mwv.mystic Profile picture
May 30, 2022 268 tweets >60 min read Read on X
ASTANA RATU ANJANI 2
Versi Jani

Misi Rahasia Dibalik Pendakian Gunung Rinjani

based on true story

a thread Image
Sebelum memulai cerita ini, bagi mwvers yang belum membaca versi pertama, dengan sudut pandang Rama, threadnya bisa teman teman baca disini :

Astana Ratu Anjani 2
Versi Jani

Halo semuanya, salam kenal, aku Jani. Kalian mungkin sudah baca pengalamanku bersama Rama di gunung kesayanganku, Rinjani. Sejujurnya, aku tidak menyangka antusias tinggi kalian terhadap cerita kami berdua,
sampai-sampai banyak yang kepo dan mencari cari akun instagramku. Rama yang cerita ke aku sambil marah-marah karena orang orang mengira Jani adalah salah satu following Rama dengan nama yang sama. Hahaha.
Terima kasih ya, kalian sudah buat Rama kesel dan juga terima kasih banyak untuk antusias kalian membaca cerita kami. Tapi maaf sebelumnya, aku tetap pada pendirianku sejak awal, aku tidak ingin di publish dan diketahui orang banyak.
Cukuplah kalian tau namaku dan kisahku bersama sahabat terbaikku. Salam sayang untuk kalian semua.

Kali ini, sepertinya giliranku yang share cerita kami di Rinjani dengan versi sudut pandangku.
Mungkin dengan ini akan menjawab banyak pertanyaan seputar hal hal yang Rama tidak ketahui dan tidak sebutkan di cerita versinya. Semoga kalian suka versi lain dari pendakian yang terjadi di tahun 2013 kami ini…
Pamulang, 2013

Hari itu moodku sedang kurang bagus. Mantanku, Ivan, masih merengek mengajakku untuk kembali berpacaran dengannya, padahal kami sudah putus tiga bulan yang lalu.
Segala cara dia lakukan untuk terus mendapat perhatianku, mulai dari mengajak mengerjakan skripsi bareng, sampai mengajakku naik ke Rinjani lagi..

Rinjani.. Entah mengapa, tiba-tiba aku ingin membaca ulang catatan kecil pendakian pertamaku ke Rinjani.
Akhirnya kuputuskan untuk mengambil diaryku, kupikir dengan membacanya, kekesalanku pada Ivan bisa sedikit teralihkan.

Begitu kubuka lembarannya, sebuah foto terjatuh. Kupandangi foto itu sekilas, lantas sebuah senyum tersungging di bibirku.
Sebuah foto yang entah sudah berapa lama terselip di dalam lembar diaryku.
Sebuah foto yang diam-diam sering jadi teman tidurku, pelampiasan emosiku sekaligus sering menjadi mood boosterku.
Foto dengan filter hitam putih yang mengabadikan diriku bersama seorang cowok berjaket biru dongker, bercelana pendek, berkacamata kotak, berkumis dan brewok tipis rapi dengan latar Gunung Baru Jari dan Danau Segara Anak.
Segera kuambil foto itu dan kubalik, ada sebuah tulisan yang terbilang cukup rapi di lembar belakang, dengan kalimat..

“Awal keapesan dunia gue! -Si Keren Rambo-”.

Seketika aku tersenyum mengingat kembali momen itu.
Tanpa berpikir panjang, segera kuselipkan kembali foto itu ke dalam diary, beberapa saat kemudian kuambil ponselku dan mengetik sebuah pesan yang tiba tiba saja terpikirkan di kepalaku.
“La, si Rama ada di Coftof ngga?” tanyaku kepada Ela, salah seorang barista di coffee shopnya Rama.

“Ada nih kak, lagi ngajarin latte art yang baru ke anak anak. Kak Jani ngga kesini?” balasnya.

”ni gue mau siap siap kesana. Tapi ngga usah bilang Rama yak!” kataku.
“Oke Kak Jani. Ela tungguin yaaa” ujarnya diakhir chat kami.

Aku bergegas bangun dari kasurku dan mengambil cardigan coklat muda kesayanganku, lantas kukenakan menutup tanktop hitamku. Tak lupa kuganti hotpantsku dengan legging.
Lalu aku keluar kamar dengan sedikit terburu-buru, melangkah ke ruang tengah untuk mengambil kunci motor. Namun ternyata kunci motorku tidak ada di tempatnya.
“Ayaahh…liat kunci motorku nggaa…??” tanyaku setengah berteriak pada cowok kesayanganku yang tadi kulewati sedang melahap nasi padang di meja makan ketika aku keluar kamar.

“Kayanya motormu dipake sama Prabu deh...” jawab ayah santai.
“Ah elaahh…kebiasaan banget siihh ngga bilang-bilang dulu kalo mau make motorku, udah punya motor sendiri juga!” gerutuku kesal sambil berjalan menghampiri ayah.
“Udah kamu pake mobil ayah aja nih. Mau kemana sih? Palingan ke Cofee tofee kan?” kata ayah begitu aku sampai di meja makan sambil menyerahkan kunci mobilnya.
“Hahaha, iyaaa. Emang ayah ngga ada jadwal flight hari ini? Mobilku kapan keluar dari bengkel sih, Yah?” tanyaku sambil mengambil kunci mobil dari tangan ayah.
“Nggak kok, ayah lagi minta off. Mobil kamu lusa selesai. Perasaan baru kemaren ke Coftof. Udah kangen lagi sama dia?” jawab ayah sekaligus menggodaku dengan senyum tipis disela kunyahan nasi Padang yang beliau makan.
“Idih, najong deh kangen sama manusia aneh begitu! Ngga! Yaudah Jani pamit ya Yah. Dah ayaaahh...” kataku berbohong dan lantas pergi meninggalkan ayah setelah mencium tangan dan mengecup pipinya.

“yaaa.. hati hati ya” ujar ayah sambil membiarkanku pergi.
Sekitar setengah jam kemudian aku sampai di sebuah coffee shop yang sudah hampir setahun belakangan ini memiliki tempat tersendiri di hatiku.
Coffee Shop dua lantai dengan aura menyenangkan dan menenangkan, baik dari ambience tempatnya, barista-baristanya yang selalu ramah dan bisa melayani pelanggan dengan pendekatan personal, playlist lagu-lagu yang diputar setiap harinya dan tentu saja, last but no least...
pemiliknya yang dengan berat hati harus kuakui menjadi alasan besar kenapa aku kesini lagi hari ini.

Tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Bagiku dan duniaku, coffee shop ini dan pemiliknya, Rama, seperti oase ditengah hidupku yg lumayan berantakan satu setengah tahun belakangan.
Aku pun turun dari mobil ayah dan melangkahkan kakiku masuk ke dalam coffee shop tersebut. Mataku langsung tertuju pada sesosok cowok yang sedang duduk di sofa single paling depan, dengan posisi membelakangiku. Seperti biasa, dia sedang membaca buku.
Tanpa basa-basi kudaratkan sebuah kecupan di pipinya. Aku tahu dia pasti sebel dengan kelakuanku yang asal-asalan dan ngga tahu malu itu. Tapi itu memang tujuanku : membuat dia sebel dan malu.
‘Cup!’ secara refleks Rama menegok ke samping, tepat ke arahku yang sudah menyengir lebar menyambut wajah kikuknya.

“Anjrit! Wehh?? Jono???” kalimat itu terucap darinya dengan setengah berteriak. Aku pura-pura kesal dan langsung memukul kepalanya pelan.
“JA-NI! JAAA—NII” ujarku mengoreksi namaku sendiri. Mendengar itu, bukannya meminta maaf, Rama malah menggeleng sambil tertawa,

“Gamau! Pokonya Jono!” kata Rama yang tetap enggan memanggil nama asliku.
Aku lalu berpindah ke samping Rama dan segera merebahkan badanku di sofa panjang.
“Ngapain lo ke sini? Sana pulang lo ah, entar sepi warkop gue kalo ada lo” kata Rama dengan tengilnya. Ya memang begitulah Rama, tengil dan mengesalkan memang, tapi justru itu yang bikin dia punya banyak sekali teman yang pada akhirnya “terbiasa” dengan sikapnya itu.
“Ogah! Numpang tidur yak. Ngantuk abis ngerjain skripsi kayak tai kucing ngga abis abis” sahutku berbohong, padahal moodku berantakan karena mantanku Ivan, aku tidak memperdulikan para barista dan beberapa tamu lain yang melihat tingkahku sambil tertawa.
Rama hanya geleng geleng kepala melihat kelakuanku. Sesaat kemudian, Rama bangkit dari sofa yang jadi singgasananya dan masuk ke dalam coffee bar. Aku tahu, pasti dia akan meracik minuman kesukaanku, ice chocolate banana.
Walaupun kelakuannya tengil dan begajulan, tapi sikapnya sering kali penuh perhatian kecil. Ini juga yang membuat dia memiliki banyak teman perempuan sepertiku. Aku yakin sih, yang bukan sekedar teman juga banyak. Bahkan teman perempuan dari dunia ghaib pun dia punya...
Rama sering sekali menceritakan Rimbun padaku, terutama kalau mereka berdua sedang berdebat. Aku selalu tertarik mendengar kisah persahabatan mereka dari cerita Rama. Ya, walaupun aku belum pernah sekalipun bertemu Rimbun, tapi entah kenapa aku bisa merasakan keberadaannya.
Seperti saat ini. Kurasakan ada energi lain yang berada tepat disampingku. Sensasi yang ditimbulkan sedikit aneh. Rasanya seperti ada aliran listrik statis yang mengenai badanku dan membuat rambut rambut halus di badanku berdiri pelan.
Tidak berapa lama kemudian, Rama kembali. Dan sesuai dugaanku, ditangannya kini ada segelas ice chocolate banana kesukaanku. Aku tersenyum kegirangan.

