Jika mengingat kembali, saya sebenarnya masih tidak percaya jika akhirnya saya bisa keluar dari gunung tersebut.
Kata selamat, waktu itu juga sudah tidak ada lagi difikiran saya.
Yang ada difikiran saya saat itu cuma berlari dan berlari agar saya bisa lepas dari makhluk halus tersebut.
Kondisi jalanan waktu itu juga sangat tidak jelas, saya hanya berputar-putar tidak ada tujuan. Jalanan yang awalnya cuma satu,
saat itu juga tiba-tiba berubah menjadi beberapa cabang.
...
Andai saja Gilang masih hidup, mungkin dia bisa menjadi saksi kunci kenapa semua ini bisa terjadi.
Dan satu lagi, sampai saat ini aku masih berfikir jika kematian Gilang sepertinya ada hubungannya dengan pendakianku waktu itu.
Banyak hal aneh yang terjadi dengan diri Gilang, seperti tiba-tiba berubah menjadi pendiam, penakut dan sebagainya.
Namun yang jelas, ada satu penyebab pasti kenapa semua ini bisa terjadi.
Benar sekali,
Pendakianku waktu itu memang melewati jalur selatan, Jalur yang seharusnya tidak boleh dilewati oleh banyak orang.
Semoga dengan dibagikannya cerita ini, bisa membuat kita lebih berhati hati lagi dalam hal mendaki gunung.
Bismillahirrohmanirrohim.
Pendaki ke 3
(Jalur Terlarang )
Jika mengingat kembali cerita itu, tentu saja tubuhku seketika gemetar dan seolah masih tidak percaya bahwa akhirnya, aku bisa selamat dan bisa menceritakan ini semua.
Karena asal kalian tau, andai saja waktu itu aku tidak ditunjukkan jalan,
mungkin hingga kini aku masih berada disana dan pastinya, aku sudah tidak hidup didunia ini lagi seperti halnya hari ini.
....
Kata selamat, waktu itu sebenarnya sudah tidak ada lagi dibenakku,
yang penting aku bisa lepas dari semua terror itu rasanya sudah menjadi keberuntungan tersendiri bagiku.
Namun akhirnya, tuhan sepertinya masih sayang padaku, meski pada akhirnya kini aku menceritakan kisah ini hanya seorang diri.
Tapi aku percaya, jika dialam sana Gilang akan bahagia jika aku kembali mengingatnya dan tidak akan pernah melupakannya.
.......
Kamis. pukul 13.30 WIB
....
Hari itu memang berbeda dari hari-hariku sebelumnya, aku yang biasanya selalu sibuk dengan urusan pekerjaanku,
waktu itu aku disibukkan dengan mempersiapkan peralatan mendakiku karena waktu itu, aku bersama Gilang akan mendaki gunung yang berada tidak jauh dari tempat tinggalku.
Perlu kalian tau, Gilang adalah sahabatku sejak aku duduk di bangku SMA,
setelah lulus sekolah, aku dan Gilang memang sempat berpisah cukup lama karena dia memutuskan untuk kuliah.
Sedangkan aku, langsung bekerja karena orang tuaku yang tidak ada biaya jika harus mengkuliahkanku.
Hal itulah, yang akhirnya membuat aku dan Gilang sudah tidak lagi berjumpa karena bisa dikatakan, kita sudah sibuk dengan urusan kita masing-masing.
Namun ternyata, ada 1 hobby yang tidak bisa hilang diantara kita, yaitu mendaki gunung.
Benar, ketika musim libur kuliah tiba, tanpa disangka-sangka aku dan Gilang kembali berjumpa yang akhirnya, tidak butuh waktu lama kamipun seketika merencanakan pendakian gunung bersama.
Singkat cerita, setelah hari yang disepakati telah tiba akupun mulai mempersiapkan pendakian yang memang sudah lama tidak kami lakukan.
Siang itu, setelah semua peralatan pendakian telah kusiapkan,
beberapa lama kemudian, Gilangpun nampak sampai dirumahku dengan raut wajah yang terlihat cukup tenang.
"Waahh...lama nih gak muncak..."ucap Gilang penuh semangat.
" Iya..kamu sibuk terus. Anak kuliahan " godaku dengan tanganku yang mulai meraih tas punggungku.
