mwv.mystic Profile picture
Nov 25, 2022 307 tweets >60 min read Read on X
KEMARIN PAMAN PULANG
PART 4

..sisa kenangan dibalik sebuah kematian..

terinspirasi dari kisah nyata tahun 2013 di Sumatera Barat

a thread Image
Cerita ini adalah part penutup dari kisah Kemarin Paman Pulang. Bagi yang baru bergabung, berikut link untuk membaca part part sebelumnya :

Part 1
Cerita akan dimulai jam 19.30 malam ini, silakan like dan retweet dulu agar tidak ketinggalan updatenya yaa
Kemarin Paman Pulang Part 4

Cara kematian Ade yg tragis menjadi topik obrolan yg terus dibicarakan masyarakat. Semua orang ingin mendengarnya langsung dari saksi tunggal kejadian, Kutar. Kutar menjadi orang paling dicari untuk menceritakan tragedi yg menimpa keluarga Mardani.
Namun Kutar selalu menolak. Ia hanya mau menceritakannya kepada pihak polisi saat memberikan keterangan mengenai kasus pembunuhan dan kepada keluarga Mardani seandainya diminta. Walaupun ia yakin akan sangat berat bagi Hamidah mendengarkan apa yg ia saksikan sore hari itu.
Dibalik wajah tegarnya, Mardani sebenarnya jadi salah satu orang yang paling terpukul dengan tragedi yang menimpa kedua anak laki lakinya. Terlebih saat ia menguatkan hatinya untuk meminta Kutar menceritakan kembali semuanya dan detail kejadian tewasnya Ade di tangan Salman-
-kepada seluruh anggota keluarga selain Lutfi.

“wakatu dihujamannyo pato tu ka dado Ade pak.. maaf bana ambo ndak bisa mambantu Ade.. jujur kaki wak mati raso.. untuak mamakiak sajo ndak talok wak doh.. maaf mambana..”
(waktu kapak itu dihantam ke dada Ade.. maaf saya gabisa bantu Ade pak.. jujur kaki saya mati rasa.. untuk teriak saja saya ga mampu.. saya benar benar mohon maaf..) ujar Kutar sambil merunduk dalam di hadapan keluarga Mardani beberapa waktu lalu.
“jan maraso basalah Tar.. kami mangarati lo keadaanyo.. gakti kok ndak adoh angku, lah maningga surang se Ade di tatangah hutan tu.. justru ambo ka maucapan tarimo kasiah lah mambantu Ade di saat saat tarakhirnyo”
(jangan merasa bersalah Tar.. kami mengerti keadaanya.. Mungkin kalau tidak ada kamu, Ade sudah meninggal sendirian aja di hutan.. justru saya mau bilang terima kasih sudah membantu Ade di saat saat terakhirnya) jawab Mardani.
Berbeda dengan Mardani, Hamidah berkali kali memegangi dadanya setiap kali Kutar menggambarkan apa yang dialami Ade hingga Hamidah datang saat itu. Ia seakan merasakan rasa sakit yang sama yang dirasakan oleh Ade menjelang kematiannya.
Nafas Hamidah sesak dan sesekali meminum air putih dengan tangan yang gemetar. Dewi harus mengusap punggung ibunya agar ia Hamidah merasa lebih tenang.
Dewi sebenarnya juga tidak kuasa, terlebih beberapa hari lagi adalah prediksi hari kelahiran anak keduanya. Miris memang jika mengingat bagaimana Ade dahulu begitu semangat menunggu kelahiran keponakan barunya itu..
namun ia meregang nyawa beberapa hari sebelum sempat bertemu dengan “Lutfi kedua”, nama panggilan Ade untuk calon bayi di dalam perut Dewi kini.
“Bang Kutar.. Dewi minta tolong.. kalau bisa, jaga cerita ini dari Lutfi. Lutfi dekat banget sama Ade.. kami ga ingin Lutfi tertekan kalau tau om kesayangannya udah gaada..” pinta Dewi.
“InsyaAllah saya jaga Wi.. saya gak pernah cerita sedetail ini kecuali saat diperiksa di kantor polisi dan disini.. untuk yg bisa jaga, akan saya jaga sendiri, tapi kalau nanti diluar sana tersebar, saya khawatir itu berasal dari para polisi dan saksi lain dari mulut ke mulut..”
“iya.. kalau ke polisi, bang Ilham atau keluarga kami lainnya, kami biarkan karena mereka berhak tau. Tapi untuk jadi omongan masyarakat umum.. kami rasa kasihan dengan almarhum..” tambah Dewi.
Namun apa daya, banyaknya orang yang datang melihat jenazah Ade saat itu menunjukkan banyaknya orang yang sudah tau dan melihat keadaanya. Hal ini tidak bisa dikandalikan, termasuk beredarnya kabar kurang mengenakan dari beberapa orang..
Lokasi terkaparnya Ade selama beberapa waktu sempat diterpa kabar kemunculan penampakan. Beberapa petani yang lewat di sisi luar hutan, tempat Kutar sebelumnya mencari sapi, mengaku melihat orang misterius yang berputar putar di lokasi Ade dihabisi Salman dahulu..
namun sosok itu tidak seperti berjalan, melainkan melayang..
"jangan dekat dekat ke hutan itu, hantu si Ade masih belum tenang. Ada orang yang diliatin penampakannya sedang melayang layang di hutan itu waktu senja" begitu kurang lebih pesan orang orang di kampung kepada mereka yang belum tau kabar tersebut.
Kabar lainnya bahkan lebih mengerikan lagi. Saat Ade tengah dalam proses dimakamkan, ada sejumlah anak muda yang penasaran dengan lokasi terbunuhnya Ade di dalam hutan.
Mereka mencoba kesana namun dihalang halangi oleh orang orang dewasa. Karena masih penasaran, mereka memutuskan kembali saat hari sudah sore melalui sisi belakang hutan karena melalui jalan depan masih banyak tamu yang melayat.
Para pemuda ini menyusuri jalan setapak dan mengira ngira posisi Ade dihabisi Salman, namun ketika mereka menemukan lokasi tersebut, ada sosok aneh sedang merangkak dan menjilat jilati tanah dengan sisa sisa darah kering Ade.
“HOI! SIA TU!” (HEI! SIAPA DISANA!) teriak salah satu pemuda itu yang seketika membuat sosok itu bergerak dengan posisi merangkak menjauh dari kedua orang itu. Belakangan orang orang berpendapat makhluk itu adalah makhluk ghaib peliharaan seseorang yg mencari makan darah manusia.
Segala isu miring itu coba ditepis Mardani, sisi pengecutnya yang dahulu enggan masuk hutan karena hanya seekor ular kini sudah ia buang jauh jauh. Mardani justru sering menyendiri di dalam hutan.
Ia hanya akan duduk di sekitar lokasi Ade terbunuh dan melihat ke sekelilingnya sambil mengingat ngingat bagaimana kedua anaknya bertarung hari itu.

Biasanya Mardani akan pulang jam 4 atau 5 sore, namun hari itu ia entah kenapa ingin berada lebih lama disana.
Ia berjalan melihat hasil pekerjaan Salman dan mendiang Ade yang bekerja keras membukakan hutan untuknya.. Mardani seakan ingin mengucapkan terima kasih pada keduanya..

Namun disisi lain ia juga menyesal.. seandainya Salman dan Ade tidak bekerja membuka hutan ini..
seandainya saja ia mau menerima tawaran untuk diantarkan dengan motor.. mungkin saat ini mereka sedang berkumpul secara lengkap di rumah sambil bercanda dan menikmati masakan Hamidah bersama sama..
Ketika rasa rindunya semakin memuncak, dengan lirih Mardani berbisik..
“payah na apak malapehan ang De.. raso ka pulang jo angku malam beko” (susah sekali melepaskan kamu De.. seakan akan kamu akan pulang malam nanti..) ujar Mardani berbicara sendiri.
Lalu tiba tiba ia mendengar suara seseorang yang merintih..

“sakit pak.. sakit…”

Mardani terkesiap. Pandangannya berputar mencari sumber suara yang terdengar menggema itu.

Namun suara itu seakan berasal dari setiap celah pepohonan disana.
“sia mangecek tu?? Kalua lah!” (siapa yang berbicara?? Keluar kamu!) teriak Mardani sambil badannya terus berputar mencari asal suara itu ditengah hutan yang kian gelap.

“sakik pak.. tolong.. tolong..”

“Ade?? Waang tu de??” (Ade?? Kamu itu de??) teriak Mardani lagi.
Namun suara itu seketika hening.. Mardani sempat menunggu suara itu muncul lagi namun tidak ada apapun lagi yang terjadi.. Ia lalu memilih pulang dan menyimpan ini sendirian selama beberpa waktu..
***

Berbeda dengan Mardani yang kembali keberaniannya, hal sebaliknya terjadi pada Hamidah. Keceriaannya hilang dan kini ia banyak termenung di rumah sambil memandangi halaman..
Hamidah selalu merasa Ade masih bersama dengannya di rumah itu. Ia tetap menjaga kebersihan kamar Ade meski sudah tidak ada lagi yang tidur disana. Namun ada satu hal yang sebenarnya mengkhawatirkan dari Hamidah..
Hamidah masih menyimpan baju robek robek dan berbercak darah yang merupakan baju terakhir yang dikenakan Ade.
Ia menolak untuk mencucinya dan menyimpannya dengan anger kain di dalam lemari baju Ade di kamarnya.
“Iko tingga baju adiak kau nan lai baun badannyo lai..” (tinggal ini baju adikmu yang masih ada aroma badan dia..) ujar Hamidah saat Dewi mencoba mencegah perbuatan berlebihan ibunya itu.

Hingga akhirnya sesuatu yang buruk terjadi..
Saat itu hari masih pagi dan Hamidah tengah sendirian di rumah. Ia hendak menyapu ruang tamu dan melanjutkannya dengan menyapu kamar Ade dan Salman. Saat sedang menyapu ruang tamu, tiba tiba saja Hamidah mendengar suara gaduh dari arah kamar Ade.
Hamidah terdiam sesaat untuk memastikan sumber suara itu..

DUK DUK DUK

Suara itu terdengar sekali lagi dan cukup jelas asalnya dari dalam kamar Ade. Hamidah curiga ada kucing atau tikus di dalam sana.
Dengan masih menggenggam sapu, Hamidah masuk dan memeriksa ke sekeliling. Ia memukul mukul sisi kasur, lemari dan tumpukan barang peninggalan Ade agar tikus atau kucing yang bersembunyi itu lari keluar.
Ia sendiri tidak tau darimana persisnya asal suara itu karena saat ia masuk bertepatan dengan berhentinya suara tersebut.
Sampai ketika Hamidah sedang menengok ke kolong kasur..

DUK DUK DUK
Suara ketukan itu kembali terdengar dan arahnya dari belakang Hamidah.. lebih tepatnya lagi, suara itu berasal dari dalam lemari baju Ade..
Tanpa pikiran apapun, Hamidah membuka kedua pintu lemari itu dan seketika ia menjerit

“ASTAGHFIRULLAH AL ADZIM YA ALLAH!!”

