mwv.mystic Profile picture
Feb 23, 2022 216 tweets >60 min read Read on X
Bagian 3 Si Jundai Lubuak Pusaro

"10 Tahun Kemudian.."

a thread Image
Cerita ini adalah bagian 3 dari cerita "Si Jundai Lubuak Pusaro". Untuk teman teman yang baru mulai membaca, bagian 1 bisa dibaca di sini :

Cerita ini akan kita mulai cicil malam ini, insyaAllah setelah Isya.

Bagian 3 dan bagian 4 (tamat) juga sudah dipost di Karyakarsa. Pembaca yg mau baca lebih dulu dalam bentuk ebook, link donwloadnya disini yaa

karyakarsa.com/Mwvmystic/bag-…
BAGIAN 3 SI JUNDAI LUBUAK PUSARO

Aku menyusuri lagi jalan yang sama yang aku lewati sepuluh tahun lalu. Kenangan demi kenangan tersirat dalam pikiranku. Bagaimana kami terakhir kali melewati ini dengan anggota keluarga yang lengkap.
Ayah yang terus menceritakan teman temannya semasa muda, ibu yang mengajak bicara Diana, dan Diana sendiri yang saat itu masih dalam gendongan ibu.
Aku menatap Diana yang duduk manis di sampingku tanpa berkata apapun. Ingatannya tentang jalan ini pasti tidak ada, mengingat ia saat itu masih sangat kecil.

“Dulu di jalan ini, abang muntah loh dek pas pulang pertama kali”kataku memecah keheningan dan mengajaknya mengobrol.
“Oh iya bang? Kok bisa?” tanyanya sambil tersenyum.

“Iya abang dulu ga kuat kalo jalan belok belok. Untung ibu waktu itu bawain kantong plastik, jadinya..”

Mendengar kata ibu tiba tiba mata Diana berubah. Ada kesedihan di tatapan matanya.
Mungkin dia tidak ingat kejadiannya, tapi ia tau, ibu kami adalah seorang ibu yang sangat menyayangi kedua anaknya dan begitu sigap dalam segala hal.
Jika ditanya siapa yang lebih dekat dengan ibu, tentu itu adalah Diana. Ketika ibu berpulang, Diana bahkan tidak bisa tidur kecuali setelah lelah menangis semalaman. Bantalnya akan basah karena air mata dan dia tidur dengan mata yang sembab.
Sekarang Diana harus meninggalkan semua kenangan itu bersama rumah kami di Jakarta.
“Eh itu ada monyet dek!” tunjukku ke arah kaca travel. Diluar sana beberapa monyet atau biasa masyarakat Minang menyebutnya baruak meloncat dari satu dahan ke dahan lain. Diana seketika teralihkan dari kemurungannya dan melihat ke sekawanan monyet itu.
Singkat cerita, kami bertiga tiba di rumah kakek. Tidak ada sambutan sebagaimana ayah dapatkan dulu. Ada beberapa orang yang duduk di teras rumah kakek saat itu, diantaranya aku masih ingat, ada kakek dan tante Rina, suami Pak Panji.
Dipangkuan tante Rina ada seorang anak kecil, itu adalah adik dari mendiang Nizar, ia lahir dua tahun setelah kejadian itu. Kini umurnya sudah hampir 8 tahun dan namanya adalah Shinta.
Aku melangkah dengan sedikit pincang karena kaki kiriku yang melengkung. Kakek berdiri dari duduknya namun tidak membantuku untuk membawakan koper, maklum, beliau sudah sangat tua saat itu dan tenaganya tidak lagi seperti dulu.
“Assalamualaikum, inyiak, ante” salamku sambil mencium tangan keduanya.

“waalaikumsalam, jauh perjalanan?” tanya kakek sambil menempuk nepuk punggungku.

“Ga sejauh dulu kek. Jalannya udah bagus” jawabku sambil menurunkan beberapa koper di teras rumah.
“Langsung aja masukin ke dalam bang Rahman, itu udah ada kamar bekas ayah buat abang sama Diana” cegah tante Rina.
Akupun bergegas ke dalam masih dengan membawa koper koperku. Di dalam rumah, ternyata ada orang lain, seorang pria yang sedang merokok dan menonton televisi memunggungi pintu masuk.
Aku berjalan pelan melewatinya dan mengucapkan salam, namun tidak ada jawaban. Ia hanya menghisap rokoknya lagi dan menghembuskannya ke udara.

Aku berjalan melewatinya untuk bisa melihat siapa pria itu, dan ternyata itu adalah Pak Ali.
Aku sempat terkejut, namun disisi lain aku juga merasa beliau adalah salah satu orang yang harus aku hormati disini.

“Pak, Rahman udah sampai..” sapaku sambil mengulurkan tanganku dan membumbungkuk untuk salaman.
“iya iya, taruh aja barang barangnya di kamar. Istirahat abis itu” jawab Pak Ali tanpa menyambut tanganku. Ia lalu mematikan televisi dan masuk ke kamar kakek dan menguncinya.
Aku menghela nafas. Sepertinya pak Ali masih tidak terima dengan keberadaanku dirumah ini. Berbeda dengan tante Rina dan pak Panji yang bisa mendapatkan anak lagi setelah kepergian Nizar, hal yang sama tidak bisa dilakukan oleh Pak Ali dan Tante Lisa.
Terlebih, aku tidak tau keadaan Tante Lisa sekarang seperti apa..
Aku membawa barang barangku ke kamar yang sama yang aku tiduri sepuluh tahun lalu. Kembali memori lama itu muncul, bagaimana kebersamaan kami di hari raya yang harusnya menjadi momen bahagia, berakhir begitu tragis dan merubah seluruh kehidupan keluarga kami..
Diana menyusulku masuk kamar. Ia melihat ke sekeliling. Kamar ini belum jauh berubah, hanya langit langitnya saja yang semula tembus ke atap, sekarang sudah menggunakan triplek, dan ada lampu bohlam sebagai penerang ruangan.
Diana mengedarkan pandangannya, melihat satu persatu foto yg ada di kamar itu. Matanya tertuju pada sebuah foto pernikahan jadul yg sudah memudar. Ia menatapnya lama. Ada sepasang pengantin berbaju merah emas dgn raut muka kaku di foto tersebut.
“Diana tau itu siapa?” tanyaku membuyarkan lamunannya.

“Ayah sama Ibu?” tanyanya.

“iya, itu ayah sama ibu pas nikah. Ibu cantik banget ya” ujarku yg sebenarnya terharu juga dengan kalimatku sendiri.

“iya bang..” jawab Diana pelan sambil terus memandangi foto itu.
Kamipun mengeluarkan isi koper dan kardus yang kami bawa. Menyusun baju baju di lemari, menaruh beberapa pajangan foto yg sengaja kami bawa dari rumah, dan persiapan lainnya.
Ketika sore menjelang, kamipun mandi. Saat itu rumah kakek sudah memiliki wc, hanya saja airnya tidak selalu ada. Kadang air menyala, terkadang mati. Saat aku akan mandi, ada sebuah ember cat yg sudah terisi penuh air.
Aku rasa aku akan mandi dengan air itu, tapi baru saja akan masuk kamar mandi setelah mengambil handuk, Pak Ali muncul dan segera mengambil ember itu lalu membawanya ke dalam kamar tanpa sepatah kata apapun.
Aku mencoba membuka keran air, namun air keran itu mati. Terpaksa aku harus mandi di sungai depan rumah. Akupun membawa handuk, peralatan mandi dan mencari sendal untuk mandi di sungai depan rumah.
Ketika melewati kamar depan, tanpa sengaja aku mendengar suara dari dalam kamar kakek. Suaranya lirih dan pelan, namun karena rumah sedang sunyi, aku bisa mendengarkannya dengan jelas.

