Netrakala Profile picture
Apr 28, 2023 149 tweets 14 min read Read on X
-A Thread-
Lebur Sukma - Peninggalan (Part 1)
@IDN_Horor @bacahorror_id @threadhororr
@menghorror @P_C_HORROR @Long77785509 @karyakarsa_id
#bacahorror #penumbalan #ceritaserem

AJangan lupa untuk RT, like dan coment ya.
Danke... Image
Thread ini hanya sebuah cerita, nama, tempat dan latar kejadian hanya fiktif yang bertujuan untuk menghibur.
Prolog

Derasnya air hujan dan suara gemuruh guntur yang saling bersahutan tidak membuat langkah kedua suami istri itu terhenti.
Mereka terus saja melangkah bahkan tidak memperdulikan kondisi mereka yang sudah renta. Rasa khawatir terus saja muncul dihati mereka tatkala baru saja ada sebuah pertanda yang muncul setelah puluhan tahun tidak terlihat.
“Pak...” panggil Marni, akan tetapi Kusno tidak menanggapi panggilan istrinya. Matanya terus terpancang pada rumah yang memiliki banyak kenangan didalamnya. Bagai sebuah roll film yang diputar begitu cepat, ingatan demi ingatan muncul dibenak laki-laki tua itu.
Mengusap matanya yang perih karena genangan air mata bercampur air hujan. Kusno kembali melangkah dan buru-buru membuka pintu. Namun saat dirinya membuka pintu dan melihat kedalam seketika tubuhnya terhenti...
“Kita terlambat Bu...” ucap Kusno yang langsung bersandar pada dinding sampai tubuhnya merosot.
Part 1 - Peninggalan

Dinda buru-buru meninggalkan toko tempat usahanya. Beberapa kali dia berdecak tidak sabar saat motor yang dikendarainya terjebak macet.
Pikirannya terus saja tertuju kepada Bu Nawang, mengingat beberapa saat lalu wanita itu menelphonenya dan meminta untuk segera pulang ke panti asuhan yang sudah menjadi tempat tinggalnya semala 20 tahun kebelakang.
“Semoga tidak terjadi apa-apa” batin Dinda, yang terus saja melajukan kendaraannya dengan kencang. Dia bahkan hampir tidak peduli dengan beberapa umpatan yang muncul dari pengendara lainnya.
Setelah 30 menit dilaluinya dengan tergesa-gesa. Kini Dinda tengah berdiri didepan bangunan yang memiliki berbagai memori didalamnya. Mengedarkan pandangan, Dinda sedikit terhenyak.
“Mobil siapa itu?” ucap Dinda keheranan, saat memperhatikan mobil mewah yang tengah terparkir disudut pekarangan panti asuhan.
“Kak Dinda...” terdengar sebuah suara teriakan, sontak Dinda langsung menolehkan kepalanya, tersenyum lembut. Belum juga dia menjawab suara teriakan itu, kini dirinya tengah dipeluk oleh seorang anak laki-laki.
“Herman” ucap Dinda sambil membalas pelukan laki-laki kecil didepannya.

“Kak Dinda sudah lama tidak main ke sini” rengek Herman saat sudah melepaskan pelukannya kepada Dinda.
“Maaf ya, Kakak lagi banyak kerjaan, jadi belum sempat...” belum juga Dinda menyelesaikan ucapannya. Beberapa bocah lainnya sudah berlari dan meneriakkan nama Dinda. Suasana menjadi riuh, sesekali Dinda terkekeh dengan sikap anak-anak panti saat melihat dirinya.
“Sudah... sudah, biar Kak Dinda masuk dulu” sontak Dinda langsung menoleh kearah sumber suara, perasaan kalutnya sedikit hilang ketika melihat Bu Nawang berdiri tidak jauh dari pintu depan sambil tersenyum ramah kepadanya.
“Bu Nawang” ucap Dinda yang langsung saja memeluk pengasuhnya “Ada apa Bu?” tanya Dinda penasaran saat sudah melepas pelukannya.
“Masuk Din, biar Pak Hamdan yang menjelaskan” kata Bu Nawang sambil beranjak masuk kedalam rumah.
Dinda terdiam mematung, mencoba mengingat-ingat siapa Pak Hamdan yang Bu Nawang maksudkan. “Dinda... ayok” ucap Bu Nawang, saat mendapati Dinda yang justru terdiam didepan pintu.
Melangkahkan kakinya, mereka berjalan beriringan. Saat memasuki ruang tamu, Dinda melihat seorang laki-laki paruh baya dengan perawakan tegas tengah duduk sambil memainkan handphone yang ada ditangannya.
“Dinda?” sapa Pak Hamdan dengan senyum simpulnya. Dinda tidak menjawab, dia masih terus mencoba meningat siapa gerangan Pak Hamdan.
“Duduk Din...” pinta Bu Nawang, saat melihat Dinda yang masih saja terus melihat Pak Hamdan. Tersadar, buru-buru Dinda duduk dikursi sebelah Bu Nawang.
“Perkenalkan, saya Hamdan. Sudah lama sekali saya mencari kamu” kata Hamdan sambil mengulurkan tangan kanannya.