"Ya gak juga sih, kalau libur, aku siap terus kok kalau kamu ajak naik heheheh" sahut Gilang jelas.
"Kita naik lewat mana nih" ucapku tanpa basa basi karena selain waktu sudah siang hari, sepertinya saat itu akan turun hujan.
Oleh karena itu, aku ingin segera mengajak Gilang berangkat ke pintu pendakian agar kami tidak kehujanan dijalan.
"Eh bagaimana kalau kita lewat jalur selatan saja" sahut Gilang Tiba-tiba.
"Jalur selatan ?...emang ada ?" Tanyaku kaget karena digunung yang akan kutuju tersebut, aku sama sekali tidak pernah mendengar jalur yang disebutkan Gilang sebagai jalur selatan tersebut.
"Ada..aku dulu pernah naik lewat jalur selatan..jalurnya sepi,
masih asri dan alami karena sangat jarang sekali ada pendaki yang naik lewat jalur tersebut..gimana..ayo lah..biar gak bosen" ajak Gilang mantap.
Karena aku yang tidak mau berlama-lama lagi, akhirnya akupun menuruti ajakan Gilang tersebut dengan mulai menaiki motor yang
memang sudah kunyalakan sedari tadi.
Sepanjang perjalanan menuju jalur selatan, sebenarnya aku sudah sedikit keheranan, karena selain jauh, jalur selatan ternyata berada dikampung pinggiran yang letaknya sangat jauh dari jalan utama.
"Loh, masak sih disini ada jalur pendakian ?." Tanyaku heran.
"Ada..tracknya nanjak, tapi cepat kok..nanti ujung-ujungnya sama, Kita sampai di pos terakhir sebelum puncak." Ucap Gilang menjelaskan.
Disitu, akupun hanya diam sambil terus melihat sekitar yang sepertinya,
jika kulihat dengan lebih teliti lagi, jalur selatan ini akan melewati bagian punggung gunung yang akan kudaki tersebut.
Dan tanpa memperdulikan hal itu, akupun hanya diam dengan terus berhati-hati mengendarai karena jalanan menuju ke pos pendaftaran, benar-benar cukup rusak.
Puncaknya, sekitar pukul 16.00 wib, Gilang menyuruhku berhenti yang sepertinya, kami sudah sampai di pos pendaftaran pendakian.
Namun anehnya, bukannya seperti pos pendaftaran pada umumnya, pos pendaftaran saat itu ternyata adalah rumah salah satu warga
yang berada di ujung jalan.
Disitu, akupun seketika turun dan duduk dipinggir jalan desa, dengan Gilang yang terus masuk kearah rumah warga yang sepertinya, dirumah tersebutlah yang menjadi tempat pendaftaran setiap pendaki yang melewati jalur ini.
Mengetahui hal itu, akupun hanya duduk sambil melihat keadaan desa yang terlihat cukup sepi.
(Pos pendaftaran yang kulihat waktu itu bukan seperti pos pendaftaran pada umumnya mas. Posnya adalah rumah warga, kalau kita mau parkir kendaraan ya dimasukkan
didalam rumah warga tersebut)" terang narasumber.
Dan puncaknya, setelah menunggu beberapa lama, akhirnya gilangpun berjalan menghampiriku sepertinya, dia telah selesai melakukan pendaftarannya.
Namun sayangnya, belum sampai kita memulai pendakian, hujan tiba-tiba turun
dengan cukup lebat yang akhirnya, membuat aku dan Gilang memutuskan menunda pendakian dan memilih untuk berteduh sambil memeriksa kembali peralatan pendakian kami.
Hingga akhirnya, waktupun berlalu begitu saja.
.....
19.00. WIB
Sudah sekitar 2 jam kami menunggu,
Hujan tak kunjung terlihat reda.
Perasaan yang sebelumnya senang, waktu itu sedikit kecewa karena hujan sepertinya tidak mendukung dan semakin lama semakin deras saja.
Dan entah apa yang ada di fikiran kami waktu itu, meski hujan terus turun kamipun memutuskan
untuk tetap memulai pendakian.
Dan puncaknya, setelah semua persiapan telah selesai di cek kembali. akupun malam itu mulai melangkahkan kakiku secara perlahan.
Diawal pendakian, semuanya memang sudah terlihat cukup berat.