“Sia dilua tu bang?” (Siapa itu diluar bang?) ujar suara seorang wanita.
“Si Panji samo anaknyo..” ujar suara lain yang kuyakin adalah Pak Ali.

Aku tertegun di samping kamar tersebut. Selama 10 tahun ini, ayah memang tidak mengabari keadaan tante Lisa kepadaku, namun sepertinya kondisinya sudah membaik dan terlepas dari gangguan yg diceritakan ayah.
“Bobi alun pulang lai bang?.. lah ka sanjo hari..” (Bobi udah pulang bang? Udah mau malam..)

“Alah, inyo kini di surau, ka mangaji” (udah, dia sekarang di mushola, mau mengaji..) jawab Pak Ali.

Aku terdiam dan berjalan keluar sambil menenteng handuk dan sabunku.

***
Aku berada di rumah kakek selama kurang lebih satu bulan sebelum akhirnya pindah ke Kota Padang untuk melanjutkan kuliahku di Unand. Selama itu juga, Pak Ali selalu menghindar dariku.
Beliau seperti enggan berbicara denganku maupun dengan Diana. Kami juga tidak pernah diizinkan masuk ke dalam kamar kakek yang kini ditempati oleh Pak Ali dan Tante Lisa. Pintunya selalu tertutup dan terkunci.
Bahkan Pak Ali akan menyembulkan kepalanya terlebih dahulu sebelum keluar, memastikan tidak ada orang yang bisa melihat ke dalam kamar ketika ia membuka pintu.
Satu hal lain yang bagiku janggal adalah dari dalam kamar kakek itu, menjelang adzan Maghrib hingga Shubuh pagi terdengar suara rekaman dzikir atau musik yg terus diulang ulang dengan suara kencang.
Sesekali aku mendengar suara jeritan, lalu tak lama menjadi suara tertawa, lalu menjadi suara jeritan lagi.
Awalnya, setiap mendengarkan itu, aku selalu keluar kamar dan mengecek keadaan. Kukira tante Lisa atau pak Ali membutuhkan bantuan, namun Pak Panji yg saat itu ada di ruang tengah memberiku kode “gapapa” dgn gestur tangannya. Sejak itu aku tau hal itu adalah hal “biasa” terjadi.
Tepat H-2 Minggu sebelum perkuliahanku dimulai, aku pergi ke Padang untuk mencari kost dan tinggal disana selama kuliah.

Sementara Diana tinggal di kampung dan diasuh oleh Pak Panji dan Tante Rina. Aku bersyukur keduanya masih menerima kami dan bersikap sangat baik kepada kami.
Aku tidak bisa membayangkan jika tidak ada Pak Panji, bagaimana aku dan Diana bisa bertahan. Terlebih kami tidak bisa mengharapkan bantuan dari keluarga besar ibu karena satu dan lain hal yang bersifat privasi keluarga kami.
Singkat cerita, aku berhasil mendapatkan kost murah dan dekat dengan kampus. Kostan ini berupa rumah dengan 3 kamar. Ketika aku datang, dua kamar lain sudah ditempati oleh penghuni lainnya.
Berbekal sedikit bahasa minang yang aku pelajari dari ayah dan ibu semasa hidupnya dulu, aku berusaha berbaur dengan yang lainnya.

Di kostan itu aku, berkenalan dengan Samsul dan Ade, dua mahasiswa baru Unand yang berbeda jurusan denganku.
Samsul bertubuh besar dan kekar, ia menggunakan bahasa kasar dalam berbicara dan sering mengumpat namun untuk hal bercanda. Ia berasal dari daerah bernama Tiku, sebuah daerah berpantai di kabupaten Agam.
Ade, bertubuh kurus tinggi dan mengenakan kacamata. Ia berasal dari Pasaman, Ade cenderung pendiam namun ramah dan bahasanya halus. Bahkan ia menggunakan kata “awak” sebagai ganti kata “aku”, salah satu pilihan kata yang sopan untuk ukuran obrolan dengan orang yang seumuran.
Dari penampilannya, aku yakin Ade ada diantara dua kemungkinan, orang pintar atau penyuka kartun jepang.
Beruntung, kebersamaan kami bertiga cukup baik. Walaupun kami berkuliah di jurusan yang berbeda, obrolan kami masih bisa nyambung. Sepulang kuliah kami selalu berkumpul di ruang tengah, sekedar untuk mengobrol, main game atau makan bersama.
Pernah suatu ketika, salah satu obrolan kami adalah membicarakan keadaan kakiku. Aku tidak tersinggung jika itu datang dari teman temanku, terlebih mereka memang bertanya dengan sopan tanpa merendahkanku.
“Man, maaf nih ya. Itu kakimu udah dari lahir?” tanya Ade sambil duduk di ambang pintu kamarnya.

“Ini? Enggak. Aku kena pas pulang kampung dulu. Waktu masih SD. Aku ngeliat yang enggak enggak di batang air, dan akhirnya kakiku begini” jelasku.
“yang enggak enggak gimana? Hantu?” tanya Samsul yang langsung masuk ke obrolan.

“Kayaknya iya. Dia kegantung gitu, tapi masih gerak gerak. Kalo kata ayah sih, Si Jundai namanya” ujarku lagi.
“Oooo si jundai, pernah denger. Wah berarti sampai sekarang yang kayak gitu masih ada di kampungmu Man?” tanya Ade semakin penasaran.
“Kayaknya enggak deh. Dukun yang praktekin itu udah meninggal beberapa bulan abis kejadian itu. Sekarang udah modern juga. Masa masih ada yang beginian” kataku lagi.
“Jangan samain di Jakarta sama disini Man, beda jauuuh. Yang kayak gitu masih banyak di daerah daerah. Apalagi tuh, di Pasaman rumahnya Ade, isinya orang punya ilmu semua” kata Samsul sambil menunjuk Ade.

“Ah ga juga. Biasa aja kok. Lebay” bantah Ade.
“aku sebenarnya beruntung, saat kejadian ini, dua saudaraku yang lain meninggal. Cuma aku yang selamat..” ujarku dengan tatapan kosong ke lantai.

Samsul dan Ade terdiam.
“Meninggal?.. meninggal kenapa man?” tanya Samsul penasaran.
Merasa keduanya adalah orang yang dapat ku percaya, aku menceritakan semuanya dari awal hingga akhir. Tentang Bobi, Nizar dan pengalamanku di Lubuk Pusaro.
Keduanya kelihatan sangat tertarik dengan pengalamanku, terlebih saat kuceritakan betapa indahnya Lubuak Pusaro dan apa yang terjadi pada jasad Nizar.

***
Selama satu semester, aku menjalani perkuliahanku dengan biasa. Meskipun tidak begitu menonjol diantara yang lain, namun aku cukup bisa mengikuti pembelajaran di kampusku.
Selama 1 semester itu juga aku tidak pulang ke rumah kakek. Selain karena jaraknya yang cukup jauh dan harus ditempuh dgn travel, entah kenapa aku lebih menyukai berdiam diri di kostanku, walaupun Samsul dan Ade pulang ke rumahnya hampir setiap 2 minggu sampai satu bulan sekali.
Namun aku masih tetap kontak melalui telpon dengan Diana, Pak Panji dan yang lainnya di kampung. Sekedar menanyakan kabar dan memberitahu bahwa uang bulanan sudah aku terima.
Hingga akhirnya, semester satu usai dan aku mendapatkan libur 2 minggu perkuliahan. Mau tidak mau aku memilih pulang, selain jangka waktu libur yang cukup lama, kawasanku tinggal memang hanya dihuni oleh para mahasiswa saja.
Libur selama itu pasti kawasan disini akan total sepi dan rawan terjadi kejahatan.

