Kuburan tanpa nisan, gundul pringis, wayang tanpa dalang, hingga ritual sekte menari-nari di atas mayat tengah menyasar korban tumbal selanjutnya.
"Sing Podo Teko, Lali Dalan Molen"
-DUSUN MAYIT-
[A THREAD]
#BacaHorror #ceritaserem
Empat orang pendaki terjebak di Desa Misterius setelah tersesat di sebuah pasar kaki gunung yang konon menjadi gerbang antar dimensi.
Mampukah mereka menemukan jalan pulang?
Bagian 1 akan kita mulai nanti malam. Silahkan tandai, titip-titip, RT atau bookmark judul thread di atas agar tidak terlewat update-nya
Bagi yang mau baca duluan tanpa terpotong-potong bisa langsung download versi E-Book Dusun Mayit di link berikut: karyakarsa.com/jeropoint/dusu…
Dalam thread ini akan saya sertakan beberapa gambar ilustrasi cerita.
Kumpul di sini nanti malam ya!
---Mari kita Mulai--
"Sebuah Pembuka"
Panggil aja aku Aryo. Desember 2012, pendakian yang semula menyulam tawa, kini mendadak suram setelah tubuh Nita melemah menunjukan tanda-tanda hipotermia sehabis jatuh terjun bebas ke telaga biru yang suhu airnya setara es batu pada lemari pendingin beku.
Pijakan dahan yang dilapisi lumut membuat Nita terpelesat dan tak mampu menahan keseimbangan tubuhnya sendiri—dia terperosok jurang dangkal hingga tercebur ke aliran air yang mana beruntungnya tidak deras.
Kami semua panik mencari jalan untuk turun. Raka sengaja meluncurkan dirinya sendiri di atas tanah licin menembus jalan pintas.
Gila!
Aku dan Yuni tak ingin mengambil resiko, kami menyusuri jalan setapak, membabat semak-semak secepat mungkin menyusul Raka yang sudah lebih dulu tiba di tepi telaga.
“NITA!!!!” teriak Raka.
Ketika tiba di tepian, aku cemas saat melihat aliran telaga benar-benar tenang, tidak ada gelembung udara, atau tanda-tanda keberadaan Nita sejauh mata memandang.
“Nita tenggelam?” pikirku.
Rasanya tidak mungkin secepat ini, diantara kami, dia yang paling pandai berenang, bahkan ketika snorkeling dulu, daya tahan napas Nita yang paling kuat .
Kami semua panik, mengelilingi tepian telaga sembari meneriaki nama Nita berulang-ulang.
Pukul 18.00, matahari sudah tak nampak di langit yang mulai menggelap,
“Siji, Loro, Telu...”
“Sing podo teko, lali dalan moleh” (mereka yang datang, lupa jalan pulang)
Samar terdengar suara Nita, ketika ditelusuri sumber suara tersebut, kami menemukan Nita tengah duduk menggigil di pinggir dermaga kayu pendek dengan tatapan kosong sambil terus meracau kalimat yang sama.
“NITA!”
“kamu nggak apa-apa nit?”
Sekujur tubuhnya basah kuyup, namun Nita terus menatap lurus ke depan seraya tak mempedulikan keberadaan kami,
Badan Nita gemetar menggigil, bibirnya membiru, deru napasnya mulai pelan dan pendek-pendek.
“Hipotermia.”
“Nita kayaknya kena hipo deh, dia mulai halusinasi.” Terang Raka, kemudian dia sigap mengambil mantel dari dalam tasnya untuk membungkus badan Nita yang sudah tampak melemas, dia bahkan tak lagi bisa menopang tubuhnya sendiri.
Raka menggendong Nita di punggungnya. Kami sepakat untuk tak melanjutkan sampai puncak dan segera bertolak turun sebelum langit semakin gelap,
Sesaat sebelum meninggalkan telaga, aku mendengar lagi kalimat tersebut. Namun kali ini bukan dari Nita, melainkan dari suara berbisik kuat yang entah dari mana.
Suara itu seperti menggema samar dari berbagai penjuru, namun cukup jelas ditangkap telinga.
Aku bergidik merinding, perasaanku tak enak. Seharusnya di situ kusadari, bahwa kami sedang terancam.
Nita yang sedang digendong Raka, berpaling wajah ke belakang menoleh ke arahku. Kemudian, dia tersenyum aneh.
Entah pandanganku yang salah atau bukan, tapi kala itu, aku melihat Nita menyeringai ke arahku dengan kedua bola mata putih.