Karena selain malam itu hujan turun dengan cukup lebat,
, jalur yang kudaki malam itu adalah jalur selatan yang sepertinya, jalur ini sangat jarang dilalui oleh pendaki ketika mendaki gunung ini.
Namun sayangnya, semua hal itu sama sekali tdk sedikitpun menyurutkan langkahku karena saat itu, gunung tersebut memang gunung favoritku.
"Kamu naik lewat jalur ini sudah berapa kali lang.? ". Tanyaku santai dengan langkah kakiku yang terus berjalan mencari pijakan-pijakan batu.
"Sebenarnya, aku naik lewat sini cuma 1 kali sih, tahun lalu. Naik bareng rombongan kelasku, itupun naiknya siang hari.
Tapi tenang saja, seingatku jalur ini jalannya cuma satu kok, jalannya memang nguras tenaga, tapi lebih cepat lewat sini daripada lewat jalur utama" jawab Gilang jelas.
"Tapi kok sepi ya lang jalur ini" sahutku penasaran karena asal kalian tau,
malam itu aku benar-benar tidak melihat satupun pendaki lain selain Gilang dan aku.
"Pintu masuk jalur ini, memang jauh dari jalan utama, pendaki luar kota sepertinya juga tidak tau kalau disini ada jalur pendakian. dan yang paling penting, kata orang,
jalur ini katanya masih wingit. Makanya kita tadi sudah beberapa kali lihat ada bekas sesajen to" terang Gilang menjelaskan yang akhirnya, membuat aku seketika diam.
Melihat aku yang seketika diam mendengarkan penjelasan Gilang, malam itu Gilang tiba-tiba menenangkanku
sembari berhenti berjalan sejenak karena sepertinya, Gilang sudah mulai kelelahan karena jalur yang memang terus menanjak.
"Sudah tenang saja, semua gunung pasti ada penunggunya, asal kita sopan, kita pasti aman" terang Gilang dengan nafasnya yang terlihat mulai ngos ngosan.
Tapi anehnya, belum selesai aku mendengarkan penjelasan Gilang, malam itu pandanganku teralihkan dengan adanya sajen yang terdapat dibalik batu besar yang tidak jauh dari tempatku berhenti saat itu.
Dan tidak hanya itu, sajen yang kulihat malam itu terlihat sangat baru
dengan dupa yang menyala masih belum sampai setengahnya.
Mengetahui semua itu, tentu saja akupun seketika terkejut bukan main karena sepanjang perjalanan, aku tidak melihat siapapun selain Gilang dan aku.
"Sajen itu sepertinya masih sangat baru deh lang. Siapa coba yang naruh,
kita sudah jauh kan dari pintu pendakian. Lagian dari tadi kita gak lihat siapapun loh. Kok aneh yo..siapa yang naruh ? " ucapku pelan dengan aku yang melangkahkan kakiku mendekat ketempat sajen tersebut diletakkan.
Dan tanpa menjawab perkataanku, malam itu Gilang
yang sebelumnya diam, dia tiba-tiba berteriak memanggil seseorang.
"Heh, kamu ngapain sih teriak-teriak" tanyaku kaget.
"Ya mau memastikan, siapa tau ada orang yang tidak jauh didepan kita.
Nah kalau gak ada orang, siapa yang naruh sajen itu hayo" ucap Gilang menjelaskan.
Namun anehnya, belum selesai kami kebingungan dengan adanya sajen baru tersebut, malam itu kami tiba-tiba mencium aroma bunga melati yang cukup kuat.
Dan tidak hanya itu, disela sela aroma
bunga melati tercium, malam itu aku mendengar suara kepakan sayap yang terdengar juga cukup jelas dan dekat.
Bahkan jika kuingat kembali, kepakan sayap yang kudengar tersebut cukup keras seperti berasal dari seekor burung yang sangat besar.
"Plak.plak.plak.plak.plak"
Mengetahui semua itu, tanpa banyak bicara, aku dan Gilangpun segera melanjutkan perjalanan dengan kondisi hujan yang tak kunjung berhenti.
"Fikiranku kok gak enak ya lang. Kamu denger suara kepakan sayap tadi kan" tanyaku pelan.
"Sudah diam...ayo jalan saja" jawab Gilang
singkat karena sepertinya dia juga mulai merasakan ketakutan yang sama.
