Terjebak di sebuah 'Pasar Setan' di gunung W, Jatim. Tikus-tikus merayap, pesta wayang tanpa dalang, hingga teror yang membawa mereka ke satu rumah berisikan satu mayit dalam keranda.
Kita mulai cicil bagian 2 ini nanti malam ya, setelah bagian 3 terbit di karyakarsa.
Bagi yang mau baca duluan tanpa terpotong-potong silahkan download bagian 2 di link berikut: karyakarsa.com/jeropoint/dusu…
Sila tinggalkan jejak/titip-titip, tandai, RT atau markah judul utas di atas agar tidak terlewat update-nya.
Sembari menunggu, kamu punya pengalaman mengerikan kala mendaki gunung?
cerita di rep ya.
yuk kumpul dulu, sampai jumpa nanti malam guys!
---- GERBANG -----
Kepanikan Yuni yang tak terkendali membuat situasi menjadi tidak kondusif dan aku pun sulit untuk berpikir jernih.
Tiba-tiba, terdengar suara decitan tikus saling bersahut.
Dari selokan kecil dan lubang-lubang tanah keluar gerombolan tikus-tikus hitam berukuran sebesar sepatu menyembul dari berbagai arah kemudian bergerak ke arah kami seperti hendak menyergap.
Kami berlari menghindar tak tentu arah, tikus-tikus menjijikan itu seraya terus mengejar dan jumlahnya semakin banyak tak terhingga, seolah, kami adalah santapan empuk yang wajib diburu.
Kami menyusuri lorong-lorong pasar yang gelap. Yuni sempat terjatuh di atas tanah becek berbau amis yang mengotori sekujur tubuhnya.
Jika tidak sigap kubantu bangkit berdiri, mungkin tikus-tikus itu sudah melahap dan menenggelamkannya di atas kubangan kotor tersebut.
Satu-satunya yang ada dipikiranku kala itu ialah, tempat ini tidak beres—mungkinkah aku akan mati di sini menjadi santapan tikus-tikus got yang jumlahnya seperti kawanan semut yang tengah mengerubung gula.
Bisa kamu bayangkan jumlahnya?
Menyusuri lorong-lorong panjang akhirnya membawa kami pada satu ujung—kami kembali ke pohon-pohon bambu di tengah sabana tadi,
Bagaimana bisa?
Aku terheran-heran sekaligus waspada mengingat tadi kami mendapat serangan dari sosok pria kurus namun tinggi menjulang yang menimpuki kami dengan bambu-bambu.
Tapi kali ini, aku tak melihat apa pun selain lebatnya rambanan bambu-bambu yang merunduk.
Kami lanjut melangkah usai mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang tersisa, Yuni berjalan pincang karena merasakan sakit di pergelangan kaki sebelah kiri akibat terjatuh tadi.
Meski pun tak begitu yakin, aku meraba-raba rute jalur menuju warung dalam pasar yang tadi kami lalui.
“kamu yakin mau balik ke pasar itu lagi?” tanya Yuni.
“Raka dan Nita di sana, mau pergi tanpa mereka? Yang penting gak lewat jalur tikus-tikus itu tadi” balasku.
Kami memang tak punya pilihan, tempat ini terasa amat asing, bahaya serasa mengintai dimana-mana. Udara terasa kian dingin, aku merapatkan jaket sembari menggosok-gosok kedua telapak tangan.
Kami berjalan beriringan dalam diam, menyimpan cemas, ketakutan dan juga kekhawatiran yang bergemuruh di kepala masing-masing.
Dalam perjalanan, aku menjadi parno dengan suara korr atau pun decit serangga di sekeliling.
Setibanya di warung tempat awal kami menepi, kulihat Raka sedang bulak-balik di sekitar warung dengan raut wajah kebingungan--
--Aku dan Yuni pun tak kalah terkejutnya manakala melihat Nita sudah berbaring di saung warung dengan mata yang masih terpejam.
“Aryo! Yuni!. Kalian dari mana? Kok bisa--?”
