Melewati Tsunami, operasi militer, tragedi Biak Berdarah. Kini masyarakat masih menyisakan satu perjuangan, mempertahankan tanah ulayat dari klaim LAPAN.
Transaksi bersifat satu arah: Pihak Jakarta bersama aparat keamanan mengumpulkan warga untuk membeli tanah warga. Dan dengan intimisasi, meminta warga membubuhkan tanda tangan.
Masyarakat masih menyimpan catatan kronologi kedatangan pihak LAPAN, TNI/polisi, pemerintah daerah, dll. Termasuk janji-janji manis yang disampaikan pada masyarakat.
Pengalaman dan ingataan traumatik yang dialami masyarakat atas operasi militer, sepertinya dimanfaatkan dalam proses mengambil tanah ulayat untuk bandar antariksa.
Praktik perampasan tanah adat meluas di Papua, benteng terakhir hutan tropis dunia. Ada urgensi peraturan atas pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di setiap kabupaten dan kota di Papua.
Kami menyarikan data hasil survei mahasiswa peserta magang, lalu merangkum cerita mereka. Jam kerja berlebih, upah tak layak, tak ada kontrak kerja, dll.
Ditulis oleh Permata Adinda
Ilustrasi oleh sekarjoget
Survei ini sudah berlangsung sejak Oktober 2021. Beberapa reportase juga telah telah kami sajikan, dan dapat dibaca di projectmultatuli.org dengan tagar #GenerasiBurnout.
Jurnalis Project Multatuli, Charlenne, menelusuri kisah jual-beli konten intim nonkonsesnsual di internet. Dalam penelusurannya, ditemukan setidaknya 250 folder berisi foto dan video perempuan yang diperdagangkan.
Abby, Lia, Asri adalah korban yang mau bercerita kepada Project Multatuli. Ratusan perempuan lain juga menjadi korban. Bahkan konten yang diperjualbelikan, termasuk di dalamnya data nama dan akun medsos mereka.
Dari hasil penelusuran penulis. Ternyata tak sulit untuk mencari akun-akun yang memperdagangkan konten intim nonkonsensual. Mereka beroperasi di Twitter dan grup Telegram. Harganya juga relatif tidak mahal.
Di Hari Perempuan Sedunia 2022 ini, kami ingin mengajak kamu untuk mengisi survei tentang penanganan kekerasan seksual di tempat kerjamu dan akan menjadi sumber informasi untuk serial reportase di Project Multatuli.
Fadiyah Alaidrus saat ditawari menulis tentang kekerasan seksual di lingkup kerja, merasa lelah dan sakit kepala karena kasus KS yang terus bermunculan. Tapi, banyak orang yang merasakan keresahan yang sama, hingga ia menyanggupinya.
Warga Wadas mengira dengan berlindung di sebuah masjid, mereka akan merasa tenang atau selamat. Tapi, polisi tetap bertindak represif, menangkap paksa warga Wadas penolak tambang.
“Pintu kamar didobrak sampai rusak. Leher saya dipiting. Saya diseret-seret oleh orang banyak. Baju saya sampai robek-robek. Padahal saya tidak ngapa-ngapain,” kisah Nurhadi.
“Awalnya saya ngaji. Didatangi lima laki-laki. Semua tidak berpakaian seragam, badannya besar-besar. ‘Mbak, ayo ikut kami, ayo manut saja daripada dipaksa. Sudah jangan banyak ngomong.’ Akhirnya saya ditarik dari pemakaman ke jalan,” kisah Sriyana.
Usai peristiwa pengepungan oleh aparat di Desa Wadas, Ganjar Pranowo datang untuk meminta maaf. Warga yang menolak tambang menyambut dan menyajikan hasil bumi Wadas, meski sebelumnya polisi-polisi mengepung desa dan menangkap warga.
Aneka hasil bumi diletakkan di tengah serambi masjid, di antara ratusan warga penolak tambang. Durian, rambutan, pete, pisang, kemukus, kopi, gula aren, dll. Menunjukan bahwa mereka sudah kaya dengan hasil bumi, bukan dari tambang.
Suasana haru penuh isak tangis sempat menyelimuti pertemuan itu, ketika mendengar cerita Sriyana tentang dua anaknya yang mencari ibunya yang harus menginap di Polres Purworejo. Sementara suaminya lebih dulu ditangkap sejak pagi hari.
Melalui kekuatan bahasa, mereka yang memiliki kekuasaan dan pengaruh, mencoba menggeser konflik vertikal antara warga Wadas yang menolak tambang dengan aparat kepolisian, menjadi konflik horizontal antar warga.
Perkara main kata bukan sekadar ceplosan kosong, ini perkara serius. Orde Baru pernah menggunakan dan menguasai bahasa untuk mengukuhkan kekuatan dan tujuannya.
Mulai dari pejabat publik, aparat kepolisian, hingga media massa, melalui bahasanya, mengatakan bahwa pengepungan Desa Wadas pada 8 Februari 2022 lalu sebagai konflik antara warga yang pro dan kontra penambangan. Meniadakan konflik vertikal.