Jella Profile picture
Apr 26, 2023 98 tweets 24 min read Read on X
Prajanji Atma
"Kenapa ibu berubah jadi pocong dan meneror saya setiap malam?"

(Jaga Ibu long version)
#threadhoror #ceritahoror #thriller #bacahorror #auhoror Image
Disclaimer
Cerita di bawah ini merupakan fiksi, tidak ada hubungannya di dunia nyata. Semua nama orang, tempat, alur, hanyalah karangan dari penulis. Bagi yang penakut bisa keluar dari lapak ini karna mengandung beberapa jumpscare.

Klik link, edit sesuai keinginanmu, lalu unduh untuk mendapatkan tiket baca gratis. Buktikan mental kalian sudah siap membaca cerita ini. Jangan lupa wtp (want to pamer) dan mengutip twit ini. https://t.co/av8rnRGzg2canva.com/design/DAFhLmP…
happy reading and enjoy😈
Prolog



1.





2.





3.





4.



5.

6.

7.

8.





9.





10.





11.





12.

13.

Usai memastikan pintu terkunci rapat, Ratna berjalan sedikit tergesa di sepanjang koridor apartemen. Langkahnya pun sampai di depan pintu lift. Ia sedikit menundukkan pandangannya kala bersitatap dengan seorang lansia yang sedang berdiri di dalam kabin lift bagian pojok kanan.
Ratna menekan tombol plasebo yang mengarahkan lift ke lantai dasar. Kini hanya terdengar suara pergerakan kabin lift menuju bawah dan ketukan ujung sepatu milik Ratna yg memecah keheningan sesaat. Sesekali ia melirik ke kanan, tepatnya ke sosok wanita lansia itu.
"Ojo lungo, nek ora gelem ciloko." perhatian Ratna yg sebelumnya ke layar penanda arah lantai mendadak menoleh ke samping. Nenek itu memberikan tatapan intimidasi untuknya.
"Ne-nenek ngomong sama saya?" tanya Ratna memastikan.
Namun Nenek itu justru memalingkan mukanya kembali ke depan.
𝘛𝘪𝘯𝘨
Pintu lift terbuka lebar. Tanpa pikir panjang Ratna menenteng kembali tasnya dan segera keluar dari kabin lift. Ia tidak memedulikan ucapan aneh dari nenek itu tanpa ingin cari tau maksud perkataan beliau.
14.

Sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang melewati jalanan basah. Di sekelilingnya terdapat pohon-pohon menjulang tinggi yang senantiasa menemani perjalanan Ratna menuju Kampung Renjani. Nabastala menampakkan wujudnya berwarna jingga pertanda hari semakin sore.
Hampir 4 jam ia mengendarai mobil. Sesekali ia merenggangkan otot-otot jarinya. Di tengah perjalanan, sorot mata Ratna tak sengaja tertuju pada sebuah warung di pinggir jalan. Lantas Ratna segera menepikan mobilnya. Ia berhenti sejenak untuk menunda rasa lapar.
"Mau pesan apa mba?"
"Teh hangat satu," jawab Ratna.
"Ada tambahan lain?"
Tatapan Ratna jatuh pada bungkusan lontong dan beberapa gorengan yang tersedia di sana. "Saya ambil gorengan sama lontong."
Si pemilik warung itu mengangguk seraya tersenyum ramah ke arah Ratna. Sebut saja namanya Bu Tika.
"Mba mau ke mana to?"
"Pulang ke kampung."
"Oalah pantesan, sek sek sek, niki tak lihat-lihat, mbaknya dari luar kota yo?" tebakan Bu Tika dijawab anggukan singkat oleh Ratna.
"Walah walah, mbanya berani buanget. Sendirian nyupir dari luar kota sampai sini. Sudah biasa tah?"
Sekali lagi, Ratna mengangguk. "Iya, bu."
"Mau ke mana to mba? Jauh-jauh dari luar kota sampai sini?" Bu Tika menaruh teh hangat buatannya di meja Ratna.
"Kampung Renjani."
"Aku koyo tau krungu mba, tapi lali, sek yo aku arep mikir sedilut."
Di sela-sela menanti responnya, Ratna menyeruput segelas teh hangat dan memakan beberapa gorengan. Hingga tak terasa perutnya terasa kenyang.
"Ohhh, aku tembe eling mba. Aku ngerti kampung kui."
"Mba, kalau mau lewat daerah sini hati hati, 400 meter ke sana jalanannya lumayan terjal," pesan Bu Tika.
"Kira-kira buat nyampe ke kampung Renjani masih jauh ga, bu?"
"Lumayan mba, kalau mba nyupirnya santai, kemungkinan nyampe sana habis maghrib."
Ratna menghela napas pelan, ia melirik arlojinya yang menunjukkan pukul 4 sore.
𝘒𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘔𝘢𝘨𝘩𝘳𝘪𝘣, 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘳𝘵𝘪 𝘬𝘦𝘮𝘶𝘯𝘨𝘬𝘪𝘯𝘢𝘯 𝘪𝘣𝘶 𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘬𝘶𝘣𝘶𝘳𝘪𝘯, batinnya.
Ia beralih mengecek ponsel, namun sayangnya tak mendapatkan notifikasi.
Ratna baru tersadar akan sesuatu. Jaringan ponselnya hilang dan menjadi alasan dibalik belum munculnya notifikasi dari Megan maupun Bude.
"Kalau boleh tau, mba dari kota mana? Berangkat dari rumah sejak kapan?" celetuk Bu Tika.
"Saya dari Jakarta, berangkat di jam siang."
"Saya kira dari kota Sentar, adoh tenan kui mba. Puasti sampeyan kesel. Bentar yo mba, saya tak buatkan gorengan lagi buat bekal perjalanan."
"Eh, gausah bu, gausah, ini udah cukup," tolak Ratna buru-buru.
"Wes mba, ndapapa, saya ke dapur dulu nggih."
Ratna kembali memeriksa dan mengotak-atik ponsel. Ia memikirkan cara supaya bisa memberi kabar terkait kondisinya sekarang ke teman-temannya.
"Arep nangdi sampeyan?"
(Mau ke mana kamu)
Ratna tersentak kaget mendengar suara rendah bercampur serak dari seorang lelaki tua.
Entah sejak kapan sosok lanjut usia itu telah duduk di sampingnya. Ratna lantas melirik tajam memperhatikan lelaki itu.
Berpakaian lurik coklat, celana hitam, dan caping yang menutupi wajahnya sebagian.
"Mau pulang mbah," jawabnya sedikit takut sesaat memperhatikan si kakek.
"Arep bali nangdi?" (Mau pulang kemana)
"Balik kampung, mbah."
Tanpa mengajukan pertanyaan lagi, sosok kakek itu memberikan sebuah benda berukuran kecil kepada Ratna.
"Watu iki dek awakku kanggo koe" (Batu ini dari saya untuk kamu)
"Ojo diguak," imbuhnya. (jangan dibuang)
"Un-untuk apa ya mbah?" Reaksi Ratna terlihat kebingungan. Batu itu kini berada di dalam genggamannya.
"Nggo perjalananmu. Mugi-mugi slamet tekan panggonan," tutur si kakek.
(buat perjalanan kamu, mudah mudahan selamet sampai tujuan)
Sosok itu memperlihat seutas senyumannya. Ratna yang merasa aneh buru-buru meninggalkan uang di atas meja. Ia juga mengantongi batu bewarna hitam legam pemberian sang kakek ke dalam saku celananya.
"Terima kasih mbah, saya pamit dulu, permisi."
Setelah Ratna pergi, sosok itu baru membuka topi capingnya. Memperlihatkan sebagian wajahnya yg tertutup tadi. Kedua mata yang sayu, rambut yang telah memutih, dan kulitnya keriput karena faktor usia.
"Rupane bocah kui isih urip...."
(Ternyata anak itu masih hidup)
"Mbak, ini gorengannya sampun mat—" Bu Tika terpaku melihat meja yang sebelumnya diisi oleh Ratna mendadak kosong. "Loh orang tadi kemana?!" Ia celingak-celinguk mencari keberadaan Ratna. Lantas tatapannya jatuh pada selembar uang kertas berwarna biru di atas meja.
