Era Fsrh Profile picture
Jan 17 103 tweets 16 min read
TTM (Part 1)

Tidak terlihat senja yang menyambut kehadiran sore. Hanya ada awan kabut yang menutupi seluruh sudut langit. Diam-diam perempuan itu mencuri pandang lewat kaca jendela kamarnya.
Pandangannya terpaku pada langit yang nampak begitu suram. Suasana duka yang tergambar jelas di kejauhan. Semakin mempertegas keadaan, jika memang sedang ada yang berduka hari ini.
Tidak ada teman bermain, tidak ada sanak saudara, apalagi kekasih yang sungguh setia. Ia hanya seorang diri di sana. Berkawan angin sore yang sesekali menyelinap masuk lewat ventilasi kamarnya.
Lambat laun suara azan magrib berkumandang mengisi kesunyian yang semula tercipta. Ia seketika tersadar. Hingga membuatnya tergerak untuk menarik gorden agar menutupi kaca jendela kamarnya.
Langkahnya tersurut-surut masuk ke dalam kamar mandi, sambil menyeret beban hidup yang kini hinggap di tubuhnya yang sudah tak sanggup untuk ia pikul lagi. Adakah cara paling ampuh untuk lari dari kenyataan?
Sudah terlalu lemah ia untuk bertahan. Usai menuntaskan shalat magrib, ia menepi ke meja rias kamarnya. Sebuah kotak persegi empat bertengger di atas sana. Pandang matanya tertuju pada kotak yang sudah kusam dan lusuh.
Diam-diam tangannya membuka kotak itu dan meraba satu demi satu tumpukan foto yang ia miliki di dalam sana.

"Apakah kisah ini akan abadi? Sementara keadaan kerap kali memaksa kita untuk saling pergi."
"Aku mencintainya,entah perasaan dia masih sama denganku juga ataukah tidak. Tetapi,bukankah cinta yang terlalu menggebu-gebu hanya akan berujung pada sebuah kehancuran belaka.Seperti pasir dalam genggaman.Semakin erat kau menggenggamnya, semakin ia akan habis, gugur tanpa sisa."
Air matanya luruh dengan mudahnya. Bagai deraian hujan lebat yang membanjiri seluruh kota. Perempuan itu tersedu-sedu dalam kesendirian yang tengah ia geluti sekarang. Sambil memeluk fotonya bersama dengan lelaki yang begitu ia cintai.
"Aku ini sebatas permen karet, yang habis manis sepah dibuang tanpa belas kasih. Aku mencintaimu, tetapi inilah akhir yang harus kita tuju."
Dengan kasar ia menghempas foto-foto yang ia miliki,lalu dengan panik tangannya mencari botol obat yang ada di dalam laci.
Tanpa pikir panjang,ia menuang beberapa butir obat ke telapak tangannya,hingga butir-butir zat kimia itu berhasil meluncur ke dalam perutnya tanpa perlu waktu lama.
Tangisnya semakin deras. Hanya butuh lima menit baginya untuk bisa merasakan reaksi obat yang diminumnya barusan. Mendadak, sekujur tubuhnya terasa sakit. Terutama bagian perutnya yang seperti dihantam benda berat.
Ia menjerit kesakitan, tak terhitung lagi air mata yang menetes dari pelupuk matanya yang sendu. Diam-diam tubuh itu runtuh dan kini meringkuk di atas lantai yang begitu dingin. Ia semakin menjerit kesakitan. Namun sayangnya, tidak ada satu orang pun yang mampu mendengar suaranya
"Sakitttt," ucapnya lirih sebelum ia memutuskan untuk menutup matanya pelan-pelan.

