagai penyakit paling lumrah yang selalu diidap oleh banyak politisi kita tak pernah bisa menjangkitinya, dia dikuliti soal kemiskinannya. Hutang - hutang pribadinya menarik hati dan minat para pencari dan pencatat dosa.
Berharap Budiman playing victim terhadap pemecatannya, percayalah itu tidak akan pernah terjadi. Budiman jauh dari sifat itu. Sejarah mencatatnya..
Berbeda dengan banyak politisi yang langsung berungkap marah ketika dipecat, dia justru dengan santun mengucapkan terimakasih telah bersama partai sekian puluh tahun.
Terhadap pemecatannya, Budiman hanya akan menjadi semakin besar. Sejarah juga sudah mencatatnya.
Ingat heroik kisah kudatuli 1996 di markas PDI Diponegoro 56? Dia dihabisi oleh rezim Orde Baru karena cita - citanya akan demokrasi. Butuh Jakarta harus dibakar oleh penguasa hanya untuk menghentikan langkahnya menuntut demokrasi itu.