“Kamu pulang Man?” tanya Ade di hari terakhir perkuliahan, aku ingat sekali waktu itu hari Jumat.

“Iya rencananya, lumayan 2 Minggu. Mau ngapain juga aku disini sepi sendirian” jawabku.
“nah, kirain kamu bakalan betah sendirian libur semester dikostan” ujar Ade sambil sedikit tertawa.

“Aku ga semenyedihkan itu oi” kataku sambil mendorong tubuh Ade bercanda.
Samsul yang ada di dalam kamar tiba tiba keluar dan langsung menatapku.

“Ha? Baa?” (Ha? Kenapa?) kataku mempraktekkan bahasa minang yang aku pelajari selama kuliah.
“Aku boleh ikut ke kampungmu gak? 2 hari aja. Sabtu Minggu. Penasaran sama cerita kamu, pengen liat lokasinya langsung” ujar Samsul.

“ide bagus. Wak join” ujar Ade tanpa menunggu konfirmasiku.

“Eh? Mau nyari apaan disana? Gaada yang bisa diliat” kataku mencegah.
“Ya seengaknya gak cuma pohon kelapa dan pantai kayak di rumahku, dan gak cuma pohon sawit kayak di rumahnya Ade” jawab Samsul.

“Benar…” tambah Ade lagi.

“Cuma dua hari aja kok Man. Berangkat besok, Minggu sore atau Senin pagi deh aku sama Ade pulang” tawar Samsul.
“Benar..” tambah Ade.
Samsul memandangi Ade dengan tatapan kesal.

Aku sebenarnya tidak keberatan keduanya untuk datang ke rumah kakek, namun aku tidak enak dengan keluargaku yang lain. Terlebih aku men”skip” bagian tentang Tante Lisa saat menceritakan kisah masa laluku.
“Coba aku tanya ke orang rumah dulu ya” kataku kepada mereka.

Aku lalu menelpon Pak Panji, menceritakan bahwa aku libur kuliah dan akan pulang, namun dua hari akan ada teman yang mau ikut ke kampung untuk berlibur sejenak. Diluar dugaan, Pak Panji menyetujuinya.
“Ohh boleh, nanti teman temanmu tidur di rumah Pak Ali aja, kamarnya kan kosong, nanti apak sama tante tidurnya di kamar kamu” ujar Pak Panji.
Rumah Pak Ali dan Tante Lisa memang ada di samping rumah kakek. Biasanya yang mengisinya adalah keluarga pak Panji semenjak Pak Ali dan Tante Lisa tinggal di kamar kakek.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku menutup telepon. Dibelakangku Samsul dan Ade sudah berdiri menunggu kepastian izin mereka menginap di rumahku.

“Sanang hati kalian? Capek mangameh barang lah!” (Seneng kalian? Buruan beresin barang kalian!) kataku sambil tersenyum.
Keduanya balik tersenyum dan tertawa kecil. Lalu segera masuk ke kamar untuk mengemasi barang barang yang ingin mereka bawa dan membersihkan kost kami karena akan ditinggalkan selama dua minggu.
Keesokan paginya, kami bertiga pergi ke rumah kakek. Sepanjang perjalanan aku mencoba menjelaskan hal penting yang aku lewatkan saat menceritakan masa laluku.
“Oh iya, nanti di rumah kakek, ada tanteku yang lagi sakit. Tinggalnya beda rumah sih, tapi kalau nanti kedengeran ada yang teriak atau suara musik kenceng malem malem, gausah khawatir ya” kataku.

Keduanya menatapku bingung.
“Sakit apa tantemu?” tanya Samsul.
“Gatau, udah lama juga dan gatau apa masalahnya” kataku singkat, daripada keduanya bertanya lebih jauh.

Siangnya, kami sampai di rumah kakek. Tidak ada seorangpun di teras rumah saat aku Samsul dan Ade turun dari travel.
“Sejuk banget Man” ujar Samsul yang selama ini merasakan teriknya pantai di kampungnya.

“Iya, tunggu nanti sampai kamu liat batang air dan Lubuak Pusaronya” kataku lagi.
Kami mengetuk pintu rumah kakek dan dibukakan oleh Tante Rina yang tengah bersama Shinta. Aku mencium tangannya dan disusul kedua temanku.

“Ooh iko kawan kawan Rahman nan ka manginap?” (ooh ini teman teman Rahman yang mau nginap?) tanya tante Rina.
“Iyo nte, wak Samsul, iko Ade” (Iya tante, saya samsul dan ini ade) jawab Samsul.
“Ahh, lai urang awak yo haha. Lah naiak lah ka rumah sabalah. Biliak lah disiapan dek apak. Pak Panji sadang mangawanan inyiak, Diana pai ka rumah kawannyo katonyo tadi”
(ah, orang padang juga ya. Udah, naik ke rumah sebelah. Kamarnya udah disiapin Pak Panji. Pak Panjinya lagi nganter kakek. Diana lagi main ke rumah temannya tadi) ujar Tante Rina.

“Kakek kemana nte?” tanyaku.
“Lagi ke bidan, badannya udah seminggu ini demam terus batuk batuk” jawab tante Rina.

Kamipun mengangkut barang bawaan kami ke rumah Pak Ali di sebelah. Sudah ada karpet dan kasur yang dibentangkan di ruang tengah.
Kami meluruskan kaki kami disana ditemani es teh manis dan roti roti warung yang disuguhkan tante. Tak lama, kami merasa mengantuk karena lelah selama perjalanan dan memutuskan tidur siang sejenak.
Dalam tidur itu aku mendapat sebuah mimpi yang aneh. Shinta, anak pak Panji berada di sebuah pusaran air sambil berteriak teriak memanggil namaku. Aku tidak bisa meraihnya karena aku berada diatas tebing, sementara Shinta ada dibawah.
Lalu tiba tiba saja dari pusaran air itu muncul sosok wanita tinggi besar berambut panjang dan mengembang dengan wajah pucat. Matanya total hitam dan lidahnya menjulur hingga perutnya. Sosok ini muncul tepat di belakang Shinta dan menenggelamkan kepala Shinta ke dalam air..
Aku tersentak bangun dengan peluh membasahi seluruh badanku. Entah karena mimpi buruk itu atau karena rumah ini memang begitu panas karena tidak adanya kipas angin. Tapi ketika aku melihat ke Samsul dan Ade, keduanya nampak tertidur lelap tanpa keringat seperti yang aku rasakan.
Aku keluar rumah dan mendapati langit yang sudah mulai jingga tanda hari sudah sore.

Aku beranjak ke rumah kakek dan mendapati Diana ada disana. Ia mencium tanganku dan kami mengobrol beberapa saat. Setelahnya, aku kembali ke rumah Pak Ali, tempat Samsul dan Ade tidur.
Aku membangunkan Samsul dan Ade dan menawari mereka untuk mandi.

Keduanya bangun dengan bermalas malasan. Ade duduk termenung lama mengumpulkan nyawanya, sementara Samsul langsung meregangkan tubuhnya dan beranjak ke tas untuk mengambil peralatan mandinya.
“Eh? Mandinya di kamar mandi aja ya.. ke batang aianya besok aja” kataku menawarkan.