Tepat di sisi lemari tempat ia menggantung baju peninggalan Ade, berdiri sosok pocong dengan darah hitam mengalir dari mata dan mulutnya.
Pocong itu menghantam hantamkan kepalanya ke sisi lemari dan mengeluarkan bunyi yang dari tadi Hamidah dengar..

DUK DUK DUK...
Hamidah menjerit sambil menunduk, tangannya refleks memukul ke arah pocong itu menggunakan sapu yang ia pegang. Namun sapu tadi menembus pocong itu dan mengenai bagian bawah lemari.
Saat Hamidah mengangkat kembali kepalanya, sosok itu sudah hilang dan hanya ada baju Ade yang dipenuhi noda kecoklatan bekas darah kering.

***
Meskipun apa yang dialami Hamidah dan Mardani cukup mengerikan, tapi diantara semua anggota keluarga itu, teror terburuk terjadi pada Dewi. Dewi memutuskan untuk tidak menjelaskan tentang kematian Ade kepada Lutfi.
Selain hal tersebut terlalu “dewasa” untuk dipahami Lutfi, ia juga tidak mau Lutfi diterpa trauma dan kesedihan terus menerus karena tau ia tidak akan bisa lagi bertemu dengan om kesayangannya.
Untuk mengelabui Lutfi, Dewi dan anggota keluarga lain sepakat mengatakan bahwa Ade dan Salman pergi bekerja ke tempat jauh dan tidak akan pulang untuk waktu yang lama.
Namun sebagaimana anak kecil, meski sudah disebutkan seperti itu, Lutfi tetap menanyakan kapan om Ade pulang berkali kali.
Perhatian Lutfi sedikit teralihkan saat adiknya lahir, kurang lebih seminggu pasca meninggalnya Ade. Persalinan Dewi berlangsung normal dan bayinya sehat.
Anak keduanya itu diberi nama Tomi, dan seketika menjadi “mainan baru” untuk Lutfi.

Lutfi begitu perhatian dengan adiknya ini. Pandangannya tidak pernah lepas dari Tomi sepulang sekolah sampai malam hari. Ia akan selalu ada disisi Tomi baik saat tidur maupun saat Tomi sedang-
-menyusu pada Dewi. Lutfi juga menunjukkan sikapnya sebagai abang dengan selalu terjaga paling pertama saat Tomi menangis kala dini hari. Ia begitu sensitif jika mendengar Tomi menangis dan segera men-“cup cup cup”-kan adiknya itu agar tangisnya mereda.
Hingga pada suatu siang, saat sedang berada di sisi Dewi yang tengah menyusui Tomi, Lutfi menyeletuk,

“Om Ade pasti seneng banget ketemu Tomi ya bu. Nanti pasti diajakin jalan jalan naik motor juga” ujar Lutfi riang.
Dewi tidak bisa menyembunyikan rasa getir di hatinya. Ia ingin segera mengatakan bahwa Ade tidak akan kembali karena sudah mati, namun ia pasti akan kehilangan keceriaan anak pertamanya ini selama jangka waktu yang lama.
“Iya.. nanti pas om Ade pulang, jangan iri ya kalau yang digendong gendong malah Tomi, bukan abang lagi” canda Dewi dengan menyembunyikan kesedihannya.

“ya biarin, yang penting Lutfi tetep diboncengin kalo ke sekolah” jawab Lutfi tanpa melepaskan senyumnya.
Sandiwara “Om Ade pergi kerja” itu terus berlangsung hingga seminggu kemudian. Hingga pada suatu siang sepulang dari sekolah, Lutfi nampak lesu dengan wajah menahan tangis.

“bu…” Lutfi menghampiri ibunya dengan mata berkaca kaca.

“abang kenapa? Berantem??” tanya Dewi.
“bu.. masa kata temen temen abang, Om Ade sekarang ada di dalem tanah..” ujar Lutfi lesu.

“….” Dewi tersentak. Ia lupa bahwa teman teman Lutfi di sekolah mungkin sudah tau kejadian itu dan berbicara apa adanya.
Namun Dewi merasa ini adalah celah untuknya agar bisa memberitau Lutfi nasib omnya saat ini.

“kalau om Ade beneran ada di dalam tanah gimana bang?” tanya Dewi.

“YA GA MUNGKIN LAH. Orang om lagi pergi kerja sama om Salman!” ujar Lutfi dengan wajah memerah lalu menangis.
Dewi akhirnya mengurungkan niatnya jujur pada Lutfi dan melanjutkan kembali kebohongannya.

“nah makanya, mereka gatau aja itu om Ade lagi kerja jauh ya, nanti kalau om Ade pulang bakal diomelin mereka” ujar Dewi yang sedikit memberikan kecerahan di wajah Lutfi.
Dewi berpikir kebohongan ini akan terus ia lakukan setidaknya hingga Lutfi naik kelas nanti, tidak sekarang. Namun sesuatu hal membuat Dewi harus menimbang ulang keputusannya ini..
Sore itu menjelang Maghrib, Kampung Parit diguyur hujan ringan dengan sesekali sambaran petir. Dewi seperti biasa sedang menyusui Tomi di ruang tengah. Disisinya ada Lutfi yang menepuk nepuk paha adiknya sambil menyanyikan lagu anak anak yang ia hapal,
Ia bernyanyi mulai dari cicak di dinding sampai lagu kemarin paman datang.

“Kemarin paman datang..
Pamanku, dari desa
Dibawakannya rambutan pisang
dan sayur mayur segala rupa
bercerita paman tentang ternaknya
berkembangbiak semua
padaku, paman berjanji..”
Tiba tiba saja lagu yang dinyanyikan Lutfi terhenti. Pandangnya terpaku ke arah jendela yang menghadap ke teras rumah lalu ia tiba tiba saja senyum lebar.

Dewi memperhatikan gerak gerik Lutfi lalu menanyakan apa yang sedang ia perhatikan.
“BU TUH OM ADE UDAH PULANG!!!” sorak Lutfi sambil berlari ke arah jendela dan menempelkan wajahnya pada kaca lalu tertawa cekikikan seperti sedang dibecandai oleh sesuatu diluar sana...
---batas bersambung---

Kita lanjut lagi besok malam, pada jam yang sama, start 19.30 wib ya

Bagi yang mau baca versi ebook lengkapnya, Part 4 sudah tersedia di Karyakarsa. Untuk download bisa klik link ini :

karyakarsa.com/Mwvmystic/part…

Sampai bertemu lagi besok
Dengan masih menggendong Tomi, Dewi bangun dari duduknya dan melihat keluar jendela. Sisi rumahnya terlihat mulai gelap dengan cahaya hanya berasal dari lampu teras, namun Dewi tidak melihat siapa yang Lutfi maksudkan.
“abang.. abang liat apa?” tanya Dewi sambil menengok ke kanan kiri dari dalam rumah.

“Oyyy Oooomm Adeee!! Kemana ajaaa?? Sini turuuun! Lutfi sekarang punya adek bayi!!” panggil Lutfi pada sebuah ruang hampa diatas pohon rambutan di depan rumahnya dari balik jendela.
Ujung dahan pohon itu bisa terlihat jika Dewi berjongkok hingga pandangannya setinggi Lutfi. Ia mencoba melihat ke arah yang sama dengan pandangan Lutfi. Namun lagi lagi ia tidak melihat apapun diluar sana selain pohon rambutan yang bergoyang goyang diterpa angin.
“abang.. abang lihat apa sih bang?” Dewi mencoba menutup nutupi mata Lutfi dengan tangannya. Namun kepala Lutfi terus menghindar dan pandangannya tetap tertuju ke titik yang sama,

“Bu Lutfi keluar ya mau main sama om Ade!” ujar Lutfi.
“HUSH! GAADA! HUJAN! UDAH MALEM! OM ADE JUGA BELUM PULANG! ” ujar Dewi sambil membekap mulut Lutfi.

“ih Bu.. itu Om Ade udah pulang hahaha dadah ooom dadaaah” Lutfi melambai lambaikan tangannya ke lokasi kosong itu lagi.
Perasaan Dewi berkecamuk.. Disatu sisi ia menolak percaya dengan apa yang dikatakan Lutfi.. Namun disisi lainnya, banyaknya laporan masyarakat tentang kemunculan sosok Ade memaksanya untuk sedikit khawatir..
Dewi menatap dalam dalam Lutfi dan memberanikan dirinya untuk bertanya

"Nak, sekarang om Ade lagi ngapain?.."

Lutfi menengok keluar jendela.
"Nah ini akhirnya Om Ade numpang masuk buu. Lutfi bukain yaa" ujar Lurfi sambil berjalan hendak membukakan pintu.
Dewi tidak sempat mencegahnya dan membiarkan Lutfi begitu saja.

Lutfi lalu membuka pintu dan tertawa. Matanya berbinar kearah sesuatu yang ia lihat di depan pintu, padahal Dewi bersaksi tidak ada apapun di depan pintu rumahnya saat itu.
“masuklah om” ujar Lutfi pada sesuatu itu.

… hening.. tidak ada suara apapun..

Lalu tiba tiba saja Lutfi berkata..
“waalaikumsalam om Adee..”
“abang.. udah ih.. gaada om Ade.. om Ade masih kerja..” ujar Dewi.

“tapi itu om Adenya ada diatas bu.. tapi bu... kenapa om Ade malah manjat dinding ya?..”
Dewi langsung menggendong Lutfi dan menyuruhnya diam lalu membawanya kedalam kamar bersama Tomi yang sudah terlelap tidur.

“abang disini temenin Tomi! Gausah aneh aneh! Ibu mau ke rumah nenek!” ujar Dewi dengan suara gemetar karena panik.
Dewi menutup pintu kamar yang terbuat dari kayu itu dan menguncinya dari luar.
Dewi berjalan ke arah pintu depan, ucapan Lutfi tadi sebenarnya cukup membuatnya resah.
Apakah benar sosok Ade yang dilihat Lutfi sekarang sudah ada di dalam rumahnya?.. namun ia menepis itu sekali lagi dan menganggap itu hanyalah khayalan seorang bocah. Tapi kini ia harus memberitau Hamidah apa yang terjadi..
Dengan tergesa demi menghindari hujan, Dewi mengetuk pintu rumah Hamidah, sejak kematian Ade dan ditangkapnya Salman, rumah itu kehilangan kehidupannya. Hamidah bahkan enggan tk menyapu halaman dan tidak ada lagi kegiatan makan bersama krn Hamidah akan meraskan sesak didadanya.
Tok tok tok

“assalamualaikum bu..”

“waalaikumsalam.. yo Wi?” jawab Hamidah dari dalam.

Dewi membuka pintu dan mendapati Hamidah sedang mengelap album foto kenangan keluarga mereka saat masih lengkap dulu.

“Bu.. Lutfi bu..”
“kenapa Lutfi?..” Hamidah menghentikan pekerjaannya dan menatap Dewi serius.

“Lutfi bilang dia liat omnya pulang bu..”

“oh.. dek nyo taragak sajo tu nyo.. biko kok lah sibuk lah lupo lo tu..” (ooh karena dia kangen aja itu.. nanti kalo udah sibuk, udah lupa dia tu..)
“tapi kali ini dia sampai bukain pintu dan ngucapin wassalamualaikum..”

Hamidah tersentak dan langsung berdiri.

