mwv.mystic Profile picture
Mar 2, 2022 365 tweets >60 min read Read on X
Bagian 4 (Last)
Si Jundai Lubuak Pusaro

"AYAH...."

a thread Image
Cerita ini adalah bagian terakhir dari cerita Si Jundai Lubuak Pusaro. Bagian 3, 2 dan 1 bisa teman teman baca di utas ini yaa :

Tweet akan start dicicil insyaAllah malam ini jam 20.00 wib. Stay tune yaa.

Cerita bagian 4 ini juga sudah dipost di Karyakarsa, bagi yang ingin membaca lengkap via ebooknya, bisa download disini :

karyakarsa.com/Mwvmystic/bag-…
Bagian 4 Si Jundai Lubuak Pusaro
"Ayah.."

Setelah melewati malam mengerikan itu, paginya kami bangun sekitar jam 7. Maaf, saat itu aku dan teman temanku bukanlah orang orang yang taat agama. Sholat kami hanya seputar Maghrib dan Jumatan saja.
Aku membangunkan Ade dan Samsul lalu mengingatkan bahwa hari ini mereka rencananya akan pulang.

Namun Samsul sepertinya belum kuat untuk pergi sejauh itu ke daerah asalnya yang memakan waktu hampir 4 jam dari rumah kakek.
“Maaf man, boleh izin sehari lagi ga ke apakmu? Aku gakuat kayaknya masih pusing dan meriang ini.. takut kenapa kenapa di jalan..” ujar Samsul lemah.

Aku yang juga khawatir dengan keadaan temanku ini akhirnya memintakan izin kepada pak Panji.
Beruntung, pak Panji mengizinkannya dan sekaligus berpesan,
“yaudah istirahat aja dulu sampai sembuh. Nanti anak buah apak (Pak Panji) sorean dateng, apak udah pesan ke dia, kamu pergi sama dia aja buat nyari obat tasapo temanmu” pesan Pak Panji.
“oh baik pak. Emang obat kayak gimana?” tanyaku.

“Ada, obat obat kampung di hutan. Dia paham itu, kamu ikut aja sekalian ngehirup udara hutan” sambung pak panji.
Aku sekali lagi mengiyakan dan kembali ke rumah pak Ali untuk mengabari keduanya bahwa mereka bisa menginap disini hingga Samsul sembuh.

Ade dan Samsul lalu membereskan tempat tidur di ruang tengah. Setelahnya, kami lalu sarapan dengan lontong sayur yang dibawa Diana.
Saat itu Ade tiba tiba menyeletuk,
“Man.. aku curiga Samsul emang kena pas di Lubuak Pusaro kemarin deh.. ada yang ikutin dia sampai demam gitu, yang kaki kegantung itu” ujar Ade.

Samsul yang juga ikut makan disamping Ade lalu menghentikan makannya dan menatap Ade dalam dalam.
“Kaki kegantung gimana?” tanya Samsul.

Ade lalu mencoba menjelaskan apa yang terjadi tadi malam. Tentang foto aneh yang menangkap sosok kaki menggantung tepat diatas kepala Samsul namun foto itu tiba tiba saja menghilang dari handphonenya.
“Ayo kita kesana lagi siang ini. Mungkin memang ada spot yang mirip kaki dan kebetulan kefoto” Alih alih takut, Samsul malah merasa tertantang ke lokasi itu lagi.
Meskipun ragu, namun menurutku akan lebih melegakan jika memang ada kayu atau semacamnya, yang jika difoto akan berbentuk kaki sehingga menjawab foto aneh yang hilang itu.

Kamipun akhirnya pergi ke Lubuak Pusaro lagi.
Namun di salah satu sudut kampung, kami berpapasan dengan seorang pria paruh baya yang tengah merokok menggunakan koran.

Wajahnya kusam dan terlihat tidak terawat. Ia mengenakan baju berlubang lubang dan celana bahan yang berlumuran lumpur kering.
Entah kenapa setelah kami lalui, pria ini bangkit dan terus mengikuti kami dari kejauhan.
Kami mempercepat langkah menuju Lubuak Pusaro. Jika memang orang ini bukan bermaksud jahat atau memang memiliki rumah yang kebetulan berada di jalur ini, pasti ia tidak akan mengikuti kami hingga sudut pemakaman itu.
Namun dugaan kami salah, pria berbaju polo itu terus mengikuti kami hingga kami sampai di ujung tebing melengkung tempat pohon kemarin berada.
“Maaf, ado paralu apo yo pak maikuikan kami daritadi?” (maaf ada perlu apa ya pak mengikuti kami terus daritadi?) tanya Samsul yang mencurigai gerak gerik pria ini ditambah lagi penampilannya yang terlihat seperti orang gangguan jiwa.
“ang Rahman anak uda Zal Jakarta dulu?” (Kamu Rahman anak bang Zal Jakarta dulu?) tanya pria itu tanpa mengubris pertanyaan Samsul.

“Iya pak..” jawabku singkat. Aku tidak menyangka pria ini mengenaliku.
“A nan kalian cari laaaai? Manga dakek dakek ka nisan tuuuu?” (Apa yang kalian cariiiiiii? Kenapa dekat dekat dengan nisan ituuu?) tanya pria itu lagi dengan cara bicara seperti orang mabuk.

“engga pak, kita cuma mau foto foto aja..” jawabku mengelak.
“HEH! Ndak diam maelak, sajak patang aden lah nampak kalian disiko. Tamasuak wakatu paja ko mainjak nisan amak den!” (HEH! Nggak usah bohong, dari kemarin saya sudah melihat kalian ada disini. Termasuk waktu orang ini (Samsul) menginjak nisan ibu saya!) bentak pria itu.
Aku dan yang lain terkejut. Orang di hadapan kami adalah anak Nur?? Ramon??

“Maaf pak, kami ndak bamasuik mainjak injak..” (Maaf pak, kami tidak bermaksud menginjak injak) sesal Samsul.

Namun pria ini justru tertawa..
“Ndak paralu. Dibawah nisan tu ndak ado badan ama den doh ahahahaha” (nggak perlu minta maaf. Dibawah nisan itu juga gaada badan ibu saya hahahaha) jawab pria ini sambil mengisap rokok korannya.

Ia kemudian membersihkan salah satu keramik kuburan di belakangnya dan duduk disana.
“duduak, duduak kalian” (duduk, duduk kalian) perintah pria itu sambil sedikit membentak. Kami menurutinya karena memang pria ini terlihat berbahaya.
“Ang, Rahman, ang tau apo nan tajadi jo amak den? Satalah keluarga ang pulang?” (Kamu,Rahman, kamu tau apa yang terjadi sama ibu saya? Setelah keluargamu pulang?) tanya pria ini.

Aku mengangguk.
“Ayah sudah menceritakan semuanya pak..” kataku.
“Jadi ang lah tau lo sia den?” (jadi kamu juga sudah tau siapa saya?) tanyanya lagi.

“Pak Ramon?..” jawabku ragu.
Ia menghisap rokok korannya itu dalam dalam lalu mengembuskan asapnya ke udara.
“tau ang yeehhh. tu kini baa? Ang dandam jo amak den nan lah mambunuah Nizar?” (Tau juga kamu ya. Trus sekarang gimana? Kamu dendam dengan ibu saya karena sudah membunuh Nizar?) tantang Pak Ramon.
Aku diam. Begitu juga dengan Ade dan Samsul yang tidak menyangka percakapan seperti ini akan terjadi disini.
“Den kicekan ka ang. Amak den mangarajoan tu indak sakahandak hatinyo doh! Urang nan manyuruahnyo!” (Saya kasih tau sama kamu. Ibu saya melakukan itu bukan atas kehendaknya sendiri! Tapi ada orang yang menyuruhnya!) ucap Ramon dengan nada yang terdengar begitu emosi.
“ang tau sia urangnyo??” (kamu tau siapa orangnya?) tanya Ramon padaku.
Aku menggeleng. Yang aku tau hanya Nur adalah pembunuh Nizar.
“Apak ang! Si Panji! Anjiang tu nan manyuruah amak den mambunuah anak kanduangnyo surang, Nizar!” (Apak mu! Panji! Anjing itu yang menyuruh ibuku membunuh anak kandung Panji sendiri, Nizar!) jawab Ramon sambil memukul mukul pahanya.
Aku terbelalak tidak percaya. Tidak mungkin! Pak Panji ga mungkin melakukan hal sekeji itu dan apa tujuannya?? Pak Panji yang aku kenal adalah orang baik dan ramah. Bahkan ia menangis sangat keras saat Nizar ditemukan!!
“Jan takicuah jo muko palsu apak ang. Aden ko saksi matonyo nan masih iduik sampai kini. Apak ang acok bolak baliak rumah den maminta caro capek untuak kayo, apo jo ka inyo agiah sampai ibu manawaran tumbal, dan Panji rela manumbalan anaknyo surang untuak harato!”
(Jangan tertipu sama muka palsu apakmu. Saya disini saksi mata hidupn. Apakmu dulu sering bolak balik rumahku dan memohon mohon cara untuk menjadi kaya. Dia rela memberikan apapun sampai ibu saya menawarkan cara penumbalan. Dan Panji rela menumbalkan anaknya sendiri buat harta!)
Aku ternganga namun aku belum bisa sama sekali percaya apa yang diucapkan orang ini. Aku bahkan tidak tau pria ini apakah benar Ramon atau bukan.
“hahaha Ndak ado urang nan ka picayo den kalau mancaritoan ko, namo den lah dicap sebagai anak dukun takutuak! Kini baliak ka ang, sia nan ka ang picayo. Tapi den bisa maagiah tau ang apo nan ka tajadi siap ko”
(hahaha Gak akan ada orang yang percaya kalau saya menceritakan ini karena saya sudah dicap sebagai anak dukun terkutuk. Sekarang terserah ke kamu. Siapa yang mau kamu percaya. Tapi saya bisa kasih tau kamu apa yang akan terjadi setelah ini) ujar Ramon.
“Apo nan katajadi pak??”(apa yang akan terjadi pak??) Samsul bertanya dengan suara bergetar.
“Perjanjian si Jundai tu tajadi tiok sapuluah tahun sakali. Satalahnyo harus ado tumbal ciek li, tu bisa bertahan sapuluah tahun liak jiko ado satu urang nan dijadian rumah si Jundai tu. Sapuluah tahun patang, Nizar jadi tumbalnyo. Dan inangnyo si Lisa, ante ang.
Kini, Panji ka mangorbanan baliak anak kaduonyo, Sia namonyo? Shinta? Dan nan ka jadi inangnyo bini urang kayo kampuang subarang!"
(Perjanjian si Jundai itu terjadi tiap sepuluh tahun sekali. Setelahnya, akan ada tumbal lain lagi, lalu bisa bertahan sepuluh tahun asalkan ada inang tempat tinggal Jundai. Sepuluh tahun lalu, tumbalnya adalah Nizar dan inangnya adalah Lisa, tantemu.
Sekarang, Panji akan mengorbankan anak keduanya, Siapa namanya itu? Shinta? Dan yang akan jadi inangnya adalah istrinya orang kaya kampung sebelah) jelas Ramon.
“BAPAK TIDAK BOLEH ASAL TUDUH PAK! SEENAKNYA SAJA MENILAI SESEORANG AKAN MELAKUKAN INI ITU! TAU APA BAPAK??!! SAYA BAHKAN TIDAK KENAL SIAPA BAPAK YANG MENGAKU NGAKU SEBAGAI ANAK NUR DAN MENUDUH PAK PANJI SEBAGAI PELAKUNYA! BAPAK GILA!” bentak saya tidak mampu menahan emosi.
“Huhuhuhuhu… Tasarah kalian picayo atau indak. Hari ko rencana tumbal tu ka balakuan. Shinta, ntah baa caronyo ka disuruah Panji untuak pai ka Lubuak Pusaro dan dihilangan untuak maagiah makan si Jundai. Samo takah sapuluah tahun lalu”
(Huhuhuhu.. Terserah kalian mau percaya atau tidak. Hari ini rencana tumbal itu dilakukan. Shinta, entah bagaimana caranya akan disuruh Panji ke Lubuak Pusaro. Dia akan dhilangkan disana. Persis sepuluh tahun yang lalu) jelas Ramon sambil terisak isak dalam tangis palsunya.
“Apak ang ka pakai caro barasiah bia urang ndak tau inyo pelakunyo. Maso ang dulu, apak Panji ang nan manyuruah Bobi untuak maajak ang mandi di batang aia, lai tau ang? Bobi ndak saharusnyo maningga disinan.
Inyo ditugaihan untuak mambuek kalian batigo pai ka batang aia, tu Nizar bisa dicilok untuak jadi tumbal!”
(Apakmu pakai cara bersih biar orang orang tidak tau dia pelakunya. Saat kamu dulu, pak Panjimu itu yang menyuruh Bobi agar ngajakin kamu dan Nizar mandi di batang aia, tau kamu?
Bobi seharusnya ga jadi korban disana. Dia cuma ditugaskan buat kalian bertiga pergi kesana supaya Nizar bisa diculik dan dijadikan tumbal!)
Peluhku mengalir dengan sangat deras. Aku berusaha tidak percaya. Sama sekali tidak percaya. Tidak mungkin pak Panji yang kini sudah seperti ayahku sendiri berlaku biadab seperti itu!
Aku berdiri dengan tergesa. Aku segera ingin beranjak dari tempat itu dan tidak terpengaruh dengan orang gila ini.