Dia tampak semakin bingung lagi ketika melihat kami kembali dalam kondisi lusuh Baju Yuni yang penuh dengan lumpur berbau amis tak sedap
“Lah, ini Nita udah balik?” tanyaku, berbalik.
“Balik kemana? Emang dari tadi Nita di sini.”
“Rak, kita harus buru-buru cabut. Kamu liat aku sama Aryo? Kita tadi liat Nita Rakk—” ucapan Yuni terjeda, napasnya tersengal-sengal, dia nampak seperti frustasi.
“Arrgh…Panjang ceritanya, tapi yang pasti, tempat ini benar-benar gak beres. Kita harus cabut sekarang!” timpalku.
Aku segera membereskan barang-barang kami yang tercecer di saung tersebut, Yuni turut membantu, sedangkan Raka masih berdiri mematung , ia sibuk mempertanyakan hal-hal yang tak ada jawabannya—jelas, semua di luar nalar.
Raka menjelaskan bahwa sedaritadi dirinya mencari penjaga warung karena ingin bertanya arah jalan sekaligus membayar minuman yang kami pesan.
Akan tetapi, tiba-tiba seluruh penglihatannya terhadap pasar ini berubah seketika--
--pasar yang semula ramai dengan hiruk pikuk lalu lalang menjadi banding terbalik, pasar ini nampak berbeda, amat sepi, senyap--
--bahkan warung tempat kita memesan tadi terlihat tutup, dan yang anehnya lagi, minuman-minuman kami dari warung tersebut menjadi berbau anyir seperti telur busuk—itu yang membuat Raka sedaritadi mundar-mandir kebingungan sendiri
“Jelas kan? Ini gak beres, dari pada bengong begitu, mending bantuin kita beres-beres biar cepet.” Ujarku.
Yuni merapatkan pakaian Nita dan melapisinya dengan jaket lain miliknya. Lalu aku membantu Raka mengangkat tubuh Nita ke punggungnya,
rupanya kesadaran Nita masih belum pulih, matanya masih terpejam, dia sesekali mengeram seperti mengigau, suhu tubuhnya juga meninggi.
Tergopoh-gopoh, kami beranjak pergi keluar dari pasar tersebut.
Langit masih berwarna biru gelap, kala melihat arloji di tangan, jarum jam berhenti di waktu 18.00. Rasanya hampir tidak mungkin seluruh batrai jam milik kami mati secara bersamaan.
Lagi-lagi aku melihat Nita menyeringai mendelik ke belakang. Namun dalam satu kedipan mata, kulihat Nita masih terpejam.
Sesekali pandanganku berbayang, telingaku berdengung kuat seraya berada di dalam kabin pesawat yang kehilangan tekanan udaranya.
"Ada apa lagi ini?"
--BERSAMBUNG--
thread lanjut lusa ya, buat yang mau langsung baca tanpa terpotong-potong, silahkan download versi ebook di link berikut: karyakarsa.com/jeropoint/dusu…
terima kasih dukungannya.
---LANJUT---
“Rak, kayaknya ini bukan jalan kita naik tadi deh” ungkap Yuni,
Entah, kulihat sekeliling jalur pendakian tampak serupa, jalan setapak tanah di antara hutan rimbun dan gelapnya langit.
Suara korr serangga malam mulai terdengar nyaring dari berbagai arah. Kami hanya terus melangkah menuju satu arah yang kami yakini sebagai jalan turun.
Usai menuruni jalur berkelok, terdengar suara gending melantun riuh bersama iring-iringan instrumen tradisi lainnya layaknya sedang ada hajatan. Kami saling menatap heran,
Apakah ada pemukiman di atas gunung ini?
Kala itu, aku menjadi lebih waspada dan mencoba berpikir logis.
“Nggak, gak mungkin ada hajatan. Dari tadi tuh semua udah aneh, kita terus jalan aja. Jangan mampir-mampir lagi, biar cepet sampai.” Ujarku.
