mwv.mystic Profile picture
Feb 4, 2022 176 tweets 22 min read Read on X
SI JUNDAI LUBUAK PUSARO

"..cepatlah keluar sebelum matahari tenggelam, atau kau tidak akan bisa lagi pulang.."

sebuah kisah dari ranah Minangkabau

a thread Image
SI JUNDAI LUBUAK PUSARO
BAGIAN 1

Jakarta, Desember 2001

“Nanti kalau ketemu sama kakek, nenek sama saudara saudara lain, salim tangan ya. Keluarga abang semua itu” pesan ibu kepadaku sambil menaburi bedak ke kening dan pipiku.
“Lai ndak ado nan tingga lai kan Ta?” (Gak ada yang ketinggalan lagi kan Ta?) tanya ayah yang baru saja keluar kamar.

Ayah memang memanggil ibu dengan namanya jika berbicara langsung, nama ibu adalah Rista, dan ayahku Syahrizal. Ibu memanggil ayah dengan panggilan Uda Zal.
“InsyaAllah ndak ado lai da. Susu si dedek lah di tas, koper sadonyo lah masuak. Kantong muntah si abang alah lo” (InsyaAllah gak ada bang. Susu adek udah di tas, koper juga udah masuk. Kantong muntah abang (aku) udah juga” jawab ibu.
“Ihh si abang udah gede masih mabok aja, malu ama dedek tuh. Dibawa jalan jalan tidur aja, abang malah huek huek ahaha” canda ayah kepadaku.
Ya, aku memang sering mabuk di perjalanan apapun itu. Bahkan aku pernah muntah ketika naik angkot kopaja. Sejak itu ibu selalu menyediakan kantong muntah setiap kali membawaku berpergian.
“biarin aja ayah ya bang ya, abang kan jagoan. Sekarang naik pesawat jadinya ga mabok” hibur ibu sambil menyodorkanku botol minum favoritku yang akan kukalungkan di leher.
Ibu lalu beranjak ke kamar, menutup semua jendela, mematikan semua lampu, mengambil dot susu dan menggendong adikku, Diana, di depan tubuh ibu.

“Lah da” (Udah bang) sahut ibu ke ayah, tanda semua persiapan sudah selesai.
“Udah? Nah sini bang kita doa dulu sama sama” ajak ayah kepadaku.
Aku beranjak dari tempat dudukku dan mendekat ke ayah. Kami membuat lingkaran dan ayah mulai berdoa..
“Ya Allah, berikanlah keselamatan bagi keluarga hamba, jadikan lebaran kali ini menjadi momen tersambungnya silaturahmi kami dan nantinya kami bisa pulang dengan selamat ke rumah ini lagi..” ucap ayah sambil menengadahkan tangannya.

“Aamiin” jawabku dan ibu hampir serentak.
Hari itu untuk pertama kalinya aku akan pulang kampung ke rumah kakek dan nenekku di Sumatera Barat bersama ibu, ayah dan adikku yang baru dua tahun.
Perjalanan ini juga akan jadi kali pertama keluargaku menaiki pesawat. Kedua orang tuaku memang berasal dari SumBar, namun keduanya merantau ke Jakarta setelah menikah.
Keluarga kami sudah lama mengagendakan pulang kampung saat momen lebaran namun selalu terhalang banyak urusan. Mulai dari kelahiran adikku, urusan pekerjaan ayah, biaya yang tidak terjangkau, dan hal hal lainnya.
Sehingga diumurku yang ke 7 tahun barulah kami berkesempatan pulang pada momen lebaran.

Perjalanan dengan pesawat ataupun darat ternyata tidak ada bedanya bagiku. Aku muntah di atas pesawat dan sempat membuat ibu kerepotan.
Sementara Diana dengan tenangnya tidur tanpa sekalipun menangis selama kami berada di udara.
Kami mendarat di Bandara Tabing sekitar jam 2 siang. Saat itu bandara Tabing atau Tabiang di Padang masih aktif sebagai bandara domestik. Belum dipindah ke bandara Minangkabau seperti sekarang.
Setelah turun dari pesawat dan mengambil barang bawaan, kami menyewa sebuah mobil travel untuk menuju kediaman kakek dan nenek. Jaraknya dari Kota Padang cukup jauh dan harus menempuh perjalanan kurang lebih 6 jam. Untuk lokasi tepatnya aku memilih untuk memprivasikannya.
Jalan yang kami lalui sebenarnya indah dan sangat memanjakan mata, tapi aku yang pemabuk ini tidak bisa menikmatinya karena ketika melihat keluar jendela saja sudah membuatku mual dan muntah.
Karena travel mengantar penumpang lain terlebih dahulu, kami baru sampai di rumah kakek sekitar jam 7 malam.
Ketika masuk ke dusun rumah kakek, suasananya benar benar terasa seperti kampung. Jauh berbeda sekali dengan yang aku lihat sepanjang perjalanan dari Kota Padang tadi.
Lingkungan rumah kakek masih sangat asri dan berada di atas tebing. Pemukiman warga masih jarang dan sekalipun ada, jaraknya berjauh jauhan. Lampu jalan juga sangat minim dan hanya mengandalkan cahaya dari teras rumah warga.
Bahkan beberapa rumah hanya mengandalkan dama atau lampu petromak sebagai pencahayaan di malam hari.
Mobil yang kami tumpangi lalu berhenti tepat di depan sebuah jembatan dari batu batu yang direkatkan dengan semen. Di seberang jembatan, terdapat sebuah 2 rumah sederhana dengan dinding sebagian dari kayu dan atap yang tinggi.
Ada beberapa orang sedang merokok dan duduk duduk di teras rumah tersebut berkumpul ditengah cahaya lampu kekuningan.

“Nah disiko se da” (nah disini aja bang) ujar ayah ke supir travel tadi.
Supir itu lalu membunyikan klaksonnya 2 kali dan langsung menarik perhatian orang orang yg berkumpul di teras tadi. Ayah lalu keluar dari mobil dan langsung melambaikan tangan ke arah orang orang itu.