"Oalah uwis bali to rupane. Bukane mau aku krungu si mba lagi ngobrol sama orang?" pikirnya.
Ia kembali celingak-celinguk menatap sekeliling. Mobil yang sebelumnya terparkir ternyata telah menghilang dari penglihatannya. Dan belum ada tanda-tanda kemunculan pelanggan baru.
[18.15 PM]
Rupanya Ratna butuh waktu dua jam untuk sampai di area perkampungan Renjani. Gapura yang menjadi pembatas pun telah dilaluinya. Kampung ini cenderung sepi dan gelap. Hanya beberapa lampu minim penerangan jalan yang tersisa.
Ratna mengurangi kecepatan mobilnya sembari mencari lokasi rumah. Google maps yang selama ini menuntun perjalanan Ratna kini tak berfungsi. Mau tak mau, Ratna menggunakan cara manual. Selang beberapa menit, atensinya tertuju pada bendera kuning yang terpasang di pilar rumah.
Ratna memarkirkan mobilnya di halaman. Setelah diperhatikan kondisi rumah yang cukup berbeda dibanding terakhir kali ia singgah.
"Akhirnya sampai juga. Kayanya emang bener ini rumahnya."
Ratna merenggangkan otot-otot jari dan punggungnya dan menghela napas panjang.
Perasaan ragu itu masih mengendap kuat dalam dirinya. Selama 5 menit, ia masih merenung dalam mobil seraya memperhatikan bangunan rumah yang telah berubah. Namun gaya arsitekturnya terlihat masih sama. Seingatnya dulu, material rumah itu terbuat dari kayu.
Sedangkan yang sekarang, rata-rata terbuat dari batu bata/beton, serta memiliki dinding berlapis semen dan cat berwarna putih.
"Ok, keluar sekarang," ucapnya dengan penuh keyakinan.
Begitu keluar dari mobil, Ratna menyampirkan tasnya di salah satu bahu.
Ratna memberanikan diri untuk melangkah masuk lebih jauh. Beberapa saat kedatangannya disambut baik oleh Bude Sri. Ratna tersenyum samar kala mendapat pelukan erat dan hangat dari wanita paruh baya itu. Punggungnya terasa diusap berulang kali dengan penuh kelembutan.
"Terima kasih ya nduk, sudah mau datang. Bude rindu sama kamu." Sri menceraikan pelukan. Tangannya bergerak menyentuh pipi Ratna. Kedua netranya menelisik. Sosok bayi yang pernah digendongnya kini tumbuh menjadi dewasa.
"Sudah besar kamu, nduk."
Ratna berdeham pelan, memutus suasana canggung yang mulai melingkup.
"Ibu udah dikubur?"
"Masuk dulu nduk, biar bude jelaskan di dalam." Sri menarik jemari Ratna, membawanya masuk ke dalam rumah.
Ratna mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan.
Di sana terlihat beberapa orang sedang mengaji dengan posisi duduk mengelilingi jenazah sang ibu. Ratna sempat bingung melihat jasad sang Ibu masih ada di sini. Ia pikir keterlambatannya membuat sang Ibu dikebumikan terlebih dahulu.
Melihat tubuh Ibu telah terbalut kain kafan, Ratna terdiam. Ia ikut bersimpuh di samping Bude Sri. Ratna merasa hatinya telah mati. Ia tak bisa menangis kala menyaksikan ibunya terbujur kaku di depan matanya persis. Ia menunduk dan memejamkan mata sembari membaca doa dalam hati.
"Ibumu belum dikubur karena sejak sore tadi hujan. Tanahnya jadi ambles ga karuan. Kemungkinan dikubur besok nduk," papar Sri. "Entah ini sebuah kebetulan, mungkin hujan tadi memang ngasih pertanda. Bahwa kamu harus melihat wajah ibumu tuk terakhir kalinya."
Sri mengusap pelan punggung tangan Ratna. "Maafkan segala kesalahan ibumu. Bude tau... apa yang kamu alami belasan tahun lalu. Bude juga tau perasaanmu sekarang. Tapi sekarang kondisinya berbeda. Ibumu sudah tiada. Bude pun sudah mengikhlaskan kepergiannya."
"Seandainya kamu masih benci sama ibumu. Bude mohon ya nduk, tolong dimaapin. Supaya beliau tenang di sana." pinta Sri yang membuat Ratna bingung harus merespon seperti apa.
"Saya... masih punya rasa empati. Makanya saya berani datang ke sini karena ibu."
"Walaupun ibu pernah berbuat jahat sama saya dan rasa kecewa saya terhadap beliau juga belum sepenuhnya hilang. Tapi saya mencoba untuk ikhlas." Ratna menatap wajah ibunya. "Bude ga perlu memaksa saya buat memaafkan ibu. Masalah tenang atau tidaknya, biar jadi urusan Tuhan."
Sri menepuk pelan bahu Ratna. "Bude paham akan maksudmu. Setiap orang punya kesalahan di masa lalu. Beberapa tahun terakhir, ibumu mulai dihantui rasa bersalah. Dia merasa kehilangan kamu, nduk. Di sisi lain, bapakmu mengira kamu sudah tiada. Namun karena perasaan ibumu kuat—
—dia yakin kamu masih hidup. Maka dari itu, dia ingin sekali bertemu denganmu. Dan ternyata kita masih diberi kesempatan untuk bertemu. Bude lega bisa bawa kamu ke sini, sekaligus di hadapan ibumu. Mungkin bagi ibumu ini lebih dari cukup. Amanat ibumu udah bude laksanakan."