Kami semua mendengar suara lantunan gending itu bak oase di tengah padang gurun, kami lelah, lapar, haus, kotor, Nita kondisinya semakin parah, dan Yuni juga mulai nampak terseok-seok melanjutkan perjalanan dengan satu kakinya yang pincang.
Kepalaku pun pening, hanya Raka yang terlihat terus memaksakan diri sembari menggendong Nita di punggungnya.
“Kita terus jalan aja sampai benar-benar gak kuat. Lebih cepat kita sampai, lebih baik.” Ucap Raka.
“Sekali lagi aku tanya, kamu yakin jalan kita turun ini benar? Aku ngerasa jalurnya beda.” Tangkas Yuni.
“Tapi emang gak ada jalan lain lagi Yun,” timpalku.
Suara gending itu terdengar lebih dekat. Sepertinya jalur yang kami tapaki juga membawa kami melewati tempat hajatan itu.
Sejujurnya, aku bertaruh dengan keadaan, satu sisi aku mengharapkan bantuan, dan bila menyambangi hajatan itu bisa jadi kami akan bertemu dengan orang-orang warga desa setempat yang dapat membantu kami—
toh, aku juga pernah mendengar memang ada beberapa desa yang berada di tengah-tengah gunung. Namun, bagaimana jika hajatan itu serupa seperti pasar tadi? ....
sama saja seperti kami mengantarkan nyawa sendiri.
Dari kejauhan kami melihat keramaian di tanah lapang dengan penerangan kuning remang, orang-orang berkerumun mengeliling menyaksikan sebuah pertunjukan, ada satu layar putih besar di tengah-tengahnya yang menampilkan siluet Wayang.
"Pesta Rakyat,"
"Pertunjukan Wayang"
Setidaknya itu yang ada di kepalaku,
“Kita ke sana” ujar Raka.
“Kita tanya jalan, cari bantuan.” Lanjutnya.
Tak ada satu pun dari kami yang menyangkal usulan Raka, itu memang pilihan rasional dari situasi kami saat ini.
Aku berupaya melupakan kekhawatiran-kekhawatiran akan kemungkinan terburuk dengan berpikiran positif.
Namun, tiba-tiba gerombolan anjing-anjing menggonggong dari arah belakang. Kami sontak menoleh terkejut.
“LARI!”
Sekitar depalan ekor anjing hitam liar mengarah mengejar kami seperti anjing-anjing liar yang kelaparan. Mereka bergerak cepat menerobos tingginya ilalang dan semak-semak di sisi kiri dan kanan.
Yuni berteriak histeris, aku berlari sambil menyeret satu tangannya agar tidak tertinggal.
Sementara anjing-anjing itu kian mendekat dan hendak melompat menerkam. Kami serentak berjongkok merunduk, bahkan Nita terlepas dari punggung Raka.
“SSSTTTTTT”
“SSSTTTTTT”
Seorang kakek tua berpakaian serba hitam mengenakan blankon di kepalanya memukul-mukul tanah dengan tongkat miliknya seraya menenangkan anjing-anjing itu seperti pawangnya.
Dia bergerak pelan ke kiri dan kanan sambil sesekali menyentak anjing-anjing itu agar tunduk.
“SSSSTTTTTTT”
Kawanan anjing hitam itu merapatkan barisan, sang kakek tua meraih beberapa utas tali lalu mengikat leher-leher anjing itu kemudian di kaitkan pada satu tali digenggamannya.
“KON KABEH SOPO?” sorot mata kakek tua itu menatap kami tajam seperti musuh
“KON KABEH ORA TEKO DESO IKI, KON KABEH SOPO?!”
Anjing-anjing mengerikan itu siaga di belakangnya seperti pengawal yang hanya tinggal menunggu perintah majikan untuk menghajar.
“Kami pendaki pak, kami ingin turun, teman kami sakit.” Jawab Raka, berupaya setenang mungkin.