“Capek bantu angkek ko ah hahaha” (Buruan bantuin angkat angkatin ini hahaha)
Senyuman lebar langsung tersungging dari orang orang itu yang segera menghampiri ayah. Satu persatu mereka memeluk ayah dan menanyakan kabar. Sebagian lagi membawakan barang barang kami di bagasi menuju rumah tadi.
Kami naik ke atas salah satu rumah yang akhirnya ku ketahui sebagai rumah kakek, sementara di sampingnya adalah rumah Tante Lisa, anak pertama kakek.
Rumah kakek saat itu sudah dipenuhi saudara saudara lain yang menyambut kami. Maklum, ini kali pertama keluarga besar dan lengkap akan berkumpul karena kedatangan keluargaku yang selama ini absen ketika lebaran.
Orang orang mengerubungi adek dan aku lalu bertanya pertanyaan pertanyaan klasik orang dewasa ke anak kecil pada umumnya.

“abang namanya siapa?” tanya seorang pria yang kalau aku lihat lihat mirip dengan ayah.
Aku menatap ibu canggung. Tapi kata ibu semua orang di rumah ini adalah saudaraku dan aku tidak perlu takut.

“Rahman om..” jawabku pelan.

“Ehh jangan panggil om, panggilnya apak ya, apak adeknya ayahnya Rahman, panggilannya apak Panji” ujar pria itu kepadaku dengan ramah.
Aku baru tau panggilan apak dan om berbeda di minang. “Apak” adalah panggilan untuk saudara laki laki setara dengan ayah namun dari jalur keluarga ayah. Sedangkan “om” adalah panggilan untuk saudara laki laki yang setara dengan ayah namun dari jalur ibu.
Aku lalu berkenalan satu satu dengan seluruh orang di rumah tersebut. Ada Pak Panji, adik ayah dan Tante Lisa kakak kandung ayah, ipar ayah yaitu Pak Ali dan Tante Rina, sepupu sepupu dan tentu saja kakek dan nenek.
“Lah bara umua cucu inyiak kini?” (Udah umur berapa cucu kakek sekarang?) tanya kakek yang selalu berbicara dengan bahasa Minang padaku agar aku belajar bahasa daerah kami.

“tuh ditanya kakek, udah umur berapa Rahman?” jelas ibu padaku.
“tujuh tahun..” jawabku lagi.

“Cadiak cucu inyiak yoo” (Pintarnya cucu kakek) ujar kakek sambil tersenyum begitu pula nenek disamping beliau.
Karena masih asing dgn rumah tersebut, aku hanya duduk diam disamping ibu yang terkadang menimang2 Diana adikku dan memberinya susu. Aku hanya melihat ke sekitar rumah sederhana itu dari posisiku duduk.
Ada beberapa foto terpajang di rumah itu. Aku yakin salah satunya adalah foto ayah semasa muda.
Rumah kakek memiliki dinding berwarna cream dan ada beberapa bagian rumah yang masih terbuat dari kayu. Lantainya hanya berupa corr semen licin dan dibeberapa bagian ditaruh tikar anyaman untuk tempat duduk duduk.
Rumah ini ada 4 kamar tidur, 1 ruang tengah, serta dapur dengan alat masak yang masih dari tungku kayu. Rumah ini juga belum ada kamar mandi karena semua yang berhubungan dengan mck dilakukan di sungai depan rumah.
Sementara ibu beramah tamah dengan keluarga ayah, dan ayah sendiri merokok diluar dikelilingi adik dan kakaknya saat itu, aku mulai coba membaur dengan sepupu sepupu jauhku yang umurnya tidak begitu jauh denganku.
Yang pertama adalah Nizar, sepupu perempuanku yang merupakan anak dari Pak Panji dan tante Rina. Kulitnya sawo matang dengan rambut keriting dan menggendong boneka beruang kecil yang ia bawa kemanapun. Pak Panji, ayahnya, bekerja sebagai petani sekaligus marbot di surau kampung.
Yang kedua ada Bobi, sepupu laki lakiku yang merupakan anak dari Tante Lisa, kakak dari ayah. Bobi adalah anak sumatawayang dari Tante Lisa dan Pak Ali. Umurnya sekitar 2 atau 3 tahun lebih tua dariku.
Keluarga Tante Lisa bisa dibilang paling sukses diantara ketiga anak kakek, Pak Ali memiliki usaha jual beli tanah dan sawit.
Diantara cucu cucu kakek lainnya, Bobi adalah anak yang paling aktif dan juga supel. Karena ia tinggal disini, banyak orang orang yang kenal dan akrab dengannya. Ia juga tidak malu berinteraksi dan bercerita dengan orang orang sehingga banyak yang mengajaknya berbicara.
Pendekatan kami bertiga dimulai dari Bobi yang menanyaiku banyak hal dan memamerkan mainan baru yang ia punya. Bobi punya sebuah tembakan dari bambu yang berbunyi cukup keras ketika “ditembakkan”.
Jujur aku tidak pernah melihat mainan itu sebelumnya dan pandanganku tertuju terus pada mainan yang ia bawa itu. Sementara Nizar yang terus memeluk bonekanya juga mengikuti Bobi kemanapun ia pergi karena juga tertarik dengan mainan itu.
“Pinjaman ka si Rahman tu Bob, elok elok bamain yoo” (Pinjemin ke Rahman bob, hati hati mainnya ya) ujar Tante Lisa kepada Bobi, anaknya.
Tanpa diduga, Bobi langsung memberikan mainannya kepadaku dan mengajarkan cara mainnya. Aku yang awalnya masih malu malu tanpa sadar menjadi akrab dengan Bobi dan mulai bermain bersama.
Walaupun terhambat bahasa karena Bobi tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, namun aku sedikit sedikit bisa mengerti bahasanya karena ibu dan ayah sering berkomunikasi dengan bahasa Minang di rumah.
Permainan kami harus terhenti karena hari yang sudah mulai larut malam. Aku, Diana dan Ibu masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan untuk kami.
Kamarnya cukup luas dengan aroma kayu yang khas. Ranjangnya berupa rangka besi yang dicat hijau dan beberapa sisinya mengelupas, ada kelambu besar yang menutupi kasur di kamar itu untuk menghindari dari gigitan nyamuk. Kamar itu adalah peninggalan kamar ayah semasa bujang.
Bobi tidur di rumahnya yang ada di sebelah rumah kakek ini. Sementara Pak Panji, Tante Rina dan Nizar tidur di kamar lama pak Panji. Keluarga Pak Panji memang masih tinggal di rumah kakek karena Tante Rina berasal dari Pekanbaru sementara usaha pak Panji ada di kampung ini.
Keluargaku pulang kampung saat h-3 lebaran. Jadi aku sempat merasakan momen puasa di kampung walau hanya dua hari lamanya sebelum hari raya idul fitri.
Aku sempat merasakan bagaimana keramaian dan kemeriahan masjid setiap tarawih dan bagaimana anak anak seumuranku mengaji selepas maghrib. Hal yang tidak aku temukan di Jakarta.
Selama aku di kampung, ibu lebih melepasku dibanding ketika aku di Jakarta. Mungkin karena ibu tau seisi kampung ini adalah saudara ayah serta saling mengenal satu sama lain, dan tidak ada kejahatan apapun yg selama ini terjadi sehingga kekhawatiran ibu bisa dibilang tidak ada.
Aku dibebaskan bermain sepuasku dengan Bobi, Nizar dan anak anak lain di kampung itu.
Suatu ketika aku sempat diajak kakek ikut dengannya untuk mengisi ceramah di salah satu mesjid kampung sebelah. Beliau mengisi kultum antara shalat isya dan tarawih.
Ditengah gelap malam bermodalkan sepeda tua dan cahaya dari lampu senter yang diselipkan di ketiak kakek, kami pergi ke mesjid itu.
Saat itu aku baru tau ternyata kakek adalah salah satu niniak mamak tatuo tinggi di kampung.
Istilah untuk orang yang nasehatnya didengarkan dan dianggap bijak. Selain itu kakek juga digelari Datuk, tepatnya Datuak Sutan Mantari. Jadi bukan hal aneh jika kakek diminta berceramah atau menyelesaikan beberapa urusan yang berhubungan dengan kemaslahatan masyarakat.
Disana, kakek memberikan ceramah yang disimak oleh puluhan jamaah dan beberapa anak kecil yang sibuk mencatat untuk kemudian diberikan ke kakek untuk ditandatangani. Kakek kemudian juga menjadi imam shalat tarawih di mesjid tersebut.
Keesokan harinya, hari terakhir Ramadhan dan nanti malam akan dilaksanakan takbiran. Keluarga besar kakek dan nenek memasak besar besaran di dapur belakang untuk menyambut hari raya esok.
Kuali besar berisi rendang bergejolak sambil terus diaduk oleh tante Lisa. Sementara nenek memasak gulai cubadak (sayur nangka) untuk kuah lontong sayur besok. Tidak ketinggalan, Ibu membantu membuat kacang goreng dan kue sapik untuk hidangan tamu lebaran.
Semua orang dewasa sibuk dengan urusan masing masing saat itu.

