mwv.mystic Profile picture
Feb 13, 2022 219 tweets >60 min read Read on X
Bagian 2 Si Jundai Lubuak Pusaro :
GASING TENGKORAK

sebuah kisah teror dari Ranah Minang

a thread Image
Cerita akan dimulai InsyaAllah malam nanti pukul 20.00 wib, bersamaan dengan Instagram.

Bagi yang gamau ketinggalan baca, bisa diretweet atau like dulu yaa. Kisah ini adalah lanjutan dari Si Jundai Lubuak Pusaro, Bagian 1 nya bisa teman2 baca disini :

Untuk teman teman yang mau membaca secara lengkap bagian 2 ini dalam bentuk ebook tanpa perlu nunggu nunggu, link Karyakarsanya ada dibawah ini

Di Karyakarsa, cerita ini sudah sampai di Bagian 3 dan akan memasuki Bagian 4 (final). Terima kasih supportnya karyakarsa.com/Mwvmystic/bag-…
SI JUNDAI LUBUAK PUSARO
BAGIAN 2
Gasing Tengkorak

“Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Laa illaha ilallah.. wallahu akbar.. Allahu Akbar walillah ilham”

Warga kampung mulai keluar dari rumah masing masing, berjalan di sepanjang jalan desa dengan baju baru pagi itu.
Hari ini adalah idul fitri, hari yang dinantikan seluruh umat muslim dunia setelah sebulan lamanya berpuasa.

Wajah wajah ceria anak anak yang mengenakan baju baru, para perantau yang pulang kampung dengan cerita suksesnya di tanah orang dan para pemuda pemudi yang berkumpul-
-kumpul memenuhi sudut desa hingga ke mushola kampung.

Semua terlihat bergembira dan bersuka cita kecuali di satu rumah.. rumah kakek.
Saat semua orang mempersiapkan baju baru, rendang, ketupat dan lain lainnya, kami sekeluarga saat itu mempersiapkan acara pemakaman untuk Bobi dan Nizar.
Kebetulan rumah kakek berada di jalur menuju mushola kampung, dan setiap orang yang lewat menyempatkan dirinya untuk singgah ke rumah kakek untuk meyampaikan bela sungkawanya kepada kami.
Hanya kakek, Pak Panji dan ayahku yang masih memiliki tenaga untuk menjawab dan menerima tetangga yang datang. Sedangkan sisanya sudah terduduk lemas akibat menangis sepanjang malam dan tidak tidur.
Semua rendang, cemilan, kue dan semacamnya yang dengan semanagat dimasak tante tanteku dan nenek dilupakan begitu saja

Tidak ada hari raya untuk kami tahun itu..
Atas permintaan kakek juga, kepala Nizar ditutup sedemikian rupa agar tidak terjadi fitnah di kalangan masyarakat. Rencananya pemakaman akan dilakukan setelah sholat ied dilaksanakan.
Suara takbir yang menggema pagi itu membangkitkan lagi rasa sakit pada tante Rina dan tante Lisa. Mereka mulai meracau tentang lebaran lebaran tahun lalu dimana anak anak mereka begitu semangat dengan baju baru dan mainan yang mereka punya menyambut hari raya.
Tidak ada yang bisa dilakukan keluargaku yang lain kecuali meminta keduanya untuk sabar dan beristighfar..
Sekitar jam 9 pagi, setelah khatib pengganti kakek menyelesaikan khutbah idul fitri, kakek naik ke atas mimbar untuk mengumumkan meninggalnya kedua cucu tercintanya.
Kakek lalu memohon jamaah sholat ied saat itu untuk menshalatkan jenazah Bobi dan Nizar. Tidak ada satupun yang beranjak dari mushola saat itu. Seluruh jamaah ied melaksanakan shalat jenazah untuk kedua saudaraku..
Pemakaman keduanya berlangsung lancar walaupun beberapa kali tante Lisa pingsan saat tanah mulai menimbun tubuh anak tercintanya. Sementara Pak Ali hanya menatap nisan kayu bertuliskan nama Bobi Januar dengan pandangan kosong dan mata yang memerah.
Pak Panji terlihat lebih tegar mendampingi Tante Rina yang tidak berhenti menangis.
Selesai prosesi pemakaman, kami semua kembali ke rumah. Di hari raya itu, kami menutup semua pintu. Tidak menghidangkan makanan apapun dan bahkan kami tidak saling mengucapkan minal aidzin wal faidzin satu dengan yang lainnya.
“Da Zal.. awak pacapek sajo pulang ka rantau baa?..” (bang Zal, kita percepat aja rencana pulang ke Jakarta gimana?) tanya ibu ke ayah. Kami memang berencana berada di kampung selama 7 hari. Namun apa yang sudah terjadi padaku membuat ibu ragu.
Ayah terlihat ragu, beliau melihatku sesaat lalu kembali melihat ke arah ibu.

“beko malam, datuak jo parangkaik adaik ka barundiang masalah wak ko. Bobi mungkin iyo dek tenggelam. Tapi Nizar.. itu ndak mungkin dek tahantam batu..”
(nanti malam, datuk sama perangkat adat lainnya akan berunding tentang masalah kita. Bobi mungkin memang (meninggal) karena tenggelam. Tapi Nizar.. itu tidak mungkin karena terbentur batu) ujar ayah lalu kembali menoleh kepadaku.
“Anak wak jadi ciek kunci utamo untuak mancari tau sia urang nan mampagunoan caro tu.. Kalau ayah mangatoan wak pulang, pulang wak ka rantau baliak”
(anak kita jadi satu satunya kunci utama untuk mencari tau siapa pelakunya.. kalau ayah bilang kita harus pulang, maka kita akan pulang) ujar ayah lagi.
Malam harinya diadakan doa bersama yang dihadiri para petinggi adat serta para tetangga. Kakek memimpin doa bersama tersebut secara khidmat dan sesekali terisak.
Momen berkumpul keluarga lengkap yang seharusnya berlangsung bahagia dan penuh canda tawa justru menjadi tragis dan menimbulkan trauma yang sangat besar.
Ketika tetangga sudah membubarkan diri, kakek memanggilku masuk ke kamarnya. Aku menoleh ke ibu dan ayah lalu mengikuti perintah kakek, ayah mendorongku pelan dan ikut masuk bersamaku ke kamar itu.

Di dalam, sudah ada 4 datuk lainnya yg duduk bersila di lantai kamar kakek.
“Assalamualaikum…” ujar kakek membuka forum tersebut.

“waalaikumsalam warahmatullah..” jawab keempat pria lainnya hampir serentak.
“Mangko ambo kumpuan sanak sadonyo nan tahormaik disiko, lah nampak kamalangan di diri ambo jo bapulangnyo kaduo cucu dagiang ambo hari kini ko. Nan malang tak dapek di tolak, nan untuang ndak dapek di raiah. Kok ditanyokan hati yo sakik, bana.
Tapi tabik tanyo dibaliak kato, kato taurai jadi carito”
(Maksud saya mengumpulkan saudara yang terhormat disini, sudah terlihat duka yang terjadi pada diri saya dengan berpulangnya cucu saya. Malang tak dapat di tolak, untung tak bisa di raih.
Kalau ditanyakan sakit, memang sakit. Tapi muncul pertanyaan dari sebuah kata, kata terurai jadi cerita) ujar kakek membuka pembicaraan dengan sajak.
“Dari ketigo cucu ambo nan pai mandi patang, iko surang nan pulang nyawonyo lai di kanduang badan.. Rahman, anak si Zal Jakarta” (dari ketiga cucu saya yang mandi kemarin, Cuma ini yang pulang masih bernyawa) ujar kakek.
“Man, cubo caritoan a nan tajadi di batang aia patang..” (Man, coba ceritakan apa yang terjadi di batang aia kemarin) pinta kakek padaku.
Akupun menjelaskan semuanya dari awal. Bagaimana kami awalnya bermain di air yang tenang dan ada batu batu besar sampai akhirnya aku terbawa arus air, Bobi mencoba menyelamatkanku tapi malah ikut terbawa dan akhirya ditemukan meninggal dunia..
“Jadi yang mandi hanya Rahman dan Bobi? Nizar ga ikut?” tanya salah satu pria itu yang ternayata fasih berbahasa Indonesia.