“Ade, Sul ayo kita pulang aja” ajakku pada keduanya.

Kami melalui pria tadi yang diam dan tetap duduk di tempatnya tanpa menahan kami.
Tiba tiba aku teringat sesuatu tentang cerita ayah sepulang dari kampung. Aku berbalik dan bertanya dengan sedikit gemetar.
“Bu Nur sudah meninggal sepuluh tahun lalu, dan ilmu itu akan turun ke anaknya. Berarti pak Panji sekarang berhubungan sama anda?? Bapak secara ga langsung bilang bahwa bapak sendiri adalah calon eksekutornya?? Heh aneh!”
Aku merasa menang atas kegilaan ini, aku yakin orang ini hanya orang stress yang berbicara ngawur.

“hahaha sia mangecek amak den lah maningga?..” (hahaha siapa bilang ibuku sudah meninggal?..) ujar pria itu.

Aku tersentak dan menghentikan langkahku.
“Ang ndak bapikia baa Lisa sampai kini ndak lapeh Jundainyo darinyo? Nur, amak den masih iduik sampai kini, dan Panji lah nan mamaliharonyo!!”
(Kamu gak berpikir kenapa Lisa masih belum lepas jundainya sampai sekarang? Nur, ibuku, masih hidup sampai hari ini dan Panjilah yang memeliharanya!)
Aku terdiam untuk kesekian kalinya.

Ade dan Samsul mendengar semua itu namun juga tidak bisa berkomentar apapun.

Aku berlalu dan meninggalkan pria itu tetap disana sendirian dengan pikiran yang berkecamuk.
Namun sebelum aku benar benar pergi, aku sempat mendengar pria itu berbicara sendiri..

“Tugaih den lah den tunaian yo Bob..” (tugas saya sudah saya selesaikan ya Bob..).
----akan dilanjut InsyaAllah Jumat malam (karena Maljum selalu libur)----

Bagi yang minat membaca keseluruhan tanpa nunggu nunggu, bisa ke Karyakarsa di awal thread ya. Stay tune Jumat malam di thread ini
Aku pulang ke rumah dengan perasaan dan pikiran yang kacau. Aku tidak tau apakah orang tadi berkata kebenaran atau hanya imajinasi orang gila yang tidak aku kenal.

Tiba tiba saja Diana datang ke rumah Pak Ali dan mengabari kami kabar mengenai kakek.
“Bang, kata tante Rina, kakek makin sakit. Rencana mau dibawa ke rumah sakit di kota, Diana, Shinta sama Tante Rina mau nemenin. Pak Ali ga ikut, jagain tante Lisa. Pak Panji nanti juga langsung ke rumah sakit. Abang sama temen temen abang di rumah aja gapapa?” tanya Diana.
“Gapapa kok. Biar kita sekalian jagain rumah” kataku.

Timbul sedikit kelegaan padaku. Pak Panji dan Shinta pergi ke kota hari ini, dan itu tandanya ucapan pria tadi hanyalah bualan belaka. Pikiranku mulai tenang dan tidak memikirkan lagi hal hal yg menurutku tak masuk akal itu.
Samsul kembali tidur karena badannya memang belum pulih sejak tadi pagi. Ade dan aku duduk di teras rumah sambil memberi ayam peliharaan tante Rina makan dengan beras. Kami mengobrol banyak hal namun tidak membicarakan apapun mengenai kejadian di Lubuak Pusaro tadi.
Hari mulai beranjak sore, sekira jam 3, tiba tiba saja ada suara motor yang masuk ke pekarangan rumah.

Aku dan Ade keluar, dan ternyata ada seorang pria dewasa dengan kaus oblong yang tidak kami kenal turun dari motornya.
“Diak, Bos Panji ado diak?” (Dek, bos Panji ada?) tanya pria itu.

“Lagi keluar pak,nganterin kakek berobat” jawabku apa adanya.

“Ooh belum pulang ya, Bu Rina sama Shinta mana? Ikut juga?”tanya pria itu lagi yg mulai berbahasa Indonesia setelah sadar bahasa minangku tidak fasih.
“Iya pak” kataku.

“Okelah. Mokasi yo” kata pria itu sambil menstarter motornya lagi dan pergi dari rumah kami.
Sekira beberapa waktu kemudian, terdengar suara motor lainnya, dan kamipun kembali keluar. Tapi kali ini ternyata adalah Pak Panji dan Shinta yang pulang duluan dari rumah sakit.
“Adekmu takut di rumah sakit nih bang Rahmaan” goda Pak Panji menyindir Shinta.

Shinta lalu memukul mukul ayahnya itu dengan pelan karena malu. Aku hanya tertawa melihat tingkah sepupuku ini.
Lalu tak lama, pria bermotor tadi kembali lagi.

“Ehhh tuh ada Om Rizky, salim tangan dek” perintah Pak Panji kepada Shinta.

Shinta lalu maju dan salim ke pria yang ternyata bernama Rizky itu. Pak Panji lalu merogoh kantongnya dan memberikan sesuatu kepada Rizky.
“Nah, bang, temen abang masih sakit ga? Nih minta cariin obatnya sama bang Rizky aja” tawar pak Panji padaku.

“Masih pak.. tapi orangnya lagi tidur” kataku.

“yaudah gapapa, kamu aja yang pergi sama Rizky” kata pak Panji lagi.
“Shinta ka pai ndaak? (Shinta mau ikut gaa)” tanya bang Rizky sambil mengangkat tubuh Shinta dan menimang nimangnya.

“Eh? Shinta ka sato lo? Buliah jo om ndak tu, tanyo lah ka om?” (eh? Shinta mau ikut juga? Coba tanya dulu ke om Rizky, boleh ga) tanya pak Panji.
Shinta dengan polosnya bertanya
“Boleh Nta ikut pergi om?”

“Oh boleh dooong” jawab Bang Rizky sambil menurunkan tubuh Shinta kembali.
Ade menyentuh tanganku. Memberiku kode yang sebenarnya aku tau maksudnya, namun aku rasa terlalu jauh untuk itu.

“Enggak kok. Cuma cari obat.. gaakan kemana mana..” yakinku.

“Aku ikut” ujar Ade singkat.

--
“Yaudah, ayah pergi dulu ya, adek gapapa kan sama Om Rizky? Ayah ke tempat kakek lagi ya. Nanti malam ayah pulang. Daripada adek sendirian dirumah yaa” ujar pak Panji kepada Shinta.
Shinta mengangguk pelan.
Pak Panji lalu pergi kembali dengan motornya ke rumah sakit meninggalkan aku, Ade, Shinta, Rizky dan Samsul yang masih tidur di dalam rumah.
“Ayo, cari obatnya jalan kaki aja kali ya. Dekat kok” ujar Rizky sambil menggandeng Shinta disisinya.

Aku dan Ade ikut bersama Bang Rizky, sepanjang perjalanan kami mengobrol sebentar.
Bang Rizky ternyata hanya terpaut 5 tahun diatasku dan dia belum berkeluarga. Ia bekerja sebagai buruh sawah milik pak Panji sekitar 2 tahun terakhir.
Kami kemudian berbelok ke kiri perkampungan, mengarah ke arah tebing yang cukup landai dan ada jalan setapak yang terpotong oleh aliran sungai batang aia.
“Kita nyebrang bang?” tanyaku kepada bang Rizky.

“Iya, itu di hutan hutan itu banyak tumbuhan obatnya. Nanti kita cari disana” kata Rizky sambil menunjuk ke sisi seberang.
Kami menyebrang ke daerah yang bersebrangan dengan kampungku dan dipisahkan oleh batang aia. Aku tidak pernah kesana selama ini karena memang tidak ada keperluan dan tidak adanya akses jalan.
“Ayo, Shinta ka om dukuang?” (Ayo Shinta mau om gendong?) tawar Rizky ketika akan menyeberangi sungai.

Shinta mengangguk pelan dan langsung memanjat punggung Rizky.
Aku dan Ade melepaskan sendal kami agar tidak licin dan menyeberangi sungai itu dengan hati hati. Air sungai batang aia di area itu cukup kecil karena badan sungai yg melebar. Airnya hanya mencapai mata kakiku saat aku berpijak pada batu batu kali yg ada di dasar sungai tersebut.
Setelah sampai di seberang, kami berjalan kembali di jalan setapak yang membelah hutan. Shinta tidak turun dari punggung bang Rizky walaupun sudah menyebrangi sungai tadi.
Kami melalui jalan setapak yang tidak bercabang sampai akhirnya pada suatu titik di tengah hutan, bang Rizky menghentikan langkahnya dan berjongkok. Ia mengambil salah satu daun dengan jari menyirip dan memiliki duri duri kecil di permukaan daunnya.
“Nah, ini salah satu obat buat temanmu. Masih ada dua daun lagi yang lain, kamu cari yang ini dulu aja, abang cari dulu sisanya pada numbuh dimana. Ambil beberapa, harusnya disekitar sini banyak. Yang daunnya utuh ya, jangan yang udah compang camping” pesan Bang Rizky kepadaku.
Akupun mulai mengikuti apa yang diperintahkannya. Aku mencari keberadaan daun itu diantara semak belukar dan tumbuhan tumbuhan lain yang bahkan aku tidak tau apakah berbahaya jika kusentuh atau tidak.
Ade terus berada di sampingku, namun pandangannya tidak lepas dari Bang Rizky dan Shinta yang masih mencari cari dedaunan lain di hutan tersebut.
“Nah, ko ciek li. Bang, sia namo tadi?” (Nah, ini satu lagi. Bang, siapa namamu tadi?) tanya Bang Rizky mengarah ke Ade.

“Ade bang” jawab Ade.
“Nah kamari sabanta De. Iko daun na ka bacari, cari nan anak cabangnyo tigo yo” (Nah kesini bentar De. Ini daun yang mau dicari, cari yang cabangnya tiga ya) ujar Bang Rizky sambil menunjukkan sebuah daun yang memiliki cabang tiga dan berwarna hijau gelap.
Selama mencari dedaunan itu, aku melakukan hal yang sama dengan Ade. Memperhatikan gerak gerik Bang Rizky dan apa yang ia lakukan kepada Shinta, namun tidak ada yang aneh. Bang Rizky malah juga ikut mencari daun ketiga untuk pelengkap obat Samsul.
Sekitar lima belas menit kami mencari dedaunan sampai dirasa cukup. Kami menyimpannya di dalam kantong plastik yang sengaja kami bawa.
Aku menghela nafas lega, kekhawatiranku dan Ade sepertinya berlebihan dan terlalu mendengarkan orang yang berpenampilan seperti orang tidak waras tadi.
“Nah, pulang wak li. Bang abuihan itu untuak kawan kalian” (Yuk kita pulang. Abang rebusin daun itu buat teman kalian) ujar Bang Rizky.