“Yeee, sini minuman gue sini” kataku, lagi lagi tanpa tau malu.
“Bentar gue aduk dulu” kata Rama sambil mencelupkan jari telunjuknya ke dalam minuman dan memutar mutar jarinya itu di dalam minuman. Aku geleng geleng kepala sendiri melihat kelakuannya.
“Jorok banget lo, Mbooo!!!” teriakku sambil menarik minuman dari tangannya dan dengan santai langsung meminumnya. Kali ini giliran Rama yang geleng geleng kepala melihat kelakuanku..
Ya, aku memang sesantai itu. Mungkin lebih ke arah cuek dan bodo amat ya. Aku tidak seperti perempuan lain yang gampang jijik-an.
Seperti dua teman yang sudah lama ngga ketemu, kami langsung mengobrol, bercanda dan saling ejek satu sama lain.
Padahal baru beberapa hari yang lalu kami bertemu.

Sampai akhirnya aku menyampaikan rencanaku yang memang sudah kupersiapkan dari satu bulan yang lalu,
“Mbo, ke Rinjani minggu depan yukkk” ajakku.

“Ogah ah, bosen. Baru tahun kemarin kan kesana. Kerinci aja yuk ah” sahut Rama.
“Yah elo mah belagu amat mentang mentang udah tiga kali kesana. Ayo dong Mboo, temenin gue remedi siiih” aku pura pura merengek, karena aku tau, Rama paling sebel denger rengekan perempuan.
Rama terlihat ragu. Sepertinya dia memang sangat ingin ke Kerinci waktu itu. Aku teringat beberapa hari yang lalu saat Rama dengan serius membahas rencana pendakian ke Kerinci bersama teman-teman Mapala nya.
“Ayo doong, ngga kangen lo ama Pak Saat? Tiket gue bayarin deh nih. Temenin gue pliss” aku terus merengek. Kali ini sambil menoel noel lengannya.
“Yah kalo sama Pak Saat ya jelas kangen lah. Tapi lo kenapa ngebet banget sih pengen remedi? Pengen ketemu kembaran lo Ra-tu An-ja-ni disana?” tanyanya.

Pertanyaan itu sedikit membuatku terhentak, ‘Haruskah kuceritakan alasanku sekarang?’ pikiranku bergejolak.
“Ho’oh Mboo” pada akhirnya hanya jawaban itu yang terucap dari mulutku untuk menutupi semuanya.

“Hadehh…yaudah gue temenin”. Yes! Akhirnya, seperti yang sudah kuduga, Rama mau mengalah dan bersedia menemaniku remedi ke Rinjani.
“Nah, yuk jalan!” ajakku sambil menarik lengan Rama sambil menghabiskan sisa minumanku tadi.

“Lah jalan kemana?? Kan kata lo minggu depan..” tanya Rama kaget.
“Ya ke rumah gue dulu lah. Lo ngomong ke Ayah biar gue diizinin. Yuk Rimbun mau ikut juga? Yuk yuk” jawabku enteng sambil membuat gerakan tangan seakan akan mengajak Rimbun. Padahal aku ngga tau dia ada dimana saat itu.
“Si monyet, lo belom izin??” tanya Rama keheranan. Aku menggeleng kecil lalu ketawa.
Ga susah sebenarnya untuk aku dapatkan izin pergi berdua dengan Rama. Terlebih ayah tau persis, Rama lah yang menyelamatkan nyawa anaknya setelah ditinggal “si monyet”, panggilan ayah ke mantan pacarku yang tega ninggalin anaknya hipo di pendakian tahun lalu.
“Oke boleh, gue titip anak gue ya Ram” pesan ayah setibanya kami di rumah dan menjelaskan rencana kami mendaki.

Rama melirik ke arahku yang tengah tersenyum lebar. Remediku akan terlaksana dan cita citaku menginjakan kaki di Astana Ratu Anjani akan terwujud dalam waktu dekat.
Aku yakin, bersama manusia ngga berakhlak ini, aku pasti bisa menggapai Puncak Rinjani.

Setelah mendapatkan izin ayah, kamipun kembali ke coffee shop Rama, saat itu juga Rama langsung mengajakku menyusun ROP untuk perjalanan kami ke Rinjani pekan depan.
Tak lupa, Rama langsung mengontak rekan rekannya yang ada di Lombok sebagai tambahan personil sekaligus membantu kebutuhan yang kami perlukan disana.
Selesai membuat ROP, memberi kabar rekan rekan dan memesan tiket, aku kembali pulang ke rumah dengan perasaan lega dan tenang.

“Cieee yang mau honeymoon ke Rinjani…” goda ayah saat aku masuk ke dalam rumah.
“Apaan sih Yah!? Amit amit deh honeymoon sama playboy kayak Rama” sautku sewot. Ayah memang lagi seneng senengnya ngeledekin aku sama Rama.

“Setidaknya si playboy cere itu tanggung jawab sama keselamatan kamu. Ngga kaya si monyet” ledek ayah lagi.
Kalimat ayah itu terasa menusuk hatiku.

“Bodooo! Udah ah aku mau ke kamar dulu” pamitku pada ayah.
Setibanya di kamar, aku langsung merebahkan diriku di atas kasur.
Sejenak kemudian, kumiringkan badanku ke arah meja kecil di samping kasurku, kubuka lacinya dan kuambil sebuah batu berwarna putih susu dengan corak warna warni kecil kecil ditengahnya.

Tanpa Rama tau, inilah alasanku mengajaknya untuk kembali ke Rinjani..
Pikiranku tiba tiba melayang, memutar kembali memori pertemuan pertamaku dengan Rama. Setahun lalu, di jalur summit Rinjani…

***
Aku ngga tau kenapa semesta mempertemukanku dengan cowok ini. Namanya Rama, kami bukanlah teman lama atau tinggal di tempat yang berdekatan.
Jarak rumahku dengan rumahnya saja terpaut hampir satu jam, walau masih dalam satu wilayah kota yang sama. Pertemuan pertama kami terjadi sekitar setahun yang lalu saat aku berada di jalur summit Rinjani.
Aku tidak akan pernah lupa moment pertemuan kami. Pendakian pertamaku ke Rinjani bersama pacarku saat itu, yang seharusnya menjadi moment yang indah, tiba tiba berubah jadi moment yang mengerikan.
Semuanya berawal saat aku tanpa sengaja menemukan sebuah batu berwarna putih susu dengan corak warna warni di tengah jalur summit.
Kata seorang temanku, entah benar atau tidak, kalau kita menemukan sesuatu yang unik selama pendakian di trek antara Plawangan Sembalun sampai ke Puncak Rinjani, tandanya kita disambut oleh Ratu Anjani.
Ketika aku melihat batu yang unik itu, seketika aku bepikir ini adalah cara Ratu Anjani menyambutku. Tanpa berpikir panjang, langsung kupungut batu itu dan kumasukkan ke dalam saku jaketku.
Tak berapa lama setelahnya, beberapa keanehan mulai terjadi. Badanku yang tadinya fit dan segar bugar, tiba tiba menjadi lemas. Aku seperti kehilangan separuh tenagaku. Sedikit sedikit aku minta break pada pacarku dan teman temanku.
Belum lagi badanku yang tiba tiba merasa sangat kedinginan. Padahal sebelumnya aku masih baik baik saja.

Buat yang berpikiran aku adalah pendaki amatiran sehingga tidak mampu menahan dingin dan tidak memiliki stamina yang kuat, jujur Rinjani bukanlah gunung pertamaku,
aku sudah pernah summit ke beberapa gunung di tanah Jawa, sebut saja Slamet, Ceremai, Merbabu dan terakhir Semeru. Selama pendakian pendakianku itu aku tak pernah sekalipun merasakan kedinginan sehebat ini.
Akibat kondisiku yang lemah dan mulai mengulur ulur waktu pendakian, rencana summit tim kami jadi terganggu.
Aku memperlambat pergerakan tim menuju puncak. Tim pendaki lain yang tadinya berada di belakang tim kami, satu per satu mulai menyusul kami.
Sepertinya kami jadi tim paling belakang sekarang. Belum lagi setelahnya, aku seperti merasa diikuti oleh sosok tak kasat mata yang seolah olah sedang berbicara padaku dalam bahasa yang tidak kumengerti.
Saat kondisiku terus menurun, pacarku, yang harusnya menjagaku, justru memintaku untuk berhenti dan menyerah saja untuk mencapai puncak. Bukan hanya menyuruhku berhenti ditengah jalur dan menunggu mereka kembali dari puncak, dia juga menyuruhku turun kembali ke-
-tenda di Plawangan Sembalun, ‘mumpung belum jauh’ katanya. Aku tersentak mendengarnya. Padahal sebelumnya dia berjanji akan menemaniku hingga menginjakkan kaki di titik tertinggi Rinjani.
Puncaknya, dengan egoisnya dia memilih melanjutkan pendakian ke puncak bersama teman temanku dan aku ditinggal sendiri dengan kondisi badanku yang lemah dan menggigil.
Egoku terpancing, aku sudah tidak peduli lagi dengan keinginanku bersanding di puncak Rinjani yang konon katanya adalah istana tak kasat matanya Ratu Anjani.