“dan bahkan dia bilang omnya manjat dinding…”

“dima nyo kini??” (dimana dia sekarang?)

“di rumah bu, di dalam kamar sama adeknya..”
Hamidah dan Dewi lalu bergegas kembali ke rumah. Kondisinya masih sama, pintu masih tertutup dan terkunci dari luar.

“assalamualaikum, bang” salam Dewi ketika hendak membuka pintu kamar.



Tidak ada jawaban dari dalam kamar.
Dewi lalu membuka pintu kamar dan mendapati Lutfi tengah tertidur di samping adiknya.

Dari ambang pintu Hamidah dan Dewi memandangi Lutfi. Ada perasaan tidak tega membangunkan Lutfi hanya untuk menanya nanyainya pertanyaan seputar apa yang ia lihat.
Mungkin tadi ia sudah mengantuk sehingga berhalusinasi.

“Ah beko se lah.. lah lalok lo nyo” (ah nanti saja.. dia udah tidur) ujar Hamidah sambil berjalan kearah pintu depan diikuti Dewi.
“iya bu.. nanti kalau ada apa apa Dewi ke rumah lagi. Abang bentar lagi rencananya juga pulang” ujar Dewi.
Hamidah pun pulang dan Dewi kembali ke kamar setelah menutup pintu depan. Namun beberapa langkah lagi ke kamar, dari pintu yg sudah terbuka lebar itu Dewi melihat sesuatu yang mengerikan..
Di dalam kamar, tepat disamping Lutfi dan Tomi, ada seseorang tanpa pakaian berdiri diam memandangi keduanya. Sosok itu menyerupai Ade, dengan tubuh gemuk pendeknya namun berkulit berwarna putih pucat keabuan. Posisinya memunggungi Dewi dan ia tidak bisa melihat wajah sosok itu.
Mata Dewi seketika berkunang kunang. Kakinya lemas dan akhirnya tanpa sempat berteriak, ia jatuh pingsan.

Beberapa saat kemudian, Basri, suami dari Dewi pulang ke rumah. Ia merasa heran karena lampu ruang tengah mati dan teras menyala.
Ia awalnya mengira Dewi dan anak anaknya sudah tertidur walaupun hari belum terlalu malam.

“assalamualaikum..”

… tidak ada jawaban dari dalam rumah.
Basri mencoba membuka pintu, karena biasanya Dewi menguncinya saat malam hari. Namun saat itu pintu tidak terkunci dan Basri melangkah masuk dengan perlahan.

“assalamualaikum, wi?..” Basri mengulangi salamnya sambil mencoba membiasakan matanya melihat dalam gelap.
“waalaikumsalam bang…” ada suara jawaban dari dalam namun suaranya terdengar bukan Dewi ataupun Lutfi, melainkan suara pria dewasa yang begitu berat dan menggema.

Basri tersentak dan mengira ada penyusup di rumahnya.
Namun saat ia akan menyalakan lampu, ia sadar ada seseorang yang sedang terbaring di lantai dan itu adalah Dewi!

Basri segera menghampiri Dewi dengan panik. Hal yang pertama ia pastikan adalah istrinya itu masih bernafas.
Saat ia merasakannya, tubuh Dewi masih hangat tidak ada luka apapun yang terlihat. Hal itu sedikit membuatnya tenang karena mungkin Dewi ketiduran.

“Dewi.. Dewi.. bangun.. kenapa tidur di lantai?..” panggil Basri perlahan sambil menepuk nepuk pipi istrinya.
Dewi perlahan bangun dan mendapati Basri sudah ada disisinya.

“bang?..” tanya Dewi sambil mengumpulkan kesadarannya.

“Iya, kenapa tidur di lantai?” tanya Basri kembali.

“BANG LUTFI SAMA TOMI BANG!” tiba tiba Dewi panik sambil menunjuk ke kamar.
Basri refleks bangun dan berlari kecil ke kamar utk melihat kedua anaknya masih terlelap tidur.

“ini mereka ada di kamar.. kenapa sih wi?..” hela Basri yg merasa respon Dewi begitu berlebihan sampai membuatnya khawatir.

“bang.. abang ga akan percaya bang..” ujar Dewi bergetar.
“jelasin dulu ada apa?”

“Tadi Dewi liat ada laki laki ga pakai baju di dalam kamar Tomi.. badannya mirip almarhum Ade bang..” ujar Dewi sambil menggenggam tangan Basri erat erat.

“Cuma pikiran kamu aja itu.. karena si Lutfi sering..”
“NGGAK BANG. DEWI LIAT PAKAI MATA KEPALA DEWI SENDIRI!” Dewi memotong kalimat suaminya itu.

Basri sebenarnya mau menceritakan tentang suara pria yang menjawab salamnya tadi, namun ia urung karena melihat Dewi yang masih ketakutan.
“udah udah gaada.. gaada yang namanya arwah gentayangan. Ade udah gaada dan itu imajinasimu aja.. udah siap siap tidur di kamar sana” ujar Basri mencoba menenangkan keadaan.
Dewi tidak bisa membantah walaupun pikirannya masih terus membayangkan sosok yg ia lihat tadi. Ia melihat kearah Tomi dan Lutfi yg masih tertidur pulas, bahkan tidak bergerak dari posisi yang terakhir..
..padahal biasanya Tomi sangat rewel dan Lutfi sangat mudah terbangun jika ada suara tangisan adiknya.

Dewi melihat jam di dinding, sudah menunjukkan jam 8 malam.. hampir 2 jam lamanya ia terbaring di lantai dan kedua anaknya tidak terbangun atau bergerak sama sekali dari-
-posisi keduanya tertidur..

Sepertinya mereka begitu lelah.. atau sebaliknya, mereka begitu nyaman..
“bang.. ini udah hampir dua minggu, apa kita kasih tau aja ke Lutfi kalo Omnya udah meninggal?.. Dewi lama lama takut dia ngomong yang aneh aneh terus..” ujar Dewi risau.
Basri terdiam sejenak dan menimbang nimbang

“kayaknya gausah dulu.. kasihan dia kalau dikasih tau kalau omnya udah meninggal. Nanti lama kelamaan dia tau sendiri..” jawab Basri.

“yang tadi, apa perlu kita kasih tau ibu sama bapak?” tanya Dewi lagi.
“kalau itu bisa bikin kamu tenang, bilanglah. Tapi pakai bahasa yang halus, ibumu belum tentu kuat dengarnya..” ujar Basri.

“Dewi akan bilang kalau waktunya udah tepat..”
Kemunculan sosok menyerupai Ade tidak berhenti sampai disana.. sejak kejadian itu, Dewi meminta Basri untuk dirumah dulu selama beberapa waktu. Awalnya Basri menyanggupinya namun belakangan, ia tetap harus bekerja walaupun bolak balik setiap dua hari sekali.
Ketika pulang, Basri biasanya akan datang saat Maghrib atau saat adzan Isya. Jika lebih dari itu, ia akan menelpon atau mengirim pesan ke Dewi dan mengabari bahwa ia akan telat pulang.
Malam itu, Basri terlambat karena ada urusan yang mesti ia kerjakan sebelum bisa pulang. Di perjalanan, ia mengirim pesan singkat kepada Dewi.

“Wi, abang pulang larut malam ini. Kalau mau tidur kunci pintu dulu aja. Nanti abang lewat pintu belakang sekalian masukin motor”
“jam berapa kira kira sampai bang?”

“mungkin jam 9an. Abang baru siap siap”

“yaudah, hati hati di jalan”

“ya”

Tidak seperti jalanan di kota kota besar, pemukiman kampung ini sudah sepi dari aktivitas manusia setelah jamaah shalat isya dan anak anak surau bubar.
Beberapa yang masih ada orang hanya sejumlah warung kopi tempat para bapak2 bermain ceki, permainan kartu kuning. Namun warung yg berada searah dengan rumah Dewi hanyalah warung yang berada diluar batas kampung, tempat Ade terakhir menyelamatkan diri, sedangkan di sekitar-
-rumah Dewi tidak ada warung yang buka hingga malam.

Basri menyusuri jalan kampung dengan motor matic miliknya. Perkiraannya untuk sampai rumah jam 9 meleset hingga jam 10 malam.
Jalanan sudah sangat sepi, bahkan warung terdekat itu juga sudah bersiap siap tutup karena tidak ada pembeli malam itu.
Ketika sampai di pekarangan rumah Mardani, Basri segera berbelok menuju belakang.
Tepat posisi rumahnya dan Dewi berada, lalu mengarahkan motor ke sisi kanan rumah untuk bisa lewat pintu belakang. Ia yakin seluruh keluarganya sudah tidur karena lampu tengah sudah dimatikan.
Basri turun dari motornya dan menegakkan standar dua agar lampu motornya tidak mati untuk meneranginya saat membuka kunci. Bagian belakang rumah Dewi memang langsung mengarah ke hutan dan tidak ada penerangan kecuali dari lampu di dalam rumah.
Saat sedang mengambil kunci di sakunya, tiba tiba Basri mendengar sesuatu yang berjalan di arah kanan belakangnya. Basri menoleh dan saat itu juga menarik nafas cukup dalam..
Dengan sedikit bantuan cahaya lampu motor yang memantul balik dari dinding, Basri bisa melihat seseorang tengah berdiri menghadap kearahnya dari jarak hanya sekitar lima meter..

Namun cahaya motor itu tidak sampai menerangi seluruh tubuh dari sosok tersebut.
Yang bisa Basri lihat, sosok yang berdiri diam itu memiliki tubuh abu kebiruan dengan celana pendek dan tanpa alas kaki...
Beruntung, Basri bukanlah orang yang penakut. Tidur sendirian di tengah hutan dan melihat makhluk makhluk aneh sudah menjadi kesehariannya sejak bujang dahulu. Menyadari ada sesuatu yang memperhatikannya, ia justru mengajaknya berbicara.
“hah, manga tu tagak disinan?? A nan bacaliakan dari den??” (nah, ngapain kamu berdiri disana?? Apa kamu liat liat saya??) ucap Basri tegas.

Ia tau sosok seperti itu akan kabur jika kita berani dan tidak menampakkan ketakutan.
“..pai lah lai den ka ma..”(pergilah saya mau ma..)
“sakit bang.. sakit..”

DEG!

Baru kali ini Basri merasakan kepanikan saat sosok yang ia hadapi menjawab kalimat yang ia lontarkan.

Keberaniannya sesaat hilang dan entah kenapa tangannya terasa kaku untuk memutar kunci.

“bang.. sakik bang… bang…”
Suara itu menggema dari arah belakang Basri. Saat itu juga Basri sadar suara itu adalah suara yang sama dengan yang menjawab salamnya malam itu.
Basri mengambil beberapa kerikil di tanah dan melemparkannya ke arah belakang. Namun sosok itu masih berdiri disana, terlihat dari kakinya yang tidak juga bergeser dari tempatnya.
Kesal dan ingin melihat siapa sosok yang mengganggunya, Basri naik kembali dan motornya dan memutar arah motornya menghadap hutan. Lalu dengan mengucapkan bismillah, ia menekan tombol lampu jauh..
Dan apa yang dikhawatirkan Basri sejak awal ternyata terbukti..
Sosok yang kini berdiri bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek tanpa alas kaki itu adalah jelmaan Ade. Tubuhnya lebam lebam membiru dan kulitnya keabuan. Matanya kuning dan ia merunduk dengan darah mengalir dari dada dan celah celah lobang di tangannya.
“astaghfirullahaladzim” ucap Basri ketika lampu jauh itu berhasil menampakkan sosok itu.