“Enggak pak.. waktu Rahman bangun, Nizar masih ada di pinggiran sungai. Sama ibu ibu pakai baju merah..” jawabku singkat.
“Dan wakatu Nizar basobok, kapalonyo lah balubang. Tangkurak kaniangnyo ilang sampai ka ateh matonyo..” (Dan waktu Nizar ditemukan, kepalanya sudah berlubang. Tengkorak jidatnya hilang sampai ke bagian atas matanya..) tambah kakek yg tentu saja mengagetkan keempat pria lainnya.
“Ado urang nan mamulai gasiang tangkurak di kampuang awak ko.. ” (ada orang yang memulai gasing tengkorak di kampung kita) ujar kakek.

Pandangan kembali tertuju padaku. Mereka memintaku menceritakan ciri ciri wanita yang aku lihat terakhir bersama Nizar.
Aku tidak bisa memberikan ciri ciri lebih banyak selain berbaju merah, rambut panjang, berkulit sawo matang dan sepertinya gemuk. Sebuah spesifikasi yang sangat umum ditemukan di kampung ini.
“adek ngeliat yang lain selain ibu ibu tadi waktu hari itu?” tanya seorang pria lainnya.

Aku terdiam sejenak lalu mengingat sesuatu.
“Ada.. Rahman liat ada perempuan berbaju putih gantung diri di pohon disisi atas tebing. Dia gerak terus terus Rahman gaktau lagi karena langsung ga sadar..” jawabku.

“itu Si jundai nan dipakai urang tu…” (itu si jundai yang dipakai orang itu..) ujar salah satu pria lainnya.
“dima kaduonyo basobok tuak?” (dimana keduanya ditemukan datuk?) tanya salah satu pria lainnya.

“Lubuak Pusaro…” ujar kakek singkat yang langsung membuat keempat pria lainnya terbelalak.
“dalam wakatu dakek, akan ado urang nan kanai si jundai, awak harus capek manyalasaian ko. Cari tau sia anjiang nan bamain main pakaro biadab ko di kampuang awak!”
(dalam waktu dekat, akan ada orang yang kena si Jundai.. kita harus cepat menyelesaikan ini. Cari tau siapa ‘anjing’ yang bermain main sama perkara biadab ini di kampung kita!” ujar kakek tegas.
Akhirnya aku diminta keluar terlebih dahulu sementara kakek dan keempat datuk lainnya tetap di dalam kamar bersama ayah. Tak lama ayah keluar dan langsung beranjak ke ibu.

“Wak pulang bisuak.. ayah lah maizinan..” (kita pulang besok. Ayah sudah memberi izin) kata ayah ke ibuku.
“Iyo da.. “ jawab ibu.

Pak Ali tiba tiba beranjak dari tempat duduknya dan mendekat ke ayah.

“Kama kalian?? Takah ko keadaan awak kini kalian ka baliak ka Jakarta??!!” (Kemana kalian? Keadaan seperti ini kalian malah mau balik ke Jakarta??!!) kecam Pak Ali penuh emosi.
“iko caro paliang baiak bang Ali.. ayah lah manyuruah hal nan samo..” (ini cara terbaik bang Ali.. ayah udah menyuruh hal yang sama..) ujar ayah mencoba tenang.
“ANAK DEN MATI DEK MANOLONGAN ANAK ANG P*NT*K!! ANAK ANG NAN HARUSNYO MATI!!” (ANAK SAYA MATI KARENA MENOLONG ANAKMU B*JINGAN!! ANAKMU YANG HARUSNYA MATI!!” bentak Pak Ali dengan nada tinggi.
Ucapan Pak Ali itu mengundang para datuk di dalam kamar untuk keluar dan menenangkan Pak Ali yg masih emosi. Mereka membawa Pak Ali menjauh dan sepertinya memberinya nasehat. Pak Ali terus memandangiku dan ayah dengan tatapan tajamnya dan pergi dari rumah tanpa mengatakan apapun.
Keesokan siangnya, aku, ayah, ibu dan Diana memutuskan pulang dengan bus. Ayah terlihat berat untuk meninggalkan sanak saudara lainnya dalam keadaan seperti itu, namun atas saran kakek, kami memang harus pergi untuk keselamatanku.
Caranya adalah menjauh dari sini dan jika memungkinkan dipisahkan dengan lautan, cara termudahnya adalah pulang kembali ke Jakarta.
Seluruh keluarga melepas kepergian kami dengan air mata. Ayah dan ibu berkali kali meminta maaf. Pak Panji, Tante Rina dan Tante Lisa terlihat berusaha tetap tegar dan mendoakan agar kami selamat sepanjang jalan.
Namun aku tidak melihat keberadaan Pak Ali waktu itu... Ayah sempat mau menunggunya, namun karena bus akan segera tiba, akhirnya kami pergi tanpa berpamitan pada beliau.
Sepanjang perjalanan ibu terus mengelus kaki kiriku yang masih bengkok dengan tatapan khawatir. Sementara ayah hanya diam sambil memandang keluar jendela.
----next InsyaAllah disambung besok yaa----
3 hari 2 malam kami lalui via darat untuk tiba kembali ke Jakarta. Satu hari setelah kami sampai di Jakarta, aku dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan rontgen pada kaki kiriku.
Ibu mengira tulangku patah atau sebagainya, namun ketika hasil xray keluar, tulangku memang sudah bengkok, seperti bawaan lahir dan bukan karena insiden.

Akhirnya kami pulang tanpa hasil dan aku harus menerima kondisi kaki kiri yang membengkok ke arah dalam.
Beruntung, hal ini tidak mengurangi kemampuanku dalam berjalan, hanya saja aku kesulitan untuk berlari cepat.. aku sangat mudah keseleo karena lengkungan kakiku itu.
Sekitar sebulan kemudian, ayah mendapatkan kabar buruk dari kampung. Tante Lisa mulai berkelakuan aneh sejak beberapa Minggu kematian Bobi. Ia sering berbicara sendiri dan menjerit jerit tanpa henti sejak ashar hingga maghrib.
Ia juga tidak bisa ditenangkan dengan apapun bahkan oleh Pak Ali, suaminya. Awalnya orang mengira ini adalah hal wajar karena baru kehilangan anak tercintanya, namun seiring berjalannya waktu, tidak ada perubahan pada psikis tante Lisa.
Bahkan pada sewaktu mengamuk, Tante Lisa pernah memanjat dinding tembok seperti cicak dan menempel di sudut langit langit ruang tengah sambil menjulurkan lidahnya.
Tante Lisa baru bisa tenang ketika adzan isya berkumandang. Ia akan diam dan tidak berteriak namun belum bisa diajak berkomunikasi. Lidahnya tetap menjulur dan badannya kaku. Kakek sudah berusaha menghilangkan gangguan ini namun belum membuahkan hasil.
Anehnya, jika di siang hari tante Lisa berkelakuan normal. Ia bisa pergi ke pasar dan bisa melakukan aktivitas biasa seperti tidak terjadi apa apa. Hanya saja, warga yg telah mengetahui penyakit kambuhan tante Lisa, akan menyuruh tante Lisa segera pulang sebelum ashar menjelang.
Orang orang khawatir akan membahayakan orang lain dan diri tante Lisa sendiri.

Karena mendapat kabar kakaknya mengalami hal aneh itu, ayah memutuskan untuk kembali pulang kampung seorang diri.
Aku, ibu dan Diana tidak ikut dan tetap tinggal di Jakarta. Saat itu belum ada handphone maupun telepon rumah di rumah kami dan kakek. Kami biasa menelpon melalui wartel, sementara ayah meminjam telepon milik koperasi kampung.
Setiap Minggunya kami tetap berkomunikasi sekedar menanyakan kabar maupun bercerita apapun pada ayah.