Kamipun berjalan di jalur yang sama dengan yang kami lalui saat berangkat tadi karena memang jalurnya hanya satu.
Paling depan barisan itu Ade, kemudian aku, baru di belakang ada Bang Rizky yang menggendong Shinta.
“Jauah main shinta eeeee, kanai berang om beko ko ndaak jo ayah??” (Jauh mainnya Shinta nih. Dimarahin ga nih om nanti sama ayah?) canda Bang Rizky ke Shinta.

“indak oom, kan tadi ayah nan manyuruah” (Engga om, kan tadi ayah yang nyuruh) jawab Shinta seadanya.
Ketika sedikit lagi kami akan sampai di tepian sungai yang harus kami seberangi, suara lantunan ayat suci tanda waktu Maghrib akan segera tiba terdengar dari kejauhan. Langit memang sudah mulai berwarna jingga dengan garis garis garis ungu yang meneduhkan.
Seketika itu juga entah kenapa suasananya terasa lain. Perasaanku gelisah padahal tidak ada apapun yang terjadi...

Semua normal, Ade baik baik saja, Shinta riang dengan Bang Rizky di belakang, dan kondisi fisikku sehat. Namun ada perasaan aneh yang membuatku gelisah..
Perjalanan kami lewati tanpa rintangan sama sekali. Sampai akhirnya kami akan tiba di tepian sungai tadi. Namun tiba tiba saja, Ade yang berada di paling depan menghentikan langkahnya. Ia berbalik padaku dan tatapannya seperti ketakutan...
Tanpa mengatakan apapun, aku segera menyusulnya ke depan, namun belum sempat aku bertanya apa yang membuatnya terkejut, aku sudah mendapat jawabannya dari apa yang mataku liat sendiri...
Di hadapan kami yang seharusnya adalah sungai dangkal dengan air tenang, berubah menjadi jurang setinggi lebih dari 20 meter dan sejauh mata memandang tidak ada tanda tanda jalur yang melandai..
“HAH?? Tadi kita kan lewat sini! Sejak kapan ada jurang?? Bang Rizky sini deh kayaknya kita salah jalan” kataku panik sambil memanggil bang Rizky tanpa menoleh.

“Man.. Man..” Ade tiba tiba menyentuh nyentuh tanganku.

Aku melihat ke arahnya. Tatapannya kosong ke arah belakangku.
“Bang Rizky sama Shinta gaada Man…” tunjuk Ade dengan suara bergetar.
Aku spontan berbalik badan dan ucapan Ade benar. Bang Rizky dan Shinta yang daritadi ada di belakangku tiba tiba saja lenyap.

Kecemasanku kembali hadir, keringatku bercucuran dan dadaku terasa sakit.
Suasananya terasa begitu hening.. awalnya kupikir begitu. Sampai aku sadar, seharusnya ada suara pengajian dari kejauhan yang bisa kami dengarkan dari sini seperti sepanjang jalan tadi... Tapi kini suara dari mushola kampung itupun juga sudah tidak bisa kami dengar!
“Astaghfirullahaladzim… astaghfirullahaladzim..” Ade mulai beristighfar dengan suara gemetar sambil menggenggam handphone yang ia bawa. Tapi handphone itu mati dan sama sekali tidak bisa dinyalakan.
“Aku gamau bilang yang aneh aneh dulu, kita coba cari jalan sampai ketemu jalur landai buat nyebrang ke sisi tebing kampungku” kataku pada Ade.
Kami menyusuri tepian tebing itu dengan hati hati sambil sesekali melihat ke kanan dan ke kiri, berharap ada sesuatu yang bisa kami jadikan tanda atau patokan. Lebih jauh lagi, kami berharap bertemu penduduk lain yang mungkin sedang berada juga di hutan ini.
Aku dan Ade terus berjalan di tepian tebing itu selama hampir 30 menit. Kami berjalan terus ke arah hilir namun tebing ini sama sekali tidak menurun. Pepohonannya pun terasa mirip..
Aku melihat ke seberang, berharap ada rumah atau apapun yang bisa ku kenali sebagai patokan posisi kami sekarang terhadap rumah warga di kampungku. Namun disisi seberangpun aku tidak melihat apapun kecuali pohon pohon besar dan hutan yang gelap.
“Man.. kita dimana sekarang sebenernya..” tanya Ade cemas sambil terus mencoba menghidupkan handphonennya.
“Aku bahkan gatau diseberang itu sisi kampungku atau bukan de.. jam segini harusnya udah banyak lampu yang nyala. Tapi diseberang sana sama aja kayak disini, cuma hutan semua” kataku.
“Man.. aku ngerasa kita cuma muter muter aja daritadi..” kata Ade yang sudah nampak lelah berjalan.

“Kita daritadi jalan lurus ke hilir kok. Ga lawan arah sungai juga” kataku yakin.

“Tapi aku ngerasa kita lewatin pohon pohon yang sama daritadi Man!” ujar Ade tegas.
“Bentuk hutan memang begini semua de! Kamu kalo gaada solusi lain, dengerin kataku aja!” kataku sudah mulai terbawa emosi.

Ade lalu melepaskan satu sendalnya lalu melemparkannya dengan keras ke salah satu pohon tanpa berkata apapun. Mungkin itu caranya melampiaskan kekesalannya.
Aku terus berjalan tanpa menanyakan apapun padanya.

Satu yang aku sadari, perjalanan kami sudah berlangsung sangat lama namun langit belum menjadi malam. Langit saat itu masih tetap dalam warna senja jelang matahari terbenam.
Aku terus berjalan sambil menahan pegal dan sakit di kaki kiriku. Sementara Ade yang sejak debat kami tadi terus diam, berjalan di belakangku dengan satu sendal terpasang di kakinya.
Beberapa menit kemudian, rasa ngilu di kakiku tidak tertahankan hingga akhirnya aku menyerah dan meminta untuk beristirahat.

“Ga bisa.. masih gaada tanda tanda tebing melandai” kataku sambil menyenderkan tubuhku pada sebuah pohon.
Ade berjongkok di depanku. Ia tidak mengeluh ataupun meluruskan kakinya. Ia hanya menatapku dalam dalam. Lalu tanpa berkata apapun, Ade menunjuk ke sisi kiriku seperti menyuruhku untuk menengok.
Akupun menengok ke arah yang ditunjuk Ade... dan disana tergeletak sendal yang tadi Ade buang. Tepat disamping akar pohon yang aku duduki...
Saat itu juga pikiranku kacau dan aku mulai menangis. Semua pikiran positif yang daritadi coba aku bangun seketika sirna. Aku dan Ade daritadi tidak kemana mana..

Kami hanya berjalan di satu tempat yang sama selama hampir satu jam..
----dilanjut InsyaAllah besok/lusa ya----

Buat yg udah penasaran, ebook lengkap bagian keempat ini bisa teman2 download di Karyakarsa, link berikut :
karyakarsa.com/Mwvmystic/bag-…
Aku tertunduk lemas. Aku memeluk kakiku dan terisak di dalamnya.

Sementara Ade yang awalnya terlihat emosi akhirnya luluh juga dan ikut menangis karena takut akan nasibnya.

“Maaak…. Nio Pulang…” (Maak.. Mau pulang..) rengek Ade seperti anak kecil.
Suasana yang benar benar hening tanpa suara hewan atau apapun itu membuat suara isak tangis kami berdua begitu terdengar.

Keheningan ini juga membawa tekanan tersendiri dan perasaan gelisah yang susah dihilangkan. Seakan hanya ada aku dan Ade yang tersisa di dunia ini..
Aku benar benar merasa buntu dan pasrah jika aku tidak akan bisa berkumpul dengan yang lainnya lagi.
Tiba tiba Ade menepukku dan menyampaikan pendapatnya.

“Man.. gimana kalo sebenarnya, jurang ini ilusinya? Kalau kita lompat, kita bisa ketemu jalan pulang?..” ujar Ade dengan wajah penuh harap.

“Itu kalau benar.. kalau ternyata itu jurang asli?..” tanyaku.
“Pilihannya hanya mati di dunia nyata, atau mati disini kan?..” tanya Ade yang sepertinya sudah cukup depresi dengan semua ini.
“De, kita cari cara lain…” kataku. Tapi Ade bersegera bangun dan melepas sendalnya.

“Kita gaakan tau kalau kita ga coba Man!” ujar Ade sambil bersiap mengambil ancang ancang melompat.

“De ada cara lain! kamu bahkan gabisa berenang!” kataku mencegah Ade.
“Ya apa? Kamu daritadi juga cuma nangis dan gatau harus apa kan?? Kali ini dengerin pendapatku Man! Aku udah buktiin kita cuma muter muter dari tadi dan sebelumnya kamu ga percaya! Sekarang tolong percaya sama aku untuk hal ini!” Ade membentakku dengan emosi.
Tangan Ade mengepal dan sudah bersiap untuk berlari dan melompat.

Aku terdiam. Apa mungkin Ade benar lagi?..

Hampir saja aku mengiyakan keputusan Ade jika saja suara itu tidak muncul..

SREK!
Kantong kresek berisi dedaunan yang tadinya untuk obat Samsul berbunyi seperti ditimpuk sesuatu. Aku dan Ade menoleh ke arah kresek itu namun tidak ada apapun.
TUK!

Kali ini sesuatu mengenai kepalaku dan menempel di rambutku. Aku menarik sesuatu itu dan ternyata itu adalah gulungan kertas koran yang basah. Ini adalah peluru dari mainan tembakan bambu yang dulu pernah aku mainkan..
Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling hutan. Lalu dari kejauhan aku mendengar suara tawa anak anak

“Kamari maan.. kamarii, ikuikan kami” (Kesini Man, kesini, ikuti kami) ujar suara itu.
TUK!

Sebuah peluru koran lainnya mengenai pipi kananku. Aku segera menoleh dan mendapati seorang anak kecil berlari dengan membawa senapan bambu menjauhi aku dan Ade.
“Ade! Itu ada orang lain!” kataku sambil menarik Ade secara tiba tiba.
Aku sudah tidak mempedulikan daun daun yang kami kumpulkan tadi. Aku meninggalkan semuanya di lokasi kami istirahat sebelumnya.
Bocah didepanku berjalan dengan cepat sambil terus tertawa. Sementara aku yang sudah lelah dan kesulitan berlari karena kakiku yang bengkok sepertinya akan tertinggal jauh.
Namun entah kenapa bocah didepanku sepertinya juga ikut melambat saat aku melambat dan bahkan ia menungguku agar bisa menyusulnya. Sementara Ade ikut berlari di belakangku tanpa berbicara apapun.
Kami terus masuk ke dalam hutan. Melewati semak, pohon tumbang dan menjauh dari sisi jurang. Tidak ada jalan setapak atau apapun sebagai pemandu jalan kami selain sosok anak kecil yang terus berlari sepuluh meter di depan kami.
“Bagageh Man.. bagageh.. “ (cepetan man, cepetan) ujar suara anak kecil itu sambil terus berlarian riang diantara sela sela pohon.

Lalu pada suatu titik di tengah hutan, anak kecil itu tiba tiba saja berbelok tajam.
Aku bergegas mengikutinya namun ketika aku berbelok, anak itu sudah menghilang. Parahnya, saat ini kami benar benar berada di tengah hutan dan aku sama sekali tidak memberikan tanda atau mengingat jalur yang kami lewati dari awal..
Namun saat itu aku juga menyadari bahwa langit seperti mundur dari yang semula sudah menjelang malam, kembali seperti jingga senja..

“hah… hah.. kenapa berhenti?, kamu liat apa daritadi sih sebenarnya??” tanya Ade terengah engah.
Aku memandangi Ade bingung.
“Kita ngikutin anak kecil yang didepanku tadi De. Masa kamu ga liat??” kataku balik.