“sakik bang… sakik.. hh…hh..” sosok itu terus mengucapkan hal yang sama dan terdengar seperti menangis.
“Ade alah maningga. Ndak diam kalian tiru adiak den tu mambuek fitnah di keluarga den!” (Ade sudah meninggal. Kalian jangan meniru dia dan membuat fitnah di keluarga saya!) bentak Basri. Ia tau makhluk yg berdiri di depannya kini bukanlah Ade, melainkan jin yg menyerupai iparnya.
“sakit..”
“Manga ang sakik sakik hah??! Den gado jo batu ang nio??!!” (kenapa kamu sakit sakit hah??! Saya timpuk pakai batu mau kamu??!!) geretak Basri.

“huu…hu…. Hu…” sosok itu menangis.
Basri kehabisan kesabarannya. Sosok ini yg membuat Dewi ketakutan beberapa waktu lalu.
“PAI ANG! PAI NDAK??!! PAI!!” (PERGI KAMU! PERGI GAK??!! PERGI!!” bentak Basri sambil melempari sosok itu dgn kerikil.

klek

Basri menoleh ke belakang, pintu belakang terbuka dan Dewi sudah berdiri disana dengan mata sipit karena baru terbangun.
“ada apa bang? Kok berisik banget..” tanya Dewi.

Lalu tiba tiba saja angin halus seperti melewati tubuh Basri. Basri menoleh kembali ke arah posisi makhluk tadi berdiri namun sosok itu sudah menghilang.

“eng.. tadi ada anjing dari dalem hutan abang usir” ujarnya mengelak.
Basri memasukkan motor ke dapur sambil ditunggui oleh Dewi. Ia memandangi Basri dalam dalam dengan penuh kecurigaan.

“abang coba jujur..”

“jujur apa?” tanya Basri.

“Dewi ga denger suara anjing atau apapun daritadi selain suara abang” pungkas Dewi.
Basri terdiam.
“abang ngomong sama siapa tadi?..” cecar Dewi.

Pandangan Basri tidak tentu, tanda bahwa ia sedang memikirkan sesuatu, lalu ia menarik nafas panjang.

“abang gamau cerita malam ini. Abang ceritakan besok..” ucap Basri sambil melepas jaketnya dan berjalan keluar dari dapur.
Namun baru saja akan melewati ruang tengah, Basri tiba tiba saja mendengar suara pria dewasa bergumam dari arah kamar Lutfi. Basri memperlambat langkahnya lalu mengintip dari sudut pintu..
Ia tercekat dan membaca surah surah pendek dengan lirih. Ia mundur dua langkah dan berbalik menghadap Dewi yang masih memperhatikannya dari dapur. Basri memberikan kode kepada istrinya itu untuk mendekat.
Dewi yang merasa dipanggil kemudian berjalan ke arah Basri. Basri menaruh jarinya dan depan bibir lalu memberi kode agar Dewi mengintip ke dalam.

Dewi menuruti perintah itu dan mendapati Lutfi sedang duduk bermain ABC lima dasar seorang diri dan tidak tertidur..
“ABC lima daaasar” ucap Lutfi sambil membuka kelima jarinya dan menghitungnya

“A.. B.. C.. D.. E..”

Lalu tiba tiba saja ia menunjuk ke ruang kosong di hadapannya..
“F.. G..”

“G.. gajah! Hahaha Lutfi menang!” ujarnya riang.
Dewi merasa risih dengan kelakuan Lutfi saat itu. Ia hanya membuka kelima jarinya, dan jari siapa yang ia hitung setelahnya?..

“kamu liat Lutfi main sama siapa?..” tanya Basri berbisik.

“engga bang.. ngiggau kali ya?..” ujar Dewi cemas.
“A B C lima daaasar!” ujar Lutfi lagi sambil mengeluarkan tiga jarinya. Basri tetap memperhatikan anaknya itu dari pintu.

“dia ga ngigau Wi.. yang ini pasti dia hitung sampai huruf H..” ujar Basri.
Dewi menatap suaminya dengan bingung namun pandangannya kembali pada Lutfi untuk membuktikan prediksi suaminya itu.

“A.. B.. C..” ujarnya menghitung jarinya sendiri lalu menunjuk ke ruang kosong di hadapannya lagi.

“D.. E.. F.. G.. H! Harimau!” sorak Lutfi.
Dewi refleks melihat ke Basri kembali.

“..Lutfi main sama siapa…????” suara Dewi bergetar.

“..paja nan samo nan ambo like sabanta ko di balakang..” (..orang yang sama yang saya lihat di belakang barusan..)
Dewi masih belum mengerti. Di matanya kini ia melihat Lutfi bermain seorang diri, namun Basri mengatakan ada “seseorang” atau “sesuatu” yang bermain dengannya.

Tiba tiba saja Lutfi menghentikan permainannya.

“bentar om, haus” katanya.
Lutfi lalu berlari keluar kamar dan mendapati kedua orang tuanya tengah berdiri di dekat pintu.

“Eh ibu, ayah, tuh di dalam om Ade udah pulang. Abang mau ambil minum dulu” ujar Lutfi sambil berlalu mengambil segelas air minum ke dapur.
Ia meminumnya di belakang lalu membawa gelas berisi air ke sesuatu yang menurutnya “om Ade” itu.

Lutfi menyodorkan gelas itu dan tertawa tawa. Basri merasa muak, sosok ini sudah meniru orang paling dekat dengan anaknya dan masuk ke rumah begitu saja.
“Lutfi, udah mainnya. Tidur!” ujar Basri tegas.

“masih seru yah, ini om Ade mau..”

“nggak! Gaada om Ade! Itu setan!” bentak Basri. Dewi tidak siap saat ucapan itu meluncur dari mulut suaminya.

“setan apa yah?..setan kan jahat..” ujar Lutfi.
“iya! Yang main sama kamu sekarang itu jahat!!” ujar Basri lagi.

“Om Ade bukan orang jahat…om Ade bukan setan yah..”
“Lutfi! Yang kamu lihat itu bukan om kamu! Om Ade udah meninggal Lutfi! Om Ade ga pergi kerja atau kemanapun! Om Ade udah dikubur di tanah! Om Ade udah gabisa ketemu kamu lagi!!”
Basri melontarkan semua ucapan itu setelah hampir sebulan lamanya keluarga Mardani menutup nutupinya.
"abang.. Lutfi bang.." ujar Dewi mengiba. Wajah Lutfi memerah padam. Pandangannya berpindah melihat ke sisi kosong, lalu ke ayahnya, kembali ke sisi kosong, lalu ke ayahnya.

“Lutfi ga percaya ayah! Lutfi maunya main sama Om Ade!!”
Basri mendengus kesal dan segera menarik badan Lutfi dan memeluknya erat erat. Lutfi menjerit sejadi jadinya dan menggapai gapai kearah sudut ruangan, meminta sesuatu itu menariknya dari pelukan ayahnya sendiri.
“Bao Tomi, wak malam ko lalok tampek akak den” (Bawa Tomi, kita malam ini tidur di tempat kakak saya) ujar Basri bergegas.

“Nyalakan semua lampu. Kunci semua pintu. Ayo cepat cepat!” ujar Basri sambil mengeluarkan lagi motornya, tidak peduli Tomi terbangun dan mulai merengek.
Motor itu melaju cepat dari sisi belakang ke depan rumah. Basri memeluk tubuh Lutfi erat erat dengan satu tangan, sementara Tomi digendong di belakang.

Sebelum menjauh, basri mengarahkan spionnya ke arah rumahnya.

“Lihat itu di dalam rumah Wi..” ucap Basri kepada Dewi.
Dewi lantas memalingkan pandangannya ke belakang. Ia awalnya tidak sadar apa yang dimaksud Basri sampai ia melihat ada bayangan seseorang sedang berdiri diam di ruang tengah..

“abang.. itu siapa…” air mata Dewi berlinang.

“…”
Basri hanya diam dan terus menjalankan motornya hingga sampai ke rumah sang kakak di kampung yang berbeda dari posisi rumah Mardani.
Kakak dari Basri juga sudah mendengar rumor makhluk menyerupai Ade yang berkeliaran di kampung Parit, maka ketika adiknya itu bercerita alasan mereka menginap secara mendadak malam ini, ia bisa menerimanya.
“besok bawa bapak sama ibu mertuamu kesini, saya panggilkan kenalan saya yang paham sama hal hal beginian” ujar kakak Basri sebelum menyuruh satu keluarga itu menempati kamar tidur tamu di rumahnya.
Keesokan paginya, Basri kembali ke rumah untuk mematikan lampu dan menyiapkan Lutfi untuk berangkat sekolah. Setelah mengantarkan Lutfi ke sekolah, Basri kembali untuk menjemput Mardani dan Hamidah untuk berkonsultasi dengan kenalan kakaknya.
Jika di Kampung Parit ada mendiang Mak Musa, maka orang yang dikenal fasih dengan hal hal klenik seperti itu di kampung sebelah adalah Nyiak Zahar. Seorang sepuh yang dihormati dan sering menjadi “rujukan” untuk pengobatan seputar hal klenik.
Mardani dan Ade dahulu juga sempat mendatangi orang ini untuk pengobatan Salman pasca meninggalnya Musa, namun saat itu Nyiak Zahar sedang mengobati orang lain diluar kota selama berminggu minggu.
Keluarga Mardani akhirnya berkumpul di rumah tersebut bersama Nyiak Zahar. Nyiak Zahar kala itu hanya mengenakan sarung dengan bertelanjang dada dan terus menghisap rokok lintingan yang baunya seperti jerami bakar.
“Nyiak.. kok inyiak lai dapek kaba, agak sabulan lalu, keluarga kami ko dapek kamalangan.. Adiak kami, Ade, maningga dek kanai pato abangnyo surang, Salman..”
(kakek.. kalau kakek udah dengar kabar, agak sebulan lalu, keluarga kami dapat kemalangan.. adik kami, Ade, meninggal karena ditebas kapak sama abangnya sendiri, Salman..) ujar Basri membuka percakapan.
“Tu kini siap tu, kalian maliek Ade bajalan jalan di rumah padahal inyo lah maningga?” (Terus abis itu, kalian liat Ade berjalan jalan di rumah padahal dia sudah meninggal?) Nyiak Zahar memotong pembicaraan Basri.
“bana…” (benar) jawab Basri lalu menceritakan kejadian yang keluarganya alami tadi malam.
Mardani dan Hamidah yg semula tidak tau bahwa Dewi dan Basri menyuruh keduanya kesini untuk hal ini tentu saja kaget.

“Nampak dek kalian si Ade?..” (kalian ngeliat Ade?..) tanya Hamidah.
“Iya bu.. di hari ibu sama Dewi ke rumah dan Lutfi tidur, abis ibu pergi, Dewi liat ada laki laki di dalam kamar Lutfi sama Tomi. Gemuk pendek dan keliatan kayak Ade.. tapi badannya abu abu..” jelas Dewi.
Mardani dan Hamidah hanya terdiam. Mereka menyimpan sebuah cerita namun masih tertahan untuk diceritakan.