Hingga suatu hari, setelah aku mengobrol dengan ayah, ayah meminta telpon untuk diberikan ke ibu. Ibu lalu menerima telepon itu dan mulai berbicara dengan ayah.
Namun tatapan ibu yang awalnya biasa saja berubah menjadi seperti ketakutan. Ibu tidak berbicara apapun sementara di ujung telepon ayah terus berbicara sesuatu yang tidak bisa aku dengar.
“iyo da.. semoga itu jadi caro tabaiak untuak uni Lisa..” (iya bang, semoga itu jadi cara terbaik buat kak Lisa) ujar ibu dengan suara yang bergetar.
Saat itu ayah mengabari keadaan terkini Tante Lisa setelah 2 bulan lebih sejak pertama kali mulai berperilaku aneh. Hari demi hari keadaannya tidak kunjung membaik, justru semakin memburuk dan mengkhawatirkan.
Kini tante diam hanya ketika adzan berkumandang. Sisanya ia akan terus meronta ronta dan memanjat apapun yang ada di hadapannya.
Selain memanjat dinding ruang tengah, terakhir tante juga memanjat tiang atap dapur lalu bergelantungan disana sambil menjulurkan lidahnya.

Akibat tindakannya yang sudah diluar kontrol, kakek dan seluruh keluarga lain memutuskan untuk mengurung tante Lisa di kamar kakek.
Kamar kakek dipilih karena memiliki atap yang rendah dan jendela yang berteralis. Tante Lisa dikunci di dalamnya dan hanya kakek, nenek, Pak Ali dan Pak Panji yang bergantian masuk ke dalam untuk membawakan makanan atau mengajak tante mengobrol.
Suasana lebih memilukan terjadi di malam hari. Tante akan menggedor gedor pintu kamar sambil berteriak teriak.

“BUKAAAA… BUKA…. APAAKK… UDA…. KO LISA… BUKA PAK… BOBI… IBU DIKURUANGNYO DEK AYAAAH.. BOBI TOLONG IBUUU NAAAK…”
(Buka.. buka.. apak, abang, ini Lisa. Buka pak.. Bobi, ibu dikurung sama ayahmu.. Bobi tolong ibu nak..) teriak tante Lisa dari dalam sepanjang malam hingga menjelang subuh.
Tidak ada yang bisa diperbuat oleh keluarga yang lain. Pernah suatu ketika kakek mencoba membuka pintu dan tiba tiba saja Tante Lisa berlari dari keluar kamar dan harus ditangkap dengan susah payah oleh Pak Ali dan ayah.
Ayah berada di kampung selama 3 bulan lamanya. Dan selama itu juga ayah selalu mengupdate keadaan tante Lisa kepada ibu melalui sambungan telepon. Namun sudah dua minggu terakhir ayah tidak berada di koperasi untuk mengangkat telepon kami.
Menurut petugas yang menjaga koperasi itu, ayah juga tidak terlihat dan berkunjung.
“Ooh.. tarimo kasih yo ni. Beko kok uda Zal nampak, titip salam, kami taruih manelpon di jam 2 siang yo.. maaf mangganggu” (ooh, terima kasih ya kak. Nanti kalau ketemu bang Zal, titip salam, bilang kalo kami akan nelpon terus jam 2 siang. Maaf mengganggu) ujar ibu.
Kami terus menelpon koperasi tersebut setiap harinya hingga akhirnya ayah yang mengangkat telepon kami.

"Uda? Kama pai lah duo minggu ndak maagiah kaba..." (Abang? Kemana aja udah dua minggu tidak kasih kabar..) kata ibu dari sambungan telepon.
"Banyak nan tajadi Ta, tapi InsyaAllah uda pulang minggu ko.." (Banyak yang terjadi ta, tapi InsyaAllah abang pulang minggu ini) ujar ayah dari ujung telepon.

"Alhamdullillah... Lah cegak ni Lisa da? Alhamdulillah ya Allah" (Alhamdulillah, udah sembuh kak lisa bang?) ucap ibu.
"Beko da caritoan di rumah. Abang jo dedek lai sehat sehat?" (Nanti abang ceritain. Abang sama dedek sehat?) sambung ayah.

"Sehat alhamdulillah"
Ibu lalu memberikan telpon dari ayah kepadaku. Kami berbincang seputar keseharianku seperti biasa dan kami mengira semuanya sudah kembali normal.

4 hari kemudian, ayah sampai di rumah. Ayah sengaja pulang dengan bus karena tidak nyaman naik pesawat.
Ayah tidak membawa oleh oleh apapun. Ayah pulang dengan keadaan wajah yang begitu lelah. Beberapa luka goresan terlihat di tangan dan wajah ayah.

"Ayah kenapa tangannya?.." Tanyaku setelah menyadari tangan dan wajah ayah yang luka luka.
Ibu menatap ayah dengan mata yang seakan bertanya hal yang sama denganku.

Tanpa menjawab pertanyaaku, ayah duduk di sofa lalu menanggalkan baju kemeja yang beliau kenakan. Sebuah perban melilit di bahu ayah dan beberapa luka lebam membiru ada di tubuhnya.
"Baa badan uda??!!" (Kenapa badan abang??) tanya ibu panik.

Ayah menghela nafas panjang. Beliau membuka jendela lalu menyalakan rokoknya. Ayah melakukan ini untuk membuat pikirannya tetap tenang.
"Ini yang buat ayah gak telfon kalian dua minggu..." ujar ayah sambil mengembuskan asap rokok dari mulutnya.
Kampung kakek, sekitar bulan Mei 2002

Seorang pemuka agama dari Jambi kenalan kakek akhirnya tiba di kampung. Namanya Pak Mahdi, kakek berteman dengannya sejak masih muda dulu dan memang seumuran dengan kakek.
Di daerah asalnya, Pak Mahdi dikenal sebagai salah satu praktisi penyembuhan gangguan hal hal ghaib. Kakek sengaja memanggil teman lamanya itu untuk menyembuhkan anak pertamanya, Lisa.
Ayah dan kakek menyambutnya di rumah. Setelah saling berpelukan dan bertanya kabar, kakek, ayah dan Pak Ali lalu mengantarkan Pak Mahdi ke kamar tempat tante Lisa dikurung. Pak Panji sedang sibuk mengurusi sawahnya yang akan panen dan belum bisa membantu.
"Assalamualaikum.." salam Pak Mahdi sambil melangkahkan kakinya masuk ke kamar.

Namun tante Lisa tidak ada di atas kasurnya. Pak Mahdi lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar dari ambang pintu dan tidak melihat siapapun.
Namun baru saja Pak Mahdi akan bertanya kepada kakek, tiba tiba wajah pak Mahdi kejatuhan air. Pak Mahdi refleks melihat ke atas dan mendapati tante Lisa menempel di dinding tepat di atas pintu.
Tante Lisa menghadap ke bawah dan lidahnya menjulur dengan ludah yang menetes ke lantai. Ludah itulah yang mengenai wajah Pak Mahdi.

"Astaghfirullah.." Kata pak Mahdi pelan.

"Begitulah keadaannya Di.." Ujar kakek kepada teman lamanya itu.
"Semoga saya bisa bantu ya Mad" Ujar Pak Mahdi.

Keempatnya lalu menurunkan tante Lisa. Pak Mahdi mulai membacakan doa doa dibantu dengan kakek. Sementara ayah dan pak Ali memegangi tubuh tante Lisa yang terus meronta ronta.
Pak Mahdi melakukan praktik itu selama hampir 3 jam lamanya. Sepanjang itu juga, teriakan demi teriakan terdengar dari dalam kamar tersebut. Tubuh tante Lisa menengang, lalu melengkung ke atas.
Pak Mahdi mengeraskan suara bacaannya namun tante Lisa semakin tidak bisa ditenangkan. Tiba tiba kejadian diluar nalar terjadi. Tubuh tante Lisa mulai terasa ringan dan tiba tiba saja ia melayang.