Aku tersentak sadar satu hal, Nita, tak pernah berbahasa Jawa dan Dia—
Seperti bukan lagi Nita.
Saat itu, kami tidak menyadari, bahwa kami sedang menuruni jalur pendakian bersama 'sosok lain' yang menguasai tubuh Nita.
---BERSAMBUNG---
Lanjut besok siang lagi ya guys, sekalian bahan bacaan ngabuburit.
Buat yang mau langsung baca full-nya tanpa terpotong-potong dan sekaligus mendukung penulis, langsung download aja versi e-booknya di link berikut :
Kami menyusuri jalan yang sama saat kami mendaki, sesekali aku memperhatikan Nita, aku melihat jelas dia menyeringai tajam dalam mata terpejam.
Aku merinding, namun tak sampai nyali juga untuk menyuarakan apa yang kulihat, khawatir malah menggiring rasa takut dan mengundang hal-hal yang tak diinginkan.
Dalam hati, aku terus merapal doa-doa tanpa henti. Rasa was-was membuat perjalanan turun terasa lebih lama dan kian jauh.
Kami yakin betul bahwa kami melewati jalur yang sama, namun pemandangan sekeliling terasa berbeda.
“Ini jalannya benar kan?” Tanya Yuni
“Kayaknya iya” ujar Raka, yang juga tak yakin.
Perjalanan menurun yang seharusnya lebih ringan dari mendaki terasa sebaliknya. Kami mulai kelelahan. Yuni pun mengeluh ingin ke buang air kecil.
Menurut Raka, seharusnya tak lama lagi kita akan menemui warung kecil yang mana artinya kami sudah dekat pada satu pos pendakian.
“Raka, kita jalan udah jauh banget, kamu yakin kita gak salah jalan?” Yuni memastikan.
“emang kamu lihat jalan lain, selain jalan yang kita lewati ini?” tegas Raka.
Memang sedari tadi dari telaga, tidak ada jalan persimpangan atau arah lain selain jalan setapak tepi jurang dengan pemandangan pepohonan ribun berakar menjalar di sekeliling yang kami jejaki.
Namun, aku juga sepakat dengan Yuni, aku merasa jalan yang kami lewati ini berbeda dengan jalur mendaki tadi.
“Mungkin karena langitnya mulai gelap, jadi jalannya terasa beda” ujar Raka.
Aku mendengar banyak suara-suara aneh dari berbagai arah. Seperti suara orang terkekeh menertawakan kami sembunyi-sembunyi.
Ekor mataku menangkap ada bayang hitam yang mengikuti kami dari sisi samping kiri dan kanan—mereka melesat di antara pohon-pohon.
Yuni pun beberapa kali kaget karena mendengar seperti seseorang memanggil namanya.
Semula dia mengira aku iseng, namun dia mulai termenung ketika mendengar suara memanggil itu lagi manakala aku berada tepat di sampingnya.
“Kamu dengar gak?”
“Dengar apa?”
“Manggil aku.”
“Mau nuduh aku lagi?”
“Nggak, maaf, terus siapa dong yo.?”
Yuni mulai ketakutan tak karuan, dia menjadi parno, aku dipaksa untuk berjalan beriringan atau tepat di belakangnya.
Jalan semakin gelap, kulihat tidak ada cahaya bulan yang mampu menembus lebatnya daun-daun rapat.
Tak lama, samar-samar kami mendengar suara keramaian. Kala itu senang bukan main, kupikir kita akan tiba pada salah satu pos dan terbayang di kepalaku—
di sana ada warung untuk rehat sejenak menghangatkan tubuh dengan secangkir susu hangat, dan paling penting, untuk memeriksa lagi kondisi Nita disaat cuaca sudah semakin dingin menusuk tulang.
Kami mendekati sumber suara, pohon-pohon lebat di sisi kiri dan kanan berganti menjadi sabana dengan rumput-rumput dan semak ilalang menjulang tinggi,
rupanya bukan pos pendakian atau warung biasa yang kami temui, melainkan hiruk pikuk pasar yang ramai dengan tenda-tenda dagang, lapak-lapak kain mengalas tanah serta lengkap dengan geliat transaksi jual beli,—
“Pasar ? Di tengah gunung gini?”
“Pasar Malam?”