[19.13 PM]
Oalah... Bulik pikir kamu dateng bareng sama suamimu. Rupanya sendiri toh." Wulan— adik dari Prabu Damawangsa itu menaruh segelas kopi panas di meja rendah. Jika dilihat seksama, usia Wulan tampak lebih muda dibanding Sri.
"Saya belum menikah," tegas Ratna.
"Memangnya umurmu berapa?" tanya Wulan penasaran.
"27."
"Umur segitu sudah mateng ke jenjang pernikahan. Kalau sudah punya calon suami, jangan lupa kenalkan ke kami," timpal Bude Sri ikut menimbrung.
Ratna mengangguk. Jujur saja topik pernikahan membuatnya lumayan sensi.
"Saran dari Bulik... cepatlah menikah. Keburu jodohmu dipatok ayam. Memangnya kamu mau jadi perawan tua?" celetuk Wulan.
𝑺𝒊𝒂𝒑𝒂 𝒋𝒖𝒈𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒂𝒔𝒊𝒉 𝒑𝒆𝒓𝒂𝒘𝒂𝒏, jawab Ratna dalam hati.
"Kamu sekarang tinggal di mana dan sama siapa?"
"Tinggal sendiri di Jakarta."
Wulan dibuat terkejut. "Terus gimana ceritanya kamu bisa tinggal sendiri sampai dapat kerjaan? Dari kecil kerja apa kamu?"
Sri menggelengkan kepala, memberikan isyarat agar Wulan berhenti untuk melontarkan banyak pertanyaan pada Ratna. "Diminum dulu nduk kopinya, keburu adem."
Ratna mengambil secangkir kopi panas. Ia meniup-niup ujung permukaan kopi sebelum diminum. Ekspresi wajah Ratna langsung berubah kala cairan bewarna hitam itu masuk ke dalam tenggorokannya.
"Kenapa nduk? Ada yang salah sama rasa kopinya?!" cemas Sri.
"Rasanya pait bude."
"Kamu ga suka kopi hitam toh?!"
Ratna menggeleng cepat, "Lumayan suka tapi ini terlalu pait."
"Yowis bulik ganti minumannya. Mau kopi susu atau yang lain?"
"Air putih aja."
"Sekedap nggih," pamit Wulan melenggang pergi ke dapur.
Sri lantas berpindah tempat duduk di samping Ratna
"Besok kita bicarakan masalah warisan. Dan, bude juga mau ngomong perihal ibumu. Ada begitu banyak rahasia yang harus kamu ketahui, nduk. Sudah saatnya kamu tau tentang latar belakang ibumu dan alasan kenapa ibumu berani melakukan 'itu'. Semua ada alasannya."
"Ibu... Nisa mau pulang. Ibu jadi nginep di sini?"
Ratna beralih memandang seorang gadis bersurai pendek tengah berjalan mendekati Sri. Ia pun disapa hangat lalu diajak berjabat tangan singkat oleh gadis itu.
"Ini sudah malam lho nak, lebih baik menginap saja sama ibu di sini."
"Gabisalah bu, aku ada kelas pagi," tolak Nisa. "Ibu mau menginap berapa hari?"
"7 hari."
"Nanti ibu hubungi aku, biar aku jemput."
"Kamu mau bawa mobil? Kenapa ga minta dianter Mas Bayu aja?"
"Nisa udah gede bu, ibu ga perlu khawatir. Mas Bayu juga lagi istirahat."
"Oh ya nduk, ini anaknya bude yang paling bontot," ujar Sri memperkenalkan anak bungsunya. "Nisa, itu anak mbarepnya Paklik, dia kakak sepupu kamu."
Alis Nisa mengerut bingung. "Loh, aku kira anaknya Paklik cuma Mas Bayu?"
"Ratna ini anak pertama, sekaligus cucu pertama,"
"Tapi kan aku kalau main ke sini setiap setahun sekali. Kok Mba Ratna ga pernah keliatan?" sela Nisa.
"Saya merantau. Memang ga pernah pulang ke sini selama bertahun-tahun," terang Ratna yang membuat gadis itu mengangguk paham.
"Oh gitu, pantes ga pernah keliatan."
"Nisa pamit ya bu, assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam hati-hati nak, kabari ibu setelah sampai rumah."
Mata Ratna berkeliling melihat sekitar. Tanpa sengaja ada satu sosok yang menyita perhatiannya. Sosok laki-laki paruh baya yang baru saja keluar dari salah satu ruangan.
Hingga di momen inilah kedua mata mereka saling bersitatap. Ratna dibuat terpaku. Ia mengenali sosok itu. Setelah sekian lama, Ratna kembali bersua dengan lelaki yg pernah membuatnya menangis di masa lampau. Buru-buru Ratna memutus kontak mata.
𝘽𝙖𝙥𝙖𝙠....
Pandangan dialihkan cepat ke Wulan yang berjalan dari arah berlawanan.
"Maaf bude lama ngambil minumnya. Ratna sampun dahar?"
"Sampun."
Melihat raut muka Ratna kelelahan , Sri langsung berinisiatif mengantarkan Ratna ke kamar yang terletak di lantai 2 untuk beristirahat.
Di lantai dua terdapat tiga kamar. Ratna mendapat bagian kamar paling pojok.
"Ratna."
Panggilan itu membuatnya ikut terhenti. "Kenapa bude?"
Sri menunjuk sesuatu di balik pintu kamar bagian tengah. "Nama lelaki itu Bayu, dia adik kamu."
Kalimat itu membuatnya terdiam.
Ia memperhatikan lelaki yang tengah tidur dengan posisi membelakanginya.
"Usianya 22 tahun. Dia udah dewasa seperti kamu. Dia juga merantau karena kuliah kedokteran. Semenjak dia tau kalau dia punya kakak, dia selalu penasaran sama kamu. Dia juga mau bertemu denganmu," kata Sri.
14.