“TARIK!! TARIK!!!” perintah Pak Mahdi kepada ayah dan Pak Ali.
Keduanya lalu menarik Tante Lisa ke bawah sekuat tenaga. Namun usaha keduanya hanya bisa menahan tante Lisa untuk tidak semakin naik ke atap ruangan, tidak bisa membuatnya kembali menempelkan punggungnya ke kasur.
Pak Mahdi lalu merapal sesuatu yang sulit didengarkan secara luas. Lalu ia menempelkan ibu jarinya di kening tante Lisa.

“LEPASKAN!”bentaknya sambil menekan kening tante Lisa dengan ibu jarinya.
DUG! Hentakan kuat terjadi pada tubuh tante Lisa yang langsung terbanting ke kasur.
Ayah dan Pak Ali yang masih berusaha menarik tante Lisa sampai terjerembab karena hal itu.

Namun setelah itu tante Lisa diam dan tidak lagi berteriak teriak.

“Berhasil Di?” tanya kakek kepada Pak Mahdi.
“Belum.. itu baru satu. Masih ada banyak lagi dan ini ulah orang.. Untuk saat ini Lisa bisa tenang, tapi tidak akan lama, akan ada yang lain lagi datang..” jawab Pak Mahdi lemas.

“Siapa pelakunya?” tanya kakek.
“Susah.. saya daritadi coba melihatnya namun terhalang tabir hitam..” ujar Pak Mahdi.

“Coba lihat sekali lagi.. biar saya bantu” ujar kakek.

Kakek berdiri di belakang Pak Mahdi. Ia meletakkan tangannya di punggung Pak Mahdi dan menarik nafas panjang.
Pak Mahdi memejamkan matanya. Ia menyentuh tangan tante Lisa dan bola matanya bergerak gerak di dalam kelopak matanya. Mulutnya merapal dan tidak bisa diam, sementara kakek dibelakangnya terus mengatur nafas sambil tidak melepaskan tangannya dari punggung pak Mahdi.
“Ah… saya menemukan kemungkinan pelakunya..” ujar Pak Mahdi.

“Siapa??? Siapa pelakunya??!” tanya kakek tidak sabar.
“Dia masih penduduk desa ini.. perempuan. Rambutnya sudah beruban. Ia tinggal di rumah kayu dan tungku kayu bakar yang tidak pernah padam sepanjang hari. Ia punya seorang anak laki laki yang sudah bersekolah...
...Gasing tengkorak yang dia gunakan ada di tumpukan tempurung kelapa di belakang rumahnya..” ujar Pak Mahdi.
---InsyaAllah disambung besok---

Cerita ini sudah memasuki bagian 3 di Karyakarsa, untuk yang ingin download versi ebooknya, klik link berikut yaa

karyakarsa.com/Mwvmystic/bag-…
Mata kakek menerawang jauh memikirkan orang orang yang kemungkinan memiliki ciri ciri yang dimaksud Pak Mahdi.

“Lebih baik Mahdi ikut sama saya, kita keliling kampung dan mencari rumah itu!” ujar kakek.
Pak Mahdi, ayah, kakek dan Pak Ali berkeliling kampung untuk mencari rumah itu. Mereka berusaha terlihat normal dan seperti tidak mencari seseorang agar tidak mencurigakan.
Hingga akhirnya keempatnya tiba di sebuah rumah dari warga yang bernama Bu Nur.
Saat keempatnya lewat, asap tipis membumbung dari cerobong asap rumahnya. Bu Nur sudah berumur cukup tua. Ia seorang janda dgn 3 orang anak. Namun dua anaknya sudah meninggal dunia dan kini hanya ada satu anak bungsunya. Sementara suaminya sudah lama meninggal dunia akibat sakit.
“Ini.. di rumah inilah pelaku itu berada” ujar Pak Mahdi.

“Nur??” kakek tidak percaya.

“Coba periksa bagian belakang rumahnya. Kau akan temukan tengkorak bagian kening diantara tumpukan tempurung kelapa di belakang” ujar Pak Mahdi.
Kakek lalu membuat siasat. Ia akan mengalihkan perhatian Bu Nur , lalu ayah dan Pak Ali akan pergi ke belakang untuk memeriksa tumpukan tempurung kelapa dan mencari tengkorak kepala di tumpukan tersebut.
“Assalamualaikum Nuur, oo Nuur” panggil kakek di depan pintu bersama Pak Mahdi dengan wajah ramah.

Tak lama pintu kayu itu dibuka. Bu Nur, wanita paruh baya dengan rambut yang sudah memutih membuka pintu sambil menenteng sapu.
“Oi, eh datuak, waalaikumsalam ado apo Tuak? lah ka sanjo hari” (Oh datuk, waalaikumsalam, ada apa ya Tuk? Udah mau malam) ujarnya.
“Ah indak, ka mandata untuak panarimo bantuan dari koperasi kampuang. Ka wak wawancara sabanta buliah? Iko donaturnyo beko” (Ah enggak, mau mendata untuk penerima bantuan koperasi kampung. Bisa kita wawancara sebentar? Ini donaturnya ) kata kakek berbohong sambil memperkenalkan-
-Pak Mahdi yang berperan sebagai donatur.

“Awak sibuak tuak, baa tu? Sadang manyapu rumah. Ndak bisa lo naiak ka ateh rumah do. Baseserak jo baru” (Saya sibuk Tuk, gimana ya? Lagi nyapu rumah. Belum bisa masuk juga karena masih berantakan) ujar Nur sambil menunjukkan sapunya.
Baru saja kakek akan mencari alasan lain, tiba tiba saja dari arah dalam rumah terdengar suara dari Ramon, anak bungsu dari Nur.

“Maak, ado urang di balakang, sia tu?” (Ma, ada orang di belakang. Itu siapa?) ujarnya dari balik pintu.
Wajah Nur berubah panik dan beberapa detik kemudian dari arah belakang rumah ayah berteriak.

“AYAHH!! GASIANG TANGKURAKNYO BASOBOK!!” (AYAH! TENGKORAKNYA KETEMU!) pekik ayahku dari belakang.
“KATUMBUAHAN KALIAN SADONYO!!” (BRENGSEK KALIAN SEMUA!) bentak Nur sambil melemparkan sapu dan serokan debunya ke arah kakek dan Pak Mahdi.

Beruntung keduanya sempat menghindar, namun waktu sepersekian detik itu digunakan Nur untuk melarikan diri.
Kakek dan Pak Mahdi mengejarnya dengan susah payah. Nur berlari dengan sangat cepat padahal usianya tidak lagi muda. Nur berlari menjauh perkampungan menuju hutan di pinggiran tebing.

Ayah dan Pak Ali berusaha berlari mengikuti kakek dan Pak Mahdi namun kakek mencegah keduanya..
“Kalian jan sato lo! Pai ka rumah urang urang, suruah iduikan sado lampu jo dama. Jan sampai batino ko lapeh!!!” (Kalian ga usah ikut! Pergi ke rumah warga, suruh mereka idupkan lampu. Jangan sampai betina ini lepas!) perintah kakek pada ayah dan Pak Ali.
Keduanya lalu berbalik ke arah pemukiman warga. Di waktu menjelang maghrib dengan langit jingga keunguan itu ayah dan Pak Ali menggedor gedor pintu setiap warga dan meminta mereka menyalakan lampu dan bersiaga,-
-karena dukun pelaku tumbal gasing tengkorak sudah ditemukan dan itu adalah Nur!
Sementara sisi kampung sudah mulai terang benderang dengan dinyalakannya lampu, petromak dan obor di setiap rumah, sisi hutan tetap kelam tanpa pencahayaan. Pak Mahdi maupun kakek tidak membawa senter atau apapun selain korek api yang biasa kakek gunakan untuk membakar cerutunya.
Keduanya masuk ke wilayah hutan belantara. Mata kakek mencoba membiasakan melihat di kegelapan dan bantuan sedikit cahaya dari korek. Sementara Pak Mahdi di belakang kakek mengawasi sekeliling.
Sedikit saja suara langkah kaki dari sisi tertentu hutan ini bisa saja mengindikasikan posisi Nur.