“Anak kecil mana?? Kamu Cuma bilang ada orang, terus tiba tiba lari kenceng sambil suruh aku buru buru” bantah Ade dengan wajah seriusnya.
“Aku ga ngomong apapun sama kamu daritadi de. Anak kecil itu yang nyuruh kita ikutin dia cepat cepat. Kamu beneran ga liat???” aku mulai panik.

“Engga sama sekali Man… kalo bukan karena kamu lari, aku juga gaakan lari begini” ujar Ade sambil duduk diatas tanah.
“Terus sekarang apa?.. kita udah bener bener di tengah hutan sekarang. Gaada jalan setapak, gaada cahaya. Nunggu besok pagi atau nunggu dimakan harimau kita ini..” ujar Ade pasrah.
Aku lemas. Aku merebahkan badanku. Anak kecil tadi sepertinya memang imajinasiku karena aku stress. Sekarang aku tidak punya arah navigasi ditengah hutan ini. Dan kenapa aku berpikiran mengikuti anak kecl yang gak mungkin bermain di hutan…

PUK
Lagi lagi sebuah peluru koran mengenai pipi kananku. Aku menoleh ke arah sumber peluru itu dan mendapati sosok teman masa kecilku berdiri diatas salah satu akar pohon..

Bobi, dengan memegang tembakan bambunya ada disana. Ia tersenyum teduh padaku dan berkata..
“Sangenek li Man. Luruih, belok kanan..” (Sedikit lagi Man, lurus belok kanan) ujar Bobi tanpa menggerakkan mulutnya, tapi pesan itu sampai ke kepalaku.
Aku bangkit dan mengajak Ade untuk melanjutkan perjalanan.

“Kemana? Kamu imajinasi lagi ngeliat anak kecil?” ujar Ade.

“Dia bukan anak kecil, dia saudaraku.. Bobi” pungkasku sambil memulai langkah menuju jalan yang Bobi tunjukkan.
Ade tidak menjawab apapun lagi dan ikut denganku.

Aku berjalan lurus tanpa tahu kapan aku harus berbelok kanan seperti ucapan Bobi tadi.
Sampai akhirnya kami bertemu dengan sebuah pohon besar dengan akar menggantung yang sangat rimbun. Entah kenapa firasatku mengatakan bahwa inilah waktunya aku untuk belok kanan..
Tidak jauh dari pohon tadi, aku menemukan sebuah gubuk kecil yang terbuat dari anyaman bambu dan atap rumbia. Ada cahaya kekuningan dari dalam gubuk itu yang sepertinya berasal dari lampu minyak..
Melihat keberadaan gubuk itu benar benar membuatku bahagia. Keberadaan api menandakan ada kehidupan di dalam gubuk itu. Namun baru saja aku akan kesana, tiba tiba saja pintu gubuk itu terbuka..
Dari dalamnya keluar seorang wanita tua yang matanya berlubang dan rambut yang sudah memutih. Ia berjalan tertatih tatih dengan tongkat kayu keluar gubuk itu.
“Ang.. yobana ka maulang ko baliak?...” (Kamu beneran mau mengulang ini lagi?..) ujar wanita itu kepada seseorang yg sepertinya berada di dalam gubuk.
“Iyo.. payah kalau harus batahan jo sawah sagiko. Aden butuah labiah banyak pitih untuak iduik..hutang den banyak, paralu den banyak”
(Iya. Sulit kalau harus hidup dgn sawah segini. Saya butuh lebih banyak uang untuk hidup, hutang saya banyak, keperluan saya banyak) ujar suara pria dari dalam gubuk.
“Ang yakin manjadian anak ang surang baliak jadi gasiangnyo…?” (Kamu yakin menjadikan anak kandungmu lagi jadi tumbal gasingnya?) tanya wanita itu.
“Aden ndak paralu anak padusi. Kok dapek den anak padusi liak ndak ka ragu gai den pakai kapalonyo baliak” (Saya tidak butuh anak perempuan. Kalau saya dapat anak perempuan lagipun, saya gaakan ragu pakai kepalanya lagi untuk ini) ujar pria itu.
“Tu baa caro maindaan bia urang ndak curiga dan barakhia takah sapuluah tahun lalu? Aden hampia mati dek ang lai jaleh?!” (Lalu bagaimana caramu biar orang2 itu tidak curiga dan akhirnya kejadian sepuluh tahun lalu tidak terulang? Saya hampir mati karena itu!)
Tiba2 saja sesosok pria keluar dari gubuk itu dengan menghisap rokok.

Aku tercekat dan tidak mampu berkata apa apa atas apa yg aku lihat.. Itu adalah Pak Panji..
“Aden lah manyuruah urang, lah den atur bia anak den pai jo Rahman, anak nan salamaik sapuluah tahun patang. Indak ado urang nan nampak kama Shinta jo Rahman pai. Rahman wak masuakan ka dalam alam si Jundai, dan Shinta urusannyo samo kau.
Kok lah salasai, wak anggap Shinta dibunuah Rahman dan inyo kini malarian diri”
(Saya sudah menyuruh orang dan mengatur bagaimana caranya biar anak saya pergi dengan Rahman, anak yg selamat sepuluh tahun lalu. Tidak akan ada orang yang melihat kemana arah Shinta dan Rahman pergi. Rahman akan masuk ke alam Jundai, dan Shinta bisa segera kau urusi.
Kalau sudah selesai, kita anggap Shinta dibunuh Rahman, dan dia menghilang karena melarikan diri) Ujar Pak Panji..
Tiba tiba saja aku tersentak. Aku terbangun di posisi aku merebahkan diri tadi. Aku melihat ke sekeliling dan suasananya masih sama. Ade juga berada di sampingku, tertidur.
Aku mencari Bobi yang tadi muncul di mimpiku dan menunjukiku jalan, namun tidak ada Bobi disana. Tapi entah kenapa aku merasa mimpi tadi adalah petunjuk..

Aku segera membangunkan Ade dan mengajaknya melanjutkan perjalanan.
“Aku akan lurus, nanti kalau ada pohon besar dengan akar gantung kita belok kanan” kataku.

“Hah? Darimana kamu tau?” tanya Ade.

“Bobi yang kasih tau” jawabku singkat.
Kami menyusuri jalan yang persis dengan yang ada di mimpiku. Bukannya senang, aku justru semakin khawatir jika saja apa yang aku lihat sebelumnya memanglah apa yang akan aku lihat beberapa waktu ke depan.
Langkah kami terhenti saat kami menemukan pohon besar dengan akar gantung itu. Aku terdiam dan mulai merasa cemas..

“Ini pohonnya, dan disebelah kanan sana, harusnya kita ketemu gubuk kecil..” kataku pada Ade yang tentu saja tidak ditanggapi apapun olehnya.
Kami berbelok dan setelah menempuh perjalanan beberapa menit, kami menemukan gubuk itu. Namun dengan keadaan yang berbeda..

Di depan gubuk itu ada Bang Rizky yang tengah menggendong Shinta dan menimang nimangnya agar tidur..
Sementara gubuk itu pintunya terbuka dan ada aktivitas orang di dalam, aku bisa melihatnya dari cahaya lampu minyak yang bergerak gerak dan dilewati bayangan orang beberapa kali.
“Bang Rizky!” tiba tiba saja Ade berteriak semangat karena mengira akhirnya kami sudah tidak tersesat lagi.

Bang Rizky lantas menoleh ke arah kami dan wajahnya seketika berubah.

“BOS! BOS!!” teriaknya panik ke arah gubuk itu.
Aku segera berlari sekuat tenaga tanpa memikirkan kaki kiriku. Ade yang tidak siap dengan tindakan spontanku masih berdiam di posisi kami tadi berdiri.

“LEPASIN SHINTA!!” kataku berteriak sambil berlari.
Lalu disaat bersamaan seorang pria keluar dari gubuk rumah tersebut, dan katakutanku terbukti.. orang itu adalah pak Panji. Ia langsung melihat ke arahku dan wajahnya seketika berubah seperti orang penuh amarah.
Aku mencoba merebut Shinta dari Bang Rizky. Namun ia bergerak menjauhkan Shinta di punggungnya dari raihan tanganku. Kini aku berhadapan dengan Apakku sendiri dan Bang Rizky.
“Baa lapeh paja ko dek ang Rizky?!!” (Kenapa orang ini kamu lepas Rizky?!!) bentak Pak Panji.
“Sumpah den ndak tau bos. Tadi kaduonyo lah masuak ka sinan. Baa caro kaduonyo kalua ndak tau den doh!” (Sumpah Saya tidak tau bos! Tadi dua duanya sudah masuk ke sana. Tapi bagaimana cara mereka keluar, saya benar benar gatau!) jawab Bang Rizky dengan panik.
Ade berjalan mendekat dan seketika tau bahwa apa yang diceritakan bapak bapak aneh di kuburan saat itu mungkin memang adalah apa yang sebenarnya terjadi. Kami memang sengaja disesatkan oleh Bang Rizky.
“Pak, ngapain pak Panji disini pak??? Shinta mau diapain?? Kenapa Rahman sama Ade disesatkan di dalam hutan pak???” tanyaku dengan emosi.
“Indak urusan ang gai doh Man. Rancak ang pulang atau baliak ka Padang lah!” (Bukan urusanmu Man. Lebih baik kamu pulang atau balik ke Padang sana) jawab pak Panji keras. Itu pertama kalinya aku mendengar pak Panji bicara sekasar itu padaku.
“Rahman udah tau semunya pak! Dan bener bener Rahman gak habis pikir pak Panji yang jadi penyebab matinya Nizar sama Bobi sepuluh tahun lalu hah??!” tantangku sambil berlinang air mata.
“Kalaupun iya kenapa?? Apa urusanmu Man?? Nizar anak apak dan itu hak apak. Mau dia mati atau hidup itu juga hak bapak sebagai ayahnya! Bahkan kamu sekarang dapat bagian dari apa yang bapak kerjakan kan??-
-Kamu bisa makan, bisa sekolah, Diana adikmu itu juga, itu kamu kira uang dari mana Man?!” bentak Pak Panji kembali.
Ditengah pertengkaran itu, dari dalam gubuk keluar seorang wanita yang persis dengan yang aku lihat dalam mimpi. Wanita tua dengan mata sebelah berlubang, gigi yang sudah jarang dan rambut tipis. Ia keluar perlahan dengan tongkat kayu tua di tangannya..
“Ndak manyangko den ado nan bisa kalua darisinan sabalun den manyalasaian sadoalahnyo..” (Saya tidak menyangka ada yang bisa keluar dari sana sebelum saya menyelesaikan semuanya..) ujar wanita itu.
“Banyak na nan lah nampak dek paja ko.. aden patamo masih sanang jo ang Man. Tadinyo ka den padiaan ang iduik. Tapi kok takah ko ndak ado gai alasan den mambiaan ang iduik li doh. Talampau banyak nan lah ang danga jo liek"
( Sudah terlalu banyak yang diliat bocah ini. Saya awalnya masih senang sama kamu Man. Tadinya saya bakal biarkan kamu hidup. Tapi kalau begini, sudah gaada lagi alasan saya buat biarin kamu hidup. Kamu udah mendengar dan tau terlalu banyak!) ujar Pak Panji.
“Ky, Ang pacikan Shinta. Di dalam alun salasai li doh. Wak berehan duo cingkahak ko dulu!” (Kamu pegangi Shinta. Di dalam masih belum selesai. Kita bereskan dua bocah ini dulu) ujar pak Panji kepada Bang Rizky.
Bang Rizky mengangguk dan memindahkan gendongannya ke depan lalu memeluk Shinta erat.

“Lah, tasarah dikau lah ka bapangaan paja ko Nur” (Sudah, terserah kamu mau diapakan orang orang ini, Nur) ucap pak Panji, berbicara kepada wanita itu yang ternyata adalah Nur.
Nur lalu bersimpuh di tanah. Ia merapalkan mantra dan senandung yang aku tidak tau apa artinya. Lalu tiba tiba saja dari arah hutan terdengar suara bansi, alat musik menyerupai seruling khas Minang..
Suara itu berputar putar di sekitar posisiku dan Ade berdiri..
Lama kelamaan nada yang dikeluarkan semakin tinggi dan memekakkan telinga. Aku menutup kedua telingaku dengan tangan begitu juga dengan Ade. Namun cara ini tidak berhasil karena suaranya seakan masuk ke kepalaku.
Anehnya Pak Panji dan yang lainnya seperti tidak mendengar suara itu. Mereka berdiri biasa sambil memperhatikan kami yang sudah kesakitan.