“Saya Dinda Pak” kata Dinda yang sudah meraih tangan Pak Hamdan.
“Langsung saja kalau begitu, saya sudah menceritakan semua kepada Bu Nawang sebelum kamu datang kesini. Mungkin ini akan sedikit membingungkan.-
- Sudah lama saya mencoba mencari keberadaanmu, karena hanya ada satu petunjuk... ini...” ucap Pak Hamdan. Kali ini dia membuka tasnya dan menyerahkan sebuah kertas foto usang.
Seketika tubuh Dinda menengang, dia terus saja melihat foto yang kini tengah dia pegang.

“Bapak siapa?” ucap Dinda kembali memandang Pak Hamdan.
“Saya teman dari bapakmu, sekaligus kuasa hukum keluarga Sukmadji” ucap Hamdan dengan tatapan teduh.
Dinda tidak menanggapi, dia terus saja memandang Hamdan curiga. Batinnya benar-benar bingung. Setelah sekian lama dia tidak memikirkan tentang kedua orang tuanya,
kini tiba-tiba saja hadir seorang laki-laki tidak dikenal yang mengaku sebagai teman Bapaknya. Tidakah ini semua mencugikan?
“Maaf, saya belum mengerti. Bagaimana bapak bisa mendapatkan barang ini?” tanya Dinda datar. Baginya selama ini kedua orang tuanya sudah lama mati, tidak ada yang berarti lagi baginya.
“Sudah setahun ini saya mencoba mencari keberadaanmu, hanya sebuah foto usang dan sedikit petunjuk yang tertulis disalah satu buku milik Ibumu... Yang mengatakan kalau anaknya, dia titipkan disalah satu panti asuhan di kota ini” jawab Hamdan tenang.
Dia tahu kalau Dinda bukan orang bodoh, nampak sekali meskipun expresinya lunak tapi tatapannya penuh dengan selidik.
“Jika kau mau mengetahui semuanya datanglah besok ke tempat ini, karena percuma saja saya jelaskan semua. -
- Dari expresimu kau tidak akan percaya kalau memang orang tua mu sudah mencoba menyelamatkan dirimu dengan menitipkan anaknya ditempat ini” ucap Handam sambil menyerahkan secarik kertas yang bertuliskan sebuah alamat.
Dinda menerima kertas itu. Sejenak dia pandangi alamat yang tertera di kertas yang baru saja ia terima. Itu hanya berjarak beberapa jam dari kota tempat dirinya tinggal saat ini.
Dinda menatap Bu Nawang, meminta persetujuan. Namun Bu Nawang hanya diam, tidak memberikan petunjuk apapun.
“Kalau begitu saya permisi dulu, nomor handphone dan alamat rumah saya sudah saya berikan kepada Bu Nawang. Jika kamu butuh bantuan saya jangan sungkan untuk menghubungi saya, Din” ucap Pak Hamdan sambil beranjak dari tempat duduknya.

