Bunyi letupan terdengar pada Jumat sore (8/7) di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan. Ketua RT setempat, Mayjen (Purn) Seno Sukarto, mendengarnya jelas. Mantan Asrena Kapolri itu tak menaruh curiga, sebab petasan kerap dinyalakan anak-anak jelang Idul Adha.
Nyatanya bunyi itu bukan berasal dari petasan, melainkan dari letupan pistol di rumah dinas Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo. Tiga hari kemudian Humas Polri baru menyatakan: ada baku tembak antara Brigadir J dan Bharada E di sana.
“Saksi R melihat Brigadir J menembak lebih dahulu ke arah Bharada E. Dari situ kami mendalami dan mendapati hasil pemeriksaan bahwa Brigadir J masuk ke kamar pribadi yang saat itu [di dalamnya] ada Ibu Kadiv Propam,” kata Budhi.
Berdasarkan keterangan polisi, ada 12 tembakan yang meletus di rumah itu. Tujuh tembakan Brigadir Yosua ke arah Bharada E meleset seluruhnya. Sementara lima peluru yang ditembakkan Bharada E, semuanya bersarang.
Menurut Budhi, luka pada kelingking Yosua berasal dari peluru yang menembus badan, sehingga dihitung sebagai dua luka dari satu peluru. Demikian pula peluru yang masuk ke lengan bagian dalam dan tembus ke badan, dihitung sebagai dua luka dari satu peluru.
Ayah korban, Samuel Hutabarat, menduga anaknya terlibat perkelahian, bukan hanya diberodong tembakan. Keluarga sempat memotret luka-luka di tubuh Yosua saat polisi tak ada di ruangan.
“Jari manis dan kelingking almarhum patah dan luka-luka. Di perut dan bawah ketiak juga ada lebam-lebam biru bekas penganiayaan. Pundaknya hancur dan masih mengeluarkan darah..” papar Kamaruddin Simanjuntak, kuasa hukum keluarga Yosua, sambil menunjukkan foto.
Sumber di kepolisian menyebut bahwa memang terjadi penganiayaan terhadap Yosua. Menurutnya, sejumlah barang bukti ditemukan di lokasi, termasuk alat yang digunakan untuk memotong jari Yosua.
Yosua mulai berkarier sebagai polisi, khususnya di satuan Brimob, sejak 2012. Ia kemudian mengikuti pendidikan di Pusdik Brimob Watukosek, Pasuruan, Jawa Timur.
Setelah mengikuti pendidikan selama 7 bulan, Yosua ditugaskan di Mako Brimob Batalyon B Pelopor, Pamenang, Jambi. Selama bertugas di daerah rawan tersebut, menurut Samuel, Yosua dipercaya sebagai penembak jitu.
Usai dari Pamenang, Yosua ditarik ke Mako Brimob Polda Jambi. Bertugas sekitar 3,5 tahun di sana, Yosua mengabari keluarga diminta pergi ke Jakarta untuk ikut seleksi menjadi calon ajudan perwira tinggi Polri.
Setelah tiga bulan, Yosua kembali ke Jambi untuk mengurus berkas mutasi dari Polda Jambi ke Mabes Polri. Ia membawa kabar gembira telah diterima menjadi ajudan Ferdy Sambo.
Kepada keluarga, Yosua tak pernah bercerita apa pun mengenai kendala atau masalah saat menjadi ajudan Ferdy Sambo. Keluarga hanya mengetahui Yosua senang bekerja sebagai ajudan.
“Dia cerita di sana baik-baik, ibu-bapak [Ferdy Sambo dan Istri] sayang selaku atasan dengan bawahan. Semua teman-teman baik. Setahu kami di sana [Yosua] senang gitu lah,” jelas Samuel.
Cerita Yosua mengenai kebaikan Irjen Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi membuat keluarganya kaget. Setelah 2,5 bekerja sebagai ajudan, Yosua justru meregang nyawa di rumah dinas sang jenderal.
Tim pengacara keluarga Yosua membeberkan deretan fakta janggal seputar kematian sang ajudan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo. kumparan juga ditunjukkan foto-foto luka di tubuh Yosua yang diduga diduga berasal dari penganiayaan.
“Kalau disiksa dulu—disayat matanya, dipukuli sampai babak belur bahunya, disayat leher dan kakinya—baru ditembak, berarti pelakunya psikopat,” ujar Kamaruddin Simanjuntak, kuasa hukum keluarga Yosua.
Empat orang meninggal di satu rumah dengan kondisi jenazah mengering dan lambung kosong. Mereka diduga mati di waktu yang berbeda-beda. Narasi awal bahwa mereka kelaparan, kini diragukan.
Mayat Rudyanto Gunawan, Margaretha Gunawan, Dian Apsari, dan Budyanto Gunawan ditemukan di beberapa titik di sebuah rumah di Perumahan Citra Garden Extension 1, Kalideres, Jakarta Barat.
Budyanto ditemukan di ruang tamu, Renny Margaretha dan Dian ada di kamar depan, sedangkan sang kepala keluarga, Rudyanto Gunawan, ditemukan meninggal di kamar belakang.
kumparan menemukan bahwa tragedi di Kanjuruhan berlangsung dalam 11 menit yang menentukan. Temuan ini didasarkan pada analisis metadata terhadap puluhan foto dan video yang merekam situasi di Stadion Kanjuruhan pada malam itu.
Video dan foto tersebut diambil dari sumber pertama, yakni para penonton, suporter, saksi mata, dan media partner—termasuk Radio Chakra Bhuwana RCBFM Malang—yang berada di tempat kejadian dan mendokumentasikan langsung peristiwa itu.
Ketimbang selimut, balsam adalah perangkat yang paling menentukan kenyamanan tidur Hajara (54). Barang yang satu itu selalu terselip di bawah bantalnya. Sesaat sebelum tidur, dia tidak pernah absen melakukan ritual tolak bala: melumuri dua lubang hidung dengan balsam.
Hajara Hibalu (54) merupakan warga Dusun Sakulati, Desa Ombulo, Kecamatan Limboto Barat, Kabupaten Gorontalo. Konon, area ini penuh dengan tanaman coklat. Sayangnya aroma coklat itu kini bersulih bau kotoran manusia.
SBY menduga pemilu 2024 akan berlangsung tidak jujur. Sejumlah kader Partai Demokrat kemudian menyampaikan adanya upaya menjegal Anies Baswedan di 2024.
“Saya mendengar, mengetahui, bahwa ada tanda-tanda Pemilu 2024 bisa tidak jujur dan tidak adil. Konon, akan diatur dalam Pemilihan Presiden nanti… hanya dua pasangan capres dan cawapres yang dikehendaki…," demikian penggalan pidato SBY pada Kamis (15/9).
SBY, menurut Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng, mendapat informasi dari sumber terpercaya terkait skenario “dua paslon cukup” itu. Informasi itu, tegas Andi, dapat mereka pertanggungjawabkan kebenarannya. #specialreport
Sambil memejamkan mata, Bharada Richard Eliezer menarik pelatuk dan melepaskan tembakan ke arah Brigadir Yosua begitu teriakan Irjen Ferdy Sambo memasuki gendang telinganya—“Tembak, woi. Tembak! Tembak!!”
Ketika itu, di rumah dinas Sambo, Richard berdiri di hadapan Yosua, rekannya sesama ajudan. Di dekatnya, berdiri pula Sambo, Bripka Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf—asisten rumah tangga di rumah itu.