“Tanggung Man, takutnya besok hujan. Mumpung belom sore sore banget” jawab Samsul sambil menyelempangkan handuk ke bahunya.
Aku pun menuruti keduanya. Kami berjalan menyusuri pemukiman penduduk. Aku berusaha mengingat jalan jalan yang aku, mendiang Bobi dan Nizar lalui. Entah kenapa perjalanan ke batang aia itu membuka kembali memoriku...
Seakan dihadapanku kini ada Bobi yang menujukki ku jalan, dan dibelakangku ada Nizar yang berjalan lambat sambil menggendong bonekanya.
Aku sengaja tidak pergi langsung ke sisi tempat aku dan Bobi mandi karena aku ingin menunjukkan view Lubuak Pusaro dari atas. Pemandangan yang membuatku pernah terpana sewaktu kecil dahulu.
Kondisi jalan yang kami lalui sudah cukup berbeda dengan yang aku dan kedua saudaraku lalui sepuluh tahun lalu. Jalan kampung ini sudah beraspal walaupun ukurannya tidak besar dan terputus menjelang ujung jurang.
Aku berbelok ke kiri, keluar dari jalan aspal dan kembali menyusuri jalan setapak yang lembab hingga akhirnya sampai ke sisi jurang yang sama yang aku datangi saat hari kejadian itu.
“Selamat datang di batang aia Lubuak Pusaro” kataku sambil membuat gestur ala peramu saji restoran kepada Samsul dan Ade.

Ekspresi keduanya sesuai harapanku. Kedua matanya berbinar dan Ade segera mengeluarkan handphone dari kantongnya untuk memfoto foto pemandangan itu.
“Lasuah mandi ko mah De!” (Seru nih mandi de!) ujar Samsul menepuk pundak Ade yang masih sibuk mempotret pemandangan sekitar dengan kamera ponselnya.

Kami berdiri disana cukup lama sambil menunggu Ade selesai dengan dokumentasinya. Sampai tiba tiba Ade bertanya kepadaku.
“Man, itu disana apa? Kuburan?” ujarnya sambil menunjuk satu titik ditengah lengkungan jurang.
Aku melihat ke arah yang Ade maksud. Disana terdapat sebuah pohon rindang dengan akar menjalar keluar. Di sekelilingnya terdapat nisan nisan dan pohon kamboja dengan bunga putih kuningnya.
Ingatanku mengenai pohon itu seketika hadir. Itu pohon yang aku lihat sebelum pingsan. Pohon tempat makhluk itu bergantungan.

“Kayaknya itu pohon yang aku liat pas dibawah sebelum pingsan deh..” kataku ragu.
“Hah? Yang kamu bilang ada orang gantung diri itu?” tanya Samsul.
Aku mengangguk ragu.

“Coba kesana yuk. Pasti pemandangannya lebih bagus” ajak Ade yang sepertinya masih belum puas dengan hasil jepretannya.

“Aku ragu sebenernya. Kalian ga takut?” tanyaku.
“Selama kita ga buat aneh aneh, harusnya gaada apa apa Man” ujar Samsul meyakinkan.

Kami berjalan menyusuri pinggir tebing menuju ke sisi hilir ke arah pemakaman umum kampung yang jadi alasan penamaan Lubuak Pusaro.
Dugaan Ade benar. View dari titik itu jauh lebih bagus lagi dari titik sebelumnya. Ade tidak henti hentinya mengambil foto disana, sementara aku dan Samsul menikmatinya dengan mata kami saja.
“Man, fotoin aku disini dong” pinta Ade kepadaku sambil menyodorkan hapenya.

“Mau difotoin dimana?” tanyaku.

“Disini aja, agak keatasan ya biar lubuaknya nampak” kata Ade mengarahkan.

Akupun menuruti kemauannya dan memfotonya beberapa kali.
“Jadi mandi ga nih?” tanyaku yang sudah mulai bosan meladeni Ade yang tiba tiba saja jadi orang bersemangat padahal biasanya malas malasan dan pendiam.
“Satu lagi satu lagi, dari sana, foto biar keliatan jurangnya” pinta Ade.
Aku berjalan sedikit ke hilir lalu mengambil spot untuk memfoto Ade.

“Aden sato lo yeh” (Aku ikutan juga ya) kata Samsul yang ikut berpose. Ia naik ke sebuah batu yang ada di samping pohon tadi.
Keduanya lalu bergaya dengan latar belakang pohon itu dan sisi tebing kokoh yang nampak di sudut foto.
“Udah? Mandi yuk lah udah keburu malem” kataku mengingatkan. Langit kala itu sudah berwarna lembayung keunguan.

“Ayok ayok” ujar Samsul sambil turun dari batu yang ia naiki. Namun tiba tiba saja ia sadar batu yang ia naiki ternyata ada bekas pahatan yang sudah tertutup lumut.
Samsul berjongkok dan mengamati dengan seksama batu itu. “Hah? Dari tadi aku berdiri diatas nisan?? Astaghfirullah” ujar Samsul sambil menepuk kepalanya.
Aku memperhatikan nisan dari batu berapahat itu. Posisinya aneh karena nisan itu menghadap ke pohon dan posisi pohon besar itu ada di atas “tubuh” makam itu.
Aku berjongkok dan membersihkan sedikit lumut yang menempel disana dengan kayu. Pahatan itu membentuk tulisan..
“Nuraini Septianti xxxxx - 2002” beberapa pahatan sudah tidak terlihat lagi dengan jelas, namun bagian nama dan tahun kematiannya masih bisa aku baca.

“Nur?... Nur yang diceritakan ayah dulu?..” kataku dalam hati.
----InsyaAllah dilanjutkan besok----
Bagi yg mau membaca langsung versi ebooknya, Bagian 3 dan 4 cerita ini sudah bisa didownload via Karyakarsa ya. Link sbg berikut :
karyakarsa.com/Mwvmystic/bag-…
“Kenapa man?” tanya Ade.

“Enggak. Yuk mandi, keburu malem” kataku lagi sambil bergerak ke hilir dengan membawa peralatan mandiku.

Kami kembali menyusuri tebing hingga mencapai lokasi tempat aku dan Bobi mandi dulu.
Lokasi ini tidak banyak berubah. Hanya saja memang sedikit lebih dalam dan para warga sudah enggan untuk mandi dan mencuci di tempat ini karena sudah adanya wc di masing masing rumah. Sekalipun ada yang mencuci, kurasa jumlahnya sedikit.
Kami melepas pakaian kami dan hanya mengenakan boxer. Samsul dan Ade terlihat riang sekali. Namun tidak denganku.

Aku seakan kembali ke hari menyakitkan itu. Aku bahkan terus memandangi batu besar tempat Bobi duduk terakhir yang masih kokoh di aliran batang aia.
Samsul yang selama ini berenang di pantai terlihat begitu keasyikan dengan air jernih kampungku. Ia bergerak ke tengah, meloncat dari pinggiran tebing, dan melakukan gaya renang lainnya.
“Woahhh seger bangettt!!! Dingiiin” ujar Samsul bersorak kegirangan.
Sementara itu Ade hanya mengambang ngambang kecil di sisi arus yang tenang.
“Heh, sini berenang. Ngapain ngambang gitu kayak tai” panggil Samsul pada Ade.

“Kamu aja. Arusnya kuat. Aku gabisa berenang” jawab Ade sambil merendam badannya hingga lehernya.
“Bilang aja kamu takut si Jundai yang dibilangin Rahman kan? Masa orang Pasaman takut ahaha” kata Samsul mengejek Ade.

“Woi kalo ngomong dijaga Sul, tempat begini ngomong jangan sembarangan!” bentak Ade balik.