*****
“Belum tidur kamu Din?” sapa Bu Nawang saat mendapati Dinda tengah duduk diteras depan rumah. Menengok kearah sumber suara, Dinda tersenyum dan menggeser tubuhnya sedikit kesamping.
“Belum Bu, belum ngantuk... terimakasih” jawab Dinda sambil menerima secangkir teh dari Bu Nawang.
“Ibu tahu pasti kamu masih kepikiran kejadian tadi siang, bahkan ibu juga kaget karena selama ini tidak pernah ada yang mencari keberaanmu” ucap Bu Nawang, memandang kearah depan.
Ingatan bagaimana dia pertama kali menemukan Dinda masih teringat jelas dikepalanya. Bahkan kejadian itu seperti baru saja terjadi kemarin.
“Kamu sudah besar ya Din” ucap Nawang yang sekarang sudah melihat kearah Dinda.

“Apa yang harus Dinda lakukan Bu?” tanya Dinda, sekuat apapun dia mencoba untuk menahan perasaannya. Akhirnya dia hanya seorang wanita yang rindu dengan sebuah rumah.
“Lakukan apa yang memang bisa membuat perasaanmu lega, Din. Semua keputusan ada didalam dirimu. Jika memang kau siap untuk tahu apa yang terjadi dengan keluargamu pergilah. -
- Tapi jika memang kau sudah melupakan masa lalumu. Berhentilah” ucap Bu Nawang, sambil berdiri menuju kedalam rumah.
Dinda termenung memikirkan perkataan Bu Nawang. Dulu dia selalu iri dengan teman-temannya saat mereka diantarkan ke sekolah oleh orang tua mereka. Dia selalu iri dengan teman-temannya yang selalu dicari dan dimarahi oleh orang tuanya.
Tapi apa artinya semua ini sekarang? Apakah itu penting untuk Dinda?. Sudah 20 tahun lebih dia berdamai dengan kehidupannya. Kenapa dia harus mencoba mencari tahu lagi keberadaan orang yang sudah membuangnya?.
Seketika Dinda meletakkan kepalanya di antara tangannya, tangisnya pecah. Dadanya begitu sesak...

*****
“Dinda pamit dulu Bu, nanti Dinda kabari kalau sudah sampai disana” ucap Dinda sambil memeluk Bu Nawang.

“Kamu hati-hati. Kabari ibu kalau ada apa-apa” kata Nawang saat Dinda sudah melepaskan pelukannya.
Kini Dinda sudah duduk dalam mobil travel yang menghantarnya ke alamat yang diberikan oleh Pak Hamdan. Dinda tidak banyak membawa pakaian, hanya beberapa saja. Dia memang berniat hanya sehari dikota tersebut. Setelah semua selesai dia akan kembali pulang.
Pandangan Dinda selalu saja melihat keluar jendela, sesekali air matanya meleleh. Jantungnya berdebar tidak karuan, perasaannya benar-benar kacau.

“Apa Bapak dan Ibu masih hidup?” batin Dinda penasaran.
Tak terasa tiga jam sudah perjalanan yang Dinda lalui. Saat ini Dinda tengah duduk disalah satu bangku ruang tunggu, di travel agen yang baru saja dia gunakan. Sesekali dia melihat kearah jam tangannya. Jelas sekali wajahnya terlihat cemas.
“Dinda?” terdengar suara laki-laki tepat disamping Dinda. Menolehkan kepalanya, ternyata itu adalah Pak Hamdan. “Sudah lama nunggunya?” tanya Pak Hamdan ramah.

“Belum Pak, kita langsung pergi?” tanya Dinda yang sudah penasaran dengan tempat yang akan mereka tuju.
“Mari... tempatnya tidak jauh dari sini, paling cuma setengah jam” ajak Pak Hamdan menuju mobil sedan hitam miliknya.
“Bagaimana kabar kamu Din? Bapak tidak menyangka bisa bertemu dengan mu akhirnya” tanya Pak Hamdan saat mereka sudah berada didalam mobil.

“Baik pak” ucap Dinda secukupnya.
Dia masih menaruh curiga pada orang yang tengah duduk disampingnya. Bahkan ditasnya juga sudah dia siapkan pisau lipat dan juga semprotan merica, jika memang laki-laki ini tengah berniat buruk kepadanya.
“Pasti berat untukmu, aku sendiri juga tidak bisa berbuat banyak. Keluarga dari Bapakmu yang menyebabkan semua ini terjadi” kata Pak Hamdan.
Dinda tidak menjawab, dia masih terus saja melihat Pak Hamdan, menunggu kelanjutan cerita tentang kehidupannya yang masih menjadi misteri.
“Keluarga dari Bapak?” jawab Dinda saat Pak Hamdan tidak melanjutkan perkataannya.