“Sing podo teko, lali dalan moleh”
Aku terkejut ketika kaliamat itu keluar dari mulut kakek tua—kalimat misterius yang kami dengar sejak dari telaga.
Siapa kakek tua ini?
-Terperangkap-
Rambutnya sudah memutih dengan tubuh yang sedikit membungkuk, dia memperhatikan satu per satu dari kami.
Kakek tua itu tampak keras, dia melarang kami untuk melanjutkan perjalanan dan meminta kami berbalik arah.
Sungguh tidak mungkin, kami berbalik arah ke atas lagi setelah berjalan jauh sampai sini,
“Kalian tidak mengerti, ini bukan jalan pulang. Balik!” tegasnya.
Kami memang tidak mengerti maksud dari kakek tua yang berdiri bersama anjing-anjing hitam menghadang jalan kami.
“Jangan sesekali kalian mendekat ke sana.” Kakek itu menunjuk ke arah keramaian di tanah lapang tersebut,
“Balik!” sentaknya.
Belum sempat kami mengangkat kaki, tiba-tiba tubuh Nita bergetar kuat, dia kejang-kejang sampai Raka kewalahan menahan tubuhnya dan jatuh ke tanah.
Nita menggeliat di atas tanah lembab, bola matanya mendelik tenggelam ke atas menyisakan putih, bibirnya biru pucat, urat-urat wajahnya menonjol ke luar, disusul oleh tarikan bibirnya yang menyeringai,
Nita mengucap kalimat itu lagi dengan suara berat seperti bukan dirinya.
Kami panik, tak terkecuali sang kakek tua yang raut wajahnya berubah cemas.
Kedelapan ekor anjing liar itu menggonggong saling bersahut seolah mendeteksi bahaya yang mengancam.
Sigap, kakek tua tersebut menekan dahi Nita, dia tampak komat-kamit merapal mantera tanpa suara. Disaat bersamaan, Nita tertawa memekik. Dia benar-benar tampak mengerikan.
Kami mematung di tempat, ketakutan dan panik menguasai diri kami tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menyaksikan upaya Kakek tua yang baru kami temui itu.
Nita kian memberontak, kedua tangannya mencengkram tangan kakek tua itu amat kuat sampai kuku-kukunya menancap ke dalam kulit sang kakek.
“Tahan tubuh teman kalian, jangan sampai dia lari!” pinta kakek tua sembari menahan rasa sakit.
Aku dan Raka bergegas menahan tangan dan kaki Nita. Tenaga Nita amat kuat, aku dan Raka sampai kewalahan.
Syukur, setelah beberapa lama akhirnya tubuh Nita melemas dan dia berhasil ditenangkan.
Nita kembali kehilangan kesadaran, matanya terpejam namun mulutnya menganga terbuka, rahangnya mengeras sehingga sulit dirapatkan. Kami cemas, apa yang terjadi pada nita? …
“Dia bisa mati jika tidak segera ditolong.” Ujar Kakek Tua menunjuk wajah Nita
“Pak, tolong kami pak, bawa kami pulang, tolong Nita.”
Yuni seketika memohon histeris pada kakek tua tersebut, seraya ketakutan-ketakutan yang ditimbun sedaritadi meledak bersamaan.
“Yuni!”
spontan aku menggidik padanya memberi isyarat bahwa tidak seharusnya meminta tolong pada sosok kakek tua asing itu.
Bukannya tidak mementingkan keselamatan Yuni, tapi aku menjadi lebih was-was dalam situasi seperti ini. Terlebih kakek tua ini tampak tidak suka dengan kami sedari awal.
“Terus gimana? Kamu mau biarin Nita gitu aja? Mau tanggung jawab kalau ada apa-apa?” Balas Yuni.
Aku tak yakin apa itu memang pilihan terbaik. aku bingung harus bagaimana, situasi saat itu benar-benar kacau.
Tapi satu sisi, perkataan Yuni ada benarnya—melanjutkan perjalanan sama saja mengambil resiko atas keselamatan Nita.