Samsul hanya tertawa kecil lalu melanjutkan renangnya.
Aku menceburkan diri ke batang aia itu dan bergabung dengan keduanya.

Namun lagi lagi aku merasa tidak tenang. Seperti ada mata yang mengawasi gerak gerik kami tapi aku tidak tau posisinya dimana.
Kami mandi selama kurang lebih setengah jam hingga suara pengajian dari arah surau tanda adzan Maghrib akan segera tiba menghentikan kegiatan kami.
Kami berkemas dan kembali menyusuri jalan untuk kembali ke rumah.

“Asik juga ya, ga yang seserem diceritain Rahman ternyata. Besok pagi nyoba di Lubuak Pusaro mandinya yuk” ujar Ade kepada Samsul saat kami berjalan pulang.

“…” Samsul hanya diam tidak menanggapi.
“Sul? tadi semangat banget kok sekarang lemes gitu” tanya Ade melihat Samsul pendiam tidak seperti biasanya.

“Liat besok ya, badanku kurang enak rasanya..” ujar Samsul sambil menaruh telapak tangannya di lehernya.
Aku langsung melihat ke arah Samsul. Terlihat memang bibirnya sedikit pucat dan pandangannya kosong. Mungkin karena terlalu lama mandi berenang pikirku.
Kamipun tiba kembali di rumah Pak Ali yang dijadikan tempat Samsul dan Ade menginap. Keduanya berganti baju dan kembali ke ruang tengah. Namun Samsul masih sama seperti tadi. Diam dan wajahnya terlihat pucat.
“Kamu sakit Sul?” tanyaku padanya.

“Kayaknya. Aku boleh minta teh anget ga Man? Dingin banget rasanya..” ujar Samsul.

Akupun meminta air panas di rumah kakek lalu membuatkannya untuk Samsul.
Ia meminumnya sedikit lalu izin untuk tidur duluan setelah minum obat penurun panas. Aku mengiyakan dan berjanji akan membangunkannya saat makan malam sudah siap.
Sementara Samsul tidur, aku mengobrol dengan Ade di atas kasur kami masing masing sampai sebuah ketukan terdengar dari arah pintu.

“Assalamualaikum” ujar suara itu dari luar.

“Waalaikumsalam, bentar Din” kataku.
Akupun membuka pintu dan Diana sudah berdiri disana dengan baju pengajian suraunya.

“Bang, dipanggil pak Panji suruh makan di rumah kakek” kata Diana.

“Oh iya, eh sini kenalin temen temen abang dulu” kataku sambil menuntun Diana masuk.
“De, kenalin adikku, Diana” kataku sambil membawa Diana ke depan Ade. Diana menjulurkan tangannya utk bersalaman dengan Ade.

“Ah iya, bang Ade” kata Ade memperkenalkan diri. Lalu menyambut saliman tangan Diana.

“Nah itu yang tidur itu Samsul, bentar abang bangunin dulu” kataku.
Aku mendekati Samsul dan coba membangunkannya. Namun ketika aku mau mengguncang bahunya, aku merasakan hawa panas keluar dari tubuh Samsul. Benar saja, saat aku memegang bahunya, tubuh Samsul terasa panas sekali.
“Sul? Bangun sul.. Demam? Mau ke bidan gak?” kataku sambil membangunkan Samsul.

Samsul membuka matanya sedikit lalu berkata..
“udah gapapa. Aku juga udah makan obat. Nanti juga sembuh.. kalian makan aja duluan..” ujarnya tanpa bangun dari posisi tidurnya.
Karena Samsul bilang begitu, akupun mengiyakan. Aku kemudian meninggalkan Samsul di rumah Pak Ali, sedangkan aku, Ade dan Diana pergi ke rumah kakek untuk makan malam.
Hidangan sederhana dihidangkan oleh Tante Rina berupa mie goreng, telur, tahu, tempe dan sambalado ikan teri.

Sebelum mulai makan, aku bersalaman dan memperkenalkan Ade kepada kakek yang saat itu sudah pulang berobat.
Selain itu aku juga mengabari ada satu temanku yg lain, tapi sedang istirahat karena kelelahan.

Ada dua koyo yang melekat di sisi luar kening kakek untuk mengurangi sakit kepala yang beliau derita. Kakek juga mengeluhkan rasa sakitnya padaku yang menurutnya adalah penyakit umur.
Kami makan bersama, tanpa pak Ali dan Tante Lisa yg masih ada di dalam kamar kakek spt biasa.

“Lah kama se tadi?” (Udah kemana aja tadi?) tanya kakek kepadaku.

“Baru pergi mandi aja kek..” jawabku sedikit ragu.

“Mandi kama? Batang aia?” (mandi kemana? Batang air?) tanya kakek.
“iya kek..“ kataku.

“Man.. jan ka sinan lai ndak.. babahayo..” (Man, jangan kesana lagi ya, bahaya..) pesan kakek. Aku bisa melihat kekhawatiran dari mata kakek.
“Iya tu bang, bahaya. Walaupun abang sama temen temen abang udah gede. Tapi itukan airnya deras. Takut kenapa kenapa lagi kayak waktu dulu” pesan pak Panji sambil meneruskan suapan nasinya.
Ade yang merasa diikutsertakan dalam pembicaraan ini hanya diam sambil menyuap makanannya secara canggung.
“Kalau mau mandi di batang aia, jangan yang deket lubuak pusaro tu bang. Ke hilir aja, ada lubuak lain juga. Lebih bagus dan rame buat berenang. Orang orang pada kesana sekarang mandinya” tambah pak Panji.
Aku mengangguk pelan karena merasa bersalah. Bagaimanapun, akulah yang mengunjukkan jalan ke Lubuak Pusaro dan Batang Aia kepada Samsul dan Ade tanpa meminta izin kepada kakek maupun Pak Ali.

Namun suasana itu kembali mereda dan kami meneruskan makan kami sampai tiba tiba..
“AHHHHHHH!!!! PAI KAUUU!!! PAIIIII!!!!!” (AHHH PERGI KAMU PERGIII!!!) tiba tiba dari arah dalam kamar kakek, tante Lisa berteriak keras lalu terdengar suara benturan ke dinding yang cukup kuat.
“Astaghfirullah…” ujar kami bersamaan sambil melihat ke arah kamar kakek.

“Ali?? Suaro a tu Li???” (Ali?? Suara apa itu Li???) tanya kakek dengan suara lemah.
Namun tidak ada sahutan balik dari dalam. Pak Panji berdiri dan mencoba membuka pintu namun ternyata terkunci.

"Tok Tok Tok"
“Bang? Baa di dalam bang?”(Bang, kenapa di dalam bang?) panggil Pak Panji.

Namun nihil, tidak ada jawaban dari Pak Ali.
“Rina cari kunci biliak apak!” (Rina, cari kunci kamar bapak) perintah kakek kepada menantunya.

Tante Rina lalu mencari kunci cadangan dengan tergesa gesa. Beruntung, ia berhasil menemukannya.
Kunci itu segera diserahkan kepada Pak Panji yang segera membuka pintu. Aku juga berdiri di depan pintu untuk melihat keadaan di dalam yang selama ini belum pernah kulihat.
Ketika pintu terbuka, tercium bau lembab dan anyir yang sangat mengganggu. Kamar itu begitu gelap dan suram. Hanya ada cahaya remang dari lampu kecil berwarna kekuningan, sementara jendela ditutup rapat dan dipaku.
Kamar itu hanya berisi sebuah kasur, lemari kecil dan sebuah sudut bersekat yang kurasa adalah kloset untuk buang air. Namun di atas kasur itu hanya ada pak Ali yang terbaring, sementara Tante Lisa tidak ada..
Pak Panji melangkah masuk sambil matanya melihat ke sekeliling. Terutama ke langit langit dan sudut ruangan.