Sementara Aku, Bobi dan Nizar seperti biasa bermain di sekitaran rumah. Kami bermain onggokan tanah sisa renovasi rumah Tante Lisa yang masih menggunung di sebelah rumah kakek.
Sampai pada suatu ketika, Bobi berkata padaku,
“Man, lah parnah mandi di batang aia?” (Man, udah pernah mandi di batang air?) tanyanya.

“Belum. Batang Aia itu apa?” tanyaku balik.
“Nah petang nanti kita mandi dekat sana nah” kata Bobi bersemangat walaupun bahasanya masih tercampur minang dengan Indonesia.

Aku mengangguk setuju. Aku sendiri tidak tau batang aia itu apa, kolam pemandian kah? Atau sumur mungkin?
Selepas adzan ashar Bobi mengajakku dan Nizar untuk pergi mandi ke batang aia yang ia maksudkan.
“Eiiii ka kama tuu hari lah ka sanjo, malam beko urang takbiraan” (Hei mau kemana udah sore gini? Malam nanti orang takbiran) pekik Tante Lisa dari teras rumah ketika melihat kami menyeberangi jembatan.
“ Kami pai main sabanta ka mudiak buu. Beko baliak jam limoan” (Kita pergi main bentar bu ke atas, nanti pulang jam limaan) kata Bobi sambil sedikit berlari.
Kami menyusuri perkampungan ini bertiga. Suasana kampung benar benar sudah disibukkan dengan persiapan menuju hari raya. Beberapa penduduk memasang obor di pekarangan, sebagian lagi sedang mengecat rumah yang dindingnya mulai pudar.
Sepanjang perjalanan, beberapa orang berpapasan dengan Bobi dan menanyakan ia akan kemana, namun entah kenapa Bobi tidak jujur mengatakan akan ke batang aia. Ia hanya mengatakan mau pergi main ke orang orang itu.
Sampai di suatu sudut kampung, kami berbelok ke arah kiri. Mengarah ke jurang dari kampung ini. Ya, seperti yg aku bilang di awal, kampungku ini ada di atas tebing. Sisi kirinya adalah jurang dengan sungai yg cukup deras dan mungkin jika ada di pulau Jawa digunakan arung jeram.
Kami masuk ke dalam rerimbunan semak dan pohon rindang. Bobi yg membukakan jalan lurus ke depan, Nizar ditengah dan aku di belakang. Kami terus berjalan hingga tidak ada lagi jalan setapak perkampungan. Kami berjalan diatas tanah lembab yg dipenuhi daun daun kering berguguran.
Perlahan aku bisa mendengar suara gejolak air yang cukup keras. Semakin jauh kami berjalan, suaranya semakin jelas dan terasa dekat. Aku tidak mengatakan apapun sepanjang perjalanan selain mengikuti kemana Bobi melangkah.
Rimbunnya pepohonan membuat suasana terasa gelap namun sejuk, padahal sudah sekitar jam setengah lima sore waktu itu.

Sampai akhirnya di satu ujung jurang, Bobi berhenti. Ia menunggu aku dan Nizar yang masih tertatih tatih berjalan karena tanah yang lembek dan licin.
“Nah iko namonyo Batang Aia Man” (nah ini namanya Batang Air man) ujar Bobi sambil menunjuk belakangnya ketika aku muncul dari balik semak.