Dari segenap rasa sakit yang telah ia rasakan selama hidupnya sebagai manusia, malam ini adalah puncak rasa sakit yang tak bisa ia bendung lagi rasanya.
Jeritannya semakin parau, kilau matanya bahkan nyaris tak terlihat lagi. Segalanya berubah buram, namun tetap mampu membuatnya sadar bahwa sebuah cerita baru akan segera bergulir padanya malam ini.
Wanita itu masih memegang perutnya dengan kencang. Hingga ia merasakan pakaiannya yang basah entah oleh cairan yang berasal dari mana. Ia benar-benar menutup matanya sekarang.
Pada sisa-sisa kesadaran yang masih ia miliki, tiba-tiba saja sebuah sosok asing hadir di dalam sudut ruangan kamarnya. Sosok asing itu nampak mengambang, tidak terlihat jelas wajahnya karena ditutupi oleh rambutnya yang panjang.
Hanya suara yang perlahan membuat kupingnya hendak pecah. Suara itu semakin jelas di telinganya.
"Pergi, pergi, pergi kamu dari sini," bentaknya dalam hati. Tenggorokannya tercekat, bibirnya kaku dan tidak tahu caranya untuk mengucap kata-kata. Suara itu semakin dekat.
"Peeer..giiii kamu perempuan," ucapnya terbata saat melihat wajah sebenarnya dari sosok asing itu. Air matanya kembali menetes sebelum akhirnya ia menghembuskan napas terakhirnya di dunia.
Perempuan bertubuh tinggi dengan rambut menjuntai ke lantai telah merenggut sesuatu yang berharga dalam diri perempuan yang ada di hadapannya. Suara tawa pun mengiringi kemenangannya malam ini.
Perempuan itu pergi diam-diam, meninggalkan embusan napas terakhirnya di kamar tidurnya yang sunyi. Tetapi bukankah cinta yang terlalu menggebu-gebu hanya akan berujung pada sebuah kehancuran belaka.
Kalimat-kalimat itu menggema tanpa henti, mengisi sudut ruangan yang begitu lengang. Menyisakan tubuh perempuan yang sudah tak bernyawa, hilang ditelan semesta.

***
Keesokan hari usai makan siang di warteg, Pak RT mendadak kaget saat mendengar laporan dari salah satu warganya yang mengatakan bahwa seorang penghuni komplek sehati di temukan tewas di dalam kamarnya siang ini.
"Neng Malini, Pak RT. Anak kos yang udah tinggal hampir dua tahun di komplek kita."

"Malini, oh anak gadis yang ngekos di rumahnya Bu Inggih."

"Iya, anak kosnya Bu Inggih. Katanya dia bunuh diri, Pak RT."
"Loh, bunuh diri gimana maksudnya Pak Tria. Bukannya Neng Malini itu ceria dan ramah orangnya. Mana mungkin dia bunuh diri."
"Iya. Setahu saya Neng Lini itu anaknya riang sekali. Setiap belanja di tempat saya pasti selalu senyum. Nggak mungkin dia bunuh diri," sahut Bu Ningsih si pemilik warteg yang ikut menimpali obrolan dua lelaki yang ada di warungnya.
"Prediksi polisi katanya dia bunuh diri, Bu Ningsih. Soalnya ada beberapa obat gitu yang katanya di temukan di kamarnya Neng Malini. Kayaknya sih dia depresi sampai minum obat dosis tinggi kayak gitu, atau gimana saya nggak tahu pasti.
Tapi kata polisi, penyebab kematiannya yah karena obat yang dia minum itu."

"Astaga, padahal anaknya baik dan juga sopan loh, Pak. Saya nggak nyangka dia bakal nekat bunuh diri segala."
"Ya gitulah Bu, kita nggak bisa nilai orang dari covernya saja. Orang periang belum tentu hidupnya baik-baik aja. Kasian loh anak gadis itu.
Mana belum lulus kuliah lagi. Orang tuanya pasti terpukul sekali saat dengar kabar anaknya bunuh diri di rumah kosnya sendiri." Lelaki dengan kumis lebat itu, kini menggeser kursi dan ikut duduk di samping Pak RT.
"Tolong kopinya satu, Bu Ningsih," lanjutnya lagi dengan suara yang sedikit berteriak sebab Bu Ningsih sedang berada jauh dari tempat duduknya saat ini.

