Jelang #FrenchOpen2022, mari mengenang kembali satu dari sedikit pemain yang bisa meraih tiga gelar beruntun di sana.
Namanya Pi Hongyan, pebulutangkis China yang memilih untuk membela Prancis.
Pi Hongyan ingin hidup di negeri dongeng. Tempat di mana namanya dielu-elukan. Tempat di mana dia menjadi harapan. Tempat di mana dia merasa selalu dibutuhkan.
Impian itu harusnya bakal terkabul. Sejak kanak, Pi Hongyan selalu menjadi yg paling menonjol di antara yang lain. Usianya masih 8 tahun saat tim provinsi tertarik kepadanya. Sejak saat itu ia bekerja lebih keras daripada siapapun.
Kerja keras itu penting karena, pertama, Pi Hongyang amat ketinggalan dari segi fisik. Ia ringkih, juga pendek. Kedua, hanya kerja keras yang bisa membawanya menembus persaingan tim nasional China yang keras.
Kerja kerasnya berbuah hasil. Pada 1999, dua tahun setelah membela China di Kejuaraan Asia Junior, untuk pertama kalinya ia membela China di turnamen internasional level senior. Pi Hongyan tampil di US Open sebagai pemain WS dan berhasil merebut juara.
Seseorang bertubuh kecil yang bisa tampil ulet sekaligus anggun secara bersamaan. Begitu Pi Hongyan dikenal. Namun, selepas keberhasilan di US itu, Pi Hongyan justru mendapat kabar bahwa namanya dicoret dari tim nasional. Rumornya, Pi Hongyan dicoret karena terlalu pendek.
Ia akhirnya kembali ke tim provinsi sembari menanggung malu sekaligus marah. Di tim provinsi, sayangnya, situasi tak membaik karena sangat jarang ia turun di kompetisi. Dan tanpa kompetisi, takkan ada pemasukan. Sebuah situasi rumit karena orang tuanya juga sudah pensiun.
Dalam serba keterbatasan, Pi Hongyan mendapat jalan keluar dengan bergabung ke klub lokal Denmark. Di sana, ia berhasil mendapatkan segalanya: Pemasukan, kesempatan bertanding, dan nama yang melambung. Hidupnya membaik.
Segera setelahnya, negara-negara Eropa memburu namanya, berharap agar Pi Hongyan sudi untuk mewakili mereka. Dari semua negara, ia akhirnya menjatuhkan pilihan pada Prancis.
Perancis adalah negara yang memberi kebebasan, menjamin persamaan, dan menjalin persaudaraan dengan para imigran. Ini tempat yang ideal bagi Pi Hongyan untuk hidup. Lebih jauh, Prancis kala itu sedang menata diri untuk lebih relevan di bulutangkis.
Yang Prancis harapkan dari Pi Hongyan dibayar kontan. Sejak mewakili Prancis, ia berhasil meraih berbagai capaian prestisius: Tampil di Olimpiade, menduduki ranking 2 dunia BWF, hingga merebut tiga gelar French Open beruntun (2003, 2004, 2005).
Pi Hongyan sudah pensiun sejak 2012, tak lama setelah membela Prancis di Olimpiade. Namun, hingga hari ini namanya masih harum di sana, apalagi ia jadi WN Prancis terakhir yang menjuarai French Open, kejuaraan bulu tangkis paling bergengsi di sana.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Terdapat lebih dari satu alasan untuk melewatkan pertandingan Gregoria: Gestur yang buruk, agresivitas yang kurang, footwork yang terlihat malas, stamina yang rentan, mental tanding bermasalah, error di mana2 dan sebagainya.
Ujung dari semua itu cuma satu: Kekalahan demi kekalahan. Celakanya, tak sekali-dua Jorji tersungkur dari para pemain yang levelnya jauh di bawah. Jika yang demikian saja kesulitan, bagaimana saat menghadapi lawan-lawan kuat?