Merasa terus disudutkan sebagai beban rombongan dan membuat team gagal summit oleh pacarku sendiri, aku melawan balik-
-dengan caraku sendiri. Bukannya meminta salah seorang anggota tim untuk menemaniku turun, justru aku bilang pada mereka bahwa aku bisa turun sendiri dan mempersilahkan mereka melanjutkan pendakian agar tidak sia sia.
Bodoh. Yang aku pikirkan saat itu adalah bagaimana menutup mulut pacarku dan membuktikan bahwa aku bukanlah beban yang akan mengacaukan rencana.

Namun, walaupun sudah kusindir begitu, nyatanya pacarku benar benar meninggalkanku dan melanjutkan perjalanannya tanpaku.
Akhirnya, dengan sisa tenaga yang aku punya, aku memutuskan untuk turun kembali ke tenda. Jujur aku sebenarnya tidak kuat. Dalam hati aku berharap, semoga ada pendaki lain yang juga memutuskan untuk turun, sehingga setidaknya aku punya teman untuk turun, tidak sendirian.
Sebelum turun lebih jauh, aku memilih untuk mengistirahatkan tubuhku dulu sejenak. Aku menepi dari jalur utama pendakian dan duduk disana. Dalam kondisi minim pencahayaan, tiba-tiba mataku menangkap beberapa sosok makhluk yang membuat bulu kudukku berdiri..
Jangan kira aku melihat sosok kuntilanak atau pocong seperti di film film horror, hal itu sudah menjadi hal biasa bagiku dan teman teman lain dalam dunia pendakian. Mereka adalah jin kelas bawah yang memang cuma menakut nakuti mental pendaki.
Tapi yaang aku lihat kali ini justru benar benar berbeda..
Aku melihat sekelompok wanita berpakaian dayang berdiri beberapa meter di depanku diantara dahan dahan pohon. Saking tidak percayanya, ku mengucek ngucek mataku, memastikan apa yang kulihat itu nyata..
Setelah itu aku menampar pipiku pelan untuk memastikan bahwa aku tidak terkena hipotermia atau mountain sickness yang membuatku berhalusinasi. Namun setelah sekian tamparan dan kucekan mata, mereka masih ada disana dan bahkan, perlahan mereka mulai bergerak mendekat..
---akan dilanjut besok yaa--- buat yang mau baca duluan bisa ke Karyakarsa di link berikut :

karyakarsa.com/Mwvmystic/asta…
Aku panik dan bingung harus berbuat apa saat itu. Haruskah aku teriak supaya pacarku dan teman temanku kembali? Tapi pikiranku seperti kacau dan malah memikirkan hal lain..
Bagaimana nanti jika aku teriak dan mereka kembali tapi ternyata mereka semua tidak lihat dayang dayang ini??

Terlebih bagaimana jika nanti mereka malah mengejek aku lagi dan kembali menyalahkanku sebagai alasan gagalnya mereka summit??
Akhirnya kuputuskan untuk menghadapi sosok sosok itu sendirian. Aku pejamkan mataku, lidahku mulai membaca doa doa dan ayat suci yang aku hapal dengan gigi yang bergemeretak menahan dingin dan kaki yang sudah tidak sanggup lagi berlari untuk menjauh..
Ketika aku membuka mataku, aku berharap mereka sudah menghilang.. Tapi ternyata aku salah. Semakin aku berdoa, mereka semakin bergerak mendekatiku. Bahkan kini mereka berpencar mengelilingiku...
Dengan keberanian yang masih tersisa, kuperhatikan wajah dayang dayang itu. Wajah mereka cukup cantik, jauh dari kata seram dan tidak terlihat pucat seperti sering digambarkan orang orang yang mengaku pernah melihat atau bertemu bangsa jin. Hanya saja..
Hanya saja posisi mata, hidung, bibir mereka asimetris... Wajah mereka terlihat cacat dengan kondisi kerusakan wajah yang berbeda beda..
Ada yang mata kirinya lebih tinggi sebelah, ada yang mata kanannya agak menurun, ada yang jarak kedua matanya sangat rapat bahkan seperti akan menyatu, ada yang hidungnya bengkok, ada yang bibirnya terlalu dekat dengan dagu,
ada juga yang bibirnya nyaris menempel dengan hidung dan yang paling aku ingat, pupil mata mereka semua bukan berwarna hitam atau coklat seperti orang Indonesia kebanyakan, tapi berwarna hijau gelap dengan titik kuning di tengahnya.
Satu hal lagi yang baru aku sadari, telinga mereka semua bentuknya seperti telinga kucing dengan ujung runcing. Aku bergidik dan terus beristighfar disela sela jantungku yang terus berdebar kencang.
Tanpa kusadari, mereka semua sudah mengelilingiku dengan jarak yang tidak terlalu dekat, Aku masih membisu dan meneruskan bacaan bacaan doaku..

Lalu tiba tiba saja serentak mereka semua mulai menggerakan tangan mereka.
Melakukan gerakan tarian Tandang Mendet, tarian khas Lombok yang begitu ku kagumi. Aku paham karena aku kuliah di jurusan Seni Tari, dan aku hapal beberapa gerakan khas tarian itu. Bedanya mereka tidak membawa tombak, klewang dan alat perang lainnya. Hanya selendang saja...
Namun gerakan menari mereka sangat aneh dimataku, tanpa adanya suara musik atau semacamnya, tarian mereka tidak menunjukkan keindahan dan justru mengerikan.. gerakan anggota tubuh mereka seperti patah patah dengan sendi sendi mereka tidak bergerak seperti batas gerakan normal..
Lama kelamaan gerakan mereka semakin cepat namun tetap dengan patah patah.. Sampai akhirnya, di satu moment kulihat mereka semua melakukan gerakan memutar kepala 360 derajat! Aku terpekik dan tanpa sadar berteriak

“PERGIIIIII !!!!!!!”
Aku meringkuk menghindari pandanganku dengan mereka. Beberapa detik berikutnya, saat aku mengangkat kepalaku lagi, mereka sudah menghilang.
Aku buru buru bangkit dan melangkah cepat untuk kembali ke tenda. Sambil berusaha fokus kembali menuju jalur utama untuk turun, dari jauh kulihat titik titik cahaya dari jalur di bawahku. Sepertinya senter. Berarti ada beberapa pendaki yang akan naik, seketika aku merasa lega..
Namun, belum sampai di jalur utama, aku disuguhkan pemandangan aneh lainnya. Aku melihat sesosok makhluk aneh lainnya..

Ya Tuhan....
Makhluk yang kulihat ini hanya setinggi anak Sekolah Dasar, namun bentuknya begitu mengerikan. Seluruh tubuhnya diselimuti sisik berwarna hijau tua dan berlendir. Matanya kuning dengan pupil berwarna merah tua kehitaman. Rambutnya ikal acak-acakan dan gondrong.
Bibirnya tebal, lengkap dengan dua buah taring berwarna gading, tapi posisi taringnya bukan di kiri kanan seperti taring manusia atau hewan umumnya, taringnya ini ada di posisi tengah. Telinganya runcing namun menjuntai kebawah..
Makhluk itu juga memiliki buntut seperti buntut sapi yang ukuran panjangnya aku kira melebihi tinggi tubuh makhluk itu..
Yang paling mengerikan, saat aku lihat makhluk itu, dia sedang berjongkok dan seperti sedang memakan sesuatu yang entah apa itu. Langkahku yang tengah bergerak turun seketika terhenti ketika berhadapan dengan makhluk aneh itu. Refleks kubaca doa doa sebisaku.
Karena gerakan badanku yang berhenti tiba tiba itu, sepertinya membuat makhluk itu menyadari kalo aku bisa melihatnya. Dia yang tadinya sedang sibuk memakan sesuatu, tiba tiba berhenti mengunyah dan mendelik ke arahku. Mataku dan matanya bertemu.
Sejurus kemudian, makhluk itu menyeringai, menampakkan deretan giginya yang tidak beraturan berwarna gading kecoklatan dengan sisa liur menetes dari setiap giginya..
DEG! Jantungku seperti berhenti seketika. Seluruh badanku gemetar dan -entah bagaimana, aku kehilangan seluruh tenagaku. Aku terjatuh dengan posisi duduk, pandanganku mulai kabur, kepalaku sakit, perutku mual, punggungku terasa pegal.
Dengan sisa kesadaranku, kurapalkan doa doa yg aku bisa.
Melihatku dalam keadaan seperti itu, makhluk itu mulai tertawa puas. Tawanya aneh, seperti suara kakek kakek terkekeh tapi dengan nada dan intonasi tinggi. Telingaku berdenging karena tawanya seperti menggema di kepalaku.
Belum selesai ketakutanku, tiba tiba entah darimana muncul satu makhluk aneh lagi. Kali ini berbentuk hewan. Badannya persis seperti kuda, dengan corak coklat pekat dan putih yang abstrak, namun kepalanya adalah kepala anjing hitam dengan dua titik putih di atas matanya
yg berwarna merah seluruhnya.. Telinganya berdiri tegak dan kaku, persis seperti tanduk dengan rambut halus diujungnya. Sosok ini tiba tiba saja keluar dari rerimbunan pohon dan bergerak pelan mendekatiku dan sosok seukuran anak SD tadi..
Aku mulai menangis. Badanku sudah tidak bisa lagi ku kontrol, aku semakin gemetar hebat dalam posisi duduk. Aku hanya bisa merapatkan kakiku. Makhluk berwujud setengah anjing setengah kuda itu mulai mengeluarkan suara yang juga aneh. Melolong tapi dengan suara ringkikan kuda.
Aku pasrah dikelilingi kedua makhluk yang baru pertama kali kulihat seumur hidupku. Aku bahkan tidak tau apakah ini berarti aku ada di dalam jin dan tidak bisa lagi ditemukan oleh orang orang lain yang mungkin mencariku.
Aku semakin putus asa ketika kulihat dua makhluk tersebut berjalan mendekat dengan langkah perlahan dengan tatapan yang mengintimidasi, seolah mereka ingin menjadikanku santapan mereka.
Tangisku semakin deras, tapi anehnya tidak ada suara yang keluar dari tenggorokanku. Dalam hati aku berharap kejadian ini hanya mimpi, tapi ternyata aku salah...
Ditengah keputusasaanku, lagi lagi muncul satu makhluk aneh dan paling besar diantara yang lainnya. Makhluk ini bertubuh tinggi besar, jauh lebih besar dari kedua makhluk tadi. Dari bentuk tubuhnya, sepertinya sosok itu adalah sosok perempuan.
Warna kulitnya merah tua dengan kerutan berwarna hitam. Aku tidak akan pernah lupa wajahnya. Sosok ini bermata kuning yang posisinya tidak simetris, memiliki tanduk kecil di keningnya dan ia menyeringai dengan deretan giginya yang berupa taring semua,
membuatku menelungkupkan wajahku diantara kedua lututku.
Aku bisa merasakan kalau mahkluk ini melayang mendekatiku. Tapi anehnya, walapun sebenarnya aku ngga bisa melihat jelas, aku bisa merasakan kalau kedua makhluk yang berusaha mendekatiku lebih dulu tadi justru-
-pergi menjauh setelah kemunculan sosok besar berwarna merah ini.
Aku menggigil hebat. Entah karena kedinginan atau saking ketakutannya. Belum pernah seumur hidupku aku merasakan rasa takut seperti ini.
Doaku sudah tak beraturan, ayat ayat suci seketika hilang dari hapalanku, dan kini yang bisa kusebut hanya kata “Allah…Allah…Allah…”