“Aku gak pernah dengar ada pasar di gunung ini”
---BERSAMBUNG BESOK--
[Next chapter : PASAR SETAN]
Buat yang mau baca duluan tanpa terpotong-potong, bisa langsung download versi e-book ya, sudah terbit 2 bagian, klik link:
Kami terus melangkah melewati pohon bambu yang berjejer rimbun, di sana nampak seorang pria kurus bertelanjang dada tengah duduk di bawah batang bambu yang merunduk.
Pria itu amat kurus, nampak rongga-rongga tulang rusuk yang melipat kulit badannya. Heran, disaat udara sebegitu dingin menusuk kulit, bisa-bisanya ada pria kurus duduk bebas tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya.
Langkah kami sempat terhenti mana kala pria misterius tersebut menatap kami sinis,
“MULIH!” teriaknya.
Kami mencoba mengabaikan dan lanjut berjalan.
“MULIH!!”
“MULIHH”
Ketika kami melintas tepat didepannya, pria itu berdiri, dan tubuhnya terasa kian meninggi hingga setinggi pohon bambu.
“MULIH!””
Pria kurus tinggi yang menurutku bukan manusia itu mencabut batang-batang bambu yang tertanam lalu melemparkan bambu-bambu itu ke arah kami.
Sekuat tenaga kami berlari secepat mungkin sambil berteriak, beruntung sosok tersebut tidak sampai mengejar dan tidak ada bambu lemparannya yang melukai kami.
Meski tidak dapat dipungkiri, rasanya syok bukan main dan aku pun sampai gemetar.
Suara-suara yang semula samar mulai terdengar gemuruh ketika kami kian dekat pada pusat keramaian.
Kami memutuskan untuk terus mendekat mencari tempat aman dan melebur pada hiruk pikuk pasar di bawah langit yang mulai menggelap.
Seluruh orang tampak sibuk dengan kegiatannya masing-masing, pasar tempat kami berpijak nampak seperti pasar pada umumnya, hanya saja, Yuni lebih dulu menyadari bahwa seluruh orang-orang di pasar ini, baik penjual atau pun pembeli—mereka semua berjalan tanpa alas kaki.
Kami memijaki tanah basah, menelusuri lorong demi lorong untuk mencari tempat ternyaman beristirahat.
“Permisi”
Aku melempar senyum pada pelapak yang mengalas terpal di sisi-sisi pelataran lorong, tak satu pun dari mereka yang menjawab, bahkan menoleh pun tidak.
Aku kikuk namun terus berjalan lurus hingga kami menemukan satu saung kosong di sebelah warung kecil.
Raka langsung merebahkan tubuh Nita, lalu memesan dua cangkir teh hangat, dan dua cangkir kopi di warung.
“Mas, ada toilet umum gak yah?” tanyaku pada penjaga warung.
Tanpa berkata, jari telunjuknya mengarah ke sisi belakang pasar. “Suwun Mas”.
“Mau ke tolet yo? Aku ikut, kebelet juga.” Sambung Yuni.
Aku dan Yuni menuju ke arah yang ditunjuk oleh penjaga warung tadi, sepanjang lorong becek, aku mencium aroma amis yang amat pekat, tapi tidak juga melihat daging-daging dijajakan.
Bau amisnya lebih mirip amis darah,
“Ini, maaf, baunya kayak darah mens deh.” Ujar Yuni.
Pasar menjadi sepi seketika, entah kemana perginya orang-orang tadi. Sontak, aku merasa merinding, tidak ada penerangan di lorong pasar ini, hanya bias langit biru yang mulai menghitam.
Aku mengira, mungkin karena kita berada di area belakang pasar yang mana memang sepi pengunjung.
Akan tetapi, sejauh mata memandang aku menoleh ke belakang, tidak lagi ditemukan tanda-tanda adanya lalu lalang seperti tadi—benar-benar senyap.
“Serem gini yo, mana gak ada lampu sama sekali” keluh Yuni.
Kami akhirnya menemukan tanda petunjuk “Toilet” terukir pada kayu menggantung yang sudah lapuk.
Ada sekitar empat kamar kecil yang berjejer di balik bilik bambu. Kami harus lebih dulu menaiki beberapa anak tangga.
“Nita?”
Aku dan Yuni terbelalak kala melihat Nita sudah berdiri di depan salah satu kamar toilet.
“Nita, tadi kamu lewat mana? Kok duluan, kamu udah gapapa?” tanya Yuni.
Nita hanya tersenyum, kemudian dia masuk ke satu toilet tersebut. Aku memilih masuk ke toilet paling pojok yang aman dari lalu lalang.
