Benar bahwa dalam sumber-sumber klasik ajaran Islam terdapat pembahasan mengenai kewajiban mengangkat seorang khalifah, imam, atau amir. Namun ini tak berarti bahwa institusi “khilafah” wajib.
Kewajiban mengangkat khalifah adalah tentang kewajiban mengangkat pemimpin, yang kehadirannya adalah keniscayaan dalam suatu institusi politik.
Keniscayaan adanya pemimpin itu betul dan bukan kewajiban mendirikan institusi spesifik bernama “khilafah”. Sumber utama Islam, yakni al-Quran dan hadis, tidak memerinci secara detail dan kaku mengenai cara pemilihan pemimpin dan mekanisme pemerintahan.
Memaksakan sebuah sistem yang dinamai “khilafah” sebagai bagian ajaran Islam yang mutlak merupakan—sebagaimana tajuk seminar itu—“sebuah kekhilafan”. Ini KHILAFA PERTAMA dalam memahami khilafah.
Ketika Nabi Muhammad wafat, beliau tak menunjuk pengganti (khalifah) secara spesifik—setidaknya menurut pemahaman Sunni. Karena itu, para sahabat berdiskusi di Saqifah Bani Sa’idah untuk menetapkan Abu Bakar sebagai pengganti beliau.
Di masa selanjutnya, pemilihan pemimpin berbeda: Abu Bakar menunjuk Umar ibn al-Khatthab. Mekanisme suksesi kepemimpinan berubah ketika Umar membentuk dewan khusus untuk memilih penggantinya, yang nantinya akan jatuh kepada Utsman ibn Affan.
Khalifah ketiga ini tidak membentuk dewan pemilih seperti pendahulunya, sehingga para sahabat dan penduduk Madinahlah yang bergerak untuk membait Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah keempat.
Masa yang belakangan dikenal dengan era al-khilafah ar-rasyidah ini menunjukkan hal sederhana saja: mekanisme suksesi tidak diatur secara baku dalam ajaran Islam.
Di fase berikutnya, setelah kekuasaan jatuh ke tangan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Mu’awiyah menetapkan putranya, Yazid, sebagai penggantinya. Praktis sejak saat itu sistem pemerintah berubah menjadi kerajaan.
Di masa Abbasiyah, yang merebut kekuasaan secara paksa dari Bani Umayyah, sistem kerajaan berlanjut. Begitu seterusnya hingga khalifah-khalifah muncul silih berganti dan akhirnya runtuh sama sekali di masa Turki Utsmani.
Semua bentuk pemerintahan yang disebut “khilafah” itu memiliki sistem politik yang berbeda-beda, meski masing-masing mengklaim sebagai pemerintahan atau kepemimpinan yang menerapkan syariat Islam.
Yang menjadi pokok ajaran Islam adalah hadirnya seorang pemimpin. Adapun bentuk dan sistem pemerintahannya adalah wilayah ijtihadiyyah yang bersifat kontekstual.
Dalam konteks Indonesia, pandangan para ulama Nusantara yang mengerucut pada pembentukan Republik Indonesia adalah hasil ijtihad yang sah. Dengan kata lain, Indonesia, dengan sistem republiknya, adalah sebuah khilafah dengan sistem dan bentuknya sendiri.
Teorisasi khilafah sebetulnya baru dilakukan berpuluh bahkan beratus tahun setelah wafatnya Rasulullah. Artinya, khilafah bukanlah sistem yang harus “taken for granted”.
Perbedaan konseptualisasi khilafah, mulai dari al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sulthaniyyah hingga yang belakangan seperti al-Maududi, Taqiyuddin an-Nabhani, dan Abdul Wahhab Khalaf, makin menunjukkan bahwa hal ini merupakan persoalan ijtihadiy.
Tak heran jika al-Mawardi tak bicara tegas tentang, misalnya, Trias Politika, namun Abdul Wahhab Khalaf sudah membagi tiga kekusaan sulthah. Dalam perspektif ini, sistem khilafah yang dikonseptualisasikan Taqiyuddin an-Nabhani hanyalah satu dari sekian banyak buah pemikiran
Pemutlakan satu konsep khilafah, dengan demikian, adalah satu bentuk kekhilafan juga—ini KHILAF KEDUA dalam memahami khilafah.
KHILAF KETIGA yaitu ketika khilafah dipahami sebagai satu-satunya solusi bagi seluruh persoalan umat. Khilafah dengan segala macam bentuk dan sistemnya tidak lepas dari beragam persoalan dan kekurangan.
Tiga orang khalifah yang merupakan Sahabat Nabi yang utama—Umar, Utsman, dan Ali—meninggal dibunuh. Dua di antaranya bahkan dibunuh oleh sesama umat Islam sendiri.
Kesimpulannya: khilafah layaknya sistem pemerintahan lainnya. Ia memiliki sisi baik dan buruk. Menawarkan khilafah sebagai sistem sempurna tanpa cacat dan memaksakannya sebagai satu-satunya solusi atas segala masalah bukanlah sikap yang tepat.
1. Saya akan tweetkan kembali isi Ijtima’ Komisi Fatwa MUI yang saat ini dimanfaatkan Hizbut Tahrir dan menyelewengkan isi yang asliny. #FatwaMUIKhilafah
2. Tema “Jihad dan Khilafah dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia” dibahas pada Komisi A dengan tema pembahasan “Asasiyyah Wathaniyyah”. #FatwaMUIKhilafah
3. Pada dasarnya sistem kepemimpinan dalam Islam bersifat dinamis sesuai dengan kesepakatan dan pertimbangan kemaslahatan, yang ditujukan untuk kepentingan “hirasati al-din” (kepentingan menjaga keluhuran agama) & “siyasati al-dunya” (mengatur urusan dunia). #FatwaMUIKhilafah