Lalu tiba tiba saja..
“Mbak…Mbak…” sayup sayup kudengar suara seorang cowok diiringi dengan tepukan lembut di pundakku. Aku masih tidak bergeming.

“Mbak…” suara itu terdengar lagi disertai tepukan lembut dipundakku beberapa kali. Kesadaranku perlahan mulai kembali.
Walaupun badanku masih menggigil, aku sudah bisa mengangkat pelan kepalaku. Saat itu kulihat wajah sesorang cowok dengan raut wajah khawatir dihadapanku. Rasa takutku hilang dalam sekejap, berganti rasa lega bahwa aku bertemu orang lain dan bukan jin lainnya.
“Mbak sendirian?” tanyanya masih dengan muka khawatir. Aku ingin menjawabnya, tapi sepertinya aku masih shock dengan kejadian yang baru aku alamin, suaraku tercekat, tertahan di tenggorokanku. Alhasil aku hanya bisa mengangguk lemah.
“Mbak mau naik atau turun?”

“Turun..” ujarku lirih namun kembali tidak ada suara yang keluar dari mulutku walaupun aku sudah memaksa untuk berbicara. Dengan sigap cowok itu melepas jaket yang ia kenakan dan menyelimutinya ke badanku.
“Mbak maaf, saya bantu turun ya, saya gendong aja. Gapapa ya mbak?” tanyanya lembut. Tanpa terasa air mataku meleleh lagi. Aku hanya bisa mengangguk lemah.

Cowok itu langsung membalikkan badannya memunggungiku. Dengan sisa tenaga, aku naik ke punggungnya.
Ia pun bangkit dan tanpa banyak bicara langsung berjalan menggendongku turun. Ada rasa bersalah menyelinap dalam hatiku karena sudah menyusahkan orang lain, tapi apa daya, badanku masih tidak mau diajak kompromi.
Ditengah perjalanan turun kembali, kulihat dia mengambil handie talkie yang tadinya terselip di pinggangnya.

“Cek, team. Sorry ya. Gue harus balik ke Plawangan duluan, ada yang hipo di jalur. Nanti gue ceritain di bawah. Selamat bersanding di Astana Ratu Anjani ya semua.-
-Sorry ngga bisa nemenin. Bang Yon, gue titip anak2 yaa. Hati hati”cowok itu mengabari rekan2nya. Dadaku sesak mendengar kalimat Astana Ratu Anjani. Harusnya aku kesana hari ini bersama yg lainnya, dan bukan digendong pria asing seperti sekarang ini. Lagi² air mataku meleleh.
“Mbak kalo mau nyender kepalanya nyender aja gapapa” kata cowok itu singkat. Aku tersenyum. Kurebahkan kepalaku di pundaknya. Kamipun terus turun dalam keheningan Rinjani.
Sesampainya di tenda, dia langsung memasukkan badanku ke dalam sleeping bag.
“Mbak maaf ya sementara di tenda tim saya dulu. Saya ngga tau tendanya mbak yang mana. Nanti kalo temen-temennya udah turun, baru saya anter ke tendanya mbak ya. Tenang aja saya ngga niat macem macem kok” jelasnya panjang lebar berusaha menenangkanku-
-yang masih menggigil sesampainya kami di tenda.

Lantas ia membungkus tubuhku dengan sleeping bag. Dia juga membuatkanku air hangat dan meminumkannya berkali kali sambil mengusap usap tangannya ke telapak tanganku.
“Maaf ya, pinjem dulu tangannya” katanya sambil terus mengusap jari jemariku.

‘Minta maaf mulu ni orang, selow aja kali…’ batinku. Ingin rasanya aku bilang seperti itu ke dia, tapi akhirnya aku hanya mengangguk lemah.
Beberapa menit berikutnya, perlahan kondisiku mulai stabil dan suhu tubuhku kurasakan mulai menghangat.

“Udah mendingan? Saya tinggal ke depan bikin perapian sebentar ya” tanyanya ramah beberapa saat setelah merawatku. Aku mengangguk, kali ini kusertai sebuah senyuman.
Dia kemudian berinisiatif membuat perapian kecil untuk menghangatkan lingkungan sekitar tenda. Kondisi badanku kini sudah semakin baik. Setelah kurasa tenagaku kembali pulih dan tidak semenggigil tadi, aku bangun dan mengeluarkan kepalaku keluar tenda.
“Eh? Kenapa keluar? Diluar dingin. Dalem aja. Bentar ya, saya lagi bikin susu coklat. Nanti diminum ya”

“I’m fine” jawabku singkat. Sepertinya itu kalimat pertama yang kuucapkan sejak pertemuan kami tadi. Dia pun tersenyum.
Setelah perapian jadi dan susu hangat siap, dia masuk ke dalam tenda sambil memberi susu itu kepadaku.

“Makasih ya mas. Maaf saya jadi ngerepotin. Karena saya, Mas jadi gagal muncak deh ya...” ucapku berterima kasih dengan nada suara yang bergetar.
“Oh, santai santai. Saya udah pernah muncak kok” jawabnya ringan.

“hmm.. Oh iya, Jani” kataku singkat sambil mengulurkan tanganku.

“eh iya, Rama” jawabnya sambil nerima uluran tanganku.
Menit-menit berikutnya kita habiskan buat ngobrol di depan perapian. Dia tanya tanya kenapa aku bisa sendirian disana, kemana teman-temanku dan lain lain.
Aku bilang sama dia kalo mereka, termasuk pacarku tetep lanjut summit dan ninggalin aku di jalur setelah kubilang aku ngga kuat dan mau balik.
Padahal sebenernya aku disuruh balik dan berkata bahwa aku kuat sendirian kepada mereka. Tapi saat itu aku tidak mceritakan soal kejadian diluar nalar yang tadi menimpaku.
Itulah awal pertemuanku dengan Rama. Sebuah pertemuan penuh kesan yang sudah diatur semesta. Kini, aku dan Rama akan kembali mendaki gunung pertemuan kami berdua, untuk membalas remediku sekaligus melakukan misi lain yang tidak aku sebutkan ke Rama sebelumnya..
***

Lombok, seminggu kemudian

Kami berdua mendarat di Lombok. Kami berjalan ke pintu keluar dan disambut oleh kenalan Rama. Rama langsung memeluk keduanya dan memperkenalkanku pada mereka, keduanya bernama Bang Yon dan Lale Nonik.
Kata Rama, Bang Yon dan Lale Nonik ini adalah warga asli Lombok yang dari dulu support dia setiap dia berkunjung ke Lombok. Rama bilang, dia mengenal keduanya saat pendakian pertamanya ke Rinjani beberapa tahun sebelum pertemuan pertama kami yang tadi aku ceritakan.
Keduanya berumur empat tahun lebih tua dariku, namun Lale Nonik menolak ketika kupanggil dia dengan kata Kakak. “Lale saja” katanya.
Kalo Bang Yon, sebenarnya aku sudah kenal, karena dia juga ada di pendakian Rinjani saat Rama menolongku waktu itu, orang inilah yang Rama hubungi via handie talkie saat itu.
Tujuan pertama kami, sesuai request Rama adalah makan plecing kangkung Taliwang. Kata Rama, ini udah jadi SOP nya dia setiap kali berkunjung ke Lombok yang tidak boleh dilewatkan.
“Yaudah, Yuk, itu pacarmu suka plecing kangkung juga tah?” ajak Bang Yon ke Rama sambil menunjukku dengan dagunya.