Aku beranjak maju dan seketika terpana...
Posisi kami berada di ujung sisi tebing yang membentuk pola U setinggi kurang lebih 15 meter, dibawah ada aliran sungai yang deras dengan batu batu besar yang terlihat kokoh.
Air sungai tersebut juga sangat jernih, bahkan dari kejauhan aku bisa melihat beberapa ikan berwarna perak dan orange berenang dibawah sana.
Disisi kami tidak ada pepohonan karena memang jurang yang langung tegak lurus ke dasar sungai, tapi diseberang ada hamparan pepohonan luas yang saat itu aku duga adalah hutan karena tidak ada atap rumah warga satupun disana.
“Baa, rancak ndak? Di Jakarta ada punya yang kayak ini gini?” (Gimana, bagus kan? Di Jakarta ada yang kayak gini ga?) tanya Bobi bangga ketika melihat wajah terkesimaku.

“Enggak ada. Disana kalinya coklat” kataku jujur.
“Nah awak mandi di mudiaknyo dih, sinan, aianyo labiah tanang, tu biasonyo ado etek etek nan manyasah” (Yuk kita mandinya di sebelah sana, airnya lebih tenang dan biasanya ada ibu ibu nyuci) kata Bobi menunjuk ke arah hulu.
“Kenapa ga disini aja? Airnya juga tenang” kataku sambil menunjuk tepat dibawah kami. Memang air dibawah terlihat tenang, membentuk sebuah lubuk dengan air tenang yang dikelilingi tebing. Aku juga tidak tau kemana air ini akan terus mengalir karena terhalang pola U tebing.
“Jan disana, airnya dalam. Aguik wak beko. Bapantangan mandi di lubuak ko dakek dakek sanjo” (Jangan disana, airnya dalam. Tenggelam kita nanti. Apalagi pantang mandi disana kalo udah malam) ujar Bobi sambil bergerak lagi ke arah hulu.
Kamipun berjalan ke arah hulu. Perlahan tebingnya mulai menurun dan melandai sampai akhirnya kami bertemu aliran sungai tepat di hadapan kami. Airnya benar benar jernih dengan pasir kuning keemasan dan batu batu kali yang berukuran sedang.
Banyaknya batu di lokasi itu membuat aliran air yang cukup deras terpecah dan membuat aliran disana cukup tenang.

“Awak batigo se disiko bang..”(Kita bertiga aja disini bang) ucap Nizar yang dari tadi diam.
Bobi melihat ke sekeliling. Tidak ada satupun orang mencuci baju atau mandi di tepian sungai sore itu. Padahal menurut Bobi sebelumnya, lokasi itu biasanya ramai dengan ibu ibu yang mencuci baju. Mungkin mereka masih sibuk dengan urusan dapur masing masing.
“Iyo lo yeh, biasonyo rami mah. Bia lah, elok elok se wak mandinyo. Jan ka tangah”(Iya juga ya, biasanya rame. Tapi gapapa deh, hati hati aja kita mandinya, jangan ke tengah) pesan Bobi.
Bobi langsung menanggalkan bajunya hingga menyisakan celana kolornya yang berwarna merah. Ia lantas berjalan ke sungai dan berenang dengan sangat lihai.

“Capeklah man. Baranang wak” (Cepetan Man, kita berenang) ajak Bobi.
Aku yang ragu ragu karena tidak pernah mandi di sungai hanya menanggalkan bajuku saja. Aku mendekat ke arah Bobi dengan celana pendek bahan jeans yang aku kenakan.
Ketika sampai di posisi Bobi berenang, ternyata kedalaman airnya sampai ke perutku.
Aku yang belum berpengalaman berenang hanya mengambang ngambang saja sambil sesekali menyelupkan kepalaku ke dalam air.
Segar. Benar benar ga kebayang begini asyiknya sensasi berenang di sungai yang masih jernih dengan view yang memanjakan mata ini.
Setelah beberapa saat berenang di lokasi yang sama denganku, Bobi naik ke salah satu batu besar di tengah arus sungai.

“nah tadi wak tagak disinan tu Man”(nah tadi kita berdiri di sana Man) unjuk Bobi ke atas menuju salah satu spot tebing.
Aku yang penasaran segera menyusul Bobi ke arah batu itu dan melihat ke arah yang dimaksud, sayang pijakanku tidak tepat. Aku menginjak pada batuan berlumut sehingga tergelincir ke arah tengah dan tergulung arus air.
Bobi sempat mencoba menangkapku namun ia justru ikut terbawa karena celana jeans yang aku kenakan membuat tubuhku berat dan mudah terdorong arus air.
Ditengah tengah kepanikan dan air yang terus masuk ke hidung dan mulutku, aku mendengar suara jeritan Nizar di tepian sungai memanggil nama Bobi dan aku.

Pandanganku gelap untuk beberapa saat dan aku sudah memasrahkan tubuhku membentur batuan batuan.
Rasanya sakit sekali namun aku juga tidak bisa menghindarinya. Aku juga tidak bisa bisa berteriak karena kepalaku keluar masuk air. Setelahnya, aku tidak ingat lagi apa yang terjadi.
Ketika sadar, aku sudah berada di sebuah pagar dari bilah bambu yang biasa masyarakat minang sebut sukam. Sukam ini gunanya adalah menghalau ikan agar bergerak ke arah perangkap pemancing.
Saat aku terbangun, yang pertama aku rasakan adalah perih dan ngilu luar biasa di sekujur tubuhku. Kepalaku terasa sakit dan pandanganku berputar putar.
Aku coba berdiri dan melihat ke arah hulu, mencari posisi kami mandi tadi dan Nizar. Dari kejauhan aku bisa melihat Nizar berdiri dengan baju kuning terangnya. Dibelakangnya ada seorang wanita yang entah siapa, sepertinya warga sekitar yg mendengar teriakan Nizar.
Aku sudah berada cukup jauh dari lokasi kami mandi tadi. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling dan menyadari posisiku sudah dekat dengan lubuk yang kami lihat dari atas tadi.
Saat melihat ke arah tebing, mataku tertuju pada sebuah pohon rindang yang akarnya mencuat keluar dan mencengkram tebing dengan sangat kokoh. Pohon itu begitu mencolok diantara pepohonan lain dengan akar akar gantung yang terdapat di dahan dahannya.
Namun bukan itu yang menarik perhatianku.. tapi karena di salah satu dahan pohon itu, ada sesuatu yang menggantung..