“Uni?...” (kakak?) panggil pak Panji.

“Ko Panji Ni, Uni dima?” (Ini panji kak. Kakak dimana?) ulang pak Panji.
“HAHAHAHA HIHIHI KHIIIIHHH” tiba tiba suara tawa cekikikan dan desis terdengar dari bawah kolong kasur.

Pak Panji merunduk dan mendapati Tante Lisa tiarap di bawah kasur namun pandangannya lurus ke arah pintu.

“Uni.. manga disinan tu…” (kakak ngapain disana..) tanya Pak Panji.
Itu pertama kalinya aku melihat Tante Lisa sejak terakhir kali aku pulang kampung. Fisik Tante Lisa benar benar sudah jauh berubah. Tubuhnya yang dulu berisi, kini jadi kurus kering.
Kantung matanya hitam, bola matanya cekung ke dalam, dan ia terus mengeluarkan air liur yang menetes ke lantai. Rambutnya pun sudah banyak yang rontok dan menyisakan kepala dengan rambut yang jarang dan tipis..
Tanpa menjawab pertanyaan Pak Panji, tiba tiba saja Tante Lisa merayap dari bawah kolong secara cepat ke arah pintu dengan gestur seperti laba laba!
“ALLAHU AKBAR!” Pak Panji segera menutup kembali pintu dan terdengar gedoran dari dalam.

Pak Panji, Tante Rina, kakek dan aku saling pandang satu sama lain.
Kenapa pak Ali diam? Dan bagaimana cara kami masuk tanpa membiarkan tante Lisa keluar? Ini sudah malam dan memang aktivitasnya akan meningkat seperti biasa, tapi entah kenapa malam ini ia berkelakuan sampai seperti itu.
“Wak imbau pemuda lain untuak macikan uni yo pak” (saya cari pemuda lain untuk megangin kakak ya pak) ujar Pak Panji ke kakek.

“Ah iyo. Pailah. Ndak ka talok jo ang, Rahman jo kawannyo ko doh” (Iya, pergilah. Kalian gaakan kuat meganginnya) ujar kakek.
Pak Panji lalu lari keluar rumah dan mencari bantuan. Sementara kakek kembali mengunci pintu dan berdzikir di hadapan pintu tersebut.
“heeee…. Bobi lah pulang… lamo na di surau bob……. Ayah sadang lalok nak… bobi lah makan?..” (Ehh Bobi sudah pulang. Lama banget di suraunya Bob. Ayahmu lagi tidur.. bobi sudah makan?).
Tiba tiba saja tante Lisa berkata seperti itu dari dalam. Kami semua terdiam, kakek lalu menghela nafasnya dan berkata padaku :

“Memang seperti itu setiap ma..”

“…Iyo bu, guru ngajinyo lamo… “(Iya bu, guru ngajinya lama..)

DEG!
Belum sempat kakek menyudahi kalimatnya, tiba tiba ada suara anak kecil di dalam kamar kakek yang terdengar persis seperti suara Bobi kecil dan menjawab ucapan Tante Lisa tadi.

“ooh iyo ndak a doh.. makan wak li bob nah..” (Oo iya gapapa. Yuk kita makan) ujar suara tante lisa..
Lalu kami mendengar suara orang mengunyah... Lalu suara orang menangis dan kembali mengunyah.

Hampir saja aku berinisiatif membuka kembali pintu itu jika saja pak Panji muncul dari pintu depan bersama dua orang lainnya.
Pak Panji meminta kedua pria itu untuk bersiap menahan tubuh Tante Lisa. Sementara aku dan Ade dimintai tolong untuk menarik tubuh pak Ali yang Pak Panji curigai pingsan.

“ciek.. duo… tigo!” pak Panji berhitung dan langsung membuka pintu.
Ketika pintu terbuka, Tante Lisa sedang duduk di atas kasur sambil mengigit gigiti lengannya sendiri dengan air liur yang terus menetes.
Kedua orang yang dibawa pak Panji beristighfar dan sempat mundur untuk beberapa saat namun kembali maju untuk berjaga di pintu kalau kalau tante Lisa berlari keluar.

Aku dan pak Panji kemudian masuk ke kamar pengap itu dan membopong pak Ali yang masih belum sadar.
“haha.. caliak Bob, ayah dibao lo dek Panji. Jaek om ang Bob” (haha.. liat Bob, ayah dibawa juga sama Panji. Jahat om kamu Bob) ujar tante Lisa berbicara pada “Bobi” sambil menertawai aku dan pak Panji.
Beruntung tante Lisa tidak memberontak dan tetap di posisinya sampai pak Ali berhasil kami bawa keluar.

Kami bawa pak Ali ke ruang tengah. Ada luka lebam di bagian kepala beliau yg mungkin disebabkan benturan keras tadi. Namun kami cukup bisa lega karena pak Ali masih bernafas.
Tante Rina mencoba menyadarkan pak Ali dengan memberi hidungnya minyak kayu putih. Kakek juga membacakan ayat ayat quran walaupun aku bisa melihat kakek begitu kepayahan menahan sakit yang beliau sendiri derita.
Ketika kami masih sibuk mengurus pak Panji, tiba tiba saja sebuah teriakan terdengar dari arah luar..

“AAAARGGHHHHHHH ANJIIAANGGGGGG!!!!”

Itu suara jeritan Samsul di rumah sebelah. Aku dan Ade refleks berlari keluar dan melihat apa yang terjadi.
Ketika kami sampai diluar, Samsul sedang duduk di atas tanah sambil menatap panik ke arah dalam rumah.

“Kenapa Sul???” tanya Ade sambil berjongkok memegangi Samsul yang sudah berpeluh keringat.
“Anjiang di rumah tu ado Jundai!” (Anjing di rumah itu ada Jundai!) jawab Samsul dengan wajah yang masih ketakutan.

“Itu karena kamu demam aja kali Sul. Makannya halusinasi kataku” kataku, mencoba mencari alasan logis.
Samsul tidak menjawab. Peluhnya terus mengalir dan badannya juga masih terasa panas.

Aku berjalan ke arah rumah Pak Ali untuk membuktikan Samsul hanya berhalusinasi. Ketika sampai di ambang pintu yang terbuka, aku melongo ke dalam.

Namun saat itu juga aku terdiam..
Aku memandangi Samsul yang ada di samping Ade, lalu aku menengok lagi ke dalam untuk kedua kalinya.

Kepalaku pusing dan jantungku berdebar kencang hingga dadaku sakit dengan apa yang aku lihat...

Di dalam rumah, ada Samsul lain yang masih tertidur memunggungi pintu…
Aku mundur satu langkah dari pintu dan melihat kembali ke arah Samsul dan Ade.

Aku bergegas turun dari teras rumah Pak Ali dan segera menyuruh Samsul dan Ade untuk ke rumah kakek.
“Loh? Kenapa Man?” tanya Ade.

Aku menggeleng. “Aku gatau kenapa. Tapi di dalam rumah tadi ada Samsul lain yang lagi tidur!” jawabku cepat.

Ade terdiam seketika begitu juga dengan Samsul.
Kami masuk ke rumah kakek dan bergabung di ruang tengah. Pak Panji langsung bertanya ketika kami bertiga masuk ke ruang tengah tempat pak Ali dibaringkan.

"Ada apa Man? Suara apa tadi?”