Lalu tiba tiba saja..

BRUG!
Ade pingsan karena tidak mampu menahan lengkingan suara itu. Sementara aku masih bertahan walaupun rasanya ada darah yang mengalir keluar dari telingaku.
Nur yang masih duduk bersimpuh lalu menunjuk ke langit dan memutar mutarkan tangannya. Aku tidak tau apakah ada pembicaraan disana karena aku benar benar tidak bisa mendengar apapun kecuali suara bansi itu..
Aku memejamkan mataku. Beristighfar sambil bertahan sebisaku. Namun tiba2 aku merasakan dentingan keras di dalam kepalaku.

Aku refleks membuka mata dan ternyata aku sudah berpindah tempat lagi namun aku tidak tau dimana.
Di sekelilingku adalah hutan gelap, namun langit di dunia itu berwarna ungu tanpa bintang. Aku merasa aku tidak sendirian disana karena aku melihat ada sekelebatan warna putih yang berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya dgn cepat.
Lalu dari kejauhan aku melihat sosok yang bergerak sangat cepat ke arahku. Si Jundai yg aku lihat saat itu bergelantungan di pohon Lubuak Pusaro, kini berada di hadapanku dengan tubuh lebar dan wajah mengerikannya. Ia menyambarku dari udara namun aku sempat untuk menghindarinya.
Aku berlari meminta tolong namun tidak ada siapapun disana. Sementara Jundai itu terus berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya dan terus meludahiku dari udara.

“Ade!! Samsul!! Pak Ali!! Kakeeekk!!” aku terus berteriak seperti anak kecil yang ketakutan.
Aku terus berlari tanpa tau arah. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana cara bersembunyi dari sosok itu yg terasa ada di setiap tempat.

Pandanganku lama kelamaan mulai berkunang kunang karena panik, lelah dan kehabisan oksigen.
Keseimbanganku menurun dan akhirnya kaki kiriku tersandung salah satu akar pohon di hutan itu. Aku terjerembab dan dahiku membentur sebuah batu,
Kepalaku pusing dan tidak bisa langsung berdiri. Aku menelentangkan badanku dan menatap langit. Di langit ungu itu, makhluk mengerikan yang mengejarku dari tadi, sudah melayang dan berputar putar dengan sangat aneh.
Lalu tanpa aba aba sosok itu melesat turun dengan sangat cepat dengan jari berkuku hitam tajamnya mengarah ke tubuhku.

“Ya Allah.. kalau inilah akhirku aku ikhlas..” ujarku lirih dalam hati karena aku masih belum bisa menghindar.
Aku memejamkan mata ketika sosok itu sudah tinggal beberapa meter dariku, namun tiba tiba..
“AMUAH CARI MATI KAU JO DEN?” (MAU CARI MATI KAMU DENGANKU??) tiba tiba suara pria yang terdengar berat menggema di hutan itu dan

BLAAARRRRRRR!!!

Sebuah bola api berwarna orange kebiruan meluncur dengan sangat cepat dan tepat mengenai kepala Jundai!
Bola api tadi mengenai Jundai hingga membuatnya terpental. Lalu terdengar suara tawa pria menggelegar tadi yang memenuhi hutan itu.

“P*NT*K SIA ANG BARUAK??!” (SIALAN SIAPA KAU MONYET??!) tiba tiba ada suara lain yang memenuhi isi hutan itu, namun kali ini aku tau suara Nur.
“AAHAHA JAN CUCU DEN LO ANG BAO KA SIKO ANJIANG!” (AHAHA JANGAN KAU BAWA CUCU SAYA KESINI, ANJING!) ujar suara pria yang terdengar berat itu.

Lalu entah darimana 3 bola api biru tadi melewatiku lagi dan menghujani pepohonan dan Jundai itu dengan percikan apinya.
“JAN ANG GADUAH DEN BARUAK!” (JANGAN GANGGU SAYA MONYET!!) ujar suara Nur yang terdengar dari arah langit.
“SIA NAN MANGGADUAH CUCU DEN PATAMO KALI?? KAU TAU URANG PASAMAN NDAK KA MAMPABIAAN CUCUNYO KOSONG DOH!” (SIAPA YANG MENGGANGGU PERTAMA KALI? KAMU HARUSNYA TAU ORANG PASAMAN TIDAK AKAN MEMBIARKAN CUCUNYA KOSONG) ujar suara itu.
Lalu dari arah samping aku melihat sisi hutan yang terang benderang. Bukan, bukan karena terbakar melainkan ada bola api berwarna biru yang berputar putar disana. Ketika aku melihat ke bawahnya, ternyata Ade ada disana namun dengan gestur yang aneh...
Ia berjalan dengan membungkuk, matanya terpejam dan kedua tangannya ada di belakang tubuhnya. Sementara di atas kepalanya ada bola api biru yang menyala nyala.
“ADE!!” panggilku.

Namun Ade tidak bergeming dan tetap berjalan lurus ke arah Jundai berada. Ade sebenarnya berbicara dengan bahasa Pasaman saat itu namun aku lupa detailnya..
“YO PAYAH DEN BARUNDIANG JO KALIAN YO” (Susah ya berunding sama kalian) ujar Ade tidak dengan suara aslinya.

“DEN PUNAHAN BARANG KO SADONYO!” (Aku hancurkan benda ini semua!) ujar Ade lagi.
Setelah ia mengatakan itu, bola api di belakang Ade membesar dan menghasilkan cahaya yang sangat terang. Suara dentuman terdengar dimana mana dan langit ungu itu seperti bergoyang goyang. Pohon pohon gelap yang mengisi hutan tersebut menghilang seperti debu seketika.
Ketika cahaya menyilaukan itu hilang, aku sudah berada kembali di hadapan Pak Panji, Nur dan Bang Rizky. Sementara di sebelahku Ade masih pingsan.
“Baa kok jago si Rahman Nur??!” (Kenapa si Rahman bangun Nur??) tanya pak Panji ketika melihatku membuka mata.
“Kawan paja tu ado baisi! Anak anjiang tu dari Pasaman dan bantuaknyo dari keluarga pantiang!” (Teman dia punya pegangan! Anak anjing itu dari Pasaman dan dia berasal dari keluarga penting!) jawab Nur.
Pak Panji gelap mata, ia merogoh saku belakangnya dan mengeluarkan pisau. Ia mencoba menyerangku dgn pisau itu. Aku coba merangkak namun tenagaku habis. Ade juga masih belum sadar dan aku tidak membawa senjata apapun.
Pak Panji lalu berhasil memegang kerahku dgm kuat. Tatapannya bukan Pak Panji yg ku kenal selama ini. Wajahnya seperti pembunuh dingin yg mau melakukan apapun demi uang.
“RANCAK ANG MATI MAN! NDAK AYAH DAN ANAK SAMO MANGGADUAH IDUIK URANG LAIN SAJO KALIAN KO!” (Lebih baik kamu mati Man! Ayah sama anak, kalian sama sama mengganggu urusan orang lain!) bentak Pak Panji.
Aku mencoba melawan dengan menendang perut pak Panji namun itu tidak memberikan efek apapun padanya. Ia meninju pipiku dgn keras hingga aku terpental. Ia mendatangiku lagi, mengangkat kerahku lagi dan memukul pipiku untuk kedua kalinya tanpa ampun.
Ia menempelkan pisaunya di leherku dan menekannya perlahan. Pisau yg runcing dan dingin itu sudah bisa kurasakan di leherku.
Ketika aku sudah kembali pasrah jika aku berakhir di tangan apak kesayanganku sendiri, tiba tiba saja kami dikagetkan dgn nyala api dari arah gubuk yang seketika menerangi hutan.
Pak Panji berbalik begitu juga Nur yg tidak sadar gubuk tempat mereka mempersiapkan ritual gasing tengkorak terbakar. Api begitu besar karena gubuk itu hanya terbuat dari kayu dan rubia.
Keterkejutan Pak Panji semakin menjadi jadi saat ia melihat di depan gubuk, Bang Rizky sudah dalam keadaan tiarap dan di atas tubuhnya sudah ada Pak Ali yg menggendong Shinta.
“ALI??!! S.. SAJAK BILO BANG DISIKO?? B… BAA BANG BISA SAMPAI KAMARI??!” (Ali?? S.. Sejak kapan abang disini?? Kenapa abang bisa kesini??!) tanya Pak Panji panik.

Namun kemudian terdengar suara lain..
“HAHA Amaaak.. lamo na amak iduik mahh, mati lahh” (hahah ibuuu, ibu lama banget idupnya. Mati yuk) tiba tiba saja dari arah belakang gubuk muncul Ramon dengan sebuah obor menyala di tangannya.
--incase pada ga liat QRT--
Cerita InsyaAllah dilanjut besok yaa, masih di jam yang sama
“RAMON P*NTEK! MANGA ANG BAO ALI KAMARI HAH??” (RAMON SIALAN! NGAPAIN KAMU BAWA ALI KESINI HAH?) bentak Pak Panji. Ia tau tidak mungkin ada orang yg menemukan gubuk ini dengan mudah karena posisinya di tengah hutan dan tertutup.
“Ijan salahan den baang.. Bobi nan manyuruahh” (Jangan salahkan saya bang, Bobi yang nyuruh) ujar Ramon sambil menunduk.

Pak Panji melepaskanku dan kini ia berhadapan dgn Pak Ali. Tangannya masih menggengam pisau yang tadi ia gunakan untuk mengancamku.
“ayah…” ujar Shinta dari balik punggung Pak Ali yang sepertinya ketakutan dengan tatapan Pak Panji.

“Nta, kamari jo ayah nak.. kamari..” (Nta, kesini sama ayah nak.. kesini) rayu Pak Panji.
Shinta menggeliat memberi kode minta diturunkan dari punggung pak Ali. Namun pak Ali tidak bergeming dan tetap menahan tubuh Shinta berada di punggungnya.
“JADI WAANG NAN MAMBUNUAH BOBI ANAK DEN NJI? HAH ANJIANG??! ANAK UNI ANG SURANG ANG BUNUAH DAN UNI ANG SURANG ANG BUEK TAKAH TU??!” (JADI KAMU YANG MEMBUNUH BOBI, ANAKKU NJI? ANJING! ANAK KAKAKMU SENDIRI KAMU BUNUH DAN KAKAK KANDUNGMU KAMU BUAT SEPERTI ITU??) hardik Pak Ali.
Matanya berkaca kaca dan tangannya bergetar sambil mengepal.
“A SETAN NAN MASUAK KA BADAN ANG KO KALERA! NDAK ADOH UTAK ANG LI DO?? NYAWO URANG TU BABI!” (APA SETAN YANG NGERASUKIN DIRIMU SIALAN! KAMU UDAH GAK PUNYA OTAK? ITU NYAWA ORANG, BABI!) bentak Pak Ali lagi.
Pak Panji sama sekali bereaksi.
“Bang, nan den jadian gasiang tangkurak tu kapalo Nizar, anak den surang. Ndak ado den minta kapalo Bobi, Bobi jatuah ka batang aia dek manolongan paja tu! Nizar anak den bang! Itu urusan den pulo”
(Bang, yang saya jadikan gasing itu kepala Nizar, anak kandung saya. saya sama sekali ga minta kepala bobi. Bobi jatuh ke batang aia karena menolong Rahman! Nizar itu anak saya bang! Dan itu juga urusan saya!) jawab Pak Panji sama tingginya.
“TAPI WAANG NAN MANYURUAH BOBI PAI KA BATANG AIA SORE TU KAN??? ANG JADIAN ANAK DEN CARO UNTUAK ANG BISA MAMBUEK NIZAR JADI TUMBAL KAN???”
(TAPI KAMU YANG MENYURUH BOBI PERGI KE BATANG AIA SORE ITU KAN?? KAMU JADIKAN ANAK SAYA SEBAGAI JALAN AGAR KAMU BISA JADIKAN NIZAR SEBAGAI TUMBAL KAN???) ujar Pak Ali dgn berurai air mata.
Pak Panji membuang mukanya. Lalu menatap tajam balik ke pak Ali.