15.





𝘚𝘳𝘦𝘵𝘵𝘵
Dalam hitungan detik raga Ratna dipaksa untuk bangun. Kedua mata terbelalak melihat selimut yg menutupi tubuhnya merosot hingga ke bawah pinggang. Ratna langsung memeriksa ujung ranjang. Namun nihil. Faktanya ia tidak menemukan apapun di sana.
Ratna membuang napas kasar. Mungkin cuma halusinasi, pikirnya pada saat itu. Ratna memerhatikan jam dinding yang menunjukkan pukul 11 malam.
𝘎𝘶𝘦 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘥𝘪 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘪𝘣𝘶....
𝘑𝘢𝘮 𝘴𝘦𝘨𝘪𝘯𝘪 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘴𝘶𝘴𝘢𝘩 𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘭𝘢𝘯𝘫𝘶𝘵 𝘵𝘪𝘥𝘶𝘳, batinnya
Ekor mata Ratna bergerak ke belakang. Mendapati pintu kamarnya terbuka lebar, ia segera beranjak dari tempat tidur.
𝐓𝐨𝐤 𝐓𝐨𝐤 𝐓𝐨𝐤 𝐓𝐨𝐤!!!
Ratna reflek mencari sumber suara. Ketukan itu terdengar dari sebuah lemari yg letaknya tak jauh dari ranjang tidurnya.
𝐓𝐨𝐤 𝐓𝐨𝐤 𝐓𝐨𝐤!
Bunyinya semakin kuat. Hal itu membuat Ratna bergerak untuk melihat isi dibalik lemari coklat tua yg terlihat cukup usang.
𝘉𝘳𝘢𝘬
Rasa penasaran Ratna akhirnya terjawab. Pintu lemari berhasil dibuka.
"Ohh, jadi kamu yang narik selimutku?!"
Sosok anak laki-laki yang bersembunyi di dalam lemari itu nyengir sambil natap Ratna. "Kak, main bareng yu?"
"Gak, udah malem, kamu ngapain di sini? Tidur sa—"
Belum selesai bicara, anak kecil itu berlari keluar kamar seraya tertawa riang, meninggalkan Ratna sendirian.
𝘋𝘢𝘴𝘢𝘳 𝘣𝘰𝘤𝘢𝘩, gerutunya dalam hati
"Duh, haus lagi."
Ratna beralih merogoh tas 'tuk mencari botol minum. "Yah habis, males banget jam segini harus ke bawah. Tapi lebih baik dilakuin, daripada dehidrasi."
Rupanya jam segini keadaan rumah tak sesepi yang dibayangkan, karena ia mendengar suara lantunan pengajian. Sumber suara itu berasal dari lantai dasar. Ratna menuruni papan trap tangga kayu dengan langkah hati-hati.
Sesampainya di sana, Ratna justru dibuat heran dengan kondisi beranda rumah. Tidak ada siapa pun di sana, kecuali jenazah ibu yang masih terbaring di atas tikar dengan balutan kain kafan.
Suara yang sebelumnya terdengar samar-samar pun mendadak menghilang entah ke mana, termasuk sosok anak kecil tadi.
"Loh kok sepi? Bukannya tadi ada orang ngaji? Gak mungkin gue salah denger."
Ratna celingak-celinguk menatap sekitar.
"Yang lain pada ke mana? Duh, gue gatau kamar bude pula."
Karena penasaran, Ratna mengacu langkahnya untuk memastikan. Ia menyempatkan membuka pintu rumah guna mengecek keadaan di luar. Merasa ada hal yang janggal, Ratna memutuskan untuk menghubungi Sri lewat chat.
16.