“lah bara lamo adiak ko maningganyo?” (udah berapa lama adik ini meninggalnya?) tanya Nyiak Zahar

“sabulan kurang labiah nyiak..” (sebulan kurang lebih kek..) jawab Basri.
“Kok ndak adoh nyo manga manga, bamain main jo anak anak ketek atau lalu lalang se ndak a doh.. urang tu salamo 40 hari satalah nyo maningga masih ado jo di sakitar awak sabalun akhianyo naiak. Kok iyo nan bakicekan tadi tu, agak sapuluah hari lai lah, lah ilang surang tu..”
(kalau dia ga ngapa2in, Cuma main sama anak kecil atau berlalu lalang di dalam rumah, ga masalah.. manusia itu selama 40 hari setelah kematiannya masih ada di sekitar kita sebelum benar2 naik. Kalau yg kamu bilang tadi benar, paling sekitar 10 hari lagi dia akan hilang sendiri) -
-jelas Nyiak Zahar panjang lebar.

Dewi terlihat lega, namun tidak dengan Basri. Ia baru saja akan bicara hingga tiba tiba Hamidah bertanya..
“kok inyo nampak dalam bantuak pocong badarah darah, apo artinyo tu Zahar?..” (kalau dia muncul dalam keadaan menjadi pocong dan berdarah darah, itu apa artinya Zahar?..)
Nyiak Zahar menghisap rokoknya dalam dalam dan meniupkan asapnya ke bawah. Seisi ruangan melihat kearah Hamidah yang seakan tau pertanyaannya akan membuat keluarganya keheranan.

“itu nan nampak ka kau Dah?..” (itu yang diperlihatkan ke kamu Dah?)
“Iyo har.. bahkan nyo mancogok siang hari” (iya har. Bahkan dia muncul siang hari)

“Kok baitu, tando ado urang nan buruak parangai ka anak kau satalah nyo maningga..” (kalau seperti itu, itu tandanya ada orang yang melakukan keburukan setelah anakmu meninggal)
“manga urang tu sampai anak den jadi bantuak tu…” (apa yang dilakukan orang itu sampai anak saya jadi seperti itu..)
“ambo ndak tau lo doh.. babeda beda. Kadang inyo tu nan maagiah tando baa caro urang manyisonyo.. Antah ado nan ndak dibukakan tali pocongnyo wakatu batanam,-
-kadang mancogok nyo untuak minta tolong balapehan. Kadang ado nyo tagak taruih di satu tampek sambia mangarik ngarik, biasonyo disinan latak kiriman buruak nan mambuek urang tu mati.. “
(saya juga tidak tau.. berbeda beda. Kadang dia sendiri yang kasih tau gimana cara orang menyiksanya.. Ada yang tidak dibuka tali pocongnya waktu dikubur, kadang dia muncul untuk minta tolong dilepaskan.
Kadang ada yang muncul di sudut itu saja terus terusan sambil bergerak gerak, itu biasanya disana letak kiriman santet yang membuat orang itu mati..) jelas Zahar.

Seluruh keluarga Mardani menyimak dan mengira ngira apa yang mungkin terjadi pada Ade.
“atau kadang ado nan mancogok sambia mangicek sakik sakik, itu biasonyo ado nan maagiah limau ka darahnyo.. “ (atau kadang ada yang muncul sambil bilang sakit sakit, itu biasanya ada yang ngasih jeruk nipis ke darahnya..) ujar nyiak Zahar.
“nah iyo tu nyo takah tu..” (iya benar, dia seperti itu).

“itu nan sampai ka awak” (itu yang muncul di saya) tiba tiba saja Mardani dan Basri berbicara hampir bersamaan. Basri melihat ke arah mertuanya yang juga berbalik melihat ke arahnya.
“Den mandanga suaro Ade maminta tolong dek sakik dari dalam hutan..” (saya mendengar suara Ade meminta tolong karena kesakitan dari dalam hutan..) jelas Mardani tanpa ditanya.

“Kok waang?” (kalau kamu?) tanya Zahar kepada Basri.
“Awak basobok nan sarupo Ade malam tadi di balakang rumah. Inyo taruih mangicekan badannyo sakik, bantuaknyo samo bana takah nan digambaran Dewi tadi”
(Saya ketemu yang bentuknya seperti Ade malam tadi di belakang rumah. Dia terus terusan bilang badannya sakit, wujudnya sama persis dengan yang dibilang Dewi tadi) jelas Basri.
Nyiak Zahar berdiri lalu berkata,
“nah wak bantu paja malang tu bia tanang nyo pulang ka Tuhan” (ayo kita bantu anak malang itu biar dia tenang kembali ke Tuhan).
Rombongan itu lalu pergi ke lokasi ditemukannya Ade oleh Kutar. Kondisinya sudah tidak seperti sebulan lalu. Rumput rumput liar mulai tumbuh dan bercak bercak darah itu sudah hilang tergerus hujan dan panas.
Nyiak Zahar memperhatikan lokasi itu dan disekelilingnya dgn seksama. Ia menggesek gesekan kakinya disana lalu merapal suatu bacaan yg lebih terdengar seperti gumaman.

“ndak surang urang sajo mancari karajo ko mah..” (bukan Cuma satu orang saja yg nyari kerjaan ini) ujar Zahar.
“Baa tu har?” (kenapa begitu Har?)

“Kok ka mailangan akibaik urang kurang aja nan maagiahan limau ka darah ko sabananyo murah nyo.. tingga baagiah garam, bahkan kadang jo batimbun atau kanai aia hujan lah cukuik.. tapi bantuaknyo ko lain.. ado bagian tubuah anak kau nan alun-
-baliak ka tanah lai.. “ (kalau untuk menghilangkan efek dari orang kurang ajar yang menyiram air jeruk nipis ke sini sebenarnya mudah. Cukup dengan diberi garam atau ditimbun, bahkan kadang efeknya sudah hilang ketika kena air hujan.. tapi keliatannya ini lain.. -
- ada bagian tubuh anakmu yang belum kembali ke tanah..) ujar Zahar.

“Tapi Salman ga sama sekali mutilasi Ade nyiak.. keadaan anggota tubuh Ade utuh..” bantah Dewi.
“Bagian badan tu ndak selalu takah tangan sagadang ko a.. dari nan kapalo sampai aia aia di badan wak ko masih badan awak namonyo” (bagian badan itu gak cuma seperti tangan begini.. dari kepala sampai air air yang ada di badan kita ini masih badan kita namanya) jelas Zahar.
“… lai kalian barasiahan sadoalahnyo satalah jenazah batanam?..” (kalian sudah bersihkan semuanya setelah jenazah dikuburkan?).

Mardani dan Hamidah mencoba mengingat ingat. Seharusnya sudah semua.. sampai Hamidah sadar..
“kalau baju terakhir si Ade tamasuak tu Har?..” (kalau baju terakhir Ade apa itu termasuk Har?)

“lai banyak darah anak kau disinan?” (banyak darah anakmu di baju itu?)

“banyak..”

“alun kau cuci lakik kini lai?..” (belum kamu cuci sampai sekarang?..)

Hamidah menggeleng.
“Itu ciek sajo tingga baju si Ade nan masih ado baun badannyo Har.. wakatu hari kejadian tu aden siap manyasah baju baju anak den.. itu ciek se baju kumuah nyo…”
(itu satu satunya baju peninggalan dia yang masih ada aroma badannya Ade Har.. waktu hari kejadian itu saya habis mencuci baju anak anak saya.. Cuma itu baju yang kotor yang tersisa..) ungkap Hamidah dengan mata berlinang.
“Aden tau kau sadiah.. apolai itu anak bungsu kau. Tapi cubo lah wak ikhlas. Ikhlas maso apo nan lah Allah agiah ka awak, Inyo ambiak baliak..”
(saya tau kamu sedih.. apalagi itu anak bungsumu. Tapi cobalah untuk ikhlas.. ikhlas bahwa Allah ambil sesuatu yg sudah Dia berikan kepada kita) ujar Zahar.

Hamidah masih merasa berat hingga akhirnya sebuah pelukan hadir dari belakang.
“Dah.. kok iyo awak ka mambantu Ade dan sayang samo inyo, yo iko caronyo Dah.. “ (Dah.. kalau memang kita mau membantu Ade dan sayang sama dia, ini caranya..) ujar Mardani dengan suara tangis yang tertahan.

Hamidah akhirnya mengangguk setuju.
Sebelum pergi meninggalkan lokasi itu, Zahar tetap menaburkan garam di lokasi kubangan darah Ade sebelumnya. Lalu mereka semua berkumpul di rumah Hamidah, dengan tujuan menyelesaikan urusan mengenai baju peninggalan Ade itu.
Hamidah masuk ke kamar Ade dan membuka lemari tersebut. Sebuah kain lusuh nampak terpisah posisinya disebelah tumpukan baju baju bersih yang nampak masih rapi.

“wakatu pagi tu, pocong tu kalua dari lamari lo..” (waktu pagi itu, pocong itu keluar dari lemari ini..) ujar Hamidah.
Hamidah mengambil kain yang penuh bercak kecoklatan dan compang camping itu dan mengganggamnya dengan gemetar.
“Mayik tu ndak ka tanang pai kaateh kok ado jo urang nan ndak ikhlas malapehan inyo doh. walaupun lah ilang baju ko, lah bakubua bana, tapi kok ado urang nan masih ndak-
-ikhlas, Ade ndak ka tanang” (mayat itu tidak akan tenang pergi keatas kalau ada satu aja orang yang gak ikhlas dengan kematiannya.. walaupun baju ini nanti udah ilang, atau udah dikubur, tapi masih ada orang yang gak bisa melepaskan, tetap Ade gak akan tenang..) pesan Zahar.
“Aden masih maraso anak den ado dirumah tiok mancium baun baju ko Har.. biko baa kalau ndak adoh.. dima ka den cari lai..” (saya masih merasa anak saya ada dirumah tiap saya mencium bau baju ini Har.. nanti kalau baju ini udah ga ada.. kemana lagi akan saya cari..)
air mata Hamidah tak tertahankan.

“capek atau lambek awak ka lupo, awak ka manjalanan iduik surang, tapi nan Ade ko, ijanlah dek awak nan masih iduik jadi mambabani inyo Dah..”
(cepat atau lambat kita akan lupa, kita akan menjalani hidup sendiri, tapi untuk Ade, janganlah kita yg masih hidup sekarang membebani dia Dah..) ujar Zahar, menyusun kata demi kata untuk mengobati hati seorang ibu yg tidak siap kehilangan anaknya mendadak dan cara yg mengerikan.
Hamidah menarik nafas panjang dan mengeluarkannya lewat mulut. Badannya menggigil dan nafasnya lemah karena menangis. Ia butuh waktu yang lama sampai akhirnya memutuskan..
“ndak diam wak kubua baju ko, wak baka sajo. Gakti kok bakubua sajo.. aden bisa manggali baju tu liak bilo den taragak bana jo anak den..” (gak usah kita kubur baju ini, kita bakar saja.. saya bisa menggali baju ini saat saya kangen Ade kalau seandainya cuma dikubur aja)
Sebuah api unggun dibuat, Zahar mempersilakan Hamidah melemparkannya kapanpun ia siap.