"Jadi jenasahnya gimana, Pak?"
"Pas warga pada bubar tadi sih, jenasahnya udah di bawa sama mobil ambulance, Pak RT. Mau di pulangkan ke rumah orang tuanya di Bandung, katanya. Kasian banget loh dia, Pak RT.
Untung aja tadi itu ada teman kampusnya yang datang buat ngecek ke rumahnya karena hari ini dia nggak masuk kuliah. Eh pas tiba di sana, malah nemuin mayatnya doang. Kayaknya sih kejadiannya itu, semalam atau sekitaran waktu subuh tadi."
"Daripada Pak Tria kasihan terus sama Neng Lini, mending kita doain aja semoga almarhumah tenang di tempat barunya. Lagian nggak baik loh Pak, ngomongin orang yang udah meninggal," sahut Bu Ningsih ketika meletakkan gelas kopi pesanan Pak Tria di atas meja.
"Iya, benar kata Bu Ningsih. Mendingan kita doain Neng Malini saja."

Pak RT meneguk kopinya yang masih tersisa. Matahari yang semakin terik perlahan membuat matanya terasa silau.
Dalam kilau cahaya yang kini menghampirinya lambat laun membuat otaknya berpikir, tentang apakah yang akan ia lakukan setelah ini.
Pertama-tama, saya akan membuat warga kembali tenang. Agar penghuni komplek sehati kembali tentram, tidak heboh lagi dengan berita kematian Malini, anak kosnya Bu Inggih itu, pikirnya dalam hati.
TTM (Part 2)

Lima tahun kemudian....

Sudah hampir sebulan Kara dan Amel sibuk bolak balik situs web untuk mengecek rumah kontrakan yang dekat dengan kampus. Pindah dari tempat yang satu ke tempat yang baru memang bukan perkara yang mudah.
Selain karena harus repot mengurus barang-barang ketika pindahan, juga karena rumah baru kadang tak bisa membuat kita langsung nyaman.
Menjadi anak rantau di tengah pusat kota yang selalu saja tak bisa lepas dengan urusan finansial membuat Kara dan Amel cukup jeli dalam pemilihan tempat tinggal baru.
Bukan hanya sekedar dekat dengan kampus, tetapi dua gadis itu mencari rumah dengan harga yang ramah di kantong dan memiliki fasilitas yang lengkap. Meski begitu, rasa nyaman tetap saja harus menjadi prioritas, terkhusus bagi Kara yang lumayan pilih-pilih tempat.
Toh apa gunanya murah jika hari-harinya malah menjadi tidak tentram.

Amel turun lebih dulu dari mobil, lalu disusul Kara setelahnya. Ketika tiba di depan rumah, keduanya saling berpandangan dengan isi kepala yang menjalar ke mana-mana.
"Beneran ini alamatnya, Mel?" Kara melirik sahabatnya dengan alis yang terangkat sebelah.

Kedua gadis sebaya itu sibuk memandang rumah yang ada di depan matanya. Sebuah rumah yang sudah nampak tua dan tidak terawat.
Pagar rumahnya pun sudah tampak usang dan berkarat. Jelas tak ada penghuni yang tinggal di dalam sana.

"Harusnya sih udah benar, Ra. Emm atau kita nanya ke warga komplek dulu. Kali aja alamatnya salah gitu."
Kara sontak melihat kanankiri.Lalu tatap matanya tnpa sengaja tertuju ke tembok yg tertempel ukiran angka yang terbuat dari kayu. "Mestinya sih udah benar,Mel.Di sini kan tertulis rumah nomer 7,nah di tembok itu juga ada tulisan angka 7.Komplek ini udah benar komplek sehati kan?"
"Tadi sih pas masuk gerbang kata satpamnya udah benar komplek sehati, Ra."

"Berarti udah benar." Kara tersenyum, namun senyum itu pudar seketika saat ia melihat lagi penampakan bangunan tua yang ada di depan matanya saat ini.
"Tapi kok rumahnya agak seram gini yah, Mel. Apa nggak salah kita ngekos di sini. Emang lo berani?" Kara sampai bergidik sendiri melihat pemandangan menyeramkan yang ada di depan mata.
Rumah dengan cat berwarna abu-abu, yang kini telah memudar. Beberapa dinding temboknya pun sudah banyak terkelupas. Disertai atap teras rumah yang sepertinya 
sudah hendak ambruk. Belum lagi banyak tanaman liar yang tumbuh merambat dan subur di sekitar halaman rumah.
Melihat sekilas saja, Kara sudah bisa menangkap aura kesuraman di dalam sana.
"Ada perlu apa yah, Neng?" sahut lelaki paruh baya yang baru saja menghampiri Amel dan Kara. Sejak tadi ia sibuk memandang Kara dan Amel secara bergantian. bantu."
Lalu setelahnya ia tersenyum manis pada keduanya. "Mungkin saya bisa."
Amel dan Kara menoleh secara bersamaan saat ia mendengar sambutan dari lelaki tua dengan peci miring yang sedang berkacak pinggang di belakang mereka berdua.
Bukannya menjawab, Amel dan Kara malah saling pandang-pandangan tanpa henti. Seolah memberi kode satu sama lain perihal sosok yang ada di depan mereka berdua saat ini.
"Ohhh kenalin saya Pak Baskoro, ketua RT di komplek ini." Lelaki itu menyodorkan tangannya untuk berjabat dengan dua gadis yang sedang dilanda kebingungan.

