BLUNDER BAIM WONG
Brand Harus Punya "Netizen Sensitivity"
Minggu lalu saya posting mengenai salah satu taktik #FOMOmarketing yang paling hot saat ini: "RIDING THE WAVE".
Yaitu "menunggangi" konten yang sedang viral untuk: #1. Mendongkrak brand awareness. #2. Memperkokoh brand association. #3. Mendorong brand evangelism.
Saya contohkan di situ bagaimana Mujigae, produk susu pisang, yang dengan cerdas memanfaatkan viral Esteh Indonesia yang mensomasi netizen yang mengkritiknya.
Di tengah ramainya somasi Esteh, Mujigae justru menyebarkan surat terbuka kepada netizen agar mengkritik produknya.
Bunyi surat tersebut :
"...Kami menyadari, menerima, dan mendengarkan seluruh kritik dan saran yg membangun dari konsumen kami."
Surat terbuka ini mendapatkan simpati & respons positif dari netizen. Mujigae berhasil "menunggangi" viral Esteh secara santun, elegan, dan mengusung pesan positif.
Kemarin, taktik RIDING THE WAVE yang sama dilakukan oleh Baim Wong & Paula Verhoeven tapi dengan hasil yang sama sekali berbeda.
Bukannya berbuah simpati dan sentimen positif, tapi justru cemoohan dan bully dr netizen.
Baim Wong mencoba memanfaatkan viral kasus KDRT Lesti Kejora dan Risky Billar dengan melakukan prank aduan KDRT ke kantor polisi.
Langkah ini memicu kemarahan netizen, teguran dari institusi POLRI, bahkan terakhir seorang lawyer mengajukan somasi ke Baim Wong.
Apa lessons-learned dari dua kasus yang serupa tapi tak sama ini?
Bahwa RIDING THE WAVE terhadap konten yang sedang viral haruslah dilakukan secara elok, santun, dan mengandung pesan positif.
Bukan sebaliknya, menciptakan kontroversi dan pertentangan publik, ketersinggungan para pihak, kemarahan netizen, hingga seruan cancel culture.
Dalam hal ini brand harus memiliki KEPEKAAN SOSIAL thd isu yang sedang viral. Artinya, brand harus bisa MEMBACA SENTIMEN yang berkembang di kalangan netizen.
Saya menyebutnya: NETIZEN SENSITIVITY.
Sebelum melakukan RIDING THE WAVE, setiap brand harus bisa MENGUKUR dan MEMPERKIRAKAN bagaimana sentimen yang terbentuk plus dampak yang ditimbulkannya.
Dengan begitu RIDING THE WAVE mendatangkan berkah, bukan sebaliknya, malapetaka seperti yang dialami Baim Wong.
GIIAS tahun ini marak dengan deretan mobil-mobil listrik. Apakah ini pertanda mobil listrik (EV) akan "GOING MASS" sekaligus momen senjakala era mobil bensin (ICE)?
Dari sudut pandang konsumen saya melihat ada 3 faktor yang bakal menjadi pemicu "going mass" mobil listrik:
#1. PRICE & CUSTOMER'S COST
Tentu saja harga merupakan faktor utama adopsi konsumen. Sebelumnya harga termurah mobil listrik masih di posisi Rp 500-600an juta. Tahun ini Wuling mengeluarkan mobil mini Rp 250an juta.
Kemarin SKB (Sari Kreasi Boga) Food atau yang lebih dikenal luas sebagai gerai waralaba Kebab Baba Rafi melantai di bursa.
IPO SKB sukses besar karena mencapai kelebihan permintaan (oversubscribed) lbh dari 75 kali.
SKB berawal dari UKM berdiri tahun 2003 dirintis oleh pasangan entrepreneur hebat Hendy Setiono dan Nilamsari dan kini sudah menjadi fully professional.
Begitu panjang perjalanan menaiki tangga sukses, melintasi jalan berliku, melakukan scaling-up, membangun sistem dan profesionalisme, akhirnya SKB sukses melantai di bursa.
Bagi pelaku UKM, sukses IPO SKB membawa pelajaran yang sangat berharga.
Ada yang kurang dalam kajian tim ahli untuk menetapkan kebijakan baru harga masuk ke Taman Nasional Komodo.
Perhitungan harga hanya dilakukan dari perspektif kepentingan konservasi, tanpa mempertimbangkan faktor pasar (konsumen/wisatawan) yaitu kemampuan daya beli konsumen.
Akibat tak adanya kajian consumer/demand perspective ini, tak heran jika kebijakan harga yang muncul menjadi demikian "aneh" 🤔
[Fallacy = a failure in reasoning which renders an argument invalid]
Ada "SESAT PIKIR" yang menjadi acuan para founders/CEO/VC startup dalam mengelola dan mengembangkan startup digital.
Saya menyebutnya: STARTUP FALLACIES.
FALLACY inilah yang menjadi akar kenapa beberapa minggu terakhir startup babak-belur.
#1. UNICORN FALLACY
Mimpi besar startup adalah menjadi unicorn bahkan decacorn. VALUASI menjadi "tujuan akhir" dengan iming-iming menggaet cuan triliunan rupiah di lantai bursa saat IPO.
IMPLIKASI: Karena tujuan utamanya adalah valuasi, maka fokus strateginya adalah "me-makeup" startup agar terlihat "sexy" di mata investor. Tujuannya untuk mendapatkan seri demi seri pembiayaan untuk memompa valuasi.