Kakek dan Pak Mahdi berjalan terus ke dalam hutan. Dari kejauhan suara adzan Maghrib terdengar pelan.
Pak Mahdi memejamkan matanya lama, lalu membuka matanya lagi. Hal ini berguna sehingga matanya terbiasa dengan gelap dan bisa melihat sedikit jelas di hutan tersebut.

“ITU! SEBELAH KANAN!” teriak Pak Mahdi sambil menunjuk arah yang dimaksud.
Tanpa perlu kakek menoleh, dari arah kanannya suara gelak tawa terdengar memecah keheningan hutan.

“AHAHAHA MATI KALIAN DISIKO BANGKAI ADAIK!” (Hahaha mati kalian disini bangkai adat!) ujar Nur yang sudah duduk bersila sambil meremas tanah di hadapannya.
Tiba tiba saja suara adzan yang baru sampai lafadz Hayya Alashollah terhenti. Sebuah dentingan kencang berbunyi di kepala kakek dan Pak Mahdi. Keduanya refleks menutup mata telinga karena suara memekakkan itu.
Ketika keduanya membuka mata, dihadapan mereka muncul sosok perempuan besar berwajah menyeramkan dengan baju putih lusuh yang membentangkan tangannya. Sosok perempuan ini menjulurkan lidah hingga mencapai perutnya dengan wajah rusak dan mata hitam total.
“Ndak ka dapek gai kalian pulang lai doh!” (Kalian tidak akan bisa pulang lagi!) ujar Nur dari belakang sosok wanita itu.
Kakek dan Pak Mahdi masuk ke dunia ghaib yang entah ada dimana. Semuanya seketika gelap dan ada suara gejolak air mengelilingi keduanya.
Sosok dihadapan mereka adalah Jundai, makhluk halus yang terikat perjanjian kepada dukun untuk mencelakai orang orang.

Ketika ada seseorang yang diculik makhluk halus, inilah dimensi yang akan mereka masuki.
Tanpa aba aba, sosok Jundai itu melayang ke arah kakek dengan sangat cepat. Ia mencoba menyerang kakek dengan lidahnya. Kakek menghindar dengan sigap dan terguling beberapa kali karena pijakan kakinya seperti berada di sesuatu yang licin.
“MAINDA LAH TARUIH TUAK! NDAK ADO GUNONYO DO! HAHAHA” (TERUS AJA MENGHINDAR TUK! GAAKAN ADA GUNANYA! HAHAHA) tawa Nur.
Jundai itu lalu beralih ke Pak Mahdi. Mulutnya menganga lebar lalu memuntahkan darah kehitaman yang mengeluarkan asap. Pak Mahdi sempat menghindar namun lengan kirinya mengenai darah tersebut.
“ARRGGHHH!!” Pak Mahdi mengerang. Tangan kiri Pak Mahdi seakan terbakar dan terasa sangat panas.

Perhatian kakek teralihkan ke Pak Mahdi. Disaat bersamaan sosok ini kembali melayang ke arah kakek dan mencakar dada kakek dengan jarinya yang berkuku panjang hitam dan runcing.
Kakek jatuh terduduk. Baju kemeja yang ia gunakan terkoyak dan luka sabetan benda tajam berbekas di dadanya.

Jundai itu lalu melayang ke langit. Ia lalu berputar putar dengan sangat cepat sambil mengeluarkan suara lengkingan yang memekakkan telinga.
Sepersekian detik kemudian kilatan putih besar jatuh dan membuat pandangan kakek dan pak Mahdi buta untuk sesaat karena silau.

Cahaya itu lalu menghilang dan posisi keduanya kembali ke lokasi hutan.
Kakek dan Pak Mahdi saling berpandangan. Mereka tidak tahu apakah saat ini masih di dunia Jundai atau sudah kembali ke dunia nyata.

Sampai tiba tiba..
“Nyiak… Nyiak…” (kakek.. kakek..)

Dari balik pepohonan suara kecil Nizar terdengar memanggil kakek.
Kakek berbalik dan melihat ke sekeliling, begitu juga dengan pak Mahdi.

“Inyiak… inyiak… Sakik nyiak…” (kakek.. kakek.. sakit kek..) ujar suara itu menggema dipenjuru hutan.

“Nizar???” ujar kakek pelan.
Tiba tiba saja seorang anak kecil berbaju kuning memeluk boneka muncul dari balik kegelapan. Nizar, dengan menangis berlari ke arah kakek sambil menangis tersedu sedu.
“Inyiaak.. Nizar taragak.. Bawa Nizar pulang nyiak…” (kakek.. Nizar kangen.. bawa Nizar pulang kek..) ujar Nizar sambil merlari dan membentangkan tangannya, meminta untuk dipeluk.
Kakek melihat hal itu dengan terpana. Nizar masih sehat dan hidup.. Kakek membukakan tangannya, siap menyambut pelukan Nizar..
Namun beberapa meter lagi keduanya berpelukan..

DUG!! Sebuah batu melayang keras ke arah kepala Nizar hingga kepala itu terlepas dan menggelinding.
“AHMAD! JANGAN TERPENGARUH!! CUCUMU SUDAH MENINGGAL!!” Pak Mahdi yang melemparkan batu itu berteriak ke arah kakek.

Namun kepala Nizar yang sudah terlepas dari tubuhnya itu masih berbicara…
“Nyiak.. Nizar taragak.. Nyiak..” (Kek, Nizar kangen.. kek..)
Kakek menggigit lidahnya dengan gemetar. Rasa sayangnya kepada cucu cucunya sangatlah menggebu gebu namun disisi lain ia sadar bahwa Nizar sudah tiada. Ahmad, alias Datuk Sutan Mantari kehabisan rasa sabarnya...
----InsyaAllah dilanjut lusa (Maljum selalu libur-----
Bagi yg ingin baca via ebook Karyakarsa Bagian 2 ini dan Bagian 3, link donwloadnya ada di awal thread yaaa. Terima kasih
Kakek lalu mengeluarkan sebuah cerutu dari kantongnya dan membakarnya dengan korek api yang beliau bawa. Kakek menghisapnya dalam dalam lalu menghembuskannya sekali. Kakek yang tadi emosional kini perlahan tenang.
Kakek menggenggam tangannya kuat kuat lalu membisikkan sesuatu di kepalan tangannya itu. Tak lama, asap putih mengepul dari sela sela jari kakek. Kakek lalu membuka tangannya dan telapak tangan kakek kini terang dan memancarkan sinar.
Kakek lalu mengembuskan asap rokok yang ia hisap ke tangan tersebut dan BLARRRR api berwarna merah menyala nyala di tangan kakek.
“Ndak kau surang sajo nan bisa bamain di tampek ko Nur! Kau nan ndak ka salamaik lai satalah ko!” (Bukan kamu saja yang bisa bermain main di dunia ini Nur. Kamulah yang tidak akan selamat setelah ini!!”) pekik kakek.
Kakek lalu melemparkan api yang ada di tangannya ke salah satu pohon di hutan itu dan seketika langit menjadi terang dan apa yang ada di hutan itu terlihat jelas.
Pada salah satu sisi hutan, nampak Nur sedang berlari ketakutan karena dimensi Jundai yang ia gunakan untuk menjebak kakek dan Pak Mahdi sudah dibuka oleh kakek.
“Ini kenapa orang orang panggil kau Sutan Mantari ya Mad!..” ujar Pak Mahdi.
“ANJIAANGGG!!!” jerit Nur sambil berlari zigzag diantara pepohonan.