“Keluarga Sukmadji terkenal sebagai salah keluarga terpandang ki kota ini, semua berawal dari situ” jawab Pak Hamdan.
“Apa bapak dan ibu masih hidup?” tanya Dinda setelah sekian lama menahan pertanayaan yang terus saja mengganggu di batinnya.
Pak Hamdan diam, dia terus saja terfokus pada jalan.

“Sebentar lagi kamu akan tahu” ucap Hamdan yang mulai melambatkan mobilnya dan masuk kesebuah jalan perkampungan.
“Nah, kita sudah sampai. Mari Din” ucap Pak Hamdan setelah memarkirkan mobilnya. Dinda mengela nafas, kemudian membuka pintu mobil dengan perlahan. Kini ia tengah berdiri disebuah perkarangan rumah yang cukup luas.
Pandangannya terfokus dengan bangunan model lama dengan gabungan joglo dan gaya kolonial yang khas.

“Rumah siapa ini Pak?” tanya Dinda yang masih saja memandangi bangunan yang ada dihadapannya.
“Rumah peninggalan Kakekmu,” kata Pak Hamdan sambil melangkahkan kakinya menuju kearah teras rumah.
“Assamualaikum, mbok” salam Pak Hamdan sambil mengetuk-ngetuk daun pintu. Butuh beberapa saat bagi Pak Hamdan untuk terus mengetuk dan memberi salam, hingga muncul satu wanita yang sudah cukup berumur dari dalam rumah.
“Waalaikumsalam, Pak Hamdan, Mari Pak” ucapnya yang langsung membuka pintu rumah itu lebar-lebar. Dinda memandangi setiap jengkal ruang, tidak ada yang aneh baginya semua nampak normal.
Selayaknya ruang tamu pada umumnya. Hanya ada sebuah lukisan besar yang tergantung disalah satu dinding ruang tersebut.
“Itu Kakek dan Nenekmu” ucap Pak Hamdan saat melihat Dinda terus saja memandangi lukisan besar yang ada dihadapannya.
“Saya masih tidak mengerti Pak, kenapa Bapak membawa saya ketempat ini” ucap Dinda, saat sudah duduk disalah satu kursi kayu dengan punggungan busa yang nyaman.
“Sebentar” ucap Hamdan sambil berdiri masuk kedalam rumah meninggalkan Dinda sendirian.
Sekali lagi pandangan Dinda tertuju pada lukisan besar yang tergantung di dinding depannya. Kalau memang benar kedua orang itu adalah Kakek Neneknya maka mereka adalah pasangan yang serasi.
Si laki-laki memiliki perawakan tinggi gagah menggunakan baju beskap jawa serta blangkon yang membuatnya terlihat tampan. Serta yang wanita terlihat ayu dan berwibawa dengan mengunakan baju kebaya berwana putih.
“Silahkan Non, diminum dulu” ucap Mbok Marni sambil menaruh dua cangkir teh didepannya. Dinda hanya tersenyum dan berterima kasih kepada Mbok Marni.
Cukup lama Dinda menunggu Pak Hamdan. Entah apa yang sedang dilakukan oleh laki-laki itu sampai 15 menit berselang, namun tetap belum kembali dari dalam rumah. Merasa bosan akhirnya Dinda beranjak keluar.
Dilihatnya lebih seksama suasana rumah milik kakeknya, sesekali dia menghirup nafas dalam-dalam.
Rumah ini begitu tenang dengan beberapa pohon yang rindang serta taman-taman kecil disekeliling pekarangan. Berbeda sekali dengan kehidupan Dinda selama ini, saat masih berada di Panti Asuhan yang tidak pernah sepi.
Hingga matanya menangkap sesuatu, ada seorang wanita yang tengah duduk diayunan yang terbuat dari ban bekas. Lama Dinda mengamati wanita itu, meski terlihat cantik namun entah kenapa perasaan Dinda sedikit terganggu dengan kehadirannya.
“Sini Din” terdengar suara Pak Hamdan dari arah belakang Dinda.
Dinda melihat Pak Hamdan membawa beberapa buku dan dokumen. Dinda menambil satu buku bersampul kulit. Bibirnya tersenyum tatkala melihat foto dirinya yang tengah bermain di pekarangan panti asuhan.
“Ibumu tidak pernah sekalipun meninggalkan mu” ucap Hamdan, yang kini mulai menyalakan sebatang rokok sambil terus mengamati Dinda.
“Sekarang dimana Ayah dan Ibu?” tanya Dinda setelah selesai menutup album foto yang barusan dilihatnya. Hamdan terdiam, seolah dia sedang menguatkan dirinya.
“Ajeng sudah meninggal beberapa tahun lalu” ucap Hamdan. Mendengar itu Dinda hanya tersenyum kecut.
Sedari kemarin dia memang sudah berusaha untuk tidak terlalu banyak berharap.