Raka memeriksa kondisi Nita, dirasakan olehnya denyut nadi Nita yang mulai melambat, suhu tubuhnya kian meninggi, dan getaran dibibir mendakan Nita tengah mengigil.
“Tolong Nita pak, setelah itu kami akan langsung pergi dari tempat ini.” Ucap Raka.
Raka seolah mengamini bahwa kakek tua itu satu-satunya harapan yang dapat menyembuhkan Nita setelah melihat kejadian di luar nalar yang terjadi pada Nita.
Kalah suara, aku tak punya pilihan untuk menyangkal lagi, aku juga tidak mau disalahkan atas apa yang tejadi pada Nita apabila mengalami kemungkinan terburuk.
Kakek tua tersebut tampak menimbang-nimbang penuh ragu, raut wajahnya dipenuhi kecemasan.
“Satu syarat, selama teman kalian diobati, tidak boleh satu pun dari kalian yang keluar dari rumah saya, apalagi sampai keluyuran di desa ini.” Ujarnya.
Kami mengangguk setuju, Penuh kehati-hatian kami bergegas mengangkat tubuh Nita dan berjalan mengekori kakek tua dan anjing-anjingnya yang menjadi pemandu jalan melewati hutan.
Kami tidak melewati jalan setapak yang biasa kami lewati sebelumnya, Kakek tua ini mengajak kami memindik-mindik membelah hutan dengan semak-semak meramban dan pohon-pohon besar berakar menjalar, seolah, ia tidak ingin sampai ada orang lain yang mengetahui keberadaan kami,
“kek, maaf—kita panggil kakek apa?”
“Mbah Surop”
* * * * *
Setelah menembus lebatnya hutan, kami sampai di pintu belakang sebuah rumah berbahan dasar kayu yang disulam dengan rajutan bambu pada bagian jendela-jendelanya.
Di bagian belakang rumah ini terdapat sekitar empat pintu kandang ayam yang seluruhnya dihuni oleh ayam hitam jenis cemani.
Aku bergidik merinding memperhatikan sekitar, hawanya terasa tak biasa, ditambah samar-samar aroma dupa tercium dan kian menyerbak ketika kami memasuki bagian dalam rumah ini.
Terdapat sesaji yang terampar hampir di setiap sudut-sudut rumah.
Aku tercengang seketika, namun bukan karena benda-benda klenik itu, melainkan ketika aku melihat satu keranda jenazah yang di dalamnya terbaring mayit seorang gadis penuh luka basah yang berbau amis
“Mbah, ini—?”
“Anak saya, dia belum mati”
Aku mengernyit, bisa dipastikan aku tak melihat tanda-tanda pergerakan napas yang mengembang di dada atau perutnya, dan jika memang belum mati, mengapa dibaringkan di dalam keranda mayit? …
Aku, Raka, dan Yuni saling menatap satu sama lain. Hari itu, ialah awal mula kami mengantarkan diri sendiri pada petaka lingkaran setan.
Di rawa besar yang menjadi hilir dari tempat ditemukannya mayat-mayat hanyut yg hilang.
Seorang pengemudi perahu (nelayan) mengatakan bahwa ia ketemu seorang bapak yg mau pesugihan menumbalkan anaknya sendiri.
"Bapak itu minta di antar ketemu kuncen desa."
Waktu itu gak sengaja singgah ke sebuah rawa besar yang tersohor di Jawa Tengah. Sejatinya tempat itu sangat indah, saya memutuskan naik perahu mengelilingi rawa yang lebih pantas disebut danau.
Saya gak sebut nama rawanya yah, karena kalian orang sekitar pasti tau betul sama rawa ini.
Sudah bisa tebak dimana? ..
Pas di dermaga sebelum naik perahu, ngobrol sama pemancing, dia bilang--
“Mereka me-ruqyahku, tapi aku tidak melihat mereka mengeluarkan sesuatu dari dalam diriku, tapi justru malah memasukan ‘jin’ lain ke dalam tubuhku.”