“salamaik jalan nak..” ujar Hamidah lalu melemparkan baju itu hingga tidak terlihat lagi dan menjadi abu.
“sekarang, kita cuma tinggal nunggu hari keempat puluh aja ya bang, dan udah.. Ade akan lepas dari semuanya..” ujar Dewi.

“InsyaAllah Wi.. biar kita ga khawatir lagi.. setelah itu kita bilang yang sebenarnya ke Lutfi ya..” jawab Basri.

“iya bang..” balas Dewi.
Untuk berjaga jaga, Lutfi dan Tomi diungsikan sementara di rumah kakak Basri sampai hitungan waktu keempat puluh hari selesai. Pada hari ke-40 juga keluarga Mardani akan mengadakan “doa manamaik” sebagai penutup kegiatan adat acara kematian di ranah Minang.
Sehari sebelum mandoa manamaik tadi, Dewi, Mardani dan Hamidah untuk pertama kalinya akan membawa Lutfi ke penjara.
Walaupun Hamidah berharap anaknya hanya akan direhabilitasi, namun saat dilakukan pengecekan kejiwaan saat itu Salman dalam keadaan sadar dan dapat menjawab semua-
-pertanyaan dengan normal. Namun memang ingatannya saat kejadian itu seperti terpotong dan ia merasa tidak pernah membunuh adiknya...
Pada akhirnya Salman dijatuhi hukuman 8 tahun penjara.. dan setiap minggunya Mardani dan Hamidah menjenguknya. Terkadang Dewi ikut, namun beberapa kali tidak.
Hanya kedua orang tuanya yang setia dan mau untuk menjenguk Salman, sementara penduduk kampung Parit atau bahkan ayahku, sama sekali enggan untuk menjenguk Salman bagaimanapun keadaanya.
Saat hari masih pagi, dgn mobil pinjaman tetangga, Mardani, Hamidah, Dewi, Basri serta kedua anaknya, Lutfi dan Tomi berangkat menuju tempat Salman ditahan.
Lutfi bertanya tanya kemana mereka akan pergi saat itu kepada kedua orang tuanya.

“kita ketemu Om Salman ya..” ujar Dewi.
“eh Om Salman udah pulang juga?? Om Ade udah duluan disana?” tanya Lutfi yang seketika bersemangat.

“kan ayah bilang nak, Om Ade udah gaada..” dengan sabar Basri menjawab seperti itu setidaknya dua kali sehari.
Setibanya di ruang jenguk penjara, Dewi mengeluarkan semua makanan yang ia bawa dan makan makanan itu bersama. Air mata Dewi mengalir deras.. ini pertama kalinya ia makan bersama lagi sejak hari itu.. namun tanpa kehadiran Ade diantara mereka..
Salman makan dengan sangat lahap seperti orang kelaparan. Lutfi hanya memandangi Salman tanpa berani menyapa. Ia memang tidak sedekat itu dengan Om Salman, tapi entah kenapa memang saat itu Om Salman terlihat sangat jauh berbeda dari yang terakhir ia ingat.
“Lai lamak sambanyo man?..” (enak masakannya man?) tanya Hamidah memulai percakapan di meja yang dari tadi bisu itu.

“…” Salman tidak menggubrisnya. Ia terus makan dan makan bahkan menghabiskan banyak lauk seorang diri.

Dewi dan Basri memperhatikannya dengan khawatir.
“Udah bukan Salman ini ya?..” tanya Basri kepada Dewi.

“kayaknya bukan bang..” ujar Dewi.
Selesai makan, tanpa mencuci tangan, Salman berdiri dan hendak kembali ke selnya setelah kenyang. Tanpa ada percakapan atau bahkan ucapan terima kasih.
“Man.. malam beko kami manamaik adiak ang.. doaan adiak ang yo” (Man.. malam nanti kami menamat kematian adikmu.. doain adik kamu ya..) ujar Mardani.

“mati ka mati anjiang se lah paja tu kana badoaan??” (mati kayak anjing aja dia, kayak gitu kenapa sampai didoain??) ujar Salman.
“WAANG TU NAN ANJIANG MAN! WAANG TU NAN ANJIANG PANT*K!!!” (KAMU ITU YANG ANJING MAN! KAMU ITU YANG BRENGSEK!!) Mardani tidak dapat menahan emosinya. Kalau bukan karena Basri menahan tangannya, mungkin salah satu piring di meja sudah melayang menghantam kepala Salman saat itu.
Keributan itu sempat menjadi perhatian para tamu besuk tahanan saat itu dan membuat Salman langsung dikembalikan ke selnya walaupun masih ada durasi besuk yang tersisa. Keluarga Mardani juga diminta meninggalkan ruangan itu segera.
Keadaan Salman memang terus memburuk setiap Mardani dan Hamidah datang. Namun keduanya masih saja bersikukuh bahwa Salman sudah sembuh dan bisa dibawa pulang. Mereka bahkan diam diam hendak menyogok pihak polisi agar Salman bisa bebas.
Namun permintaan masyarakat mutlak menolak Salman kembali ke kampung parit dan berkeliaran bebas tanpa bisa dikendalikan.

“Bu, om Salman mau kemana lagi?..” tanya Lutfi.

“Sekarang Om Salman tinggalnya disini nak..”
“kenapa ga tinggal sama kita di rumah?.. disini banyak banget orang..”

“gapapa, Om abis marah marah terus kalo di rumah, jadinya tidurnya disini aja biar bareng bareng sama yang lain. Abang kalo mau ketemu om Salman nanti tinggal kesini aja yaa.
Lutfi mengangguk paham walaupun dari matanya masih terlihat kebingungan.

Malamnya, acara mandoa manamaik diadakan. Para tetangga yang hadir cukup banyak. Kegiatannya sama seperti tahlilan di masyarakat pulau Jawa.
Tamu mulai berdatangan ba’da isya dan acara doa bersama dimulai sekitar jam sembilan malam.

Sementara para pria membaca yasin dan doa di ruang tengah, ibu ibu dan anak² mendoa beralaskan tikar di lantai dapur. Ini sudah menjadi hal biasa di kampung dengan ukuran rumah terbatas.
Seusai acara, entah kenapa Dewi merasakan kelegaan di dalam dirinya. Masih dengan mengendong Tomi, ia memanggil Basri untuk mendekat.

“besok kita ajak Lutfi ziarah ke belakang ya bang..” ujar Dewi.

Basri mengangguk. “Iya wi.. Memang sudah waktunya..”
Malam itu mereka kembali tidur di rumah Dewi setelah beberapa malam menginap di rumah kakak Basri. Tepat malam itu juga, Dewi mendapat sebuah mimpi yang baginya begitu penuh arti..
Di mimpinya itu, Ade ada di dalam rumahnya dan sedang menimang nimang Tomi. Namun Dewi yang ada di dalam mimpi itu tidak takut atau cemas, ia membiarkan Ade bercanda dengan keponakannya itu.
"kamek badannyo lai. yo gagah gadangnyo beko ndak ni?" (lucu banget badannya.. gagah nanti kalau udah besar nih ya ga kak?) canda Ade disana sambil menyerahkan Tomi kembali ke gendongan Dewi.

“Iya gapapa gagah asal jangan kayak omnya, jadi preman!” jawab Dewi.
Ade tertawa begitu lepas.. lalu wajahnya berubah serius namun tetap teduh.
“gimana kabar abang kak?”

“masih kayak gitu aja. Kakak ragu dalam waktu dekat dia sembuh”
“jangan tinggalin abang ya kak.. walaupun begitu itu abang kita. Ingat waktu kita masih diasuh sama dia dulu, jangan ingat yang sekarangnya aja” ujar Ade.

“iya.. ibu bapak juga setiap minggu kesana..”

“baguslah.. berarti.. Lutfi sekarang udah jadi abang ya kak?” tanya Ade lagi.
“iya, dia udah jadi abang, Dia juga sering nyariin omnya sampai sekarang, mau nunjukin dia udah punya adek. Eh omnya malah kemana mana” ujar Dewi di mimpi itu.

Ade kembali tertawa lepas.

“dasar emang Lutfi dari dulu.. dia masih mau jadi polisi katanya?”tanya Ade
“kakak bahkan gatau dia mau jadi polisi”

“aduh gimana? Dia daridulu bilang pengen jadi polisi karena ngeliat polisi lalu lintas pas jalan jalan sore. Gapernah berubah. Eh sekarang malah omnya sendiri ditangkap polisi”
“emang dia lebih terbuka sama omnya ketimbang ibu ayahnya sendiri ya, haduh..” sesal Dewi.
Keduanya lalu berada dalam suasana diam tanpa percakapan. Mereka hanya saling pandang, menyadari perkataan orang orang yang bilang mereka seperti kembar walaupun berbeda tahun kelahiran dan berbeda jenis kelamin. Dewi seperti bercermin saat melihat wajah Ade di mimpi itu.
“besok, kakak udah bisa bilang ke Lutfi keadaan Ade sekarang ya” ujar Ade.

“iya, besok kita mampir.. mungkin akan susah, kamu kalo bisa bantu jelasin ke Lutfi juga” jawab Dewi.

“nanti Ade coba deh..”
..

“titip jagain Lutfi, ibu dan bapak ya kak. Bilang ke ibu jangan sedih terus. Ade juga ngerasain disini kalo ibu sedih. Titip bapak juga, bilang jangan terlalu banyak ngerokok dan jalan jalan.. kakinya udah ga kuat itu”
“iya.. bapak sama ibu masih punya anak cewek dan menantunya di rumah kok”

Ade mengangguk.
“Oh terakhir, besok mau nitip beliin ini ya..” ujar Ade

“nitip? nitip apa?...”


..
.
Keesokan paginya, Dewi membangunkan Lutfi dan mengatakan bahwa ia akan mengajaknya pergi ke suatu tempat.

“kemana bu?”

“udah mandi dulu, mau ketemu om Ade kan?” jawab Dewi.

Mendengar nama itu, Lutfi seketika bersemangat. Ia mengenakan baju terbaiknya dan bersiap keluar.
“Ayuk bu! Ayuk!!” sorak Lutfi. Ia mengira ia akan dibawa ke tempat yang sama dengan tempat ia bertemu Salman kemarin.
Namun ternyata Dewi dan Basri mengajaknya berjalan kaki ke arah belakang. Ke sebuah gundukan dengan papan kayu tertancap diatasnya bertuliskan sebuah nama.
“Abang, coba abang baca itu di kayu tulisannya apa..” pinta Dewi dengan lemah lembut.

Lutfi mendekati kayu nisan itu dan membacanya..

“Ade Firmansyah bin Mardani..” ejanya.

“nah bang.. om Ade sekarang ada dibawah sana..” tunjuk Dewi.
“Dibawah? Dibawah mana bu?”

“Dibawah tanah ini.. abang kesini dulu deh” perintah Dewi.