“Ada yang ingin saya tunjukan sama kamu, Din” kata Pak Hamdan yang langsung berdiri.
Mereka berjalan masuk kedalam rumah. Kini Dinda tahu kalau keluarganya memang berasal dari orang kaya.

“Kita mau kemana Pak?” ucap Dinda yang masih terus mengikuti Hamdan.
Tidak ada jawaban, Hamdan terus saja melangkah hingga dia berhenti didepan pintu kayu. Kemudian dia membuka pintu itu dengan perlahan.
Ternyata itu adalah kamar tidur yang cukup luas, dengan almari besar serta meja rias yang bisa menampung banyak barang.

“Mari masuk Din” ucap Hamdan.
Dinda bergeming, dia tetap berdiri diluar pintu. Ada alasan kuat untuk tidak mengikuti laki-laki yang ada didepannya.”Tidak perlu takut, lihatlah” ucap Hamdan yang saat melihat Dinda masih saja berdiri diluar pintu.
Dinda melangkah masuk, pandangannya masih terus menatap Hamdan lekat-lekat. Yang kini sudah menatap kearah tempat tidur. “Ahmad, Bapakmu” ucap Hamdan.
Deg... Jantung Dinda terasa terhenti, pandangannya yang selalu menatap Hamdan kini berubah menoleh kearah ranjang yang ada diujung ruangan.
Dinda terpaku, dia terus saja melihat laki-laki yang tengah berbaring diatas tempat tidur besar itu. Dinda bergerak perlahan, matanya denan jelas bisa melihat sosok Ayahnya yang sudah membuangnya ke panti asuhan.

“Apa yang terjadi dengan Ayah?” ucap Dinda penasaran.
“Setelah kematian Ajeng, tiba-tiba saja kondisi Ahmad memburuk, badannya tidak bisa digerakan. Dia hanya bisa berbicara bahkan untuk makan dan buang hajat dia mesti harus diantu oleh Mbok Marni dan Pak Kusno...
Semua sudah dilakukan, dari medis hingga orang pintar. Tapi sayang tidak ada perubahan sama sekali” ucap Hamdan, yang kini sudah berjalan menuju sisi ranjang.
“Mungkin ini karma, karena mereka sudah membuangku ke Panti Asuhan” ucap Dinda, batinnya masih terasa sakit dengan perlakuan orang tuanya. Tapi dia juga tidak tega melihat kondisi Ayahnya seperti ini.
Hamdan terus melihat kearah Dinda, “Saya tahu kamu sakit hati dengan perlakuan orang tuamu. Saya sendiri juga tidak tahu secara pasti alasan kenapa mereka sampai menaruhmu di panti itu. -
- Tapi jika memang kau mau mengetahui alasan dibalik semua ini, rawatlah Bapakmu itu” ucap Hamdan lantang.
Dinda tidak habis pikir dengan kalimat yang diucapkan oleh Pak Hamdan, bagaimana mungkin dia bisa meminta Dinda untuk merawat Bapaknya. Sementara mereka sendiri sudah tega membuang Dinda ke panti asuhan.
“Itu semua terserah kamu, tugas saya hanya mencarimu dan mengantarkanmu kesini. Kalau memang kau tidak mau...