“Samsul teriak pak.. katanya di rumah ada Jundai” kataku.
“Mungkin tasapo kawan kamu itu. Gara gara ke batang aia sore sore” kata pak Panji.

“Mungkin pak..” jawabku seadanya.

“Terus, mana temanmu itu? Udah tidur lagi?” tanya pak Panji yang tentu saja membuatku bingung.
Aku menengok ke belakangku dan entah sejak kapan Samsul sudah tidak ada di samping Ade!

“De?! Samsul mana??!” kataku ke Ade yang juga terlihat shock begitu menyadari Samsul sudah tidak ada disampingnya.

“GATAU MAN!” jawab Ade sama paniknya.
Aku dan Ade langsung berlari keluar dan melihat ke sekitar. Samsul tidak ada! Aku segera naik ke rumah Pak Ali dan memeriksa rumah tersebut. Pintu rumah itu sudah tertutup dan Samsul yang tadi kulihat dalam posisi tidur masih ada disana.
Aku berjalan masuk ditemani Ade di belakang. Kami mendekati Samsul dengan sangat hati hati. Suara dengkuran Samsul bisa kami dengar dengan jelas.

“Sul.. sul..” panggilku sambil bergerak mendekat secara perlahan lahan.
Samsul tidak menjawab panggilanku. Aku menyentuh bahunya, lalu entah kenapa timbul ideku untuk mencubit Samsul sekeras mungkin..
Aku mencubit Samsul tanpa membangunkannya terlebih dahulu..
Samsul tersentak sambil sedikit mengaduh
“Adededehh sakik! Manga kalian ko baruak?!” (Aduh sakit! Ngapain kalian nih monyet?!) bentak Samsul dengan mata merah dan mengusap usap legannya yang aku cubit.

“Nah ini Samsul yang asli!” kata Ade.
Samsul terlihat bingung dengan apa yang kami bicarakan. Kami menjelaskan apa yang terjadi dan bagaimana ada makhluk iseng yang meniru wujud Samsul dan sempat berjalan bersama aku dan Ade ke rumah kakek.
Samsul bukanlah orang yang penakut. Mendengar cerita kami ia justru penasaran kenapa ada sosok ghaib yang mau meniru dirinya.
Keadaan Samsul saat itu masih belum sepenuhnya pulih. Ia mengaku masih pusing dan lemas, tubuhnyapun masih terasa hangat, namun tidak separah tadi sore. Aku mengatakan juga apa yang terjadi di rumah kakek sebelumnya.
Samsul merasa tidak enak tidur saat keadaan sekacau itu. Ia memutuskan untuk bergabung dengan yang lain di rumah kakek.

Kali ini Ade mengantisipasi Samsul palsu lagi. Ia menggenggam tangan Samsul dan menuntunnya seperti membantu orang tua menyebrang jalan.
“Lapehan ndak?” (Lepasin gak??) ancam Samsul yang merasa aneh.

“Enggak akan, sampai semua orang di rumah kakeknya Rahman konfirmasi juga ngeliat kamu!” jawab Ade.
Kami naik ke atas rumah kakek lagi. Pak Ali sudah sadar dan diberi minum air hangat dari tante Rina. Sementara kakek ada di sampingnya memijat tubuh pak Ali.

“Ini yang tadi kamu ceritain Man?” tanya Pak Panji.

“Iya pak..kayaknya tadi kita bawa Samsul yang salah..”jawabku lemas.
“Samsul gimana keadaannya? Udah mendingan? Katanya tadi sakit bukan?” tanya Pak Panji lagi.

“Masih ga enak badan pak.. tapi gaenak juga masa saya tidur pas keadan begini” jawab Samsul.

“Gapapa.. sekarang udah..”
Belum selesai pak Panji menjawab, tiba tiba saja..
“BOBIIIIIII IKO AMA BOOOB. BOOOB BOBI SAKIK?? DAMAM? LAH MINUM UBEKK?” (BOOBI, INI MAMA BOOB, BOBI SAKIT? DEMAM? SUDAH MINUM OBAT?) tiba tiba saja tante Lisa berteriak sambil menggedor gedor pintu dari dalam kamar.
Samsul tentu saja terkejut karena ini pertama kalinya ia mendengar suara tante Lisa, dan kenapa tiba tiba saja tante Lisa berbicara seperti itu.
“Udah, gapapa, besok kalau masih demam kita cari obat kampungnya ya. Tasapo itu namanya. Sekarang kalian ke rumah sebelah lagi aja. Udah gapapa kok. Pak Ali juga gapapa” kata Pak Panji.
Aku menuruti perintah pak Panji dan kembali ke rumah Pak Ali di sebelah dan merebahkan badanku yang terasa sangat lelah.
Aku jadi teringat mimpiku tadi sore mengenai Shinta yang tertelan arus air. Aku tidak mencurigai apapun karena kukira hal hal klenik di kampung ini sudah usai, namun ketika aku mengalami hal barusan, aku khawatir mimpi itu adalah sebuah pertanda..
Sambil menunggu kantuk, aku menatap langit langit rumah ini dan pikiranku melayang kemana mana.

Ade juga tidak bisa tidur ia memilih bermain hape, hanya Samsul yang sudah kembali terlelap dengan mudah.
Namun tiba tiba saja Ade tersentak.
“Astaghfirullah! Man! Ini apa??” sentak Ade sambil menunjukkan foto jepretanku tadi di bibir tebing lubuak pusaro.
Aku memperhatikan foto itu dan belum menemukan hal aneh. Hanya ada Samsul yang bergaya diatas batu dan Ade di bawahnya. Sampai aku sadar sesuatu setelah Ade munujuk sebuah objek yang muncul di sudut kiri foto..
tepat di atas kepala Samsul ada sepasang kaki kecil putih pucat yg menggantung di pohon!

“Kaki??” tanyaku tidak percaya.
“Iya! Aku ga salah liat kan? Itu kaki! Tapi cuma ada di satu foto itu aja” Ade kemudian menutup foto itu dan membuka file file foto lain sambil menunjukkannya padaku dan tidak ada satupun foto kaki tersebut terpotret di foto lain.
“kan? Emang Cuma di foto tadi aja adanya” kata Ade sambil membuka lagi file foto yang menangkap gambar kaki menggantung itu.

Namun ketika file itu akan dibuka kembali, tiba tiba saja layar hape Ade menjadi total hitam dan hape itu mati seketika.
Ade terlihat bingung dan panik padahal sebelumnya tidak ada masalah. Ia mencoba menghidupkan hapenya berulang kali namun gagal, baru setelah dicolok dgn charger, handphone itu menyala kembali. Anehnya, ketika Ade mancari foto itu lagi, file foto itu sudah hilang dari galerinya..
---next InsyaAllah besok---
Cerita ini sudah di penghujung Bagian 3. Bagian 4 akan diupdate weekend minggu depan. Bagi teman2 yg mau baca lanjutannya duluan via Karyakarsa, saran lgsg download Bagian 4 aja ya. Linknya disini. Terima kasih

karyakarsa.com/Mwvmystic/bag-…
“Udah. Kayaknya bagus foto itu hilang, jadi kita ga trauma.. yuklah tidur, nanti pusing besok” kataku, mencoba membuat semua hal menjadi positif padahal aku sendiri sebenarnya khawatir.
Kemudian setelah berguling ke kiri dan kanan berkali kali, aku dan Ade bisa tidur menjelang tengah malam.