Di dahan itu.. ada seseorang berbaju daster putih kusam keabuan gantung diri.. tubuhnya berputar pelan tertiup angin..
Aku bisa melihat wajahnya dari kejauhan.. lidahya menjulur hingga leher, matanya melotot dan ada darah kehitaman membasahi sisi depan bajunya.. namun tiba tiba saja orang itu meronta ronta. Ia bergelinjang dengan leher masih terikat tali yang tergantung pada pohon itu.
Ia terus berteriak teriak. Aku bahkan bisa mendengarkan teriakannya yang melenguh seperti sapi. Pantulan suaranya seakan memenuhi sisi tebing dan bergema. Lama kelamaan teriakannya seperti masuk ke dalam kepalaku.
Aku menutup telingaku karena pengang namun suara itu masih bisa aku dengar.
Aku kemudian jatuh lagi ke sukam. Tidak sadarkan diri dan tidak ingat lagi apa yang terjadi…
----cerita akan dilanjutkan besok----
Bagi yang ingin membaca duluan tanpa terpotong2, bisa download ebooknya di Karyakarsa ya. Ada 3 bagian, dan lanjutan ini masih di Bagian 1. Thanks atas supportnya

karyakarsa.com/Mwvmystic/part…
“KO NYOA!!” (INI DIA)

“ALHAMDULILLAH YA ALLAH BASOBOK CIEK!!” (Alhamdulillah ya Allah ketemu satu orang)

Teriakan pria yang tidak aku kenali membangunkanku. Hari sudah malam, sepertinya aku sudah pingsan cukup lama.
Sebuah senter kekuningan diarahkan tepat ke wajahku yang membuatku tidak bisa membuka mataku lebar lebar. Perlahan cahaya cahaya senter serta obor berdatangan dan mengelilingiku.
“Rahman, Rahman, lai tadanga suaro apak?” (Rahman, kedengeran suara bapak?) tanya pria itu yang aku masih belum bisa melihat wajahnya

“Kedengeran pak..” ujarku lemah.
Terdengar suara orang orang lain yang mengerubungiku saat itu. Aku tidak begitu jelas dengan apa yang mereka ucapkan tapi aku yakin mereka membicarakan keadaanku dan kedua temanku.
“Bao anak wak ko ka rumahnyo, wak taruihan mancari si Bobi jo Nizar dakek siko” (Bawa anak kita ini ke rumahnya, kita terusin nyari si Bobi dan Nizar di sekitar sini) ujar salah satu suara.
Aku kemudian dibopong oleh beberapa orang ditengah gelapnya malam. Kaki dan badanku terasa sangat perih. Selain itu telingaku masih terasa pengang dan sakit.
Tangisan ibu dan ayah pecah ketika aku diangkut ke dalam rumah. Orang orang tengah mengaji bersama disana, sementara beberapa yang lain menangis tersedu sedu.

“Ya Allah Rahman… Anak den.. Ya Allah…” tangis ibu sambil membelai belai pipiku.
Aku dibawa ke ruang tengah, dikelilingi ibu ibu yang daritadi mengaji bersama. Badanku diselimuti dengan selimut tebal dan disiapkan teh hangat.
Rumah sakit dan tenaga medis bisa dibilang tidak ada di kampung kala itu. Warga pun lebih memilih pengobatan alternatif ketimbang medis.

Kakek kemudian memeriksaku dan menanyakan apa yang aku rasakan. Lalu kakek pergi entah kemana.
Walaupun aku sudah ada ditengah tengah mereka, pengajian tetap dilakukan. Tak lama kakek datang dengan seorang wanita sepuh yang tidak aku kenal. Wanita itu mengoles oles tubuhku dengan kunyit dan telur lalu merapal hal yang aku tidak mengerti sambil mengusap kepalaku.
Telur itu kemudian dipecahkan dan ada titik noda hitam di bagian kuning telur tersebut.

Sekitar sejam berikutnya, aku sudah mulai merasa pulih. Aku sudah bisa duduk dan keluar dari selimutku. Namun saat aku membuka selimut, kaki kiriku sudah bengkok ke bagian dalam.
Anehnya aku tidak merasakan sakit sama sekali di bagian kakiku itu.

Aku menatap ibu nanar “Bu.. kaki Rahman kenapa?..”

Ibu mentap kakiku dengan tercengang. Baru saja ibu akan bertanya, tiba tiba terdengar suara jeritan dari arah luar..
“HAAAAAAAA BOOOBIIIIIIIIIIIII” jerit seorang wanita yang suaranya kuyakin adalah Tante Lisa.

Ibu ibu yang dari tadi mengaji tiba tiba memberhentikan bacaannya. Mereka berdiri dan beranjak ke pintu depan dan melihat ke arah luar. Perlahan isak tangis mulai terdengar.
Lalu tak lama, serombongan pria yang basah kuyup masuk ke dalam rumah, membopong tubuh anak kecil yang sudah putih pucat dengan urat urat kehijauan memenuhi sekujur tubuhnya.

Ketika tubuh itu diletakkan, ternyata itu adalah tubuh Bobi…
Berikutnya rombongan lain kembali masuk, kali ini menggotong tubuh Tante Lisa yang langsung pingsan ketika melihat Bobi digotong oleh warga yang mengevakuasinya.
Aku hanya menatap tubuh pucat Bobi tanpa bisa berkata apa apa. Teman baruku yang baru saja aku kenal dan dekat sekarang sudah terbujur kaku di hadapanku.. dan mungkin tidak begini jadinya jika Bobi tidak mencoba menolongku..
Tiba tiba kakek masuk ke rumah dengan wajah panik disusul beberapa pemuda lain dibelakangnya.
Kakek mendekati jasad Bobi dan meletakkan jarinya di leher bobi. Kakek memejamkan matanya lalu air mata mengalir di pipinya.
“Innalillahi wa innailaihi rojiun…” lirih kakek sambil menutup mata Bobi yang sedikit terbuka..