Kakek tidak tinggal diam, beliau kembali meniupkan asap rokok ke telapak tangannya dan seketika sebuah bola api kembali siap di tangannya.
Kakek kembali melemparkan bola api itu yang mengejar langsung ke arah Nur. Belum sedetik bola api itu kakek lepaskan dari tangannya, bola api lain sudah ada di tangan kakek dan kembali kakek lemparkan bertubi tubi ke arah Nur.
Satu demi satu pepohonan di dunia jundai itu terbakar. Jundai yang sedari tadi ternyata berada di balik salah satu pohon ikut melayang dibelakang Nur.
“LINDUANGI DEN! DEN AGIAHAN KAPALO BALIAK KA KAU!!” (LINDUNGI SAYA! SAYA AKAN BERI KAMU KEPALA LAGI!) ujar Nur kepada Jundai dibelakangnya.

Jundai itu lalu berhenti dan memasang badan dengan merentangkan tangannya menahan bola bola api dari kakek.
Serangan kakek membakar wajah Jundai itu, namun tidak membuatnya tumbang. Bola api yang melekat di wajah Jundai kini membuat darah di mata dan mulutnya mendidih dan menetes terus menerus dalam keadaan terbakar.
Sementara Jundai itu berhasil menghalau bola api kakek, Nur berlari semakin menjauh menuju gerbang perbatasan antara dunia Jundai dengan dunia nyata.

Kakek lalu merogoh kantongnya, mengeluarkan sebuah cincin batu berwarna putih lalu mengenakannya di jari tengah tangan kanannya.
“Maaf cucu maimbau inyiak kini nyiak..” (maaf cucumu ini memanggilmu saat ini kek..) ujar kakek berbisik ke cincin itu.

Tiba tiba saja sebuah auman harimau menggelegar di hutan tersebut disusul suara derap kaki hewan yang bergerak cepat dan mendekat.
Lalu seekor harimau besar berbulu merah muncul dari kegelapan dan meloncat dari belakang kakek menuju arah Jundai.

Jundai itu menurunkan tangannnya, turun dari posisinya melayang dan membungkuk ke arah harimau itu.
Perlahan sosok keduanya menghilang dari pandangan tepat ketika harimau merah tadi sudah sangat dekat dengan Jundai tersebut..
Menghilangnya Jundai dan harimau tadi juga dibarengi dengan suara adzan yang kembali terdengar..

Assholatu khairum minannaum…

Walaupun baru terasa sekian menit, ternyata pertarungan tadi berlangsung dari Maghrib hingga Shubuh..
Tangan kakek tidak lagi menyala seperti tadi. Begitu juga pohon pohon yang tadi terbakar seketika menghilang dan semua kembali normal seperti sedia kala.

Dari kejauhan, Nur berlari tunggang langgang menjauhi posisi kakek dan Pak Mahdin yang masih terduduk lemas.
Nur berhasil melarikan diri dari kakek dan Pak Mahdi. Sayang, identitasnya sebagai pelaku gasing tengkorak sudah terbongkar sehingga ketika ia melintasi pemukiman, warga yang melihatnya langsung memburu Nur.
Nur berhasil dipojokkan oleh warga yang saat itu akan pergi sholat shubuh hingga Lubuak Pusaro.

Lubuak Pusaro adalah lokasi dimana Bobi mengantarku pertama kali. Dinamakan Lubuak Pusaro (Lubuk Makam) karena disisi lubuk ini terdapat pemakaman warga kampung.
Dahulu, sebelum menjadi lubuk, aliran sungai batang aia di bawahnya berbentuk seperti biasa. Namun sebuah gempa mengakibatkan lempengan tebing patah dan membuat sisi tebing runtuh ke aliran sungai bersama kuburan diatasnya.
Saat kejadian ini terjadi, warga bahu membahu mengambil sisa sisa tulang penghuni makam yang terjatuh ke bawah. Lama kelaaman patahan itu menjadi sebuah lubuk dan dinamakan Lubuak Pusaro.
***
Nur tersudut di ujung tebing. Warga yang memegang obor mengelilinginya sambil memaki maki Nur. Kakek dan Pak Mahdi belum sampai disana saat kejadian ini terjadi.

“MATI ANJIANG LAH KAU NUR!” (Mati anjing aja kamu Nur!) hardik salah satu warga.
“LAMAK KAU MAKAN DAGIANG SANAK KAU SURANG P*ANT*K!!” (ENAK KAU MAKAN DAGING SAUDARAMU SENDIRI SIALAN??!!) kecam warga yang lainnya.

Nur tidak bisa berbuat banyak karena mentari sudah mulai terbit dan Jundai peliharaannya sudah entah kemana.
Tiba tiba saja...

DUGG!!

Sebuah batu melayang mengenai tubuh Nur. Pelemparnya adalah salah satu warga yang geram namun tidak berani menyentuh Nur.
Inisiatifnya ini didukung oleh warga lainnya. Mereka memunguti bebatuan di pemakaman itu dan melemparkannya kepada Nur tanpa ampun
Nur dirajam di lokasi itu.
Darah segar mulai mengalir dari kepala dan telinga Nur. Salah satu batu bahkan mengenai matanya dengan sangat keras hingga Nur tidak bisa lagi membuka mata kirinya yang mulai mengeluarkan darah.
Nur hanya bisa meringkung menahan sakit dari lemparan lemparan itu.

Lalu salah satu pemuda datang membawa bilah bambu besar lalu menghantamkannya ke Nur hingga dirinya terlempar ke Lubuk Pusaro.
Belum puas, dari ketinggian warga terus menghujani tubuh Nur yang sudah kepayahan untuk berenang dengan batu.

Hingga akhirnya seorang remaja berlari menembus kerumunan dan berdiri di hadapan para warga..
“ALAH TU PAK, BUK! ITU IBU KANDUANG AWAK DI BAWAH TU!!” (UDAH PAK, BUK! ITU IBU KANDUNGKU DI BAWAH!) teriak remaja itu. Ramon, dengan wajah sembab karena menangis dan ingus yang mengalir di hidungnya menghadang warga yang masih mencoba melemparkan batu ke bawah.
Namun teriakan bocah itu sepertinya tidak digubris warga. Beberapa batu kembali dilempar ke arah Nur di bawah. Nur sudah berada di tepian, terengah engah dengan darah mengalir dari mata, hidung dan kepalanya.
Ketika warga kembali mengambil batu, sebuah teriakan lantang menghentikan gerakan mereka.

“ALAH TU SANAK! JAN LUPO LO KALAU NAN DI BAWAH TU YO MANUSIA LO TAKAH AWAK!” (SUDAH SAUDARA SAUDARA SEMUA, JANGAN LUPA KALAU YANG DIBAWAH ITU JUGA MANUSIA SEPERTI KITA!) ujar suara itu.
Warga menoleh ke belakang dan ternyata Datuak Sutan Mantari yang meneriaki hal itu. Ia berjalan ke arah Ramon berdiri, memeluknya dan menengok ke arah bawah. Nur berbaring diam di atas batu dengan luka parah di sekujur tubuhnya.
“Lah.. takah ma jo, Ramon ko anaknyo. Lah cukuik nyo mancaliak induaknyo lah sarupo binatang dirajam takah ko.. kok lai salamaik jo Nur, itu lah takdir dek nyo. Kok indak, samo lah takdir lo atehnyo..”
(Udah. Bagaimanapun, Ramon ini anaknya. Sudah cukup dia melihat ibunya diperlakukan seperti binatang. Kalau Nur masih selamat ataupun tidak, itu jadi takdirnya..” ujar kakek menenangkan warga.