Hingga akhirnya, kamipun sampai disebuah tanah lapang yang menurut Gilang, tempat tersebut adalah tempat peristirahatan.
Tapi anehnya, bukannya tenang, malam itu Gilang malah terlihat kaget dengan
keadaan yang ada.
"Wajahmu kok tegang gitu lang, ada apa ?" Tanyaku.
"Biasanya disini ada pendaki lain yang buka tenda. Tapi sekarang kok gak ada sama sekali ya. Masak sih, di gunung ini sekarang tidak ada pendaki lain selain kita" ucap Gilang kebingungan.
" Ya wajar lah, ini bukan hari libur, ditambah akhir-akhir ini hujan turun terus tiap hari. Ya biasa lah kalau sepi." Jawabku dengan aku yang seketika duduk karena badan yang sudah mulai kelelahan.
Tanpa menjawab perkataanku, waktu itu Gilang juga duduk tidak jauh dariku
dengan mulai membuka resleting tasnya satu persatu.
"Kita istirahat disini dulu ya..aku mau buat mie instan.. nanti kalau capeknya sudah hilang kita lanjut lagi. " Terang Gilang dengan tidak sekalipun menatap wajahku.
Mendengar hal itu, akupun seketika lega karena akhirnya,
waktu itu aku bisa beristirahat sedikit lama.
Disitu, tentu saja aku ikut meletakkan tasku dan mulai menyalakan sebatang rokok dengan mataku yang sesekali melihat kearah jam tanganku yang waktu itu sudah menunjukan pukul 20.30 malam.
"Kita sampai puncak jam berapa lang ?. " Tanyaku.
" Sekitar 2 jam lagi lah, kita sampai di tempat peristirahatan berikutnya. Disitu kita buka tenda aja ya, Istirahat. Besuk jam 3 pagi, kita lanjut muncak. Nanti biar bisa lihat sunrise. Terus,
besuk jam 08.00 pagi kita turun dah, gimana " ucap Gilang menjelaskan.
"Siap bos. " Jawabku singkat.
Hingga akhirnya, hujan yang sebelumnya turun, malam itu akhirnya perlahan mulai reda.
Namun sayangnya, bukannya membaik keadaan malam itu terlihat semakin berat
karena setelah hujan reda, Kini Kabut mulai perlahan turun dengan sangat tebal.
Dan tidak hanya itu, masih belum lama kami beristirahat ditempat itu, malam itu kami tiba-tiba mendengar suara aneh berikutnya.
Benar sekali.
Disela sela Gilang yang terlihat sedang menikmati
mie instan, waktu itu kami tiba-tiba mendengar suara gamelan jawa yang jika didengar lebih teliti lagi, suara gamelan tersebut seperti sedang mengadakan pertunjukan.
Mendengar hal itu, Gilang yang sebelumnya sibuk menikmati mie Instan malam itu seketika menatap wajahku dengan tatapan yang terkejut tidak karuan.
"Waduh, suara apa lagi nih gus ? " tanya Gilang.
"Sepertinya suara pertunjukan jawa deh" ucapku dengan telingaku yang mencoba
mendengarkan dengan lebih teliti lagi suara gamelan tersebut yang terus saja berbunyi.
"Kamu pernah dengar cerita kalau di gunung ada suara gamelan, katanya sedang ada selamatan ngunduh mantu.." sahut Gilang jelas.
"Iya, tapi sudahlah, diam saja jangan mikir aneh-aneh"
jawabku menenangkan diri meskipun aku tidak bisa memungkiri, jika malam itu jantungku sudah berdetak cepat tidak berhenti.
Hingga akhirnya, setelah beberapa lama aku mendengar suara gamelan tersebut terdengar terus berbunyi, malam itu pandanganku kembali teralihkan dengan
adanya batu yang jika dilihat dengan lebih teliti lagi, batu tersebut sepertinya sebuah batu nisan.
Hal itu, terlihat setelah senter kuarahkan tepat ke batu tersebut, aku melihat dengan samar ada sebuah nama dan tanggal yang sempat terbaca layaknya sebuah nisan.
Ditulisan tersebut, selain adanya nama dan tanggal, aku juga melihat adanya tulisan ( wafat ) yang terlihat cukup jelas.
Dan tidak berhenti disitu saja, tepat dibawah batu kecil tersebut, aku juga melihat adanya potongan bunga layu, bekas dupa berceceran lengkap dengan rumput
yang ditata sedemikian rupa.