Jeritan dan tangisan pecah saat itu juga di rumah sederhana kakek. Ibu ibu yang sedari tadi membaca quran menangis dan tidak sanggup meneruskan bacaannya.
Suasana semakin mengharu biru saat Pak Ali, suami Tante Lisa masuk dan langsung memeluk tubuh Bobi sambil menangis sejadi jadinya…
“BOOBIIIII ANG NDAK BULIAH PAI BOOOBBBB, IKO AYAH BOOOB, JAGO LAH NAAAK.. YA ALLAH… BOOBII ANAK AYAH… JAGO LAI NAK….” (BOBI KAMU GA BOLEH PERGI BOB, INI AYAH BOB, BANGUN NAK, YA ALLAH.. BOBI ANAK AYAH, BANGUN NAK..) jerit Pak Ali sambil memeluk tubuh Bobi erat erat.
Kakek mengelap air matanya lalu menepuk pundak Pak Ali serta menasehati menantunya itu untuk bersabar.

“Dima kalian basobok Bobi ko?..” (Dimana kalian menemukan Bobi?) tanya kakek ke rombongan pemuda yang mengantarkan Bobi tadi.
“Di Lubuak Pusaro nyiak.. lah hampia ka tangah..” (Di Lubuk Pusara kek, udah hampir ketengah) ujar salah seorang diantara mereka.

Mata kakek terbelalak. Beliau langsung melihat ke arahku dan seakan ingin berkata sesuatu namun urung.
“Cubo kalian cari disinan lo baliak, cari dakek dakek hutan subarang lo. Nizar alun basobok sampai kini. Gakti awak, inyo dakek sinan lo..” (Coba kalian cari disana lagi. Cari dekat hutan seberang juga. Nizar belum ketemu sampai sekarang. Dugaan saya, dia juga ada didekat sana)-
-ujar kakek memberikan perintah kepada para pemuda itu yang dijawab dengan anggukan.

“Iyo nyiak. Kami usahoan..” (Iya kek. Kami usahakan..) jawab pemuda pemuda itu.
Ibu lalu berdiri ke arah kakek dan berbisik sambil menunjuk ke arahku.
Wajah kakek berubah terkejut dan segera melangkah mendekat padaku lalu berjongkok di sampingku.
“Rahman, ma inyiak caliak kaki Rahman..” (Rahman, coba kakek liat kaki Rahman) ujar kakek padaku.

Aku membuka selimut dan menunjukkan kakiku. Kaki kiriku sudah melengkung ke arah dalam padahal sebelumnya normal.
Kakek beristighfar. Beliau memegang kakiku dan menekannya sedikit.

“Sakik?”(sakit?) tanya kakek.

Aku menggeleng.

“Rahman manga se tadi jo Nizar samo Bobi?” (Rahman ngapain aja tadi sama Nizar dan Bobi?) tanya kakek.
“Rahman mandi doang tadi kek.. di batang aia sama Bobi. Terus Rahman kepeleset, Bobi sempat mau nolong Rahman, tapi jadi ikut kebawa..”ujarku.

Pak Ali melihat ke arahku, aku bisa melihat ada kesedihan sekaligus amarah di sorotan matanya.
“nan mandi Rahman samo Bobi sajo? Nizar sato mandi lo ndak?” (yang mandi Rahman sama Bobi aja? Nizar ikutan mandi juga nggak?) tanya kakek, bertanya perlahan agar aku tetap tenang.
“Enggak kek.. Nizar cuma nungguin di pinggir sungai.. terakhir Rahman liat Nizar masih dipinggir sungai, sama ibu ibu..” jawabku jujur.

“ibu ibu?.. ibu ibu sia? Baa ruponyo?’ (ibu ibu? Ibu ibu siapa? Gimana rupanya?) tanya kakek penasaran.
“Rahman juga ga tau kek.. Rahman ngeliatnya dari jauh dan gak kenal..” jawabku. Aku benar benar tidak bisa mengenali siapa wanita yang terakhir bersama Nizar itu. Selain kepalaku saat itu pusing, jaraknya juga cukup jauh dari posisiku.
Pak Ali lalu kembali meraung dan memeluk tubuh Bobi. Ibu ibu disekelilingnya pun mulai terisak kembali.
“Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Laa illaha ilallah.. wallahu akbar.. Allahu Akbar walillah ilham”

Malam itu takbiran yang seharusnya diisi dengan suka cita dan keramaian, berubah menjadi duka dan kepanikan.
Takbiran di kampung kami hanya dilakukan secara sederhana dan bahkan tanpa ada arak arakan obor seperti biasanya. Para pemuda dan warga sibuk mencari Nizar dan melayat ke rumah kakek untuk mengucapkan duka cita kepada Tante Lisa dan Pak Ali.
“Nizaar naak, Nizaar.. pulang laah” panggil beberapa warga sambil menyenteri setiap sudut kampung, berharap menemukan Nizar.
“Bapak bapak, ibu ibu, di malam ko.. keluarga wak.. sanak wak ado nan kamalangan, Bobi, anak Si Ali jo Lisa, maningga.. dan Nizar, anak si Panji .. alun basobok sajak sanjo tadi. Basamo samo wak badoa ka kaduo anak anak wak ko, semoga Nizar capek basobok dalam keadaan salamaik,-
dan semoga keluarga nan ditinggaan Bobi diagiah kesabaran.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar Laa illaha ilallah.. wallahu akbar.. Allahu Akbar walillah ilham”
(bapak bapak ibu ibu, malam ini keluarga kita, saudara kita, ada yang mendapatkan kemalangan. Bobi, anak Ali dan Lisa meninggal dunia. Dan Nizar, anak Panji belum ketemu dari sore tadi. Bersama sama kita berdoa buat kedua anak kita ini, semoga Nizar cepat ditemukan dalam keadaan-
-selamat dan semoga keluarga yang ditinggalkan Bobi diberi kesabaran) ujar suara dari arah mushola kampung ini.
Rumah kakek masih dipenuhi orang hingga lewat tengah malam. Tubuh kaku Bobi masih ada di ruang tengah, sudah ditidurkan diatas kasur kapuk dan tangannya disedekapkan ke dadanya.
Di sudut ruangan, Tante Lisa terduduk lemas dengan mata bengkak dan dikipas kipasi oleh tetangga yang lain. Sementara Pak Ali berdzikir disisi tubuh Bobi dengan wajah memerah.
“Bobi.. nak.. bisuak rayo awak.. jago nak.. baju baru Bobi lah amak bali..” (Bobi.. nak.. besok kita lebaran.. bangun nak.. baju baru bobi udah ibu beli..) lirih Tante Lisa meracau sambil menatap kosong ke arah jasad Bobi.
Seluruh orang di ruangan itu merasakan rasa takut dan sakit yang sama. Ya, rasa takut akan kondisi Nizar yang sampai lewat tengah malam belum juga ditemukan.. hingga akhirnya, penantian dan tanda tanya itu terjawab dengan kenyataan yang menyakitkan..
Pukul 2 dini hari, sekumpulan pemuda datang ke rumah kakek dengan wajah suram dan ketakutan.