“pai japuik ibu..” (Pergi jemput ibumu) perintah kakek ke Ramon.
Ramon segera berlari ke hulu, menuju sisi tebing yang rendah, lalu menyebrang ke sisi hutan di seberang tebing lubuak pusaro. Ramon menepuk pipi Nur namun tidak ada respon. Darah terus mengalir dari mata dan hidung Nur tanpa henti tapi Nur sama sekali tidak bergerak.
Ramon mengerang dan menangis. Hal itu dilihat oleh para warga dan kakek dari atas tebing. Nur meninggal dunia. Kakek menyusul ke bawah, sementara pak Mahdi membubarkan warga di atas.
“kok mati bana batino tu ndak ka amuah gai den sumbayangan jo kubuaan. Bia mati anjiang sajo paja tu disinan!” (sekalipun beneran mati perempuan itu, saya gaakan mau mensholatkan dan menguburkan. Biar dia mati buruk aja disana!) ujar salah satu warga sebelum meninggalkan lokasi.
“Den ndak kan rela kok bangkai paja tu ditanam di tanah nagari awak!” (Saya gak akan rela kalau bangkai orang itu dikuburkan di tanah kampung kita!) teriak yang lain dari atas.
Saat itulah ayahku, pak Panji dan Pak Ali tiba karena dikabari salah satu warga. Ketiganya sedang mencari kakek dan Pak Mahdi yang semalaman menghilang tanpa jejak. Saat ketiganya sampai, mereka melihat dari atas tebing keadaan Nur yang sudah sangat parah.
Pak Ali mengepalkan tangannya dan bergetar. Matanya memerah dan giginya bergemeretak. Walaupun banyak orang mengatakan bahwa kematian Bobi adalah normal karena tenggelam, ia tidak mempercayainya dan yakin bahwa Nur terlibat akan hal itu.
Sepertinya jika tidak ditahan kakek dan Pak Mahdi, Pak Ali akan menghabisi Nur dengan tangannya sendiri.
Ketika kakek turun dan mendekati Nur, terlihat tubuh Nur sudah sangat pucat dan darah terus mengalir dari lubang lubang tubuhnya. Disisi Nur, Ramon terus menangis sambil memeluk tubuh Nur.
Kakek yang iba coba menawarkan diri membantu untuk memakamkan dan menyolatkan Nur namun Ramon menolak. Ia memilih mengurus jasad ibunya itu sendiri dan melarang keikutcampuran orang lain yang sudah membunuh ibunya. Ia meminta kakek meninggalkan dirinya berdua dengan ibunya saja.
Kakekpun menurut dan meninggalkan Ramon dengan ibunya.

Keesokan harinya Ramon datang ke rumah kakek dengan menenteng sebuah nisan kayu, ia meminta maaf dan memohon izin.
Ia meminta izin utk menaruh nisan ibunya di sisi ujung tebing lubuk pusaro walaupun ibunya tidak dikuburkan disana sekaligus memohon maaf atas apa yang sudah terjadi akibat ibunya. Meski demikian, Ramon menolak memberitau dimana ibunya dikuburkan krn khawatir akan dirusak warga.
Akhirnya kakek memberikan izin nisan kayu itu ditancapkan di ujung jurang Lubuak Pusaro.

Sebelum memberikan izin, kakek memberikan nasehat kepada Ramon.
“Nak, induak ang ado pajanjian jo Jundai. Satalah ko, Jundai tu ka maikuikan angku. Basaba, pabanyak ibadah, ijan tapangaruah makhluk tu dih..” (Nak, ibumu ada perjanjian dengan Jundai. Setelah ini, Jundai itu akan mengikutimu. Bersabar, perbanyak ibadah,-
-jangan terpengaruh makhluk itu ya..) pesan kakek kepada Ramon. Kakek tau suatu perjanjian yang sosoknya belum pergi akan diteruskan kepada tali darah keturunan pembuat perjanjian.

“iyo nyiak…” jawab Ramon.
Pak Mahdi menetap di rumah kakek selama dua hari sebelum kembali ke Jambi. Selama itu ia terus melakukan pengobatan pada tante Lisa dengan membacakannya ayat ayat suci quran di waktu senja hingga malam.
“Seharusnya ini sudah tahap penyembuhan. Tidak lama lagi dia akan perlahan sembuh. Teruskan komunikasi dan bacakan doa doa setiap waktu ba’da ashar hingga maghrib” pesan Pak Mahdi sebelum berpamitan dengan kakek, ayah dan pak Ali.
Seminggu berlalu sejak kepergian pak Mahdi, namun tante Lisa tidak menunjukkan perubahan sama sekali. Ia terus menjerit dan menjulurkan lidahnya sepanjang malam sambil sesekali tertawa. Kakek berusaha sebisanya menenangkan anaknya itu namun hasilnya nihil.
Pak Ali akhirnya kehabisan kesabarannya. Melihat kondisi istrinya yang tanpa kemajuan padahal sang pelaku sudah tidak ada, ditambah lagi kepergian Bobi masih berbekas di pikirannya, Pak Ali melampiaskannya kepada ayah.
Ayah yang mengira Pak Ali masih baik baik saja, tidak menyangka akan mendapat serangan dari iparnya itu. Saat tengah duduk di teras sambil menyeruput kopi, tiba tiba saja Pak Ali melemparkan gelas ke arah ayah.
Gelas itu mengenai tepat kepala ayah dan air kopi membasahi wajah ayah.

“Apo ko Bang??!” (apa apaan ini bang?) tanya ayah yang terkejut sekaligus menahan sakit.
“ANJIANG DEK ANG PULANG KELUARGA DEN HANCUA KALERA!!!” (ANJING KARENA KAMU PULANG KELUARGAKU JADI HANCUR SIALAN!) bentak Pak Ali sambil berusaha meninju ayah.

Ayah mengelak tinjuan itu namun Pak Ali lebih cepat dan bertubuh lebih besar.
Sebuah pukulan telak mengenai ulu hati ayah dan disusul pukulan pukulan lain di tubuh ayah. Ayah berusaha melindungi tubuh dan kepalanya dengan tangan, namun pukulan demi pukulan kuat Pak Ali membuat tangan ayah sakit dan seakan mau patah.
Belum selesai sampai disana, Pak Ali mengeluarkan sabit yang ia simpan dibalik bajunya. Melihat senjata itu ayah segera lari. Namun Pak Ali sudah kehilangan akal sehatnya. Ia berlari mengejar ayah sambil mengacung acungkan senjata itu.
Pada suatu jalan setapak kampung, ayah kehilangan keseimbangan setelah terpeleset kerikil. Ketika ayah hendak bangun, Pak Ali sudah berdiri di belakangnya dan menancapkan sabitnya itu ke punggung ayah. Ayah menjerit namun tetap melanjutkan untuk berlari.
Beruntung ayah menemukan warung kopi yang buka dan berlindung disana diantara para warga lain.
Akibat insiden itu, ayah sempat demam dan memerlukan perawatan di lukanya. Hal itulah yang membuat ayah tidak bisa menelpon kami untuk beberapa waktu.
Awalnya Pak Ali akan dibawa ke kepolisian. Namun kakek meminta ayah dan Pak Ali berdamai. Dihadapan kakek, keduanya bersalaman namun masih enggan bermaafan satu sama lain.
Bahkan Pak Ali sempat berkata
“ Den ndak pantiang ang maafan den atau indak. Intinyo kini, Bisa ang ndak manampakan muko ang jo keluarga ang disiko lai?”
(Saya gak peduli kamu maafkan saya atau tidak. Intinya sekarang, Bisa gak kamu dan keluargamu tidak memperlihatkan lagi muka kalian di kampung ini?) tanyanya sinis.

Ayah tidak menjawab saat itu.
Namun keesokan harinya kakek menyarankan untuk ayah pulang saja dan biar urusan Tante Lisa dilanjutkan oleh kakek dan Pak Ali, selain itu ada Pak Panji yang bisa membantu juga sesekali saat tidak bekerja. Dari saran itu, ayah akhirnya memutuskan kembali ke Jakarta.
Ayah menceritakan semuanya kepadaku dan ibu. Ibu nampak begitu khawatir melihat luka ayah sekaligus kejadian yang terjadi di kampung.