“Pacarr???idihhh” kataku dan Rama berbarengan dengan gesture mimik wajah dibuat seolah2 jijik satu sama lain. Bang Yon dan Lale Nonik tertawa melihat tingkah kami.
Singkat cerita, kami sampai di salah satu rumah makan legendaris di Cakranegara, Mataram. Sambil menikmati ayam taliwang dan plecing kangkung, kami ngobrol banyak seputar rencana pendakian dan kenapa Rama tidak jadi naik ke Kerinci padahal sudah persiapan sejak jauh jauh hari.
Ditengah obrolan, tiba tiba Rama berkata pada Lale

“Lale, bandara Lombok sekarang keren ya, ada tarian tarian buat nyambut penumpang gitu” katanya sambil terus menyuap nasi.

“Tarian yang mana dek? Tidak ada ah” jawab Lale ragu.
“Loh tadi Rama liat kok pas kita jalan ke mobil. Ada penari pakai baju adat kaya permaisuri gitu” jelas Rama dengan yakin.

Deg! Jantungku berdegup kencang dan sempat tersentak. Penari? Baju Adat? Permaisuri?..
..Apa yang Rama maksud itu sama dengan sosok yg menghantuiku berkali kali selepas pendakian pertamaku itu??
Ah, aku belum sempat dan belum berani ceritain ini ke Rama. Haruskah aku cerita sama dia sekarang??.. apa rama gaakan marah?.. pikiran itu berputar putar di kepalaku...
“Hmm… salah liat kayanya kamu dek” jawab Lale Nonik ragu. Rama lalu melihat ke arah Bang Yon. Namun bang Yon segera mengangkat bahu, tanda bahwa dia pun tidak tahu.
“Permaisuri apaan siiii, halusinasi aja lu Ramboo, gue ngga liat apa apa juga tadi di bandara. Kan gue yang mau ketemu Ratu Anjani, kok malah lu yang halu deh?” kataku cepat mencoba mengalihkan pembicaraan.
Lale Nonik segera melihat ke arahku dan menegurku dengan halus,
“Hati hati bicaranya dek Jani, nanti kamu beneran ketemu Ratu Mas Prawira loh..” kata Lale sambil menyentuh tanganku.
Aku refleks menendang kaki Rama di bawah meja lalu bertanya “kenapa?” karena aku tidak merasa ada ucapanku yang aneh aneh. Rama mengangkat alis tanda dia pun tidak mengetahuinya.
“Dek Jani memang kenapa ingin ketemu Ratu Anjani?” tanya Lale Nonik.

Aku menghentikan makan dan melihat ke arah mereka, lalu mulai bercerita alasan kenapa aku begitu ingin bertemu Ratu Anjani walaupun mungkin sebenarnya kemungkinan itu akan sangat sangat kecil.-
-Karena aku bukan anak indigo atau semacamnya.

Ayah pernah tinggal di Mataram. Semasa mudanya dulu, ayah sering main ke daerah Rinjani bareng teman temannya. Namun suatu ketika, ayah terpisah dari rombongan dan tersesat.
Saat mencari jalan keluar dari rimbanya hutan belantara, ayah bertemu dengan seorang perempuan yang berpakaian tidak lazim di zaman itu.
Perempuan ini lalu menemani ayah mencari jalan. Tapi kata ayah perempuan itu tidak banyak bicara, hanya sesekali tangannya menunjuk arah sambil berucap “Sepertinya kesana”. Hal itu terjadi berulang ulang sampai akhirnya ayah berhasil menemukan jalan untuk turun ke sabana bawah.
Mendengar hal itu eyang langsung bersujud syukur dan dengan suara bergetar berkata “Terima kasih Ratu sudah mengantarkan anak hamba pulang…”.

Ayah memperhatikan Eyang dengan bingung. “Kenapa bu?..” tanya ayah.
Saat itulah Eyang menceritakan tentang Sang Ratu Anjani, yg konon bersemayam di Gunung Rinjani dan sering membantu masyarakat di sekitar lereng Rinjani. Adapun apakah Ratu Anjani adalah seorang manusia atau jin, masih jadi misteri yg belum terpecahkan dan perdebatan kala itu.
Kisah yg begitu berkesan dan pengalaman yg tidak terlupakan yg dialami oleh ayah tadi akhirnya menjadi alasan ia memberi nama Anjani ke anak perempuannya, aku, sebagai bentuk rasa kagum dan terima kasih ayah kepada Ratu Anjani yg telah menolong ayah keluar dari kondisi tersesat.
“Nah karena itu, aku kepengen banget bisa berdiri di Puncak Rinjani dan kalo bisa bertemu sama Ratu. Aku mau bilang terima kasih juga sudah menyelamatkan ayah, karena mungkin kalo ayah saat itu tersesat dan terjadi yang tidak tidak, aku ngga akan ada di dunia ini” jelasku.
“Sebenarnya tahun lalu Jani juga udah ngedaki Rinjani sih Lale, tapi bukannya ketemu sama Ratu, malah ketemu sama Rambo ini nih” kataku mengejek Rama.

“MasyaAllah,” ucap Lale Nonik sambil sedikit tersenyum.
“Tapi Lale, emang bener ya Ratu Anjani itu salah satu tokoh penyebar Islam disini? Ceritain dikit dong Lale, aku penasaran karena papa ngga pernah ceritain full” pintaku.
“Sepemahaman Lale dari cerita orang orang tua Lale sih begitu ya dek. Ratu Mas Prawira, itu julukan dari Ratu Anjani. Beliau konon bangsawan dari bangsa jin dan diubah jadi bangsa kita, lalu dikembalikan lagi ke bangsa jin.
Ketika beliau menjadi manusia, beliau punya 2 saudara kandung, Raden Mas Abdul Malik dan Raden Mas Abdul Rauf. Beliau semua memang dikenal sebagai penyebar Islam di Tanah Sasak ini” jelas Lale Nonik,
Aku dan Rama menyimak dengan antusias. Hal seperti inilah yang akhirnya membuatku dekat dengan Rama. Kami berdua sama sama penikmat sejarah. Cara penyampaian Lale yang luwes namun juga dengan hati hati membuat kami yakin Lale Nonik memang seseorang yang cerdas.
Belakangan, dari Bang Yon, kami tau Lale masih keturunan bangsawan Lombok. Namun Lale memilih menyembunyikan identitas kebangsawanannya dan berbaur sebagai masyarakat biasa. Aku semakin salut dengan sosok Lale Nonik. Berharap bisa sepintar dan sehumble itu.
Seusai makan dan bercerita seputar Ratu Anjani, kami bergegas langsung ke Senaru. Tujuan awal kami di Senaru adalah rumah Pak Sa’at. Menurut cerita Rama padaku, Pak Sa’at adalah warga lokal Senaru yang Rama kenal waktu pertama kali naik ke Rinjani.
Saat itu rute pendakian yang dipilih Rama adalah lintas Rinjani, diawali dengan naik dari Sembalun dan turun di Senaru, saat itulah sempat mampir di warung beliau. Pak Sa’at dan istrinya memiliki warung makan dan usaha souvenir kecil kecilan disana.
Selain itu di dalam warungnya terdapat sebuah kamar sederhana yang sering ia tawarkan secara cuma cuma bagi para pendaki lokal untuk beristirahat. Saat pendakian pertama itu, Rama sempat menumpang di kamar tersebut dan sejak itu mereka menjadi akrab bahkan seperti anak dan ortu.
“Assalamualaikum” sapa Rama ketika tinggal beberapa langkah lagi kami sampai di warung pak Sa’at.

“Waalaikumsalam” sambut suara parau dari dalam warung. Tak lama kemudian muncul seorang pria paruh baya dari rumah itu dan melihat ke arah kami, terutama ke arah Rama.
Sambil setengah berlari, Rama langsung mengangkat sebuah kresek putih yang dari tadi dia tenteng untuk diberikan kepada beliau.

“Ada pete niihhhhhh ahahaha” teriak Rama sambil membuka tangan dan memeluk beliau erat. Pak Sa’at membalas pelukan Rama dan tertawa renyah.
Rama lalu menyium tangan beliau, sementara Pak Sa’at mengelus elus pundak Rama sambil matanya memperhatikan bungkusan putih yang Rama bawa.
“Buuu ada anakmu nih” panggil Pak Sa’at pada istrinya. Tak lama keluar Bu Sa’at dengan tangan yg basah lalu beliau lap ke bajunya sendiri. Wajahnya berbinar melihat Rama dan merekapun berpelukan layaknya seorang ibu bertemu anak kandungnya yang telah lama tidak bertemu.
Bang Yon, Lale dan aku yang tertinggal di belakang akhirnya menyusul. Bang Yon geleng geleng kepala ngeliat kelakuan Rama dan keluarga Pak Sa’at. Sementara aku dan Lale Nonik tertawa tipis disana.
“Nonik, Yon ayo ayo masuk” ajak Bu Sa’at yang sepertinya memang juga sudah mengenal Lale Nonik dan Bang Yon. Aku jadi satu satunya orang yang belum beliau berdua kenal. Keduanya lalu menghampiri bu Sa’at dan mencium tangan beliau.
“Eh ini satu lagi siapa? Masya Allah cantiknya” tanya Bu Sa’at kepadaku yang kini merasa malu mendapat pujian seperti itu. Sebenarnya aku sudah biasa mencapat pujian semacam itu dari cowok cowok di Jakarta, rasanya biasa aja.
Tapi entah kenapa, ketika dipuji oleh beliau, aku merasa malu dan canggung.