Saya tidak akan memaksa, semua surat pemindahan warisan akan segera saya selesaikan” kata Hamdan seolah mengetahui apa yang sedang Dinda pikirkan.
*****
Sebentar ya, kita lanjut agak malam atau besok pagi. Silahkan yang mau kasih jejak, biar tahu kalau sudah update 😅
Bagi yang mau baca versi ebook, bisa mampir ke karyakarsa ya disana sudah sampai part 2. Atau bisa juga memberikan suport berupa dukungan atau tips karya. Terimakasih

karyakarsa.com/netrakala/lebu…
Setelah memikirkan semuanya dan meminta saran dari Bu Nawang. Akhirnya Dinda setuju untuk sementara tinggal dirumah peninggalan Kakeknya.
“Baik Pak, untuk sementara saya akan tinggal disini. Tapi jangan berharap saya bisa membuat orang itu bisa bangun dari tempat tidurnya” ucap Dinda.
Handam tersenyum, “Tidak masalah, sebentar saya panggilkan Mbok Marni dan Pak Kusno” ucap Hamdan yang langsung saja berdiri dan masuk kedalam rumah. Beberapa saat Dinda termenung, memikirkan kembali semoga keputusannya tidak salah kali ini.
“Din, ini Pak Kusno dan Mbok Marni, orang yang selama ini menjaga Bapakmu dan rumah ini” ucap Pak Hamdan yang kini tengah berdiri bersama dua orang laki-laki dan perempuan yang sudah berumur.
“Astaga, ini non Dinda to, lihat Pak, anaknya Bu Ajeng sudah besar” ucap Mbok Marni sambil berjalan menuju Dinda untuk menyalaminya. Sedang Pak Kusno hanya tersenyum dan menangguk.
“Kami tinggal dibelakang rumah, Non. Kalau ada apa-apa bisa langsung panggil saya” ucap Pak Kusno ramah.
“Mbok siapin kamar buat Dinda ya. Kamar yang sudah disiapkan sama Ajeng” ucap Hamdan. Mengangguk, Mbok Marni langsung berjalan menuju kedalam rumah.
“Ya sudah saya pulang dulu Din, kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk langsung menghubungi saya” ucap Pak Hamdan yang langsung menyalami Dinda dan Pak Kusno.
Seolah seperti sudah diatur, Dinda kini tengah berdiri didalam kamarnya. Sesekali dia mengedarkan pandangan mencoba untuk beradaptasi. Pikirannya masih kalut dengan kejadian yang serba tiba-tiba seperti ini. Melangkah, Dinda mencoba untuk membuka jendela kamarnya.
Dia terus saja mengedarkan pandangan, entah apa yang sedang Dinda cari. Hingga matanya kembali menangkap seorang perempuan tengah berdiri tidak jauh dari ayunan yang ada dibawah pohon mangga. Sedikit rasa penasaran muncul didalam diri Dinda, siapa wanita itu?.
Tok...tok...tok... “Non, non Dinda” terdengar suara mbok Marni dan ketukan pintu. Sontak Dinda langsung memalingkan kepalanya kearah pintu kamarnya, kemudian saat dia berpaling lagi melihat keluar. Sosok wanita itu sudah menghilang.
Tok...tok...tok... “Non, non Dinda” “ iya mbok, masuk aja” ucap Dinda yang langsung berjalan kearah pintu kamar.
“Non, makan dulu sudah mbok siapkan” ucap Mbok Marni. Tidak mau menolak karena memang perutnya sudah lapar. Dinda langsung berjalan menuju ruang makan.
“Temenin saya makan ya mbok? Pak Kusno kemana?” ucap Dinda saat sudah duduk diruang makan yang lumayan besar itu.
“Bapak masih ngurusin taman dibelakang Non” ucap Mbok Marni yang masih berdiri disamping Dinda.
“Mbok ngapain, sini duduk. Dan panggil saya Dinda gak perlu ada embel-embel non, saya tidak nyaman” ucap Dinda yang menarik kursi disebelahnya. Tidak berani menolak, Mbok Marni langsung duduk disamping Dinda.
“Habis makan temani saya dibelakang ya mbok, saya pengen tahu apa yang terjadi dengan keluarga ini” ucap Dinda. Seketika raut wajah Mbok Marni berubah, tidak ada anggukan. Bahkan justru malah terlihat sedikit ketakutan.
“Kenapa Mbok?” ucap Dinda.