"Oh, Pak RT yah. Saya Amel, Pak."

"Saya Kara, Pak."
"Neng Amel dan Neng Kara ini ada perlu apa yah berdiri di sini, kalau boleh saya tahu?"
"Kami mau ngekos rumah di komplek ini, Pak. Alamatnya sih tertuju di rumah ini," Amel menjelaskan sembari menyodorkan kertas kecil yang berisi alamat kontrakannya kepada Pak Baskoro.
"Kita berdua heran aja kok rumahnya seram gini. Hehehe." Kara ikut menimpali.

"Kalau boleh tahu, pemilik rumahnya di mana yah, Pak? Soalnya kami nemu alamat rumah ini di internet doang. Dan nomer yang tertera di sana sama sekali nggak bisa dihubungi sekarang."
"Oh, ini rumahnya Bu Inggih. Kebetulan memang sudah lama tidak ditinggali. Dulunya sih sempat ada yang ngekos di sini tapi sudah lama nggak dikontrakkan lagi sejak anaknya Bu Inggih yang tugas di Malang malah pindah tugas di sini.
Tapi anaknya cuma tinggal sebentar aja Neng di rumah ini. Sudah lama juga dia nggak tinggal di sini lagi. Makanya rumah ini sudah tak terawat begini. Kalau Bu Inggihnya sih tinggal di belakang sana."
Kara dan Amel mengikuti arah telunjuk Pak RT yang menuju ke rumah yang terletak agak ke belakang, sedikit lebih jauh dari jalan raya. Tepatnya di belakang rumah yang kumuh ini. Pintu rumah Bu Inggih nampak terbuka setelah Pak RT menghampiri wanita tua itu.
Kara dan Amel akhirnya bertemu dengan sang pemilik rumah.
"Makasih banyak yah Pak, sudah dibantu untuk ketemu Bu Inggih."

"Sama-sama Neng Amel. Semoga betah tinggal di komplek ini yah."
Amel tersenyum. Bersyukur karena lingkungan yang akan ia tinggali nampaknya ramah dan baik. "Iya, Pak."
"Kalau begitu saya pamit dulu. Bu Inggih, saya pamit dulu yah."

"Iya, Pak RT."

Selepas kepergian Pak RT, Amel dan Kara menyeret koper mereka masing-masing ke dalam teras rumah. Bu Inggih sudah ada di depan pintu dengan menenteng kunci rumah untuk mereka berdua.
"Rumahnya masih berantakan, Neng. Saya pikir kalian berdua belum datang hari ini makanya belum sempat beres-beres dulu."
"Rumahnya masih berantakan, Neng. Saya pikir kalian berdua belum datang hari ini makanya belum sempat beres-beres dulu."
"Tadi pagi kita udah coba nelpon Bu Inggih tapi nggak bisa terhubung sama sekali. Makanya kita nekat datang langsung ke sini tanpa ngomong lebih dulu. Takutnya rumah ini diambil duluan oleh orang lain, Bu. Kebetulan rumah kontrakan kita yang dulu sudah habis masa besok pagi.
Daripada diusir sama pemilik rumah, mending kita cabut duluan ke rumah ini."