Lampu di toilet ini tidak menyala, aku meraba-raba mencari lubang buang air yang tepat.
Suara air meluber dari bak penampung, terasa dingin sekali ketika air menyentuh kulit. Tiba-tiba ada yang jatuh dari atas, lalu menggelinding di lantai kamar mandi.
Aku mencari-cari, tapi tidak menemukan apa pun.
Bulu kudukku meremang kala merasa seperti ada yang berdiri di sudut kamar mandi belakangku.
Aku tak berani menoleh dan terus berupaya mempercepat aliran kencing sendiri.
Semua terasa lebih lambat, aku merasa hembusan hawa panas di antara dingin, dan--
kalian tau?...
Aku dikejutkan dengan penampakan kepala berambut panjang yang menyandarkan dagunya di bahu sebelah kananku!
“ASTAGFIRULLAH!!!”
Tak jelas milik siapa dan bagaimana rupa kepala berambut panjang itu, spontan aku berteriak, menutup celana sebisanya, lalu berlari keluar dengan jantung berdegup cepat.
“Kenapa yo?”
Yuni menatapku aneh, aku menoleh lagi ke dalam kamar mandi tadi, tapi tidak ada apa pun selain air yang meluber dari bak penampung.
“Ayo Yun, kita harus buruan balik.” Ajakku.
“eh, nanti dulu, ini tunggu Nita.” Tahan Yuni.
Aku menunggu dengan gelisah, perasaanku sangat tidak enak, rasanya ada yang tidak beres.
Aku mendengar suara bisik-bisik menggema di telingaku, --
--akan tetapi ketika kutanya, Yuni tak mendengar apa pun. Tak lama, keluar cairan merah kental mirip darah mengalir dari dalam kamar mandi tempat Nita berada.
Kami panik, “Nita!!”
“Nita! Kamu gak apa-apa?!” Beberapa kali kami menggedor pintu namun tak ada jawaban, sementara darah terus mengalir kian kental.
Aku berinisiatif meminta Yuni mengintip melalui sela-sela pintu bagian bawah. Pelan, Yuni menundukan kepalanya,--
-- lalu dia menjerit keras kala melihat Nita sedang duduk berjongkok sambal menjilat-jilati darah menstruasinya sendiri!
“ASTAGFIRULLAH, NITA!!”
Kami ketakutan, tapi tidak mungkin juga meninggalkan Nita dalam situasi seperti itu.
Dengan sisa-sisa keberanian aku mendobrak pintu toilet, namun Nita yang kami lihat tadi tidak ada di dalam—kamar toilet tersebut kosong dan tidak ada juga bekas darah yang tadi kami lihat.
“Cabut!” aku menarik Yuni dan kami melangkah secepat mungkin.
Namun pasar ini seperti labirin, berkali-kali kami menelusuri lorong yang sama dan tak kunjung menemukan jalan pulang.
Hari sudah gelap bersama udara dingin yang berhembus menusuk.
“RAKA!!”
“NITA!!”
Kami berteriak, berharap ada yang mendengar dan datang memberi petunjuk.
Namun pasar ini benar-benar sepi. Kami terjebak dalam lorong-lorong becek berbau amis.
“Siji, Loro, Telu...”
“Sing podo teko, lali dalan moleh”
Suara itu terdengar lagi membisik,
Yuni menangis histeris ketakutan, di situ harusnya aku sadar, bahwa kami telah berada di tempat yang 'berbeda'.
-BERSAMBUNG KE BAGIAN 2-
Thread bagian 1 selesai di sini.
Next, Bagian 2 akan upload di thread baru pada kamis (malam jumat) depan.
Jadi pastikan kamu sudah follow akun ini agar tidak terlewat update thread "Dusun Mayit - Bagian 2"
Untuk kamu yang mau baca duluan tanpa terpotong-potong sekaligus mendukung penulis, Dusun Mayit - Bagian 2 sudah bisa didownload di link berikut:
Di rawa besar yang menjadi hilir dari tempat ditemukannya mayat-mayat hanyut yg hilang.
Seorang pengemudi perahu (nelayan) mengatakan bahwa ia ketemu seorang bapak yg mau pesugihan menumbalkan anaknya sendiri.
"Bapak itu minta di antar ketemu kuncen desa."
Waktu itu gak sengaja singgah ke sebuah rawa besar yang tersohor di Jawa Tengah. Sejatinya tempat itu sangat indah, saya memutuskan naik perahu mengelilingi rawa yang lebih pantas disebut danau.