“Tu kok iyo ba’a de ang?” (Terus kalo iya, masalah buatmu?)

Pak Ali kehabisan kesabarannya, ia dengan cepat melayangkan pukulannya ke arah rahang Pak Panji.
Pak Panji menghindar namun kuda kudanya menjadi lemah. Pak Ali yang memang memiliki tubuh lebih besar dan kekar memanfaatkan kelengahan ini dengan meninju ulu hati pak Panji dengan tangan kirinya.
Pak Panji tersungkur dan nafasnya terengah engah. Pak Ali masih belum selesai, ia mengambil langkah dan hendak menendang kepala Pak Panji dengan sekuat tenaga. Namun dengan cepat Pak Panji mengangkat pisau yang ia pegang dan menaruhnya tepat di samping kepalanya.
Pak Ali sudah tidak sempat lagi menahan tendangannya dan..

CLEB!

Pisau itu menancap di punggung kaki Pak Ali.

“AARRGHH!!!!” Pak Ali menjerit keras sambil memegangi kakinya. Ia terduduk dan memegangi kakinya yang masih tertancap pisau.
“RIZKY! BAO SHINTA PAI!” (Rizky! Bawa Shinta pergi!) perintah Pak Panji.

Rizky yg sedari tadi hanya menonton pertarungan itu langsung menarik tubuh Shinta dari punggung pak Ali dan membawanya pergi ke arah hutan.
Ketika itu aku hendak mengejarnya namun kakiku terasa begitu sakit. Tapi aku merasakan ada sesuatu yang ikut pergi ke arah yang sama sesaat setelah Rizky pergi..
Api yang membakar gubuk tadi sudah menghanguskan hampir seluruh bangunan kayu itu. Disana hanya tinggal aku, Pak Ali, Pak Panji, Nur, Ramon dan Ade yang masih pingsan.
Nur kembali bersimpuh di tanah. Ia merapalkan mantra mantra dan kembali perasaan gelisah itu datang.

Suasananya menjadi hening dan telingaku berdenging, Lalu tiba tiba di hadapan kami membumbung kepulan asap berwarna putih yang keluar dari dalam tanah..
Asap itu mengeluarkan hawa yang sangat panas dan menyakitkan. Asap itu kemudian semakin tebal dan menjadi padat.. lalu dari kumpulan asap itu muncul sosok Jundai yang berbeda dari yang aku lihat sebelumnya..
Sosok ini memiliki postur yang lebih kurus cungkring dengan tinggi hampir 4 meter, namun ia memiliki wajah yang meleleh, hidungnya terlihat mencair dan bola mataya menggantung keluar.
Sosok Jundai ini juga memiliki gigi taring yang terlihat jelas karena kulit bagian bibirnya terbuka dan hidungnya rata. Kemunculannya dibarengi dengan bau amis dan busuk bangkai yang luar biasa memuakkan. Selain itu jundai ini mengenakan pakaian usang berwarna merah..
Aku menahan nafasku ketika sadar sosok ini mengeluarkan bau yg sangat menyakitkan. Lalu Jundai itu berteriak dengan suara melengking dan tiba tiba saja sebuah petir menyambar lokasi kami berada dan membuat pandanganku seketika putih akibat silau karena cahaya.
Ketika sadar, aku sudah kembali ke tepian batang aia. Aku masih menenteng dedaunan yg aku kumpulkan untuk Samsul. Ade berada di depan, dan di belakangku ada Shinta dan Bang Rizky. Bedanya, kali ini di hadapan kami adalah sungai dangkal yang kami seberangi di awal.
Aku melihat ke arah Ade yg memandangiku balik dengan bingung..

“Kenapa Man?” tanyanya.

“Enggak.. gapapa” tanyaku kikuk.

Aku mencubit sedikit lenganku dan rasanya sakit. Aku merasa ini adalah dunia nyata yang sebenarnya. Apa semua kejadian tadi mimpi??..
Aku teruskan perjalananku dengan bingung. Ketika aku hendak menyebrangi sungai itu, tiba tiba saja dari sisi tebing di seberang aku melihat dua anak kecil yg berdiri diantara semak semak belukar. Dan, ya.. itu Nizar dan Bobi..
“Puta baliak.. jan kamariii..” (Putar balik! Jangan kesini..) pekik Nizar kecil dari atas tebing.

Aku menghentikan langkahku tepat di tepi sungai.
Ade menoleh kepadaku dan bertanya
“Kenapa? Ayo pulang” kata Ade lagi.

Aku memandang ke atas, tempat Nizar dan Bobi berada. Keduanya masih memberikan gestur menyuruhku untuk berbalik dan jangan menyebrang.

“Sebentar De, kayaknya ada yg ketinggalan..” kataku sambil berbalik.
Namun bang Rizky menghalangiku. Ia berdiri diam di hadapanku tanpa berkata apapun.

“Mau kemana lagi.. ayo pulang..” Ade menarik tanganku ke belakang.
Aku bisa merasakan tangan Ade terasa dingin dan basah. Aku menoleh ke arah Ade dan ternyata Ade sudah dalam keadaan kuyup. Dari kepalanya terus mengalir air..
“Ade? Kenapa kamu basah?..” tanyaku..

“Basah? Enggak kok.. ayo pulang Man.. kita obatin Samsul..” ajak Ade memaksa. Tangannya tidak mau melepas tanganku. Aku mencoba melepaskan genggaman itu namun genggaman Ade begitu kuat.
“Man.. ayo pulang.. mannmm ayom,, pummlamm” lama kelamaan air dari kepala Ade menggerus kulit dan bola matanya hingga wajahnya ikut mencair..
“ARRGHH!! ADE!” aku menjerit ketika salah satu bola mata Ade jatuh ke tanah dan mengambang di air.

Aku menendang Ade sekuat tenaga dan mendorong tubuh Bang Rizky dengan Shinta di punggungnya. Aku berlari sekencang mungkin tanpa mau menengok ke belakang lagi.
Sementara itu di belakangku suara suara Ade, Bang Rizky dan Shinta terus memanggilku tanpa henti dan bergema di penjuru hutan itu!

Aku berlari dengan was was. Pandanganku liar melihat ke kiri dan kanan khawatir jalanku akan dipotong oleh makhluk itu.
Dari sela sela pohon aku melihat ada objek yang bergerak sangat cepat dan melayang mengikuti arahku berlari. Sementara dari belakangku sosok jundai merah itu akhirnya memunculkan wujud aslinya..
Sosok itu melayang ke arahku sambil mengeluarkan suara seperti suara Ade dan Shinta secara bergantian.

Aku terus berlari sampai ke sebuah jurang lagi dan kali ini aku sudah benar benar tersudut. Jundai itu melesat cepat ke arahku dengan wajahnya yang semakin melar dan meleleh..
“Ya Allah lindungi aku ya Allah.. Ya Allah..” aku berdoa diujung rasa pasrahku. Aku menunduk dan bersujud. Apapun yang terjadi aku sudah tidak bisa melakukan apa apa..
Namun tiba tiba sebuah auman harimau memecah keheningan hutan itu. Suara derap langkah hewan buas yang bergerak cepat mendekat ke arahku dan seketika menyambar jundai tadi. Tubuh harimau itu berwarna merah dan tingginya seperti sapi.
Aku tidak tau darimana sosok itu berasal, namun harimau itu bertarung dengan jundai tersebut. Hingga satu kesempatan harimau itu berhasil meraih kepala jundai tadi dan menghantamkannya ke tanah.
Tak berselang sedetik kemudian kepala judai tadi dihancurkan oleh harimau tadi dan dikunyah hingga mengeluarkan darah hitam yang berceceran..
Tepat setelah harimau tadi menerkam Jundai, aku kembali ke posisiku bersama pak Ali, Ade dan Pak Panji..

Namun dihadapanku saat itu sudah ada seekor harimau yg tengah mencabik cabik tubuh Nur!
“PAI NYIAK! PAI! LAPEHAN!” (Pergi kek! Pergi! Lepaskan!) Pak Panji mengancam ancam harimau itu namun harimau tadi tidak bergeming. Tubuh Nur terus dikoyak oleh harimau besar itu tanpa ampun.
Nur terlihat masih bernafas dan terengah engah walaupun tubuhnya sudah hancur. Terakhir harimau itu menggigit leher Nur dan membawanya pergi kembali ke hutan.
Kejadian itu berlangsung sangat cepat dan sama sekali tidak bisa aku percaya. Aku tidak tau bagaimana bisa harimau itu ada disana dan menyerang Nur.
“Amak mati hehehe” ujar Ramon sambil bertepuk tangan kegirangan.
Pak Panji langsung melihat ke arah Ramon dan menggenggam tangannya.
“Ramon! Kalau amak ang mati, Jundai tu kini jadi punyo ang! Pakai mon!” (Ramon, kalau ibumu sudah mati. Jundai itu berarti jadi milikmu! Pakai mon!) perintah Pak Panji.
Namun Ramon bergeming sambil mendorong tubuh Pak Panji menjauh.
“Ndak ndak aden ndak nio doh hiii”(Enggak, enggak, aku gak mau hii) ujar Ramon sambil bergidik.

Pak Panji tanpa ancang ancang langsung menghajar wajah Ramon dgn kepalan tangannya hingga Ramon tersungkur kesakitan.
Pak Panji yg tadi terlihat garang dan kuat seketika seperti orang bingung. Ia menatapku, Ade, dan Pak Ali secara bergantian.
“Ahaha.. Satidaknyo kalian baduo ndak ka salamaik dari siko doh! Bia si Rizky dilua mangabaan kalau kalian nan mambunuah Ramon dek dandam jo Nur! Ahaha!”
(Ahaha setidaknya kalian gaakan selamat darisini, dan Rizky diluar sana akan bilang ke orang orang kalianlah yg bunuh Ramon karena dendam dengan Nur! Haha!) tawa pak Panji sambil berjalan ke arah pak Ali dan mengambil pisau yg masih menancap di kaki pak Ali.
Pak Panji menarik pisau itu hingga pak Ali kembali menjerit kencang.

Namun tiba2 dari arah semak terdengar suara sesuatu yg bergerak. Lalu muncul Bang Rizky dgn wajah yg babak belur dan berdarah darah..
“Disiko urang tu bang.. ampun bang.. sakik…” (Disini mereka bang.. ampun bang.. sakit) ujar Bang Rizky mengampun ke seseorang dibelakangnya. Wajahnya yg bonyok itu sepertinya habis diberi bogem mentah dari seseorang.

Lalu dari semak itu muncul orang yg aku kenal.. Samsul!
---dilanjut besok, dan InsyaAllah, besok tamat---
“lah, pai lah bang ka kama tasarah. Aden minta diantaan dek lupo jalan sajo nyo” (Udah, abang mau pergi kemana terserah! Saya Cuma minta diantarkan karena lupa jalan saja) kata Samsul lalu membiarkan Bang Rizky yang sudah babak belur itu masuk kembali ke hutan.
Pak Panji tertegun. Rencana terakhirnya memanfaatkan Rizky digagalkan Samsul yang ternyata dari awal ikut dengan Ramon dan Pak Ali namun bersembunyi untuk jaga jaga jika kondisi darurat.
“Ayah manga ayah..” (ayah ngapain yah?) Shinta memanggil pak Panji dari gendongan Samsul. Ia membukakan tangannya memberi isyarat minta digendong oleh pak Panji.

“Ayah..” panggil Shinta lagi.
Pak Panji menatap Shinta dengan pandangan kosong. Ia seperti sadar makhluk tak berdosa ini hampir saja akan ia tumbalkan untuk harta semata. Bahkan setelah semua hal yang ia lakukan, Shinta tetap meminta digendong olehnya.