17.
Ratna kaget setengah mati setelah melihat Sri mengirimkan sebuah foto. Bulu kuduknya kontan berdiri. Seketika suasana berubah mencekam. Napas tercekat dalam hitungan sekon. Ia kesusahan menelan saliva. Ratna kemudian menurunkan ponsel dan menaikkan pandangannya secara perlahan.
"𝘈𝘯𝘢𝘬 𝘴𝘦𝘵𝘢𝘯𝘯𝘯."
Teriak histeris memenuhi seisi rumah. Ratna menaiki anak tangga dengan cepat. Sialnya di tengah perjalanan kakinya mati rasa. Tubuhnya nyaris terhuyung ke depan. Ritme jantung berdetak tak karuan diiringi napas tersengal berhasil membuat Ratna tak sanggup melangkahkan kakinya.
"𝑨𝒏𝒂𝒌𝒌𝒖... 𝒋𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒕𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂𝒍𝒌𝒂𝒏 𝒊𝒃𝒖... 𝒊𝒃𝒖 𝒃𝒆𝒍𝒖𝒎 𝒎𝒂𝒕𝒊...."
suara itu tepat di belakang raganya.
"Mbak bangun!"
𝑫𝒆𝒈𝒉!
Peluh-peluh keringat dingin membasahi sekujur tubuh Ratna. Dadanya naik turun, mengatur napas. Yang pertama kali ia lihat setelah membuka mata bukan langit-langit kamar, melainkan wajah pria yang terlihat khawatir.
"Mimpi buruk mba?"
Ratna mengerjapkan matanya berulang kali, memastikan apa yg dilihatnya adalah kenyataan
𝘔𝘪𝘮𝘱𝘪?
Satu helaan napas panjang keluar dari mulut Ratna. Baginya mimpi tadi terasa sangat nyata.
"Mba?" Bayu melambaikan tangan di depan muka Ratna.
"H-ha? Ng-nggak. Nggak papa," jawab Ratna lumayan gagap. Pikiran yg masih kacau, membuatnya tak fokus.
"Tunggu sebentar, biar aku ambilin minum."
Usai Bayu melenggang pergi, Ratna terduduk di atas ranjang dengan tatapan kosong.
Ia butuh waktu 3 menit untuk mengumpulkan jiwanya yg sempat hilang separuh di alam bawah sadar.
Tidak lama dari itu, Bayu datang membawa segelas air putih.
"Diminum dulu mba."
Ratna menerima pemberian Bayu dengan senang hati, "Makasih."

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Jella

Jella Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @Razella_

Sep 27, 2022
Jaga Ibu
"Nduk, pulang, ibumu sudah tiada."

Few tweets au horor
#ceritahoror
1.

2.
Read 41 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(