Interview menarik dari Fernando Rivas. Di sini, ia bicara banyak soal sport science, pandangannya tentang negara-negara Asia yang mulai tinggalkan pola latihan tradisional, serta ambisinya membawa Prancis menembus lima besar dunia.
Poin-poin menarik yang kami tangkap:
- Rivas mendasarkan keputusan-keputusan pelatihannya secara ilmiah
- Beberapa negara Asia seperti anggota Commonwealth dan China mulai mengubah pendekatan latihan tradisional mereka
- Target terdekat Rivas adalah membawa Prancis menjadi saingan utama Denmark di Eropa
- Beberapa hal yang menjadi fokus dia: Mencari stabilitas, meningkatkan pendidikan pelatih dan pengembangan pemain ke dalam kategori taktis
Christian Adinata 21 tahun, Kodai Naraoka juga 21 tahun. Tapi perbedaan pengalaman mereka jauh sekali. Christian baru tampil di 2 turnamen S300 tahun ini, sedangkan Kodai malah sudah berlaga di S750.
Menurut Christian, ini yg bikin dia kalah dari Kodai di R16 #AustraliaOpen2022
Christian: "Saya belum terbiasa dengan armosfer turnamen Super 300. Karena itu saya juga jarang bisa ketemu lawan-lawan yang lebih kuat. Sementara Kodai lebih sering bertemu dengan pemain top. Wajar kalau dia punya pengalaman lebih."
[PBSI]
Dari segi teknis, Christian amat bisa mengimbangi Kodai. Bahkan, pada beberapa aspek, dia terlihat lebih baik dari sang lawan. Terbukti Christian bisa unggul cukup jauh pada gim kedua dengan poin 8-3.
Seandainya lapangan bulu tangkis adalah gelas kosong, Kodai Naraoka adalah airnya.
[THREAD]
Jejak sepatunya tersebar di mana-mana, mengisi tiap sudut lapangan, baik area depan maupun belakang, baik dalam posisi bertahan maupun saat menyerang, dan dengan semua itu Kodai menjelma sebagai salah satu pemain paling menjanjikan saat ini.
Di atas lapangan, amat jarang Kodai memeragakan pukulan2 ajaib. Sederet pujian yang datang lebih banyak menyasar keuletannya kala mengejar bola ke sudut sempit. Tepuk tangan yang muncul lebih banyak diberikan pada kegigihannya yg rela jatuh bangun mengejar bola.
Di sela-sela agenda Bright Up minggu lalu, pelatih MS Malaysia, Hendrawan, memberi pandangannya soal dominasi Viktor Axelsen. Dia menilai, Axelsen termasuk ke dalam generasi yang "diuntungkan".
Seperti apa maksudnya?
📒 Indosport
Hendrawan: "Mereka (Lin Dan, LCW, Peter Gade, Taufik) sedang di atas, Viktor saat itu masih muda, tetapi dia sudah mampu bermain melawan mereka. Jadi kalau Viktor sudah seperti itu berarti suatu saat kalau tiga generasi tadi retired, dia yang akan naik."
Lebih jauh, Hendrawan menganggap bahwa kondisi ini adalah siklus yang akan selalu terjadi. Tak cuma di sektor tunggal, tetapi juga ganda. Contohnya era Ricky Subagja/Rexy Mainaky yang tak bisa lepas dari peran era sebelumnya.
Hampir setahun ga ngapa-ngapain, Lin Dan masih sanggup jadi juara dunia
[THREAD]
Lin Dan tak butuh iklim turnamen yang rutin untuk menunjukkan siapa dia sebenarnya. Hanya bermodalkan sebuah wild card kontroversial dari BWF, gelar juara dunia 2013 sudah bisa ia gapai.
Sebelum merengkuh gelar tahun itu, Lin Dan melewatkan banyak sekali turnamen. Aksi terakhirnya adalah saat merobek jersinya sendiri, lalu berlari mengelilingi stadion setelah mengalahkan Lee Chong Wei pada perebutan emas Olimpiade 2012.