“Gapapa, Non...” ucap Mbok Marni.

“Mbok sudah saya bilang, panggil Dinda... gak perlu pake embel-embel Non” ucap Dinda yang mulai jengah.

*****
“Jadi Ayah, tiba-tiba saja tidak bisa bergerak?” ucap Dinda keheranan saat mendengar cerita Mbok Marni mengenai kondisi Bapaknya.
“Iya Din, setelah kematian Bu Ajeng, tiba-tiba saja semua menjadi aneh. Bahkan Pak Sukmaadji yang biasa keras tiba-tiba saja menjadi pendiam” kata Mbok Marni.
“Jadi Kakek dan Nenek meninggal setahun setelah kematian Ibu?” tanya Dinda, dia masih belum sepenuhnya memahami apa yang diceritakan Mbok Marni. Dinda tahu betul ada bagian-bagian yang memang sengaja tidak disampaikan olehnya.
“Iya, setahun setelah kematian Bu Ajeng. Bapak dan ibu kecelakaan, mereka yang ada didalam mobil semua tidak tertolong” ujar Mbok Marni yang mulai merasa tidak nyaman.
“Saya masih sakit hati dengan perlakuan keluarga ini Mbok, saya pikir mereka dulu orang yang tidak punya. Sampai menaruh anaknya ke panti asuhan. Tapi saat saya melihat keadaan rumah ini justru saya malah merasa sudah dibuang dengan sengaja” ucap Dinda dengan tatapan nanar.
Tidak ada obrolan setelahnya, Mbok Marni memilih untuk tidak menanggapi perkataan Dinda. Dia hanya meminta maaf karena memang tidak tahu alasan dibalik masalah yang terjadi dikeluarga Sukmaadji.
Sore itu akhirnya Dinda hanya berkeliling rumah, sesekali dia menengok ke kamar Bapaknya berharap laki-laki itu sudah bangun. Tapi sepertinya percuma, karena saat Dinda mencoba memanggil Bapaknya. Sama sekali tidak ada sahutan yang muncul.
Malam mulai menjelang. Entah kenapa Dinda tidak bisa tertidur dengan lelap. Ada saja pikiran yang masuk kedalam kepalanya.
Suasana terlihat sangat sepi dan tenang, apalagi dengan rumah sebesar ini yang hanya dihuni oleh dia dan Bapaknya. Sedang Mbok Marni dan Pak Kusno tinggal di paviliun belakang rumah.
Dinda beranjak, percuma saja dia mencoba untuk tidur. Matanya masih menyalang, pikiran tentang kedua orang tuanya masih terus silih berganti masuk kedalam kepalanya.