Bu Inggih tersenyum, terlihat sangat ramah sekali wanita itu. Sayang saja rumah yang akan mereka tinggali, nampaknya tak ramah sama sekali.
Sebagaimana benak Kara sejak tadi, rumah itu nampak suram dan menakutkan.
"Kebetulan kamarnya sudah bersih dan layak ditinggali kok. Jadi untuk sementara kalian bisa tidur di sana. Besok pagi baru saya bersihin bagian dapur dan ruang tamunya yah.
Sekalian temboknya mau dicat ulang juga.Amel dan Kara hanya bisa mengangguk mendengar penjelasan dari sang ibu kos barusan.Tempat itu memang cukup menyeramkan sekarang.Tetapi setelah dirombak dan diganti dengan cat baru,sepertinya Amel dan Kara akan sedikit betah tinggal di sana.
"Nggak papa kan, Neng? Atau kalau kalian merasa nggak nyaman tinggal di sini, mungkin bisa nginap di rumah Ibu saja dulu. Kebetulan ada satu kamar yang kosong di rumah saya. Nanti kalau rumahnya sudah bersih secara menyeluruh baru kalian pindah ke sini."
Dengan cepat Kara menggeleng. Mengibaskan tangan di depan dada untuk meyakinkan Bu Inggih bahwa ia benar baik-baik saja berada di sini. "Gapapa Bu, kita di sini saja. Kamarnya kan udah bersih dan layak pakai juga kok. Jadi nggak masalah kalau dinding temboknya udah kusam begini.
Iyakan, Mel?" ucapnya sambil menyikut Amel.

Amel mengangguk saja agar segala persoalan segera usai. Walau ia tahu Kara jelas tidak nyaman dengan penampilan rumah baru mereka.
Tetapi gadis itu tentu saja akan lebih tidak nyaman lagi jika harus tinggal bersama orang asing yang baru pertama kali ia temui hari ini.
Cukup lama Bu Inggih menemani mereka berkeliling di dalam rumah itu. Meneliti satu demi satu sudut ruangan yang ada, agar mereka tak tersesat saat berada di dalam sana. Meski rumah itu termasuk sederhana dan tidak memiliki banyak ruangan, namun
Bu Inggih merasa perlu untuk menjelaskan lebih rinci lagi, sebagai sang pemilik rumah yang baik.
"Kalau ada apa-apa saya ada di belakang. Kalian bisa langsung ke belakang saja yah," Bu Inggih berucap ketika hendak pamit dari rumah kontrakan.

Amel dan Kara mengangguk pelan, lantas melepas kepergian Bu Inggih yang sudah hendak kembali ke rumahnya lagi.
"Mel, apa lo yakin bakal tinggal di sini. Nggak mau lo batalin aja gitu."

Ketika pemilik rumah berlalu pergi, sejak itu pula kedua bola mata Kara sibuk menjelajah ke seluruh sudut ruangan. Gadis itu persis seekor elang yang sedang mengawasi mangsa.
"Batalin gimana sih, Ra. Kita kan udah transfer uang DP rumah ini sejak kemarin. Dan apa lo lupa kalau susah banget cari rumah kontrakan yang murah meriah dan dekat dengan kampus. Sama satu lagi, rumah ini sudah lengkap dengan banyak fasilitas, Ra.
Sayang kalau dilepas gitu aja. Lagipula tadi kata Bu Inggih, rumah ini bakal dicat ulang kok. Jadi gue yakin rumahnya nggak bakal menyeramkan lagi setelah bersih dan diberi nuansa baru."
"Ini tuh paket komplit namanya. Syukur-syukur ada yang mau ngasih diskon. Udah, nggak usah rewel. Abis dibersihin pasti rumah ini bakal cantik dan nggak menakutkan lagi kok."
Meski Amel terlihat biasa saja dengan rumah kumuh yang akan menjadi tempat tinggalnya selama setahun ke depan, hal itu sama sekali tidak berlaku pada Kara. Perasaan Kara masih campur aduk. Ia merasa tak nyaman dengan suasana rumah tua yang tidak terawat ini.
"Kok gue rada-rada bimbang gini yah, Mel. Kayak ada yang ganjal."