Tidurku cukup nyenyak karena malam itu udara terasa dingin. Sampai ketika aku terbangun karena mendengar suara pintu yang terbuka..
Masih setengah sadar, aku membuka salah satu mataku. Pintu yang terbuka adalah pintu kamar tidur yang selama ini tidak kami gunakan karena kami bertiga tidur di ruang tengah. Pintu itu terbuka cukup lebar dan ada angin berembus dari dalamnya.
Lalu tak lama, aku mendengar suara orang mengunyah..

Jantungku berdebar namun aku tidak berani bergerak. Aku hanya melihat dengan mata kiri yang aku buka sedikit.
Suara orang mengunyah itu terdengar cukup lama.. lalu tiba tiba aku tercekat saat sesosok wanita melayang dengan gaun putih besar dan wajah pucat keluar dari ruangan itu tanpa suara..
Sosok itu melayang dari kamar tidur, melewati ruang tengah dan keluar melalui pintu depan yang masih tertutup.

Aku menggerakan kakiku dari balik selimut ke Ade yang ada di sampingku. Aku tendang tendang Ade agar ia terbangun.

“Kenapa sih Man..” keluh Ade belum membuka matanya.
“De, udah bangun?..” tanyaku berbisik.

“Belum..” jawabnya asal.

“De, tadi ada orang masuk rumah.. cewek!” kataku lagi.

Ade langsung berbalik ke arahku dan meringkuk.
“jangan bercanda! Orang beneran bukan???” Ade sekarang panik dan ikut ketakutan.

“Aku gatau, tapi gamungkin ada orang bisa nembus pintu dan jalannya melayang!” kataku lagi.

“kamu berani cek keluar?” tantang Ade.

“Berani. Tapi kita berdua” tantangku balik.

“kalo gitu bertiga. Bangunin Samsul juga” kata Ade mengelak.
Aku memindahkan posisi tubuhku menghadap Samsul. Namun baru saja aku hendak membangunkannya, terdengar suara ketukan dari arah pintu depan...

“tok tok tok tok..”
Ade tersentak, Tapi kami berdua berusaha tidak mengeluarkan suara apapun.

Diluar masih gelap dan siapa yang mengetuk pintu di jam segini??

Aku menggeleng ke arah Ade. Kode untuk perintah “jangan dibuka”.
Namun sesuatu diluar sana terus mengetuk pintu depan dengan cukup keras..

“TOK TOK TOK TOK!”

Setelah beberapa saat, suara ketukan itu berhenti, lalu terdengar suara percakapan diluar.
“Beko se lah ndak, lalok jo baru si Rahman bantuaknyo mah” (Nanti aja kali ya, si Rahman masih tidur kayaknya) kata salah satu suara.

“Iyo bang..” (iya bang) jawab suara lainnya.

Lalu terdengar suara langkah menjauh dari depan pintu hingga tidak terdengar lagi.
“Masa anak anak jam segini iseng mukulin pintu sih Man??” tanya Ade setelah beberapa menit suara itu menghilang.

Aku tidak bisa menjawab Ade. Bibirku terasa kaku dan gemetar. Bukan, mereka bukan anak anak biasa...

Suara itu adalah suara dua saudaraku, Bobi dan Nizar..
--Si Jundai Lubuak Pusaro, Bagian 3, selesai--

Bersambung ke Bagian 4, akan diupload InsyaAllah Rabu atau Jumat malam, 2 hari jeda gw akan pakai untuk menulis kisah selanjutnya tentang pendakian gunung Salak dan Lawu, jika sudah rilis Karyakarsa nanti gw kasih tau ya.
Tenang, tetap akan gw post disini juga kok setelah 2 minggu kemudian.

Bagi yg udah ga sabar nunggu Bagian 4 cerita ini, Bagian 4 (penutup) sudah tersedia di Karyakarsa. Linknya : karyakarsa.com/Mwvmystic/bag-…

Sampai bertemu Rabu/Jumat malam

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with mwv.mystic

mwv.mystic Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @mwv_mystic

Mar 19
Rizkil Watoni, seorang ASN yang BD akibat depresi setelah diperas oknum polisi belasan hingga puluhan juta agar kasus salah pahamnya tidak dibawa ke persidangan.

sebuah utas infografis Image
Image
Image
Read 9 tweets
Feb 2
TRAGEDI KEBAKARAN KERETA BAWAH TANAH DAEGU

Akibat satu orang depresi mencoba melakukan b*n*h diri, 192 nyawa orang lain melayang

a thread Image
Image
Image
Image
Image
Read 10 tweets
Oct 28, 2024
Setelah memotong kemaluan korban hidup hidup dan menampung d4rahnya untuk diminum, pelaku memut1l4si dan menjual daging korban dengan kedok daging sapi. Salah satu pembelinya bahkan sudah mengonsumsinya sebagai olahan rendang hati.

a thread Image
M. Delfi adalah seorang pemuda yang tinggal bersama ayahnya, Basri Tanjung, di Kabupaten Siak, Riau. Sehari hari, ia bekerja serabutan. Terkadang ia membantu ayahnya berjualan sate, kadang mengambil upah sebagai buruh bangunan. Image
Hingga akhirnya ia menjadi karyawan sebuah usaha isi ulang galon. Saat usianya masih sangat muda, 19 tahun, pada Februari 2013 ia menikah dengan Dita yang juga berumur sama dengannya. Namun pernikahan ini kandas hanya 8 bulan setelahnya tanpa sempat memiliki keturunan.
Read 21 tweets
Oct 20, 2024
ABI KUSNO NACHRAN

JURNALIS YANG DIANIAYA HINGGA CACAT PERMANEN PASCA BONGKAR KEGIATAN PERDAGANGAN KAYU ILEGAL DI KALIMANTAN.

a thread Image
Abi Kusno Nachran, merupakan seorang pria kelahiran Pangkalan Bun tahun 1941. Ia berprofesi sebagai jurnalis untuk Tabloid Lintas Khatulistiwa, sebuah surat kabar lokal di Kalimantan.
Tulisan tulisan Abi Kusno sering menyentil para oligarki dan mafia mafia dibalik pembabatan serta penjualan kayu ilegal dari hutan di Kalimantan. Tidak hanya menulis, ia kerap melaporkan hasil temuannya kepada aparat untuk diusut.
Read 18 tweets
Oct 14, 2024
SOTO DAGING MANUSIA DI TERMINAL KAMPUNG RAMBUTAN

a thread Image
Apa jadinya kalau kalian pergi ke sebuah warung soto lamongan, membeli sebungkus soto ayam dan memakannya lalu tiba tiba kalian diberitau kalau warung soto tersebut baru saja digrebek polisi karena menghidangkan soto dengan daging manusia?.. Ilustrasi soto lamongan
Ya, ini bukan potongan adegan film, namun kejadian nyata kasus yang sangat menggemparkan pada masanya : kasus Benget Situmorang dan soto dari daging istrinya.
Read 25 tweets
Oct 7, 2024
KISAH TRAGIS OMAYRA SANCHEZ

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, para relawan hanya bisa menemani Omayra menuju kematiannya setelah tersangkut dan terendam air selama 60 jam.

a thread Image
Pada 13 November 1985, Gunung berapi Nevado del Ruiz di Kolombia meletus. Meskipun tanda tandanya sudah terdeteksi, pemerintah setempat gagal melakukan evakuasi dan berakibat pada jatuhnya ribuan korban. Image
Kota Armero, salah satu daerah paling terdampak, bahkan kehilangan 20 ribu dari total 29 ribu penduduknya. Mereka umumnya tewas akibat banjir lahar yg menerjang kota. Salah satu korban di daerah itu adalah keluarga Omayra Sanchez Garzon, seorang gadis berusia 13 tahun.
Read 19 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(