Pak Panji menunduk dan menangis di hadapan kami semua.
“A nan ayah pabuek salamo ko Nizar…” (apa yang ayah lakukan selama ini sebenarnya Nizar..) sesal Pak Panji.

Pak Panji lalu mengangkat kepalanya. Ia menatap Shinta lalu tersenyum kepada anaknya itu.
“Titipan salam ayah ka bunda yo Nta..kicekan, ayah ka basaobok uni Nizar..” (titipan salam ayah ke bunda ya Nta, bilang kalo ayah mau ketemu kakakmu, Nizar..) ucap pak Panji lalu tiba tiba saja menusukkan pisau yang ia pegang ke perutnya.
“PANJI!” Pak Ali berteriak melihat adik iparnya itu memutuskan untuk membun*h dirinya sendiri.

Samsul segera memalingkan pandangan Shinta dan memintanya tidak melihat dulu ke arah ayahnya.
Tubuh pak Panji kemudian roboh dengan darah segar mengalir dari lubang di perutnya. Dengan susah payah, Pak Ali bangun dan mencoba menutup lubang di perut pak Panji itu dengan tangannya. Namun darah terus keluar dan kini kulitnya sudah mulai menjadi pucat.
“Man! Bantu apak, latakkan Panji di pungguang apak!” (Man, bantu bapak, tolong taro Panji di punggung saya) perintah pak Ali padaku.
Aku bangkit dan mengangkat tubuh pak panji berdua dengan Samsul dan menaruhnya di punggung pak Ali.

“Ramon, tunjuakkan jalan kaluanyo!!!” (Ramon, tunjukkan jalan keluarnya!!!) pinta pak Ali.
Ramon menurut dan menunjukkan jalan untuk keluar dari hutan ini.
Sebelum kami jalan, Samsul juga membopong Ade yg masih belum sadar, sedangkan aku menggendong Shinta.
Ketika kami keluar dari hutan itu kami muncul dari sisi tebing tenpat Nur sepuluh tahun lalu terkapar. Diatas kami adalah tebing Lubuak Pusaro, dan sedikit ke hulu adalah tempatku, Bobi dan Nizar terakhir mandi.
Aku tidak tau jam berapa saat itu namun langit sudah gelap dan bintang terlihat begitu gemerlapan di langit. Warga yang pertama kali kami temui adalah tiga orang pemancing yang sedang memancing di tepian batang aia sambil menggunakan senter untuk mengumpan ikan.
Kemunculan kami mengangetkan keduanya karena mengira kami makhluk jadi jadian dari hutan. Namun setelah mereka mengenali Pak Ali, mereka lantas memberikan bantuan sesegera mungkin. Baju pak Ali sudah dipenuhi darah dan pak Panji sudah pucat pasi saat itu.
Pak Panji dibawa menggunakan motor ke rumah sakit yang jaraknya sebenarnya cukup jauh dari kampungku, namun memang tidak ada pilihan lain. Di RS itu juga kakek dirawat. Pak Ali memegangi Pak Panji di belakang dengan berboncengan tiga.
Sementara aku dan Ade dibawa ke klinik bidan menggunakan motor bersama Samsul dan Shinta menyusul di belakang.

Di klinik bidan itu, syukurlah Ade sadar. Namun ia benar benar tidak mengingat apapun setelah mendengarkan suara memekakkan telinga yang membuatnya pingsan.
Ia diberi perawatan ringan untuk luka luka luar yang ia alami. Sementara aku, gigi belakangku goyang akibat pukulan pak Panji tadi. Ada luka lebam dan luka gores juga pada beberapa bagian tubuhku dan dilakukan perawatan ringan.
Setelah mendapatkan perawatan, kami pulang malam itu juga ke rumah kakek. Ketika kami tiba, disaat bersamaan sebuah motor masuk ke pekarangan rumah dan menurunkan Pak Ali.
“baa keadaan kalian?” (gimana keadaan kalian?) tanya pak Ali pada kami.

“Aman pak. Cuma luka luka kecil aja.. Pak Panji gimana pak?...” tanyaku berhati hati.

Pak Ali menggeleng. “Apak ang tu lah ndak ado lai doh Man,,” (Apakmu itu udah gaada man..) ujar pak Ali.
“Innalillahi wa inna ilaihi roijun..” kami bertiga serentak mengatakan hal itu.
“sekarang dimana pak Panji pak?..” tanyaku lagi.

“Masih di rumah sakit. Udah ada istrinya disana dan kakek, sama Diana juga. Apak pulang karena ingat Lisa dirumah sendirian..” ujar Pak Ali.
Pak Ali lalu masuk ke rumah kakek. Aku mengikuti di belakangnya bersama Samsul, Ade dan Shinta.

Namun entah kenapa suasana rumah itu terasa lain, tidak pengap seperti biasanya.
Pak Panji membuka kunci kamar itu. Dan menahan pintu agar tidak terbuka terlalu lebar, khawatir tante Lisa akan melompat keluar, apalagi sekarang kondisinya sudah malam.

“Klek!”
“Bang?..kama se baru pulang?(bang? Kemana aja baru pulang?)”ujar suara lembut tante Lisa dari arah dalam.

Aku, pak Ali dan kedua temanku tentu saja terkejut. Pak Ali membuka pintu lebar dan mendapati tante Lisa sdg duduk diatas kasurnya sambil merapikan rambutnya dengan sisir.
Wajah Tante Lisa kini teduh dan lidahnya tidak lagi menjulur seperti biasanya.

“Lisa?... “ Pak Ali bergetar.

“Iyo bang..” jawab tante Lisa sambil mengangguk pelan.
Tangis pak Ali pecah saat itu juga. Ia memeluk tante Lisa dengan sangat erat dan merengek seperti anak kecil di pelukan istrinya itu.
“Abang tau adiak ka cegak.. Abang tau wak ka basamo liak diak..” (abang tau kamu akan sembuh.. Abang tau kita akan bersama lagi..) ujar Pak Ali di pelukan tante Lisa.
Aku yang memandangi itu dari ambang pintu tidak sanggup menahan air mataku. Pak Ali sudah membuktikan bukti cinta sejati merawat istri satu satunya itu dengan sepenuh jiwa dan raganya selama sepuluh tahun.
Pak Ali tidak pernah mengajukan cerai atau mencari wanita lain, ia bahkan menjual tanah tanahnya untuk bisa tetap di rumah dan mengurusi istri tercintanya itu. Kini semua kesabarannya terbayarkan, tante Lisa terlepas dari teror gasing tengkorak yang ia derita..
Kami semua tidur disisa malam itu di rumah kakek. Paginya, sebuah mobil jenazah tiba dirumah kakek membawa jasad dari Pak Panji.
Tante Rina yang ikut bersama mobil jenazah itu turun dan langsung mencari keberadaan Shinta. Samsul menyerahkan Shinta ke tante Rina dan tangisnya pun pecah saat itu juga.
Kakek yg turun dari kursi depan mobil jenazah dibuat tertegun dengan wanita yang ada di ambang pintu rumahnya. Lisa, anak pertamanya yg sudah sepuluh tahun hidup menderita dibawah gasing tengkorak,hari itu sudah berdiri dan terlihat normal disana.

“Ali.. itu Lisa??” tanya kakek.
“Iyo pak.. Lisa cegak!” (Iya pak, Lisa sembuh!) jawab pak Ali dengan menahan harunya.
Kakek langsung memeluk tante Lisa dan menangis bersama anaknya itu. Tante lisa belum bisa bergerak leluasa karena tubuhnya yang kurus dan selama ini istirahatnya kurang. Namun Ingatan dan kesadarannya sudah sepenuhnya kembali.
Pemakaman pak Panji dihadiri oleh banyak orang. Pak Ali sengaja tidak mengabarkan apa yang sudah Panji lakukan semasa hidup karena ia tidak ingin memperburuk nama mayit. Hanya aku, Samsul, Ade, Ramon dan Bang Rizky yang tau kejadian sebenarnya.
Dua hari kemudian, Ade dan Samsul izin untuk pulang. Mereka berjanji akan merahasiakan semuanya dan Ade akan mencari alasan penyebab luka lebam dan gores yang ada di tubuhnya jika ditanya orang tuanya nanti.
Sejak hari itu juga hubunganku dengan Pak Ali menjadi semakin dekat dan akrab. Kini beliaulah yang menggantikan posisi ayah untukku. Memberikanku dan Diana uang , makanan, dan pendidikan.
Tante Rina kemudian memutuskan kembali ke kampung halamannya bersama Shinta. Kepergian tante Rina ke kampungnya berlangsung secara baik baik, bukan paksaan atau diusir, itu murni kemauannya agar Shinta bisa diurus oleh kakek, nenek dan om tantenya dari jalur tante Rina.
Beberapa bulan kemudian, aku mendapat kabar Ramon ditemukan meninggal dunia g*ntung diri di pohon besar di tepian jurang lubuak pusaro. Jasadnya ditemukan warga dalam keadaan sudah digerogoti semut merah.
Sebelum kematiannya, Ramon sering histeris dan berlarian ditengah malam seperti dikejar sesuatu namun orang lain tidak dapat melihat apapun yang mengejar Ramon
Kematian Ramon membuat pak Ali menangis dan murung. Ramon adalah orang yg mengabari Pak Ali dan Samsul bahwa aku, Ade dan Shinta dalam bahaya. Ia juga menunjukkan jalan dan menceritakan semua yg ia ketahui ttg kesepakatan antara ibunya dengan Panji di sepanjang jalan menuju hutan
Mungkin bagi sebagian orang, Ramon hanyalah pria setres yg kehilangan akal sehatnya setelah melihat ibunya dirajam dan dikucilkan masyarakat secara hina, namun dibalik itu dia adalah pahlawan yang menyelamatkan aku dan Shinta, bahkan lebih jauh, ia menyelamatkan tante Lisa...
Penampilan tante Lisa waktu demi waktu terus membaik dan nampak semakin sehat dan cerah. Ia kemudian dikaruniai dua orang anak, laki laki dan perempuan yang diberi nama Thaha dan Hakim.
Keduanya tumbuh sehat dan normal. Sayang, kakek meninggal dunia saat Thaha baru berumur 2 tahun akibat usianya yang sudah tua.
Sebelum kakek meninggal, Pak Ali sempat menceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi di hutan itu dan tentang Pak Panji. Kakek hanya beristighfar dan berdoa semoga dosa Panji diampuni.
Pertemananku dengan Samsul dan Ade terus berlangsung hingga kami lulus. Mereka juga sesekali kembali menginap di rumah tante Lisa yang kini sudah secara penuh diperuntukkan sebagai rumahku dan Diana.
Kini Samsul sudah berkeluarga dan memiliki satu orang anak. Sementara Ade menjadi pengusaha sawit di kebun milik orang tuanya. Sementara aku, aku hanya jadi seorang karyawan swasta biasa yang mencoba menghidupi adikku Diana untuk mencapai cita citanya...