“Datuak.. maaf ado nan ka awak kicekan..” (datuk, maaf ada yang mau saya bicarakan) ujar salah satu pemuda yang ada di ambang pintu.
Kakek bangkit dari duduknya dan keluar rumah. Keduanya berbincang di luar dan jauh dari keramaian. Kakek nampak mengusap mukanya berkali kali dalam dialog itu. Hingga akhirnya kakek kembali masuk dan memberikan pengumuman kepada semua orang di rumah.
“sanak sadonyo nan ado disiko, tanpo sabuik namo nyo gala, awak dapek kaba buruak.. Innalillahi wa innailaihi rojiun, Nizar, cucu ambo lah basobok, tapi nan ruah lah indak basandiang jo badan..”
(saudara semuanya yang ada disini, tanpa terkecuali, kita dapat kabar buruk.. Cucu saya, Nizar, sudah ketemu. Tapi ruhnya sudah tidak lagi melekat di badan) ujar kakek yang tentu saja kembali mengundang tangis para pelayat.
Pak Panji dan tante Rina, orang tua dari Nizar saat itu memang tidak ada dirumah. Keduanya ikut dalam pencarian Nizar ke pelosok pelosok desa bersama para warga kampung.
“Tapi dek karano satu dan lain hal.. dengan kerendahan hati ambo, ambo minta tolong untuak maninggaan rumah ko sabalun cucu wak pulang ka rumah. Bia kami keluarga nan mauruih sisonyo. Bisuak, sanak bisa kamari baliak untuak pemakaman kaduonyo..”
(Tapi karena satu dan lain hal, dengan kerendahan hati saya, saya minta tolong saudara saudara semua meninggalkan rumah ini sebelum cucu saya pulang. Biar kami keluarga yang mengurus sisanya. Besok, saudara saudara semua bisa kembali lagi untuk pemakaman..).
Para pelayat saling melihat satu sama lain. Mereka sepertinya bingung kenapa harus meninggalkan rumah tersebut padahal biasanya rumah duka akan terus diisi oleh tetangga sekitar untuk membantu mengurus jenzah dan membacakan ayat ayat quran.
“Ba’a tu tuak?.. ado nan salah dari kami?” (Kenapa datuak? Apa kami ada salah?) tanya salah satu tetangga.

“Indak.. indak ado samo sakali. Iko atas permintaan kami keluarga” (enggak. Ga ada salah sama sekali. Ini atas permintaan kami sekeluarga) jelas kakek.
Karena yang berbicara adalah kakek yang merupakan datuk di kampung, warga sekitar berangsur angsur meninggalkan rumah. Aku bisa melihat wajah bingung mereka karena diminta pulang.
Selang setengah jam kemudian, saat rumah hanya tinggal kami keluarga inti, termasuk Pak Panji dan Tante Rina yang sudah mendapat kabar itu.
“Ta, suruah Rahman masuak ka biliak dulu. Ndak elok kok nampak dek inyo beko..”(Ta, suruh Rahman masuk kamar dulu. Gabaik kalau dia ngeliat) pesan kakek kepada ibuku.

Tanpa bertanya lebih jauh, ibu memapahku ke dalam kamar lalu menemaniku di dalam.
Aku memandangi ibu, berharap ibu menjelaskan sesuatu kepadaku. Tapi ibu seakan tau maksud pandanganku. Beliau menggeleng pelan.

Beberapa menit setelah aku masuk ke kamar bersama ibu, terdengar suara langkah beberapa orang yang naik ke atas rumah.
“Assalamualaikum…” suara beberapa orang terdengar dari luar.

“Waalaikumsalam….” Jawab suara yang kukenali adalah suara anggota keluargaku.

“Latak kapalo disinan, lambek lambek turunan..” (Kepalanya disebelah sana, turunin pelan pelan) ujar salah seorang pemuda.
“Panji, Rina.. pabanyak istighfar. Tarimo a nan Allah takdirkan untuak awak.. nan lain, tolong pacikan Rina..” (Panji, Rina.. banyak banyak istighfar. Terima apa yang Allah takdirkan untuk kita. Yang lain, tolong pegangin Rina) ujar suara kakek.
Aku bisa mendengarkan semua percakapan diluar karena pintu kamar dan ruang tengah hanya dipisahkan sebuah pintu kayu yang berventilasi.

“Bismillahirrahmanirrahim…” ujar kakek.
“HAAAAAA!!! ALLAHUUU AAAAAARRRGGH NIZARRRRR!!!!!!!!”

“YA ALLAH NAKK… NIZZAAARRRR!!” pekik tante Rina dan pak Panji.
Tangisan dan suara orang orang menyebut istighfar riuh di ruang tengah.
Aku menatap ibu di sampingku. Pandangannya kosong menatap lantai dan air mata mulai mengalir di pipi beliau. Tangan ibu bergetar sambil menggenggam tanganku. Jeritan dan tangisan Tante Rina begitu mengguncang ibu.
“Rahman, disini aja ya.. ibu keluar sebentar..” ujar ibu dengan suara yg bergetar.