Saya gak sebut nama rawanya yah, karena kalian orang sekitar pasti tau betul sama rawa ini.
Sudah bisa tebak dimana? ..
Pas di dermaga sebelum naik perahu, ngobrol sama pemancing, dia bilang--
“Mereka me-ruqyahku, tapi aku tidak melihat mereka mengeluarkan sesuatu dari dalam diriku, tapi justru malah memasukan ‘jin’ lain ke dalam tubuhku.”
Utas singkat dari balik ‘Pondok’
- A Thread-
#CeritaSerem
Mungkin judul utas di atas menyisakan pertanyaan “Loh, kok bisa? Bukannya ruqyah membersihkan diri? kenapa jadi sebaliknya?” ...
Betul, sejatinya Ruqyah ialah salah satu bentuk ruwatan diri yang memiliki segudang manfaat--
Namun sayangnya, banyak ‘oknum’ yang memanfaatkan label ruqyah tersebut untuk kepentingan pribadi. Kisah singkat ini menjadi satu dari sekian banyak contoh kasusnya.
Silahkan tandai, RT, tinggalkan jejak atau markah judul thread teratas agar tidak terlewat update-nya.
“Aku yakin betul naik kereta malam itu, tapi orang-orang melihat aku jalan kaki di atas rel.”
KERETA MALAM
-PEMBERANGKATAN TERAKHIR-
A THREAD
#CeritaSerem
Kisah ini terjadi pada 2006 silam, kala itu santer rumor beredar mengenai 'pemberangkatan terakhir ialah kereta gaib'.
Sila tinggalkan jejak, RT, like atau tandai dulu judul utas di atas agar thread tidak hilang atau ketinggalan update.
Maleman kita mulai.
Ini sepenggal kisah yang sampai sekarang membuatku parno naik kereta di jam malam. Peristiwa itu amat melekat diingatan bagaimana aku menempuh perjalanan tanpa sadar JKT-YK dalam waktu hampir 5 hari tapi rasanya waktu berhenti di satu malam pertama--
Satu dari ke-lima pendaki ini seketika kejang-kejang. Saat mereka berupaya turun, mereka malah terjebak masuk ke pasar yg sebelumnya tak pernah mereka lihat.
"KAMI DITERIAKI SURUH PULANG.”
A Thread
#ceritaserem
Tinggalkan jejak atau tandai judul utas di atas agar tidak hilang.
Kalian yang suka mendaki ada pengalaman ganjil selama nanjak?
Sambil nunggu cerita ini up, boleh cerita di reply ya.
Maleman kita mulai …
-- Mari Kita Mulai--
2012,
Waktu itu, aku baru lulus SMA. Lagi masa tenang setelah UN. Salah satu juniorku minta diantar untuk 'nanjak' ke gunung salak.
Rombongan mereka tak banyak, hanya 4 orang : 2 perempuan, 2 laki-laki.
Dalang ditemukan tewas saat mencoba memp*rkosa sindennya.
“SINDEN BUKANLAH PELACUR YANG BISA KALIAN ‘PAKAI’ SEENAKNYA!”, ucap Rinjani sebelum pingsan di samping jasad si dalang yang kepalanya sudah melintir dengan tusuk konde yang menancap di telinga.
#SindenGaib #KisahNyata
Di pedalaman Trenggalek, ada sebuah urban legend tentang sosok arwah sinden yg gemar mendatangi dan merasuki sinden-sinden cantik dgn suara yg indah.
Namun, dalam satu pagelaran, akan ada korban yg hilang.
Mengapa?
Sila tandai, Like atau tinggalkan jejak, nnti malam kita mulai
Cerita tentang sinden ini bukanlah rahasia umum lagi, terutama di dunia kesenian tradisional
tanah Jawa, yaitu pewayangan. Sinden merupakan kunci utama untuk menampilkan eloknya
iringan lagu dengan nyanyian yang terdengar menyayat meski merdu.
Foto di atas dikirim oleh narasumber yg menemukan gumpalan rambut tertamam di halaman rumahnya.
Silahkan tandai, RT atau like judul utas di atas agar tidak hilang. Nanti malam kita lanjut.
--Mari kita mulai--
Panggil saja aku Yuli, Sudah tiga tahun ini, keluargaku satu per satu meninggal secara tidak wajar. Anggota keluarga kami terdiri dari 5 orang, dan sekarang hanya tersisa 2 (Aku dan Ibu).