Mengetahui hal itu, akupun seketika menarik baju Gilang dan mengajaknya untuk segera pindah dari tempat tersebut.
"Ayo pindah yuk, fikiranku gak enak nih, sepertinya disini ada kuburan orang"ucapku dengan tanganku yang menunjuk kearah batu
nisan tersebut.
Dan akhirnya, beberapa saat kemudian, aku dan Gilangpun memutuskan untuk segera pergi dari tempat tersebut diiringi suara Gamelan yang terdengar semakin lama sudah semakin keras saja.
Perjalanan selanjutnya, jalur yang sebelumnya masih terlihat jelas,
malam itu bisa dikatakan sudah semakin tidak terlihat.
Selain sangat gelap, malam itu kabut yang turun benar-benar sangatlah tebal.
Sorot senter, waktu itu sudah tidak mampu menembus tebalnya kabut yang akhirnya, membuat perjalananku semakin berhati-hati dan semakin pelan saja.
Hingga akhirnya, malam itu kami sampai di sebuah jalan bercabang.
Disitu, bisa dikatakan menjadi awal dimana akhirnya cerita ini tidak akan pernah bisa aku lupakan.
Masih sangat teringat jelas dikepalaku, Gilang yang kukenal sebagai teman yang cukup tenang dalam berbagai hal,
waktu itu dia benar-benar terlihat kebingungan.
"Ini kita kemana.?." Tanyaku pelan.
Namun anehnya, bukannya menjawab pertanyaanku, malam itu Gilang terlihat diam dengan terus melihat ke arah dua jalan yang memang terlihat bercabang tersebut.
"Katamu jalannya cuma satu lang,
ini kok ada yang bercabang" imbuhku menanyakan.
"Kok aneh ya, seingatku jalur ini memang cuma satu, tapi ini kok ada jalan bercabang ya" jawab Gilang dengan wajahnya yang terlihat kebingungan.
"Waduh, anak ini sepertinya lupa jalannya deh" fikirku dalam hati dengan mataku
yang terus menatap raut wajah Gilang.
"Kesini aja yuk, yang sebelah kiri" ajak Gilang tiba-tiba setelah dia terlihat diam beberapa saat.
Dan tanpa menolak ajakan Gilang, malam itu akupun mengikuti langkah Gilang yang saat itu memilih bagian kiri dari jalan
yang bercabang tersebut.
"Jalannya memang ini ya lang, kamu gak lupa kan" tanyaku dengan terus melangkah tepat dibelakang Gilang.
"Enggak, mudah-mudahan yang ini, soalnya jalan yang kekanan tadi sepertinya menjauhi puncak, setauku puncak gunung ini disebelah sana" ucap Gilang
dengan tangannya yang menunjuk kearah atas depan.
Disitu, perasaanku sebenarnya sudah tidak enak, karena selain jalan yang tidak jelas, Gilang sepertinya hanya menebak jalur yang benar.
Namun karena aku tidak ingin membantahnya, akhirnya aku hanya diam sambil terus berjalan
mengikuti langkahnya dengan waktu yang saat itu sudah semakin malam saja.
Dan puncaknya, bukannya semakin jelas, jalanan waktu itu semakin lama benar-benar terlihat semakin gelap saja.
Sudah sekitar 2 jam kami berjalan, bukannya bisa melihat sekitar,
malam itu pandanganku benar-benar sangat terbatas karena tertutup tumbuhan pahitan yang tumbuh dengan cukup padat.
Bahkan, agar bisa berjalan lancar, Gilang juga beberapa kali terlihat menebang tumbuhan pahitan tersebut yang memang sudah mengerubungi jalanan.
Karena fikiran yang semakin tidak enak, akhirnya akupun mengajak Gilang untuk berhenti dan tidak melanjutkan pendakian.
"Lang, apa kamu yakin ini jalan yang benar, aku kok ngrasa kalau kita salah jalan ya. Lihat tuh jalannya semakin sempit, kita gak bisa lihat apa-apa loh ini,
pandangan kita tertutup tumbuhan..bagaimana kalau kita balik saja..fikiranku gak enak nih" ucapku dengan tanganku yang sesekali menyingkirkan tumbuhan pahitan yang ada didepanku tersebut.