Aku mengangguk pelan.
Ibu beranjak bangun dan perlahan membuka pintu, lalu menutupnya kembali. tak lama suara tangisan ibu tergabung ke suara tangisan lain yg sudah ada sebelumnya di luar.
Aku yang penasaran akhirnya bangun dan mendekat ke arah pintu. Aku singkapkan gorden penghalangnya dan mengintip dari balik celah pintu kayu kamar itu.
Dengan susah payah aku menjinjit dan mengintip dari sudut pandang yang terbatas itu sampai akhirnya aku mendapat kesempatan melihat apa yang ada di ruang tengah.
Disebelah jasad Bobi terbaring sosok anak lainnya yang sudah memutih. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas karena terhalang beberapa orang, namun aku bisa melihat baju kuningnya yang basah.. itu baju yang terakhir dipakai Nizar..
Awalnya aku mengira jeritan dan erangan saudara saudaraku karena melihat jasad Nizar, namun ternyata bukan itu saja alasannya. Ketika tante Rina yang dari tadi menghalangi pandanganku beranjak setelah ditenangkan kakek, aku bisa melihat kondisi kepala Nizar..
Saat itu juga jantungku terasa sakit dan kepalaku pusing sekali..
Nizar terbaring dengan kepala yang berlubang di bagian dahinya. Bola mata Nizar mencuat keluar karena tidak ada lagi tengkorak bagian dahi yang tersisa di wajahnya.

Daging wajah dan otak Nizar terlihat jelas dari lobang tersebut yang berbentuk pola kotak rapi.
Kepalaku seketika pusing dan mual. Aku terduduk lemas, pandanganku kabur dan aku mengeluarkan suara seperti hendak muntah. Suaraku yang menahan muntah sepertinya membuat ibuku sadar bahwa aku mengintip dari balik pintu.
Ibu bergegas masuk ke kamar dan mendapati aku tengah terduduk dibalik pintu. Ibu memelukku erat dan menutup mataku sambil terus mengucapkan istighfar...
--Bagian 1 Si Jundai Lubuak Pusaro End--

Lanjutan Bagian 2 akan dipost Minggu depan dengan Judul "Gasing Tengkorak". Buat yang ingin membaca duluan Bagian 2 tanpa nunggu cicilan perharinya, bisa download ebooknya di Karyakarsa

Terima kasih supportnya karyakarsa.com/Mwvmystic/bag-…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with mwv.mystic

mwv.mystic Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @mwv_mystic

Oct 28
Setelah memotong kemaluan korban hidup hidup dan menampung d4rahnya untuk diminum, pelaku memut1l4si dan menjual daging korban dengan kedok daging sapi. Salah satu pembelinya bahkan sudah mengonsumsinya sebagai olahan rendang hati.

a thread Image
M. Delfi adalah seorang pemuda yang tinggal bersama ayahnya, Basri Tanjung, di Kabupaten Siak, Riau. Sehari hari, ia bekerja serabutan. Terkadang ia membantu ayahnya berjualan sate, kadang mengambil upah sebagai buruh bangunan. Image
Hingga akhirnya ia menjadi karyawan sebuah usaha isi ulang galon. Saat usianya masih sangat muda, 19 tahun, pada Februari 2013 ia menikah dengan Dita yang juga berumur sama dengannya. Namun pernikahan ini kandas hanya 8 bulan setelahnya tanpa sempat memiliki keturunan.
Read 21 tweets
Oct 20
ABI KUSNO NACHRAN

JURNALIS YANG DIANIAYA HINGGA CACAT PERMANEN PASCA BONGKAR KEGIATAN PERDAGANGAN KAYU ILEGAL DI KALIMANTAN.

a thread Image
Abi Kusno Nachran, merupakan seorang pria kelahiran Pangkalan Bun tahun 1941. Ia berprofesi sebagai jurnalis untuk Tabloid Lintas Khatulistiwa, sebuah surat kabar lokal di Kalimantan.
Tulisan tulisan Abi Kusno sering menyentil para oligarki dan mafia mafia dibalik pembabatan serta penjualan kayu ilegal dari hutan di Kalimantan. Tidak hanya menulis, ia kerap melaporkan hasil temuannya kepada aparat untuk diusut.
Read 18 tweets
Oct 14
SOTO DAGING MANUSIA DI TERMINAL KAMPUNG RAMBUTAN

a thread Image
Apa jadinya kalau kalian pergi ke sebuah warung soto lamongan, membeli sebungkus soto ayam dan memakannya lalu tiba tiba kalian diberitau kalau warung soto tersebut baru saja digrebek polisi karena menghidangkan soto dengan daging manusia?.. Ilustrasi soto lamongan
Ya, ini bukan potongan adegan film, namun kejadian nyata kasus yang sangat menggemparkan pada masanya : kasus Benget Situmorang dan soto dari daging istrinya.
Read 25 tweets
Oct 7
KISAH TRAGIS OMAYRA SANCHEZ

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, para relawan hanya bisa menemani Omayra menuju kematiannya setelah tersangkut dan terendam air selama 60 jam.

a thread Image
Pada 13 November 1985, Gunung berapi Nevado del Ruiz di Kolombia meletus. Meskipun tanda tandanya sudah terdeteksi, pemerintah setempat gagal melakukan evakuasi dan berakibat pada jatuhnya ribuan korban. Image
Kota Armero, salah satu daerah paling terdampak, bahkan kehilangan 20 ribu dari total 29 ribu penduduknya. Mereka umumnya tewas akibat banjir lahar yg menerjang kota. Salah satu korban di daerah itu adalah keluarga Omayra Sanchez Garzon, seorang gadis berusia 13 tahun.
Read 19 tweets
Oct 3
PALASIK MAYIK
PART 9

Ilmu hitam asal Sumatera Barat yang mengharuskan penggunanya meminum air bekas mandi jenazah

a thread Image
Bagi yg baru bergabung, Part 1-8 bisa dibaca dulu pada utas ini ya :

Kita mulai utasnya jam 20.30 wib. Please support dgn like dan retweet banner judul Part 9 diatas yaa.
Read 172 tweets
Sep 23
KISAH NYATA TUMBAL PROYEK PULAU X

sebuah utas Image
Cerita kali ini gw dapetin dari saudara yg kerja di proyek salah satu pulau. Nama pulaunya mungkin kita simpen dulu ya, meskipun kisah ini mungkin beberapa dari kalian udah tau. Di lokasi tempat dia kerja, beberapa bulan terakhir ada kasus yg booming dan memakan banyak korban.
Gangguannya cukup parah, sampai harus ada ‘pembersihan’ dari hal hal mistis agar para pekerja bisa aman di pulau itu.

Info yang beredar, karena gangguan mistis, ada pekerja yang jari tangannya kepotong dan ada yang kejatuhan potongan pohon yang lagi diangkat crane.
Read 13 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(