“Kenalin, Aku Jani Bu..” kataku sambil ikut mencium tangan Bu Sa’at.
“Jani.. istrinya Rama?” tanya bu Sa’at. Aku tersentak kaget. Begitu juga Bang Yon dan Lale Nonik yang melotot sambil menahan tawanya.
Sementara itu bisa kurasakan wajahku memerah karena malu.

“Eh?? Bukan, Buu…bukaan” jawabku canggung. Ah sial, kenapa aku jadi terjebak di situasi awkward seperti ini. Rama pasti seneng banget nih liat aku salah tingkah. Siaal…
“Doain aja dulu bu” jawab Rama seenak jidat, membuatku semakin tenggelam dan terjebak dengan kecanggunganku sendiri.

“Aamiin, pasti kami doain nak, Ya kan Pak?” tanya bu Sa’at ke Pak Sa’at yang dibalas dengan anggukan.
Oke fix, wajahku kini kurasakan benar benar sudah merah seperti tomat rebus karena menahan saltingku.

Setelah semua masuk ke dalam warung, aku berjalan lebih cepat menghampiri Rama dan berbisik ditelinganya

“Monyet…”
Tentu saja Rama tertawa. Dengan santainya dia lanjut masuk ke warung sambil melihat wajahku yang kesal. Dia tidak tau aku menaruh dendam dan bertekad akan membuatnya canggung dan salting juga nantinya.
Selepas sholat Maghrib, kami semua makan nasi goreng pete buatan bu Sa’at. Tentu saja pete yg dimasak adalah pete yang Rama bawa di kresek putih tadi.
Selesai makan, Bang Yon mengajak Rama dan aku ke Sembalun untuk nanya kondisi jalur sekaligus registrasi agar besok pagi pagi buta bisa langsung trekking.

Ya, karena tujuan kami memang muncak, kami ambil jalur Sembalun.
Karena lebih dekat melalui jalur itu ketimbang melalui Senaru. Namun persis sebelum kami berangkat..

“Ram, anak anak Unram (Universitas Mataram) batal naik, ada kegiatan kampus” kata Bang Yon ke Rama.

“Lah? Jadi kita berempat doang nih bang?” Rama memastikan kepada Bang Yon.
“Iya nih kayaknya, gimana lo nya? Aman gak?” tanya bang Yon lagi.

“Yaudahlah lanjut aja gapapa, mau gimana lagi” jawab Rama. Hatiku berdesir. Naik ke Rinjani hanya berempat? Aku belum pernah melakukan pendakian dengan jumlah anggota sesedikit itu.
Di pendakian pendakianku sebelumnya, jumlahnya selalu banyak, minimal 8 orang. Rasa ragu sempat menyelinap, apakah aman nantinya?
Buru buru kutepis pikiran buruk itu. Aku mencoba memainkan logikaku. Dua orang cowok yang ada di hadapanku ini punya jam terbang tinggi di dunia pendakian, jadi harusnya, dengan pertolongan Allah, semua akan baik baik aja.
Belum selesai sampai sana, tiba tiba saja Lale Nonik keluar rumah pak Saat dan menghampiri kami dengan wajah cemas...
“Dek Rama, Dek Jani, Lale barusan dapat kabar duka. Kayaknya Lale harus balik ke Mataram malam ini. Maaf banget ya dek. Kalian ke Sembalun aja dulu buat registrasi pake mobil Lale” ujar Lale sambil menatap kami satu persatu.
Matanya memerah dan ada genangan air mata disana, sepertinya salah satu keluarga dekat Lale ada yang berpulang.
Aku lemas mendengar kabar itu. Ini artinya kami hanya akan mendaki bertiga. Eh, tunggu, apa jangan jangan justru aku hanya akan mendaki berdua dengan Rama? Sepertinya ngga mungkin kalo Bang Yon membiarkan Lale Nonik pulang ke Mataram sendirian malam malam seperti ini..
Apa iya boleh mendaki dengan jumlah personil hanya berdua? Perasaanku semakin tak enak. Aku diam seribu bahasa, hanya bisa memandang ke arah Rama dengan tatapan pasrah.
Rama membaca tatapanku itu dan seakan tau kegelisahan yang aku pikirkan

“Bentar ya Jan, gue omongin sama Bang Yon dulu” kata Rama cepat sambil menarik tangan Bang Yon menjauh dari Lale Nonik dan aku.
Sepeninggal Rama dan Bang Yon, aku lantas menghampiri Lale Nonik dan memeluknya lalu menyampaikan rasa belasungkawaku,

“Sabar ya Lale. Jani turut berduka…” hanya itu yang bisa ku katakan. Lale Nonik membalas pelukanku dan mengangguk.
Kemudian Lale pamit sejenak untuk merapikan beberapa barang yang tadi sudah sempat dibongkar. Tinggalah aku sendiri di teras sambil menunggu keputusan Rama dan bang Yon.
Pikiranku berkecamuk. Ada rasa sedih, kesal dan takut berbaur jadi satu. Bagaimana ini? Aku sudah jauh jauh kesini, masa harus batal naik? Lalu bagaimana aku harus mengembalikan batu ini?
Lantas aku mengeluarkan batu putih susu bercorak pelangi itu. Pandanganku beralih ke Rama yang sedang berdiskusi dengan Bang Yon.

“Mbo, temenin gue balikin batu ini ya…” ujarku lirih.
Kemudian aku kembali menunduk, memandangi batu putih itu. Rasa sesal kembali menghantuiku. Kenapa aku begitu bodoh dan mudah banget percaya perkataan temanku setahun yang lalu. Padahal aku tau aturan untuk tidak mengambil apapun selama di gunung.
Kuangkat kembali kepalaku, tanpa sengaja mataku melihat ke arah gerbang masuk pendakian. Disana berdiri seorang perempuan dengan kulit yang sangat putih dan kontras dengan gelapnya malam...
----InsyaAllah disambung besok yaa----
Buat yang mau baca versi ebooknya, sudah tersedia di Karyakarsa untuk part 1

Terima kasih dan sampai bertemu besok

karyakarsa.com/Mwvmystic/asta…
Aku terkesiap. Itu dia! Perempuan yang sering sekali hadir dalam mimpiku sejak ku ambil batu putih ini dan berkali kali mengintimidasiku, menyuruhku untuk mengembalikan batu putih ini! Bedanya kali ini dia benar benar menampakkan dirinya di hadapanku!
Perempuan itu menari disana dan tersenyum lebar kepada Rama. Tidak tidak, tidak hanya lebar, tapi…bibir sebelah kiri perempuan itu sudah sobek hingga hampir ke telinganya!
Namun pandanganku kembali beralih ke Rama. Aku menyaksikan mereka saling beradu pandang. Berarti Rama juga bisa liat dia atau ini kebetulan aja?
“Kampreeet pergi luuu” kata Bang Yon tiba-tiba sambil memberikan gestur mengusir ke arah gerbang.
Loh? Bang Yon bisa liat juga? Berarti aku ngga lagi halusinasi kan?? Sosok itu benar benar ada kan?..

Tiba tiba rasa ragu mulai merasuki pikiranku. Aku bertanya sama diriku sendiri, haruskah aku lanjutkan pendakian ini? Tapi gimana nanti kalo ada apa-apa diatas?
Bayangan para dayang yang mengelilingiku saat kejadian di jalur puncak Rinjani tahun lalu pun tiba tiba berputar di kepalaku. Aku bergidik ngeri...
Rama dan Bang Yon terlihat berjalan kembali menujuku. Sesampainya dihadapanku, tanpa basa basi Rama langsung menjelaskan skenario perjalanan kami,

“Jadi gini Jon..”

“JANI!” potongku cepat karena Rama memanggilku Jono. Kebiasaan.
“Bahahaha. Iye iye, JA – NI. Tuh, puas?”

“Bodo. Gimana jadinya?” tanyaku cepat sebelum pertengkaran kami jadi panjang.
“Besok lo ama gue tetep naik sesuai plan awal. Lusa Bang Yon nyusul kita. Tapi kita harus usahain lusa siang selesai summit, terus turun ke Segara Anak, ngecamp semalem disana. Nanti Bang Yon susul kita ke Segara Anak.-
-Besok paginya baru kita bareng bareng naik Plawangan Senaru, langsung sikat turun ke Pak Sa’at lagi. Gimana? Nanti kalo amit amit kita kenapa kenapa, pastiin jangan maksain gerak. Kita bedua break aja atau ngecamp sekalian dimanapun itu. Paham?” jelas Rama panjang lebar.
Setelah menyetujui skenario yang diatur sama Bang Yon, kamipun langsung bersiap dan bergegas ke pos pendakian TNGR di Sembalun. Ketika kami sampai di pos pendakian TNGR, kami mendapat kabar pendakian ditutup sementara...
Rama langsung protes karena seharusnya penutupan pendakian diikuti dgn edaran resmi dan diberitahukan di media, namun kali ini tidak. Penjaga juga mengatakan berbagai macam alasan penutupan, ada acara upacara, jalur gempa minor sampai sekedar jawab “arahan dari pusatnya”.
Aku lemas seketika mendapati kejadian demi kejadian yang seakan melarang kami untuk mendaki Rinjani sekali lagi.

Kudengar nada bicara mulai Rama meninggi karena kesal dan hampir debat kusir dengan penjaga pos itu kalo saja Bang Yon tidak menahannya dan memintanya untuk sabar.
Baru kali ini kuliat Rama seperti itu. Rama yang kukenal senang sekali bercanda, tertawa dan bikin kesal orang dengan candaannya, ternyata bisa semurka itu ketika rencananya kacau.