"Lo belum lepasin koper lo dari tangan kanan lo, Kara. Makanya terasa ada yang ganjal. Udah ah, daripada mikir yang enggak-enggak mendingan kita beres-beres di kamar. Gue pengen segera rebahan nih. Capek."
Kara menghembuskan napas panjang. Meski ia tidak terima dengan jawaban Amel barusan, bodohnya Kara malah mengikuti instruksi temannya itu. Kara melepas koper yang sejak tadi ia pegang tanpa henti.
"Iya sih, koper ini emang ngeganjal tangan gue," gumamnya pelan sambil bergegas mengikuti Amel yang sudah berjalan lebih dulu.
Tangan Amel sudah meraih handle pintu. Ketika ia hendak mendorongnya agar bisa terbuka, tiba-tiba saja keduanya dikejutkan dengan suara alarm mobil yang berbunyi tanpa henti.
"Ehh, ayam, ayam, ayam. Astaga, apaan tuh, Mel?" pekik Kara yang sudah panik duluan.

Amel langsung menoleh, menghentikan niatnya untuk membuka pintu kamar. Pandangannya langsung tertuju pada Kara yang sibuk mengelus dada.
"Mobil Raska, Ra. Lo nggak masukin ke halaman rumah yah?"
Mobil yang mereka tumpangi ke rumah ini memang bukan mobil dari keduanya. Melainkan mobil kekasih Kara yang mereka pinjam hari ini untuk digunakan pindahan ke rumah kontrakan baru. Raska tak bisa mengantar mereka karena hari ini sedang ada ujian mendadak di kampus.
"Enggak sih, tadi gue parkir di depan rumah doang."

Amel menghembuskan napas. "Ya udah, lo parkir di halaman rumah dulu gih. Mobil orang tuh, kalau kenapa-napa emang kita mau ganti pake apa."

"Gue? Sendirian nih ceritanya," Kara berdecak kesal, sambil menunjuk ke arah pintu.
"Kan lo yang bisa nyetir, Ra. Harus banget gue keluar juga buat ngekorin lo kayak anak ayam segala?"

"Takut, Mel."

"KARA!!! Please yah, ini masih siang bolong hei. Lo takut sama apaan siang-siang gini," pekik Amel sambil mendorong tubuh Kara agar segera beranjak dari hadapannya
Pelan-pelan Kara melangkah keluar. Meninggalkan Amel yang sudah melongos masuk ke dalam kamar. Entah apa yang sedang merasukinya, Kara mendadak menjadi penakut seperti ini. Bahkan beberapa kali ia mengelus tengkuknya saat merasakan bulu kuduknya yang berdiri.
"Masih terlalu siang untuk takut, Kara. Setan mana mau berkeliaran di tengah cuaca terik seperti ini," gumam Kara sambil terus berjalan.

"Tapi tetap aja sih, gue lagi takut banget sekarang," pekiknya sembari mengambil ancang untuk berlari.

***

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Era Fsrh

Era Fsrh Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @rafasirah

Jan 17
TTM (Part 4)

Bagaimana jadinya jika kesimpulan yang sedang dibangun oleh otak kita sendiri justru menjelma sebuah kenyataan yang begitu mengerikan. Bukan hanya sekedar ekspektasi belaka melainkan hal-hal yang begitu nyata.
Seolah semesta memang sengaja mengirim banyak pertanda hingga tidak ada jalan lain selain menyimpulkan pertanda itu dengan sesuatu yang buruk, sesuatu yang bisa mengundang bahaya.
Sejak semalam tidur Kara sama sekali tidak tenang. Entah kenapa otaknya terus memikirkan kejadian aneh yang dialaminya akhir-akhir ini.
Read 50 tweets
Jan 17
TTM (Part 3)

Rasa takut sering kali tercipta oleh susunan kesimpulan yg berusaha dibangun oleh alam pikiran sendiri. Seolah-olah apa yg sedang mendekap di dalam sana adalah sesuatu yg pasti, yg jelas akan terjadi. Padahal seringkali ekspektasi tidak sejalan dengan realita yg ada
"Nggak usah terlalu dipikirin, Mbak. Toh, Amel kelihatannya tenang-tenang saja tinggal di rumah itu. Kadang, yang membuat Mbak takut yah pikiran Mbak sendiri. Selalu ingat sama Gusti Allah saja.
Insyaallah bakal dijaga dari gangguan makhluk halus pun dari segala marabahaya," ucap Ibu Kara saat ia curhat dengan segala ketidaksukaannya dengan rumah kontrakan barunya itu.
Read 61 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(