****
***
**
*
Akhir tahun 2001…

Ramon memperhatikan ibunya yang nampak gelisah. Nur, sang ibu merupakan seorang dukun yang hanya diketahui prakteknya oleh segelintir orang di kampung.
Demi melancarkan prakteknya, Nur memelihara Jundai yang sering ia gunakan jika ada orang yang ingin mencelakai orang lain, namun timbal baliknya, Jundai ini perlu diberikan makanan.
Namun, ini sudah cukup lama sejak ia bisa memberi makan Jundai itu karena tidak adanya orang yang menggunakan jasanya. Jika dibiarkan begini, bisa bisa Jundai itu akan berbalik menyerangnya.
Hingga hari itu, Panji datang dan meminta bantuan Nur, namun permintaannya adalah agar menjadi kaya raya. Panji frustasi karena hasil bertaninya tidak banyak, sementara kakak dan abangnya sudah lebih sukses darinya..
Praktek untuk menjadi kaya sebenarnya bisa ia lakukan dengan jimat dan penglaris, namun ia saat ini membutuhkan praktek yang meminta tumbal agar Jundai miliknya bisa “makan”.
Tidak kehabisan pikiran, Nur menawarkan opsi penggunaan Jundai miliknya itu untuk tujuan kekayaan.
Caranya adalah dengan menyerang orang tercinta dari salah satu orang kaya di kampung ini, lalu ketika ia sibuk mengurusi orang tercintanya itu, Panji bisa menawarkan diri untuk memegang usaha miliknya dan sedikit demi sedikit mengambil alih kekayaan orang itu.
Sebagai bayarannya, Nur meminta satu tempurung kepala anak anak, siapapun itu untuk dijadikan media gasing tengkorak, dan darahnya akan digunakan Nur untuk makanan bagi peliharannya.
Diluar dugaan, Panji menyanggupinya. Nama yg diajukan Panji adalah Ali. Kakak iparnya sendiri. Panji mengaku kesal karena tidak diajak pada proyek proyek milik kakaknya dan malah mempercayakan pekerjaan itu ke orang lain.
Selain itu ia menjanjikan anak kandungnya sendiri, Nizar sebagai tumbal pembuatan gasing tengkorak.
Skenario pun dipersiapkan. Intinya adalah membuat Nizar menghilang secara misterius di Lubuak Pusaro. Jasadnya akan dikuburkan untuk menghilangkan jejak. Waktu yg dipilih adalah sehari sebelum hari raya, dengan harapan bahwa area batang aia sepi dan meminimalisir saksi mata.
Paginya, Panji memanggil Bobi yang tengah bermain dengan Rahman dan Nizar.

“Bob, beko sore ajak Rahman jo Nizar pai mandi batang aia lah. Bia nampak lo dek urang kota batang aia tu, tau lo raso mandi disinan”
(Bob, nanti sore ajak Rahman sama Nizar mandi di batang aia ya. Biar orang kota ngeliat dan ngerasain juga mandi di sungai) pesan Panji yang segera diiyakan Bobi.
Sementara itu Panji juga berpesan kepada Nizar, anaknya.
“Zar, kok beko bang Bobi mandi di batang aia, Nizar buliah ikuik tapi ndak diam sato baranang yo” (Zar, kalau nanti bang Bobi mandi di batang aia, Nizar boleh ikut tapi gausah berenang ya) pesan Panji pada Nizar.
Sorenya, semua berlangsung sesuai rencana. Nizar, Bobi dan Rahman ke batang aia. Nur sudah bersiaga dari balik semak untuk segera menyekap Nizar ketika Bobi dan Rahman lengah...
Namun keduanya hanya bermain di tepi dan tidak benar benar berenang. Sampai suatu ketika, Rahman tergelincir dan Bobi mencoba membantunya namun ikut tenggelam.
Ada rasa kasihan pada diri Nur untuk membantu keduanya, terlebih ketika mendengar jeritan Nizar memanggil nama kedua saudaranya itu.

Nur keluar dan menghampiri Nizar yang menangis. Bocah itu meminta tolong Nur untuk menyelamatkan Bobi dan Rahman yang hanyut.
Dari kejauhan, Nur melihat Rahman tergeletak tersangkut di atas sukam, sementara Bobi sama sekali tidak terlihat..

Hampir saja Nur membatalkan niatnya jika saja Jundai itu tidak menampakkan dirinya di atas tebing untuk mengintimidasi Nur agar meneruskan niat kejinya.
Nur bergegas mengajak Nizar pergi dengan iming iming mencari bantuan. Nizar lalu dibuat pingsan dan praktik mengerikan itupun dilakukan..
Semua terasa lancar awalnya, namun Panji melupakan satu hal penting... Bobi adalah anak yang terkenal ramah dan kenal banyak orang, selama di perjalanan Bobi disapa dan menyapa banyak warga yang ditemuinya.
Orang orang inilah yang akhirnya menunjukkan jalan dan ikut mencari Bobi saat itu juga ke Lubuak Pusaro, padahal tadinya Panji akan menyuruh keluarganya mencari di rumah teman anaknya untuk mengulur waktu sampai Nur menyelesaikan ritualnya.
Panji juga awalnya kaget ketika Bobi dan Rahman juga dikatakan hilang padahal ia hanya merencanakan Nizar sebagai tumbal. Sampai akhirnya kabar Rahman ditemukan sempat membuatnya lega. Namun tak lama, kabar ditemukannya jasad Bobi membuatnya guncang.
Ini diluar dari rencananya, dan terlebih warga sudah berbondong bondong turun ke daerah batang aia dengan membawa lampu dan obor.
Nur tidak bisa melakukan penguburan karena pasti akan menarik perhatian dan rawan ketauan.

Akhirnya Nur dibantu Ramon menaruh jasad Nizar di celah batu dan membiarkan sedikit demi sedikit tubuhnya akan keluar dan ditemukan warga saat Nur dan Ramon sudah kembali ke rumah..
Praktek itu pada akhirnya berhasil. Gasing berhasil diputarkan. Tante Lisa, org paling dicintai Ali menjadi korbannya. Ali begitu stress dan membuat pekerjaannya terbengkalai.
Panji menawarkan diri mengolah aset milik Ali dan berjanji akan memberikan pelaporannya secara transparan. Karena sedang buntu, Ali menyetujuinya dan keinginan Panji pun terwujud.
Sayang, kehadiran seorang ustadz dari Jambi berhasil membongkar rahasia Nur. Nur terdesak dan akhirnya sekarat. Jika bukan karena dihentikan oleh Ahmad, mungkin Nur akan benar benar mati.
Ketika Ramon turun, nadi dan nafas Nur masih ada. Bahkan Nur berbisik.. “Jan kicekan amak masih iduik..” (Jangan katakan ibu masih hidup) pesannya kepada Ramon.
Ketika Ahmad Datuak Mantari turun, Ramon memintanya untuk menjauh agar tanda kehidupan Nur tidak disadari olehnya. Barulah ketika semua penduduk bubar, Panji turun dan membantu perawatan Nur.
Kondisi Nur sudah benar benar payah. Matanya rusak dan beberapa tulangnya sepertinya patah, namun warga tidak boleh ada yang tau bahwa Nur masih hidup. Panji bahkan membuatkan satu buah gubuk di tengah hutan sebagai rumah Nur yang baru.
Sementara itu Ramon disuruh melapor seakan akan Nur sudah dikuburkan dengan harapan Nur akan dilupakan oleh penduduk desa.
Hidup tanpa orang tua dan diintimidasi bahkan dihajar karena “anak dukun” membuat Ramon akhirnya mengalami gangguan mental. Ramon yang tadinya normal akhirnya putus sekolah karena kelakuannya yang semakin aneh dan sering berbicara sendiri.
Nur, Ramon dan Panji berhasil menyimpan dalam dalam rahasia besar itu sampai sepuluh tahun lamanya..
Selama sepuluh tahun itu juga Panji memasang wajah palsunya di hadapan orang lain. Terutama di hadapan Ahmad, Ali, Lisa dan istrinya sendiri, Rina. Ia juga memberikan perhatian berlebih kepada Rahman dan Diana, dua keponakannya dari Jakarta.
Namun ketamakan Panji pada akhirnya membawanya pada ajal. Sepuluh tahun sejak ia memulai praktik biadab ini, Panji sudah mendapatkan incaran korban baru dan iapun sudah memiliki anak kandung lain sebagai persembahannya.
Tapi kali ini, keponakan tercintanya berhasil menggagalkan hal itu. Nur terbunuh oleh seekor harimau dan Ramon berbelok membocorkan rahasia yang sudah terpendam sepuluh tahun itu ke orang orang..

****
Cerita ini hanyalah karangan penulis yang diambil dari urban legend, kisah nyata yang terpisah2 (bukan dialami satu orang) dan cerita masyarakat yang tersebar.
Beberapa sample seperti kasus meninggalnya orang di batang aia, praktik gasing tengkorak, si Jundai dan praktik ilmu hitam lainnya memang pernah terjadi dan bahkan mungkin masih ada hingga hari ini di masyarakat Minangkabau.
Kesamaan nama, lokasi, dan waktu hanyalah kebetulan semata dan tidak merepresentasikan suatu daerah tertentu secara spesifik.
SI JUNDAI LUBUAK PUSARO

-TAMAT-

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with mwv.mystic

mwv.mystic Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @mwv_mystic

Mar 19
Rizkil Watoni, seorang ASN yang BD akibat depresi setelah diperas oknum polisi belasan hingga puluhan juta agar kasus salah pahamnya tidak dibawa ke persidangan.

sebuah utas infografis Image
Image
Image
Read 9 tweets
Feb 2
TRAGEDI KEBAKARAN KERETA BAWAH TANAH DAEGU

Akibat satu orang depresi mencoba melakukan b*n*h diri, 192 nyawa orang lain melayang

a thread Image
Image
Image
Image
Image
Read 10 tweets
Oct 28, 2024
Setelah memotong kemaluan korban hidup hidup dan menampung d4rahnya untuk diminum, pelaku memut1l4si dan menjual daging korban dengan kedok daging sapi. Salah satu pembelinya bahkan sudah mengonsumsinya sebagai olahan rendang hati.

a thread Image
M. Delfi adalah seorang pemuda yang tinggal bersama ayahnya, Basri Tanjung, di Kabupaten Siak, Riau. Sehari hari, ia bekerja serabutan. Terkadang ia membantu ayahnya berjualan sate, kadang mengambil upah sebagai buruh bangunan. Image
Hingga akhirnya ia menjadi karyawan sebuah usaha isi ulang galon. Saat usianya masih sangat muda, 19 tahun, pada Februari 2013 ia menikah dengan Dita yang juga berumur sama dengannya. Namun pernikahan ini kandas hanya 8 bulan setelahnya tanpa sempat memiliki keturunan.
Read 21 tweets
Oct 20, 2024
ABI KUSNO NACHRAN

JURNALIS YANG DIANIAYA HINGGA CACAT PERMANEN PASCA BONGKAR KEGIATAN PERDAGANGAN KAYU ILEGAL DI KALIMANTAN.

a thread Image
Abi Kusno Nachran, merupakan seorang pria kelahiran Pangkalan Bun tahun 1941. Ia berprofesi sebagai jurnalis untuk Tabloid Lintas Khatulistiwa, sebuah surat kabar lokal di Kalimantan.
Tulisan tulisan Abi Kusno sering menyentil para oligarki dan mafia mafia dibalik pembabatan serta penjualan kayu ilegal dari hutan di Kalimantan. Tidak hanya menulis, ia kerap melaporkan hasil temuannya kepada aparat untuk diusut.
Read 18 tweets
Oct 14, 2024
SOTO DAGING MANUSIA DI TERMINAL KAMPUNG RAMBUTAN

a thread Image
Apa jadinya kalau kalian pergi ke sebuah warung soto lamongan, membeli sebungkus soto ayam dan memakannya lalu tiba tiba kalian diberitau kalau warung soto tersebut baru saja digrebek polisi karena menghidangkan soto dengan daging manusia?.. Ilustrasi soto lamongan
Ya, ini bukan potongan adegan film, namun kejadian nyata kasus yang sangat menggemparkan pada masanya : kasus Benget Situmorang dan soto dari daging istrinya.
Read 25 tweets
Oct 7, 2024
KISAH TRAGIS OMAYRA SANCHEZ

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, para relawan hanya bisa menemani Omayra menuju kematiannya setelah tersangkut dan terendam air selama 60 jam.

a thread Image
Pada 13 November 1985, Gunung berapi Nevado del Ruiz di Kolombia meletus. Meskipun tanda tandanya sudah terdeteksi, pemerintah setempat gagal melakukan evakuasi dan berakibat pada jatuhnya ribuan korban. Image
Kota Armero, salah satu daerah paling terdampak, bahkan kehilangan 20 ribu dari total 29 ribu penduduknya. Mereka umumnya tewas akibat banjir lahar yg menerjang kota. Salah satu korban di daerah itu adalah keluarga Omayra Sanchez Garzon, seorang gadis berusia 13 tahun.
Read 19 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(