"Sebentar ya kita jalan dikit lagi, kalau memang masih gak jelas, kita kembali"
ucap Gilang karena sepertinya dia masih penasaran dengan jalan tersebut.
Hingga akhirnya, beberapa saat setelah itu, Gilang yang sebelumnya berjalan pelan waktu itu tiba-tiba berhenti begitu saja.
Dan tidak hanya itu, dia seketika menarik tanganku dan menunjuk kearah depan
yang sepertinya, dia sedang ingin menunjukan sesuatu kepadaku.
Setelah aku berhenti dan mengarahkan senterku kearah depan Gilang, malam itu dengan keadaan sadar, aku dan Gilang melihat sosok orang tua yang terlihat berdiri menghadang.
Sosok orang tua tersebut, terlihat tidak mengenakan pakaian sama sekali dengan tubuh yang terlihat sedikit membungkuk.
Bahkan, aku juga masih ingat, selain sangat kurus, sosok kakek tua tersebut memiliki rambut yang cukup lebat panjang sampai kepundak.
Meski aku tidak bisa jelas melihat bentuk wajahnya, namun aku masih bisa melihat 1 bola matanya yang terlihat memandangku dan Gilang yang waktu itu memang sedang berdiri didepannya.
Dan tidak hanya itu,bukannya diam, malam itu sosok kakek tua tersebut terdengar berbicara
dengan nada yang sedikit keras seperti sedang mengusir.
"Balik o...(kembalilah) " ucap kakek tua tersebut singkat dengan kepalanya yang terlihat sesekali bergeleng geleng.
Mengetahui hal itu, rasanya aku seperti sudah tidak bisa melangkahkan kakiku lagi,
tubuhku tiba-tiba terasa berat dengan jantungku yang berdetak hebat.
Begitu juga dengan Gilang, waktu itu dia terlihat syok berat dengan tangannya yang meremas pundakku karena akupun tidak bisa memungkiri, jika rasa takutku memang tidak bisa jika harus digambarkan kembali.
Hingga akhirnya, tanpa lama-lama lagi, aku dan Gilangpun seketika memutar badan dan berlari kembali sembari terus berdoa tidak berhenti.
"Ya allah, ya allah, ya allah, Ya allah, ya allah, ya allah, Ya allah, ya allah, ya allah, Ya allah, ya allah, ya allah, "
ucapku kencang dengan sesekali aku melirik kembali kearah belakang untuk memastikan kemana sosok kakek-kakek tua tersebut pergi.
Namun anehnya, ketika aku menoleh kembali, aku sempat melihat kakek kakek tersebut bukannya berjalan, dia malah terlihat merangkak dan masuk kedalam
celah-celah tanaman pahitan yang ada disekitarnya.
Dan akhirnya, setelah beberapa lama berlari, aku dan Gilangpun berhenti karena selain kelelahan, jalanan saat itu semakin membingungkan.
Bersambung...Part 2 end....
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Gara gara lupa lepas tali pocong, 2 daerah di kabupaten malang ini di terror pocong keliling.
Ngeri !
Cong culi den
A Thread
Cong culi den, cong culi den,
Pocong uculi moden.
(Lepaskan tali pocong ku pak Mudin )
Bagi warga kota Batu, kota Malang hingga kabupaten Malang,mungkin kalian sudah tidak asing dengan terror pocong yang saat itu pernah menggemparkan warga desa
Tidak sekedar mengganggu, sosok pocong tersebut benar-benar mendatangi rumah warga satu persatu dengan cara mengetuk pintunya sembari berkata
"Cong culi den" yang jika diartikan, (saya pocong dan tolong lepaskan tali pocong saya wahai pak mudin ).
Minimal baca ini biar tau kalau suku osing memang terkenal sakti sudah dari dulu
Sebuah utas
#lakonstory
Ya kalau ngomongin banyuwangi, pasti seketika fikiran kita akan mengarah ke sebuah kota yang ada di ujung pulau jawa.
Selain terkenal dengan keindahan alamnya, Banyuwangi juga dijuluki sebagai kota santet loh, kok bisa sih,
Ini penjelasannya.
Sejak dulu, Banyuwangi ini memang kental dengan budaya Mistisnya, bahkan disana, juga ada perkumpulan dukun, perkumpulan ahli spiritual ataupun semacamnya.