“Ram.. udahlah..” kata Bang Yon sambil narik Rama menjauhi pos registrasi.
“Tapi bang, ngga profesional banget lah masa kaya gitu! Harusnya ada info dulu! Ngga kayak gini lah! Ngga mikirin apa, orang udah jauh jauh dateng keluarin banyak duit tapi ketemu kondisi kayak gini?!” kata Rama tersulut emosi.
Sementara itu aku hanya bisa terdiam aja dengan posisi duduk menunduk..

“Iya gue paham. Tapi lo coba gausah kebawa emosi gitu. Tenang lah Ram, kasihan si Jani sampai shock gitu liat lo” kata Bang Yon sambil menunjukku yang sedang duduk sendirian di ujung teras pos.
Rama lalu mendekatiku,
“Jan, wei, bisa bisanya ketiduran jam segini” kata Rama sambil menepuk pundakku.

“……” Aku terdiam tanpa menanggapi becandaannya.

“Jani.. lo gapapa?” tiba tiba nada suara Rama berubah, kali ini tidak terdengar bercanda dan seperti khawatir.
“Kayaknya kita pulang aja yuk Mbo..” kataku akhirnya dengan suara yang tercekat ditenggorokan dan terdengar sangat pelan. Jujur aja, saat itu aku berusaha menahan tangisku.

“Pulang?..”
“Kayanya Tuhan emang ngga izinin gue kesini lagi. Padahal kan niat gue cuma pengen ketemu Ratu dan bilang makasih, ngga lebih dari itu. Emang salah ya kalo gue pengen begitu sampai kita dipersulit gini?” kataku setengah menutupi tujuanku sebenarnya sambil menatap Rama.
Tak terasa, ternyata mataku sudah basah.

Kulihat Rama terkesiap dengan perkataanku. Sepertinya dia mau menegurku, entah apa yang salah sama ucapanku..
“Emang lu bisa liat mereka Jan?” tanya Rama akhirnya

“Enggak sih mbo..”

“Terus?”
“Ya setidaknya gue bisa summit, bisa sampai ke istananya walaupun mata gue ngga bisa liat atau rasain. Terus gue mau bilang makasih disana, Cukup itu aja Ram, gue ngga ngotot harus ketemu tatap tatapan, enggak. Tapi kalo gue bisa ketemu langsung, itu lebih bagus..” ungkapku-
-disela upayaku menahan agar air mataku berhenti menetes.

“Jan, lo tunggu sini. Gue akan coba sebisa gue, tapi lo janji, diatas nanti, lo ngga boleh pisah dari gue. Ngga ada cerita lo pergi sendirian malem malem nikmatin suasana me time kaya biasa.-
-Lo harus terus deket gue, even lo mau pipis lo harus bilang dan gue temenin. Deal?” tawar Rama.

“Tapi gimana caranya? Kan pendakiannya ditutup Mbo..”

“Bawel! Janji ama gue, lo ngga akan pisah dari gue” kata Rama tegas.

“Iya.. gue janji..” jawabku lemah.
Ada perasaan aneh yang terselip dihatiku. Rama yang kukira cowok yang cuek, ternyata bisa sekeras kepala ini demi sekedar memperjuangkan keinginanku..
Lantas kulihat Rama masuk lagi ke pos tadi dengan kepala yang lebih dingin. Kudengar Rama sudah merendahkan nada bicaranya ketika masuk dan meminta maaf atas perlakuannya tadi yang dia akui terbawa emosi.
Selama saya dan Rama berbicara tadi, sepertinya Bang Yon juga banyak berdiskusi dengan si penjaga pos.
Aku tidak mendengar secara jelas percakapan Rama disana. Hanya beberapa hal yang bisa aku dengar.
Namun aku tau kini Rama sudah bisa mengontrol emosinya jauh lebih baik dan menurunkan nada bicaranya. Jika tadi dia mencoba bernegosiasi dengan emosi, kali ini dia mencobanya dengan memohon. Memohon agar diizinkan summit walaupun hanya satu malam dan keesokannya turun.
Rama juga menjelaskan latar belakangku sampai begitu berniat bisa summit di Rinjani. Bahkan dia juga berani menjamin keselamatan kami berdua selama pendakian dengan menunjukkan semacam badge dari Basarnas yang menunjukkan bahwa Rama memang capable dalam bidangnya.
Setelahnya aku melihat petugas itu berbicara panjang lebar kepada Rama yang aku tidak bisa mendengarnya dari luar. Rama hanya mengangguk angguk ketika petugas pos itu memberikan instruksi dan menunjuk nunjuk ke arah puncak Rinjani.
“Gimana? Bisa dikondisikan? Persiapanmu udah lengkap?” tanya petugas itu lagi.

“Bisa. Makasih banyak pak. Aman semua lengkap. Sekali lagi saya minta maaf sama perbuatan saya sebelumnya” kata Rama diakhir percakapan itu sambil menjabat tangan petugas itu.
Sepertinya Rama berhasil, pikirku.
Rama dengan wajah sumringah lalu keluar pos dan langsung mendatangiku.

“Jan, jadi nih kita ketemu Ratu Anjani” ucap Rama dengan senyum lebar.

“Ngga usah kasih harapan deh Mbo.. “ balasku pura-pura ngga tau.
“Lah serius, tanya bang Yon sono”

“Hah serius Mbo????” tanyaku sekali lagi, sekedar memastikan aku ngga salah dengar. Rama anggukan kepala dan aku udah ngga bisa lagi nutupin rasa bahagiaku, aku pun tersenyum riang sekali.
“Nah gitu dong, itu baru Anjaniku” kata Rama lega melihatku sudah bersemangat lagi. Keningku seketika berkerut saat Rama mengatakan "Anjaniku”.
Setelah mengantongi izin dan prosedur naik besok, aku, Rama dan Bang Yon kembali ke rumah Pak Sa’at. Waktu mobil kami melintasi gerbang Senaru, aku melihat penari itu berlenggak lenggok lagi dalam kegelapan.
Aku melirik Rama yang sedang menyetir. Ternyata dia juga sedang melirik ke arah yang sama, ke arah penari itu. Lagi lagi penari itu tersenyum, senyumnya yang begitu lebar dan licik dari wajahnya yang tidak simetris.

Malam itu juga, kami berpisah dengan Lale Nonik dan Bang Yon..
Aku izin masuk kamar duluan untuk istirahat, kejadian demi kejadian hari ini begitu melelahkan pikiran sekaligus perasaanku, sementara Rama masih ngobrol dengan Pak Sa’at di luar.
Harapanku untuk bisa segera istirahat ternyata tidak berlangsung dengan mudah. Beberapa kali kucoba memejamkan mata, nyatanya aku masih tetap terjaga karena gelisah yang entah karena apa. Akhirnya aku berbaring sambil mendengarkan percakapan Rama dan Pak Saat diluar.
Namun saat sedang menguping pembicaraan itu, sayup sayup kudengar sebuah suara lainnya selain obrolan mereka. Seperti suara perempuan yang sedang bersenandung ditengah kesunyian malam dan suara serangga, tapi aku tidak bisa dengar jelas suaranya.
Tak lama kemudian, kudengar suara Rama berpamitan sama Pak Sa’at untuk istirahat.

Pak Saat sempat menawarkan Rama untuk tidur di dalam bersamaku karena udara yang sangat dingin. Namun Rama menolaknya karena takut akan terjadi hal yang tidak diinginkan.
Aku tersenyum dari dalam kamar saat itu padahal aku sudah menyiapkan banyak alasan jika tiba tiba saja Rama masuk ke kamar.
Setelah Rama dan pak Saat mengakhiri obrolan dan beranjak tidur, suasana seketika menjadi hening, hanya terdengar suara binatang malam dan hembusan angin yang menerobos dinding anyaman bambu kamar ini.
Aku menarik selimut untuk menutupi seluruh badanku. Ketika akan memejamkan mata dan masuk ke dunia mimpi, sayup sayup aku mendengar suara musik tradisional. Otomatis mataku kembali terbuka lebar.
Belum selesai rasa heranku, disela sela suara musik itu aku mendengar suara perempuan bernyanyi. Aku tidak paham keseluruhan bahasanya, karena beberapa kalimat dan bahasanya terdengar asing di telingaku, namun pada akhirnya ada kalimat yang bisa kupahami..
..dan kalimat itu membuat bulu kudukku berdiri sekaligus sukses membuatku memalingkan badan ke arah tembok lalu menyumpal telingaku dengan handset bervolume maksimal.. Lirik itu berbunyi..

…Selamat datang kembali, datanglah untuk pulang, pulang selamanya…
Aku lupa tepatnya pukul berapa, tapi tiba tiba aku terbangun setelah merasakan seseorang mengguncang guncang badanku. Awalnya kukira itu Rama. Tapi saat aku membuka mata, di sebelahku tidak ada siapapun. Suasana terasa sangat hening.
Pikiranku seketika kembali ke momen sebelum aku tertidur, beruntung, suara musik tradisional dan senandung menyeramkan tadi sudah tak terdengar lagi. Tapi dengan mengingat liriknya saja sudah membuatku kembali merinding.
Akhirnya, setelah beberapa saat, kuputuskan untuk kembali memejamkan mataku.
Tepat saat aku akan kembali terlelap, dari sudut mataku kulihat seperti ada sosok yang melayang di seberangku, melalui jalan di tengah rumah pak Saat.
Refleks aku yang tadinya menghadap tembok, segera berbalik badan melihat ke arah gerakan itu berasal dan..