Lutfi mendekat, Dewi lalu mengelus rambut Lutfi dan menyisirnya dengan jari jemarinya hingga rapi.
“abang harus ngerti ya.. om Ade udah gaada.. Om Ade udah meninggal karena sakit.. Lutfi udah ga bisa ketemu sama om lagi.. maaf ibu sama ayah bohong ke abang, om Ade ga pergi kerja selama ini.. om Ade udah dikubur dibawah sana nak..” ujar Dewi dengan mata yang berkaca kaca.
“tapi kalau Lutfi kangen sama om Ade gimana bu?.. om Ade emang gabisa bangun lagi bu?..” tanya Lutfi.

“ga bisa sayang, orang udah meninggal, nanti masuk akhirat. Waktu ngaji abang belajar ada surga sama neraka kan? Nah om Ade udah duluan menuju kesana dan gabisa balik lagi..”
Dewi memberi penjelasan dengan sabar sambil mempertahankan senyum demi anaknya itu.

“tapi kalau Lutfi mau ngeliat om Ade gimana bu?.. masa Om Ade pergi ga ngabarin Lutfi dulu..” wajah Lutfi memerah menahan tangisnya, hingga Basri sang ayah berkata di belakang.
“abang kalau mau ketemu om Ade, doain om Ade ya. Doain biar om Ade disana baik baik aja, diampuni dosanya dan bisa aja nanti abang ketemu sama om Ade di mimpi. Nah yuk kita doa buat om Ade” Basri berjongkok disamping Dewi dan Lutfi lalu menengadahkan tangannya.
“abang ikutin ayah ya..”

Lutfi mengangkat kedua tangannya menengadah berdoa. Ketiganya mendoakan Ade dengan segala doa doa kebaikan yang mereka bacakan. Lutfi terlihat lebih tenang, namun pandangannya masih tertuju ke gundukan tanah yang dibawahnya terbaring jasad Ade.
Melihat anaknya itu masih murung, Dewi kembali mengajaknya berbicara

“eh bang, tau ga, semalam om Ade dateng ke mimpi ibu loh” ujar Dewi.

Lutfi langsung menoleh
“iya bu? Ibu abis doain om Ade terus om Ade ada di mimpi ibu?” tanyanya.

“iya dong”

“Terus ngapain om Ade bu?”
“dia gendong Tomi, nanyain kabar nenek, kakek, terus juga nanyain kabar kamu” jawab Dewi.

“terus om Ade juga bilang, abang harus belajar yang pinter, biar cita citanya jadi polisi tercapai, biar bisa nangkep orang jahat”
Lutfi sepertinya kaget kenapa Dewi bisa tau cita citanya padahal selama ini jika ditanya oleh orang tuanya sendiri ia tidak pernah menjawabnya. Namun hal itu membuatnya semakin yakin bahwa memang om Ade datang ke mimpi ibunya tadi malam.
“oh iya satu lagi” ujar Dewi sambil merogoh saku belakangnya lalu mengeluarkan dua buah kue kacang dan memberikannya kepada Lutfi.
Lutfi menerimanya dengan terkejut dan tidak bisa berkata apapun..
“om Ade nitip suruh beliin ini ke abang, katanya abang suka banget kue kacang..” air mata Dewi akhirnya lepas dari kelopak matanya...
Lutfi menggenggam erat kue itu lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa dengan suara keras..

“YA Allah semoga Om Ade disana dapat makan enak, bisa keliling keliling pake motor dan sehat sehat aja ya Allah.. nanti malam suruh om Ade juga dateng ke mimpi Lutfi.. aamiin..”
Lutfi lalu memandangi dua kue kacang yang ada di tangannya. Lalu ia membuka bungkus plastik salah satunya dan menaruhnya tepat dibawah nisan kayu Ade.

“satu buat om aja, yang ini buat Lutfi..”
---batas, InsyaAllah kita lanjut besok hingga tamat---
Tahun 2021..

Beberapa Minggu menjelang dikeluarkannya Salman dari tahanan.. Warga yang masih trauma akan malam mengerikan itu mencoba untuk memberikan pilihan kepada satu satunya anggota keluarga inti Mardani yang tersisa, Dewi..
Mardani sendiri sudah meninggal pada 2017 dan disusul Hamidah setahun setelahnya. Keduanya meninggal dalam keadaan normal dan bawaan sakit di umur mereka yang sudah senja..
Sebelum meninggal, Hamidah sempat berpesan untuk menerima kembali Salman jika ia kelak sudah bebas.
Bagaimanapun Salman adalah bagian dari keluarga ini untuk selamanya...hal yang juga disampaikan Ade dalam mimpi Dewi. Namun Dewi mengalami hambatan karena warga kompak menolak kembalinya Salman ke rumah itu karena khawatir akan ada korban lainnya yang jatuh..
Terlebih hanya ada Basri laki laki dewasa di rumah itu nantinya, itupun tidak selalu bisa mengawasi 24 jam karena ia juga bekerja..

Warga memberikan tiga pilihan kepada Dewi, pertama, Salman ditempatkan di panti rehabilitasi ODGJ yang berada jauh diluar kota, kedua, Salman-
-tetap bertahan di penjara entah bagaimana caranya, atau Salman diizinkan pulang namun akan dipasung di rumah.. Tidak ada satupun dari pilihan itu yang baik menurut Dewi.

"Gimana bagusnya bang?.. Salman bakalan bebas sebentar lagi.. Mau kita rumahkan dimana bang Salman ya?.."
"Saya juga ragu sebenarnya.. Tapi kalau bukan kita yang urus, Salman gapunya keluarga lain lagi.." jawab Basri

Akhirnya Basri dan Dewi sepakat akan membawa Salman ke rumah dengan segala konsekuensinya. Namun tidak seperti permintaan warga, Dewi tidak sampai hati memasung-
-abang kandungnya sendiri. Ia hanya akan memasang teralis besi di setiap jendela dan mengunci Salman didalam sana..
Sementara itu di rumahku, seseorang terlihat gelisah. Itu terlihat dari banyaknya puntung rokok yang berserakan di asbak metal di hadapannya. Ya, itu adalah ayahku, Ilham. Ia seperti menghitung mundur hari demi hari hingga salah satu mimpi terburuknya itu kembali..
"Yah.. Gausah khawatir.. Pasti warga sekitar rumah nenek gaakan biarin om Salman bebas berkeliaran kayak dulu.." ujarku sambil duduk di ruang tengah bersama ayah.
"Kita gaada yang tau kalau orang kecolongan lagi.. Ayah gaakan setuju dia pulang walaupun itu sepupu ayah sendiri. Kemarin kemarin tantemu, si Dewi juga minta tolong ayah buat kasih pengertian ke warga, tapi ayah juga gaakan mau" Ujar ayah sambil menghisap rokoknya dalam dalam..
Aku terdiam, ayah sepertinya memang sekhawatir itu terhadap kepulangan orang yang pernah berniat membunuhnya. Namun karena dialog itu, aku jadi mengingat pertanyaan yang selama ini aku segan untuk menanyakannya ke ayah.
"..Tapi dulu kenapa dia nyarinya ayah yah?.. Aku dari dulu gak paham kenapa om Salman ngincar dan nyari ayah terus bahkan setelah ngebunuh om Ade.." tanyaku.
"Ayah sama Salman gaada masalah sebenarnya.. Tapi yang ada di dalam badan om mu itu yang ga terima sama ayah.." Ujar ayah.

"Ga terima kenapa?.."

"Ayah tau apa yang terjadi sebenarnya dan diluar dari apa yang orang lain tau dan tersebar.. Salman itu ga sebersih yang orang kira-
-.. Proyek proyek yang dia pegang, semuanya pasti pakai begituan biar lancar” ujar ayah sambil melihat ke arah teras.

“begituan apa yah?” tanyaku belum paham.

“Tumbal pancang..”

"Tumbal pancang?.."
"Iya.. Tumbal darah hewan biar pondasi dan bangunannya kuat. Ini cara lama yang dipakai orang orang dulu, arahnya jelas ke hal klenik dan syirik. Ayah dulu sempat larang dia buat ngerjain hal itu lagi, karena buat orang orang yang tau, tumbal pancang itu sama aja ngasih makan-
-jin dengan darah dan akhirnya tinggal di lokasi itu.. Waktu ayah larang dan kasih dia alasan alasan, Salmannya sempat tersentuh, tapi yang marah justru jin dalam diri dia. Karena kalau sampai Salman berhenti, itu artinya juga berhenti makanan dia disediain..” ujar ayah.
"Tapi terakhir dari kabar yang aku dapat yah, Om Salman mulai kena gara gara ngebunuh ular di hutan.."

"Itu yang orang awam tau.. Tapi sebenarnya itu cuma hasil apa yang dia pegang selama ini. Salman bergantung banget sama peliharaan dia..” ayah berhenti bercerita karena rokok-
-yang ia hisap sudah sampai pada bagian gabusnya. Ayah mengambil lagi batang rokok baru dan membakarnya, ini adalah batang rokok keempat yang ia habiskan sejak pagi.
“resiko orang yg pakai hal hal seperti tumbal tiang pancang itu, dia bakal diikutin sama banyak jin yang nantinya bakal dia taroh satu satu di pancang bangunan. Jadi dari awal memang om kamu itu udah banyak yang ikut.. tapi dia punya satu yang jadi peliharaan dia dan memang dia-
-dapatin dulu di Riau jadi penjaganya dia…” jelas ayah lagi.

“kapan om Salman ke Riau yah?.."

“udah lama, sejak ayah masih bujang dulu dia tinggal di Riau buat kerja. Bilang ke nenek dan kakek kerja proyek bangunan, tapi dia pernah ngaku ke ayah dia juga dapat guru spiritual-
-disana dan dikasih pegangan..”

“jadi pegangannya ini berbalik nyerang om Salman?”

“bukan.. tapi pegangannya dia ini kalah sama si jelmaan ular hitam yang dia bunuh di hutan.. ya akibatnya kamu bisa liat.."
"..itu semua yang ikutin dia selama ini udah coba nyerang tapi ketahan sama pegangannya dia, sekarang jebol langsung ambil alih badan Salman. Nah karena ayah dulu sempat larang dia kasih makan lagi jin jin itu, ayah juga diincar sama mereka.." ujar ayah.
"kalo Salmannya sendiri sepemantauan ayah kayaknya dia bakal nurut sama nasehat ayah tadinya..” ayah menjentik jentikan jarinya di ujung rokok untuk menjatuhkan abunya. Lalu memghisapnya sekali lagi sambil mengusap wajahnya dengan telapak tangannya yang lain.
“dan kamu bisa bayangin, beberapa minggu aja sejak ga diobatin, badan om kamu udah bisa dikendaliin kayak begitu. Dulu dia harus emosi baru diambil alih.. dan ini udah 8 tahun, tanpa ada pengobatan apapun.. ayah gabisa bayangin gimana dia sekarang..” ujar ayah menutup ceritanya.
Maret 2021...