“Untuak salanjuiknyo... ndak diam wak pulang dulu yo da.. bahayo..” ( untuk selanjutnya, gausah kita pulang dulu ya bang. Bahaya..) ujar ibu.
Ayah mengangguk pelan. Kepulangan kami hanya akan membuka lagi luka lama keluarga di kampung terutama pak Ali. Aku berharap, di kampung tante Lisa bisa segera sembuh untuk setidaknya membuat Pak Ali menjadi lebih baik lagi..
Namun nyatanya harapan hanyalah sebuah harapan.. 2009 ibu meninggal dunia karena sakit, dua tahun kemudian ayah menyusul ibu akibat pecah pembuluh darah. Pertengahan 2011, saat umurku baru 17 tahun dan Diana 12 tahun, kami sudah menjadi yatim piatu.
Selain itu di tahun sebelumnya, 2006, nenek meninggal dunia karena penyakit diabetes yang ia derita.

Ketika ayah meninggal, Pak Panji datang melayat ke rumah kami di Jakarta. Saat itu beliau menawarkan kami untuk kembali ke kampung dan menjadi “anak” Pak Panji dan Tante.
Awalnya kami ragu, namun sepertinya tidak ada pilihan lain. Kami belum bisa membiayai diri kami sendiri dan tidak ada saudara dekat yang berada di Jakarta. Seluruh adik kakak mendiang ayah dan ibu berada di kampung.
Sementara keluarga ibu tidak bisa kami harapkan karena satu dan lain hal yang berhubungan privasi keluarga.

Akhirnya kami mengiyakan tawaran tersebut dengan syarat aku menyelesaikan dulu SMAku di Jakarta, lalu aku akan berusaha mendapatkan univeristas di Sumatera Barat.
Pak Panji menyetujuinya dan selama satu semester sisa persekolahanku di Jakarta, beliau membiayai uang saku sekolahku dan Diana.

Selama semester itu aku dan Diana hidup dalam kesederhanaan. Kami sama sekali tidak ingin meminta lebih dari apa yg pak Panji berikan kepada kami.
Kami makan seadanya dan tidak membeli barang barang apapun yang tidak penting. Alhamdulillah perjuanganku berhasil, aku diterima di Universitas Andalas, Padang. Itu juga menjadi jalanku hingga akhirnya memantapkan diri untuk tinggal di kampung.
Aku segera mengabari pak Panji bahwa aku diterima di Unand. Beberapa Minggu kemudian Pak Panji datang lagi ke Jakarta dan membantu kami untuk berkemas. Barang barang kenanganku dengan ayah dan ibu, aku bawa pulang ke kampung.
Sementara beberapa perabotan rumah ditinggalkan karena rencananya rumah tersebut akan dikontrakan.

Kepulanganku itu akan menjadi awal mula kisah mengerikan yang kualami sendiri dan tidak akan pernah kulupakan hingga kini..
Bagian 2 Si Jundai Lubuak Pusaro, "Gasing Tengkorak"
Selesai.

Akan dilanjut Bagian 3 "10 Tahun Kemudian", InsyaAllah Rabu depan.

Buat yg ingin baca duluan Bag 3 dan 4, bisa download ebooknya di link ini yaa

karyakarsa.com/Mwvmystic/bag-…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with mwv.mystic

mwv.mystic Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @mwv_mystic

Oct 28
Setelah memotong kemaluan korban hidup hidup dan menampung d4rahnya untuk diminum, pelaku memut1l4si dan menjual daging korban dengan kedok daging sapi. Salah satu pembelinya bahkan sudah mengonsumsinya sebagai olahan rendang hati.

a thread Image
M. Delfi adalah seorang pemuda yang tinggal bersama ayahnya, Basri Tanjung, di Kabupaten Siak, Riau. Sehari hari, ia bekerja serabutan. Terkadang ia membantu ayahnya berjualan sate, kadang mengambil upah sebagai buruh bangunan. Image
Hingga akhirnya ia menjadi karyawan sebuah usaha isi ulang galon. Saat usianya masih sangat muda, 19 tahun, pada Februari 2013 ia menikah dengan Dita yang juga berumur sama dengannya. Namun pernikahan ini kandas hanya 8 bulan setelahnya tanpa sempat memiliki keturunan.
Read 21 tweets
Oct 20
ABI KUSNO NACHRAN

JURNALIS YANG DIANIAYA HINGGA CACAT PERMANEN PASCA BONGKAR KEGIATAN PERDAGANGAN KAYU ILEGAL DI KALIMANTAN.

a thread Image
Abi Kusno Nachran, merupakan seorang pria kelahiran Pangkalan Bun tahun 1941. Ia berprofesi sebagai jurnalis untuk Tabloid Lintas Khatulistiwa, sebuah surat kabar lokal di Kalimantan.
Tulisan tulisan Abi Kusno sering menyentil para oligarki dan mafia mafia dibalik pembabatan serta penjualan kayu ilegal dari hutan di Kalimantan. Tidak hanya menulis, ia kerap melaporkan hasil temuannya kepada aparat untuk diusut.
Read 18 tweets
Oct 14
SOTO DAGING MANUSIA DI TERMINAL KAMPUNG RAMBUTAN

a thread Image
Apa jadinya kalau kalian pergi ke sebuah warung soto lamongan, membeli sebungkus soto ayam dan memakannya lalu tiba tiba kalian diberitau kalau warung soto tersebut baru saja digrebek polisi karena menghidangkan soto dengan daging manusia?.. Ilustrasi soto lamongan
Ya, ini bukan potongan adegan film, namun kejadian nyata kasus yang sangat menggemparkan pada masanya : kasus Benget Situmorang dan soto dari daging istrinya.
Read 25 tweets
Oct 7
KISAH TRAGIS OMAYRA SANCHEZ

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, para relawan hanya bisa menemani Omayra menuju kematiannya setelah tersangkut dan terendam air selama 60 jam.

a thread Image
Pada 13 November 1985, Gunung berapi Nevado del Ruiz di Kolombia meletus. Meskipun tanda tandanya sudah terdeteksi, pemerintah setempat gagal melakukan evakuasi dan berakibat pada jatuhnya ribuan korban. Image
Kota Armero, salah satu daerah paling terdampak, bahkan kehilangan 20 ribu dari total 29 ribu penduduknya. Mereka umumnya tewas akibat banjir lahar yg menerjang kota. Salah satu korban di daerah itu adalah keluarga Omayra Sanchez Garzon, seorang gadis berusia 13 tahun.
Read 19 tweets
Oct 3
PALASIK MAYIK
PART 9

Ilmu hitam asal Sumatera Barat yang mengharuskan penggunanya meminum air bekas mandi jenazah

a thread Image
Bagi yg baru bergabung, Part 1-8 bisa dibaca dulu pada utas ini ya :

Kita mulai utasnya jam 20.30 wib. Please support dgn like dan retweet banner judul Part 9 diatas yaa.
Read 172 tweets
Sep 23
KISAH NYATA TUMBAL PROYEK PULAU X

sebuah utas Image
Cerita kali ini gw dapetin dari saudara yg kerja di proyek salah satu pulau. Nama pulaunya mungkin kita simpen dulu ya, meskipun kisah ini mungkin beberapa dari kalian udah tau. Di lokasi tempat dia kerja, beberapa bulan terakhir ada kasus yg booming dan memakan banyak korban.
Gangguannya cukup parah, sampai harus ada ‘pembersihan’ dari hal hal mistis agar para pekerja bisa aman di pulau itu.

Info yang beredar, karena gangguan mistis, ada pekerja yang jari tangannya kepotong dan ada yang kejatuhan potongan pohon yang lagi diangkat crane.
Read 13 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(