Deg! Dihadapanku kini ada sosok perempuan tengah berdiri diam memperhatikanku. Aku tidak bisa berteriak apalagi lari, hanya ucapan istighfar yg aku ulang2 baca dalam hati.
Perempuan itu berkulit putih dengan garis pupil mata berwarna gradasi hijau-kuning. Wajahnya tidak jelas.. bukan buram, tapi posisi indra kehidupan di kepalanya tidak berada di posisi yang seharusnya..
Ia mengenakan pakaian serupa kemben yang terbuat dari dedaunan yang disulam, serta hiasan kepala berupa beberapa helai bulu seperti yang umum dipakai oleh masyarakat adat Kalimantan..
Perempuan itu tidak bergerak sama sekali. Ia hanya diam memandangku dari ambang pintu dengan tatapan datar.. dingin… dan mengintimidasi. Badanku tidak bisa bergerak. Aku terus merapal istighfar dengan bibir yang tidak mampu bergerak.
Aku memejamkan mataku dan entah sejak kapan, aku akhirnya tertidur.Aku tidak tau sudah berapa lama aku tertidur sampai aku akhirnya kembali terbangun karena tubuhku terasa pegal, kaku dan rasanya sedikit kesemutan.
Ini memang hal biasa buatku, terlebih aku habis melakukan perjalanan cukup banyak hari ini.
Pegal dan kesemutan ini akhirnya membuatku terjaga untuk sekedar memijat mijat kecil tubuhku sendiri.

Namun, membuka mata nyatanya adalah keputusan yang salah malam itu..
Tepat ketika aku membuka mata, sosok perempuan yg hampir setahun ini selalui menghantuiku sudah berdiri di seberangku sambil tersenyum sinis.
Lalu entah darimana suara musik tradisional semalam kembali memenuhi kamar dan terasa sangat dekat.
Sosok itu lalu mulai bersenandung..

“.. Selamat datang di keabadian..”.

Aku tercekat saat lirik itu dinyanyikan oleh sosok itu yang tiba tiba saja mulai bergerak mendekat kearahku. Aku refleks bersiap untuk bangun dan lari keluar kamar.
Namun tiba tiba saja gerak sosok itu terhenti. Matanya tak lagi melihat ke arahku, kini beralih tajam ke sebelahku.
Aku yang menyadari gerakan matanya, tanpa sadar ikut melihat ke samping kiriku..

Ternyata di sebelah kiriku sudah ada sosok perempuan lain muncul!
Perempuan yang sama yang kulihat terakhir tadi sebelum tidur. Jaraknya begitu dekat, aku bahkan bisa melihat secara detail bagaimana wajahnya yang tidak normal itu terduduk kaku tepat disebelahku..
Tubuhku lemas. Otakku sudah tidak bisa berpikir jernih. Ada apa ini? Siapa mereka berdua?? Ada urusan apa dia denganku? Dalam kepanikan itu aku lihat mereka berdua saling menatap tajam dan tiba tiba mereka saling bicara dalam bahasa yang lagi lagi tak kupahami...

...
“Jooonn…Jonooo…Bangun Jooonn…!” kudengar suara Rama diluar sambil mengetuk pintu kamar. Bersamaan dengan itu, kedua sosok misterius tadi menghilang.

“Iya, Mbo…” jawabku pelan, akhirnya aku bisa mengeluarkan suara setelah daritadi membisu.

“Gue masuk ya?” izin Rama.
“Iyaaa…” jawabku singkat. Tak lama kemudian Rama masuk ke kamar sambil membawa segelas air hangat.

Perasaanku seketika menjadi lega.
“Yaelah lo mau masuk aja pake izin segala Mbo…” celaku.
“Yeee…yaiyalah, kalo gue ujug-ujug masuk terus taunya lo tidur cuman pake beha kan bahaya…” cela Rama balik.

“You wish!” jawabku sambil menoyor kepalanya.

“Kampret. Nih minum, abis itu packing yak” saut Rama sambil menyodorkan segelas air hangat yang dia bawa.
“Ulu ulu…to tweet banget siiihhh…” ledekku.

“Najes” balasnya singkat sambil mengangkat tas carriernya dan melangkah keluar kamar.

Seusai packing dan sholat shubuh, Rama dan aku pamit ke Pak dan Bu Sa’at.
“Hati hati ya nak, jangan lepas wudhu. Sarapannya jangan lupa dimakan biar kuat” pesan Pak Sa’at melepas keberangkatan kami sambil diiringi pelukan hangat kepada Rama. Aku cukup terharu melihat kedekatan mereka berdua.
Tak lama, gantian Bu Sa’at yang memelukku dan kami tenggelam dalam kehangatan pelukan pagi itu.

Sepertinya Rama sengaja memilih berangkat pagi pagi buta agar kita berdua tidak kepanasan selama perjalanan sampai pos 1, karena seingatku-
-trek kesana berupa padang rumput terbuka tanpa pohon rindang.
Begitu sampai di pos pendakian TNGR yang kami kunjungi semalam, Rama kembali bertemu dengan penjaga pos yang sama.
Setelah melalui beberapa pengarahan, kamipun memulai pendakian berdua, hanya kami berdua.

Mendaki Rinjani yang sedang ditutup dari kegiatan pendakian..
----Part 1 Astana Ratu Anjani 2, versi Jani Bersambung ke Part 2----

Part 2 akan dipost InsyaAllah Rabu. Buat yg mau baca duluan ebooknya via Karyakarsa, bisa klik disini

karyakarsa.com/Mwvmystic/p-16…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with mwv.mystic

mwv.mystic Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @mwv_mystic

Mar 19
Rizkil Watoni, seorang ASN yang BD akibat depresi setelah diperas oknum polisi belasan hingga puluhan juta agar kasus salah pahamnya tidak dibawa ke persidangan.

sebuah utas infografis Image
Image
Image
Read 9 tweets
Feb 2
TRAGEDI KEBAKARAN KERETA BAWAH TANAH DAEGU

Akibat satu orang depresi mencoba melakukan b*n*h diri, 192 nyawa orang lain melayang

a thread Image
Image
Image
Image
Image
Read 10 tweets
Oct 28, 2024
Setelah memotong kemaluan korban hidup hidup dan menampung d4rahnya untuk diminum, pelaku memut1l4si dan menjual daging korban dengan kedok daging sapi. Salah satu pembelinya bahkan sudah mengonsumsinya sebagai olahan rendang hati.

a thread Image
M. Delfi adalah seorang pemuda yang tinggal bersama ayahnya, Basri Tanjung, di Kabupaten Siak, Riau. Sehari hari, ia bekerja serabutan. Terkadang ia membantu ayahnya berjualan sate, kadang mengambil upah sebagai buruh bangunan. Image
Hingga akhirnya ia menjadi karyawan sebuah usaha isi ulang galon. Saat usianya masih sangat muda, 19 tahun, pada Februari 2013 ia menikah dengan Dita yang juga berumur sama dengannya. Namun pernikahan ini kandas hanya 8 bulan setelahnya tanpa sempat memiliki keturunan.
Read 21 tweets
Oct 20, 2024
ABI KUSNO NACHRAN

JURNALIS YANG DIANIAYA HINGGA CACAT PERMANEN PASCA BONGKAR KEGIATAN PERDAGANGAN KAYU ILEGAL DI KALIMANTAN.

a thread Image
Abi Kusno Nachran, merupakan seorang pria kelahiran Pangkalan Bun tahun 1941. Ia berprofesi sebagai jurnalis untuk Tabloid Lintas Khatulistiwa, sebuah surat kabar lokal di Kalimantan.
Tulisan tulisan Abi Kusno sering menyentil para oligarki dan mafia mafia dibalik pembabatan serta penjualan kayu ilegal dari hutan di Kalimantan. Tidak hanya menulis, ia kerap melaporkan hasil temuannya kepada aparat untuk diusut.
Read 18 tweets
Oct 14, 2024
SOTO DAGING MANUSIA DI TERMINAL KAMPUNG RAMBUTAN

a thread Image
Apa jadinya kalau kalian pergi ke sebuah warung soto lamongan, membeli sebungkus soto ayam dan memakannya lalu tiba tiba kalian diberitau kalau warung soto tersebut baru saja digrebek polisi karena menghidangkan soto dengan daging manusia?.. Ilustrasi soto lamongan
Ya, ini bukan potongan adegan film, namun kejadian nyata kasus yang sangat menggemparkan pada masanya : kasus Benget Situmorang dan soto dari daging istrinya.
Read 25 tweets
Oct 7, 2024
KISAH TRAGIS OMAYRA SANCHEZ

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, para relawan hanya bisa menemani Omayra menuju kematiannya setelah tersangkut dan terendam air selama 60 jam.

a thread Image
Pada 13 November 1985, Gunung berapi Nevado del Ruiz di Kolombia meletus. Meskipun tanda tandanya sudah terdeteksi, pemerintah setempat gagal melakukan evakuasi dan berakibat pada jatuhnya ribuan korban. Image
Kota Armero, salah satu daerah paling terdampak, bahkan kehilangan 20 ribu dari total 29 ribu penduduknya. Mereka umumnya tewas akibat banjir lahar yg menerjang kota. Salah satu korban di daerah itu adalah keluarga Omayra Sanchez Garzon, seorang gadis berusia 13 tahun.
Read 19 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(