Salman akhirnya bebas setelah menjalani 8 tahun masa tahanan. Ia dijemput oleh Dewi, Basri dan 2 orang pria kenalan Basri untuk jaga jaga. Mereka pulang menggunakan mobil dengan Salman duduk di bangku paling belakang dengan diapit kedua orang pria tadi.
Tidak ada kegiatan penyambutan atau apapun di rumah mendiang Mardani hari itu. Begitu juga tidak ada satupun tetangga yang keluar atau sekedar menanyai kabar Salman setelah 8 tahun lamanya.
Mereka enggan untuk keluar.. selain karena kasus 8 tahun lalu yang seakan kembali teringat oleh para warga, penampilan Salman juga semakin terlihat berbeda..
Sekarang ia amat kurus dan kulitnya menjadi gelap... Kantung mata hitam di bawah matanya semakin pekat dan jelas.
Rambutnya yang dulu hitam klimis dan tersisir rapih kini jarang jarang dan tipis. Ia terus tersenyum di sepanjang perjalanan padahal tidak ada satupun orang yang tersenyum atau menyapanya. Dan Salman juga tidak bisa diajak untuk berkomunikasi.
Saat mobil Basri melewati depan rumahku, Basri menurunkan kaca mobilnya dan mengklakson ayah yg duduk diatas jembatan bersama temannya. Basri memberi kode pada ayahku utk melihat ke bangku belakang, dan ayah saat itu sadar disana ada Salman yg melemparkan senyum seringai padanya.
“Bang Ilham!” teriak Salman tiba tiba sambil terus tersenyum lebar.

Ayah menggeleng lemah kepada Basri.

“lah bukan inyo gai nan kalian bao tu..” (udah bukan dia lagi yang kalian bawa itu) ujar ayah.
“Kami janji ndak ka mampabiaan abang kalua rumah da” (kami janji gak akan membiarkan abang Salman keluar rumah bang) ucap Basri.
“Yo tu tasarah kalian lah.. aden ndak ikuik campur. Tapi jan arok den ka singgah ka sinan untuak batamu. Sakik hati den mambayangan adiak den mati dek paja tu” (ya itu terserah kalian aja.. Saya gak akan ikut campur. Tapi jangan kalian harap saya akan singgah kesana lagi untuk-
-bertamu. Hati saya masih sakit karena adik saya dibunuh sama orang itu) ujar ayah.
Basri mengangguk pelan. “iyo bang, kami mangarati” (iya bang, kami mengerti)

“lah taruih lah. Beko den pai la ateh mancaliak inyo kok lah jadi mayik. Kok iduik jo paja tu baru, ndak akan” (udah, teruskanlah perjalanan kalian. Nanti saya akan nengokin keatas kalo Salman udah-
-jadi mayat. Kalo dia masih hidup, saya gaakan bertamu kesana) ujar ayah.

“kami dulu yo da, Assalamualaikum” (kami duluan ya bang, Assalamualaikum) ujar Basri sambil menaikan perlahan kaca mobilnya.

“waalaikumsalam” jawab ayah.
Setelah itu ayah langsung pamit ke temannya dan mengatakan ia ada urusan di rumah. Ayah berjalan ke arah rumah dengan wajah pucat dan peluh membasahi dahinya.
Aku dan ibu yang dari tadi memperhatikan dari teras bahwa ayah berbicara dengan seseorang di mobil namun kami tidak melihat jelas wajahnya lalu bertanya,

“siapa tadi yah?..”

“Salman.. Salman udah pulang.. tapi saya tau itu sama sekali bukan dia…”
Sesampainya di rumah Mardani, Salman langsung ditempatkan di dalam kamarnya, di rumah yang 8 tahun lalu diisi oleh sebuah keluarga yang begitu hangat dan bahagia.. Kini seluruh jendela sudah dipalangi dengan kayu dan tralis besi.
Akses pintu depan juga sudah ditutup dan dikunci. Satu satunya akses hanyalah pintu belakang yang menghadap ke rumah Dewi dan kuncinya dipegang hanya oleh Dewi. Seluruh barang pecah belah dan berbahaya juga sudah disingkirkan. Hanya menyisakan kasur, alat mandi dan pakaian.
Sejak hari itu juga tidak ada yang pernah melihat Salman lagi. Orang orang hanya tau Salman masih hidup dan ada di dalam dari suara suara ribut yang ia teriakan. Terkadang ia marah marah dan melempar sesuatu, dan sesekali ia terdengar tertawa tawa dan mengobrol padahal-
-tidak ada satupun orang di dalam selain dia. Dewi dan Basri bergantian mengirimkan makanan ke Salman dan mencucikan bajunya.
Pada awal 2022, Salman tertimpa struk setengah badan. Bagian pinggang hingga kakinya tidak bisa digerakkan dan ia hanya bisa terduduk dan jika ingin buang air ia hanya memiringkan badannya sehingga kotorannya keluar. Dewi akan datang untuk membersihkannya pada pagi atau sorenya.
Rumah Mardani kini gelap siang maupun malam.. hanya ada satu lampu yang menyala dan itu adalah lampu teras.. dan walaupun kabar Salman sudah tidak bisa apa apa selain marah marah, ayah tetap berpegang pada ucapannya..
“saya gaakan mau kesana kecuali untuk sholat jenazah” ujar ayah saat Basri datang dan mengabarkan penurunan kesehatan Salman beberapa waktu lalu.
Entah sampai kapan Salman akan terus hidup dalam keadaan seperti itu. Ketika aku mengumpulkan cerita cerita yang kalian baca ini dari tante Dewi, Om Basri, ayah dan ibu pun, aku belum ada keberanian walaupun saat itu tante Dewi menawariku untuk melihat.
EPILOG

“Kamu kenapa tiba tiba nanya nanyain ibu cerita sama saksi mata kejadian Ade dulu?” tanya ibu sambil menghampiriku yang tengah sibuk mengetik di ruang tengah.
Belum sempat aku menjawab, ibu tanpa sengaja melihat ketikan yang tengah aku buat. Sebuah line story tentang kejadian pembunuhan yg menimpa dua orang kakak beradik di SumBar tahun 2013.. hanya sebuah garis besar sebelum aku kembangkan menjadi sebuah cerita dengan alur lengkap.
“itu cerita mendiang Ade sama Salman?” tanya ibu penasaran.

Aku sebenarnya merasa segan, namun karena kepalang basah, aku harus mengakui pekerjaan sampinganku selama di perantauan ini.
“iya bu.. aku nulis cerita horror di media sosial tentang cerita cerita di daerah daerah gitu. Kali ini aku ngangkat kasus almarhum dulu”

“emang ada yang baca?” tanya ibu.

“ada aja.. malah yang tentang tanah minang lebih banyak lagi yang baca” jelasku.
“Oh kalo mau angkat tentang hal hal begitu, mending kamu tanya nenek. Orang orang tua dulu punya banyak cerita.. ibu juga sering diceritain dulu”

“oh iya? Apa yang kira kira menarik bu?” tanyaku bersemangat.
“kamu ingat bukit di belakang sana namanya apa?”

“hmm bukit bunian?”

“nah, coba tanya nenek, kenapa bukit itu bisa dikasih nama Bukit Orang Bunian…”
....KEMARIN PAMAN PULANG....
----TAMAT----
Kisah ini diangkat dengan terinspirasi dari kisah nyata yang terjadi tahun 2013 di Agam, Sumatera Barat. Tidak keseluruhan alur dan percakapan berdasarkan kalimat asli pelaku, ada beberapa pengembangan cerita yang didasari untuk keutuhan dan alur cerita.
Terima kasih untuk seluruh pembaca yang sudah membaca sampai sini dan support penulis. Sampai bertemu di cerita lainnya.

-mwv.mystic-

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with mwv.mystic

mwv.mystic Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @mwv_mystic

Mar 19
Rizkil Watoni, seorang ASN yang BD akibat depresi setelah diperas oknum polisi belasan hingga puluhan juta agar kasus salah pahamnya tidak dibawa ke persidangan.

sebuah utas infografis Image
Image
Image
Read 9 tweets
Feb 2
TRAGEDI KEBAKARAN KERETA BAWAH TANAH DAEGU

Akibat satu orang depresi mencoba melakukan b*n*h diri, 192 nyawa orang lain melayang

a thread Image
Image
Image
Image
Image
Read 10 tweets
Oct 28, 2024
Setelah memotong kemaluan korban hidup hidup dan menampung d4rahnya untuk diminum, pelaku memut1l4si dan menjual daging korban dengan kedok daging sapi. Salah satu pembelinya bahkan sudah mengonsumsinya sebagai olahan rendang hati.

a thread Image
M. Delfi adalah seorang pemuda yang tinggal bersama ayahnya, Basri Tanjung, di Kabupaten Siak, Riau. Sehari hari, ia bekerja serabutan. Terkadang ia membantu ayahnya berjualan sate, kadang mengambil upah sebagai buruh bangunan. Image
Hingga akhirnya ia menjadi karyawan sebuah usaha isi ulang galon. Saat usianya masih sangat muda, 19 tahun, pada Februari 2013 ia menikah dengan Dita yang juga berumur sama dengannya. Namun pernikahan ini kandas hanya 8 bulan setelahnya tanpa sempat memiliki keturunan.
Read 21 tweets
Oct 20, 2024
ABI KUSNO NACHRAN

JURNALIS YANG DIANIAYA HINGGA CACAT PERMANEN PASCA BONGKAR KEGIATAN PERDAGANGAN KAYU ILEGAL DI KALIMANTAN.

a thread Image
Abi Kusno Nachran, merupakan seorang pria kelahiran Pangkalan Bun tahun 1941. Ia berprofesi sebagai jurnalis untuk Tabloid Lintas Khatulistiwa, sebuah surat kabar lokal di Kalimantan.
Tulisan tulisan Abi Kusno sering menyentil para oligarki dan mafia mafia dibalik pembabatan serta penjualan kayu ilegal dari hutan di Kalimantan. Tidak hanya menulis, ia kerap melaporkan hasil temuannya kepada aparat untuk diusut.
Read 18 tweets
Oct 14, 2024
SOTO DAGING MANUSIA DI TERMINAL KAMPUNG RAMBUTAN

a thread Image
Apa jadinya kalau kalian pergi ke sebuah warung soto lamongan, membeli sebungkus soto ayam dan memakannya lalu tiba tiba kalian diberitau kalau warung soto tersebut baru saja digrebek polisi karena menghidangkan soto dengan daging manusia?.. Ilustrasi soto lamongan
Ya, ini bukan potongan adegan film, namun kejadian nyata kasus yang sangat menggemparkan pada masanya : kasus Benget Situmorang dan soto dari daging istrinya.
Read 25 tweets
Oct 7, 2024
KISAH TRAGIS OMAYRA SANCHEZ

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, para relawan hanya bisa menemani Omayra menuju kematiannya setelah tersangkut dan terendam air selama 60 jam.

a thread Image
Pada 13 November 1985, Gunung berapi Nevado del Ruiz di Kolombia meletus. Meskipun tanda tandanya sudah terdeteksi, pemerintah setempat gagal melakukan evakuasi dan berakibat pada jatuhnya ribuan korban. Image
Kota Armero, salah satu daerah paling terdampak, bahkan kehilangan 20 ribu dari total 29 ribu penduduknya. Mereka umumnya tewas akibat banjir lahar yg menerjang kota. Salah satu korban di daerah itu adalah keluarga Omayra Sanchez Garzon, seorang gadis berusia 13 tahun.
Read 19 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(