Utas singkat dari balik ‘Pondok’
- A Thread-
#CeritaSerem
Mungkin judul utas di atas menyisakan pertanyaan “Loh, kok bisa? Bukannya ruqyah membersihkan diri? kenapa jadi sebaliknya?” ...
Betul, sejatinya Ruqyah ialah salah satu bentuk ruwatan diri yang memiliki segudang manfaat--
Namun sayangnya, banyak ‘oknum’ yang memanfaatkan label ruqyah tersebut untuk kepentingan pribadi. Kisah singkat ini menjadi satu dari sekian banyak contoh kasusnya.
Silahkan tandai, RT, tinggalkan jejak atau markah judul thread teratas agar tidak terlewat update-nya.
“Aku yakin betul naik kereta malam itu, tapi orang-orang melihat aku jalan kaki di atas rel.”
KERETA MALAM
-PEMBERANGKATAN TERAKHIR-
A THREAD
#CeritaSerem
Kisah ini terjadi pada 2006 silam, kala itu santer rumor beredar mengenai 'pemberangkatan terakhir ialah kereta gaib'.
Sila tinggalkan jejak, RT, like atau tandai dulu judul utas di atas agar thread tidak hilang atau ketinggalan update.
Maleman kita mulai.
Ini sepenggal kisah yang sampai sekarang membuatku parno naik kereta di jam malam. Peristiwa itu amat melekat diingatan bagaimana aku menempuh perjalanan tanpa sadar JKT-YK dalam waktu hampir 5 hari tapi rasanya waktu berhenti di satu malam pertama--
Satu dari ke-lima pendaki ini seketika kejang-kejang. Saat mereka berupaya turun, mereka malah terjebak masuk ke pasar yg sebelumnya tak pernah mereka lihat.
"KAMI DITERIAKI SURUH PULANG.”
A Thread
#ceritaserem
Tinggalkan jejak atau tandai judul utas di atas agar tidak hilang.
Kalian yang suka mendaki ada pengalaman ganjil selama nanjak?
Sambil nunggu cerita ini up, boleh cerita di reply ya.
Maleman kita mulai …
-- Mari Kita Mulai--
2012,
Waktu itu, aku baru lulus SMA. Lagi masa tenang setelah UN. Salah satu juniorku minta diantar untuk 'nanjak' ke gunung salak.
Rombongan mereka tak banyak, hanya 4 orang : 2 perempuan, 2 laki-laki.
Dalang ditemukan tewas saat mencoba memp*rkosa sindennya.
“SINDEN BUKANLAH PELACUR YANG BISA KALIAN ‘PAKAI’ SEENAKNYA!”, ucap Rinjani sebelum pingsan di samping jasad si dalang yang kepalanya sudah melintir dengan tusuk konde yang menancap di telinga.
#SindenGaib #KisahNyata
Di pedalaman Trenggalek, ada sebuah urban legend tentang sosok arwah sinden yg gemar mendatangi dan merasuki sinden-sinden cantik dgn suara yg indah.
Namun, dalam satu pagelaran, akan ada korban yg hilang.
Mengapa?
Sila tandai, Like atau tinggalkan jejak, nnti malam kita mulai
Cerita tentang sinden ini bukanlah rahasia umum lagi, terutama di dunia kesenian tradisional
tanah Jawa, yaitu pewayangan. Sinden merupakan kunci utama untuk menampilkan eloknya
iringan lagu dengan nyanyian yang terdengar menyayat meski merdu.
Foto di atas dikirim oleh narasumber yg menemukan gumpalan rambut tertamam di halaman rumahnya.
Silahkan tandai, RT atau like judul utas di atas agar tidak hilang. Nanti malam kita lanjut.
--Mari kita mulai--
Panggil saja aku Yuli, Sudah tiga tahun ini, keluargaku satu per satu meninggal secara tidak wajar. Anggota keluarga kami terdiri dari 5 orang, dan sekarang hanya tersisa 2 (Aku dan Ibu).