“Astaga...” ucap Dinda yang sudah duduk menyandarkan tubuhnya.
Sejenak dia berniat untuk membuat minuman hangat, berharap bisa segera membuat kantuknya datang.
Perlahan Dinda bangkit berjalan menuju kearah dapur, hingga saat melewati kamar tidur bapaknya. Sayup-sayup Dinda mengendar ada orang yang tengah berbicara didalam.
Seketika Dinda terdiam, berfikir apa bapaknya sudah bangun? Dia mencoba mendekat. Jelas sekali ada suara-suara didalam kamar Bapaknya.
Dinda mulai mencoba mengetuk pintu kamar bapaknya. Tok...tok...tok... “Yah... ayah?” ucap Dinda sambil masih terus mencoba mengetuk pintu kamar.
Karena tidak ada jawaban. Nekat Dinda membuka pintu itu. Namun saat melihat kedalam. Suasana nampak sepi, Bapaknya masih tertidur diatas kasur.
Mengerutkan dahinya, Dinda melangkah masuk kedalam. Memandangi Bapaknya dengan seksama, tapi kondisinya masih tetap sama seperti saat pertama kali Dinda melihatnya.
“Mungkin salah dengar” ucap Dinda yang langsung kembali berjalan keluar.
Dinda sudah kembali kedalam kamar, secangkir teh hangat sudah ada ditangannya. Melihat jam ternyata sudah hampir tengah malam. Merasa tidak ada sesuatu yang harus dilakukan. Dinda berjalan kearah kasur berniat untuk tidur. Namun sekali lagi, pendengarannya menangkap sesuatu.
Dinda terdiam, sayup-sayup dia mendengar ada suara seperti suara seorang dalang yang sedang memainkan wayang. Dinda bangkit, mencoba untuk mendengarkan lebih jelas.
Dia benar-benar penasaran sekarang. “Apa itu suara radio dari arah Paviliun belakang rumah?” ucap Dinda.
Kembali Dinda beranjak, ketika membuka pintu kamarnya suara dalang itu semakin terdengar jelas. Terdiam mencoba mengikuti arah suara, Dinda mulai kebingungan. Jelas suara itu berasa dari arah kamar Bapaknya.
Buru-buru Dinda berjalan menuju kearah kamar Bapaknya. Dia mencoba menempelkan telinganya didaun pintu. Benar saja, suara itu berasal dari dalam kamar. Tanpa mengetuk, kali ini Dinda langsung membuka pintu kamar itu.
Namun seketika semua menjadi senyap, tidak ada suara apapun. Bahkan kondisi Bapaknya masih tetap sama. Hanya saja Dinda melihat korden jendela yang sudah terbuka lebar.
“Apa ada orang yang masuk?” batin Dinda yang langsung saja melangkah kearah jendela.
Hingga saat dia mencoba menutup kembali korden jendela, kembali matanya menangkap sosok wanita berbaju putih yang tengah duduk diayunan dibawah pohon mangga.
“Nduk, cah ayu... kenopo mulih... lungo ndug, lungo” (Nak, anak cantik... kenapa pulang... Pergi nak, pergi) sontak Dinda langsung menoleh kearah Bapaknya.
Kini laki-laki itu tengah berbicara, matanya masih tertutup. Entah kenapa suasana rumah menjadi jauh lebih menyeramkan. Seketika tubuh Dinda merinding hebat.

-TBC-
Bagi yang mau baca versi ebook, bisa mampir ke karyakarsa ya disana sudah sampai part 2. Atau bisa juga memberikan suport berupa dukungan atau tips karya. Terimakasih

karyakarsa.com/netrakala/lebu…
Spoiler part 2 - Kepingan Misteri

“Dinda” kata Ahmad lirih, suasana hening. Bahkan Dinda tidak menjawab panggilan Bapaknya.
Braaakkk... tiba-tiba saja jendela kayu terbuka dengan keras, angin mulai masuk kedalam kamar.
Sontak mereka berdua memalingkan kepalanya kearah sumber suara. Sepintas mereka melihat seorang perempuan tengah berjalan melewati kamar tidur Bapaknya.
“Pergi... Pergi ndug, kamu tidak boleh ada disini” ucap Ahmad panik masih memandangi jendela kamarnya.
Sedang Dinda yang masih shock dengan apa yang dia lihat langsung berpaling kearah Ahmad. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Bapaknya sebegitu tidak menginginkan dirinya.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Netrakala

Netrakala Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @netrasandekala

Aug 4
a Thread -
Wangsulan - Part 1
Saudara Kembar Ku Mati Karena Ritual Sesat Ayah.

@IDN_Horor @bacahorror Image
Disclaimer.
Cerita Pendek selesai di part 2 ( Sudah selesai di @karyakarsa).
Tidak diperkenankan untuk reupload cerita ini dalam bentuk apapun tanpa seizin Netrakala.
WANGSULAN
-Part 1-

“Menikah?” Tanya ku kaget.

“Iya, kapan mau nikahi aku? Aku butuh kepastian mu, mas” Jelas Hasna.
Read 95 tweets
Jul 12
-a thread
Kromoleo - Part 6 (END) Bag 2
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror
@IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Last part.

Kita Lanjutakan ya.
Part sebelumnya...
Aku terus melangkah, menuju ke rumah Najib. Sesekali aku melihat ada sekelebat bayangan bergerak di sampingku.

“Nduk”
Read 109 tweets
Jul 8
-a thread
Kromoleo - Part 6 (END)
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror
@IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Kita lanjut Part terakhir ya.

Mohon maaf jika ada kesalahan kata atau ejaan yang kurang baik.

Buat teman-teman minta komentarnya ya...
Read 95 tweets
Jul 3
-a thread
Kromoleo - Part 5
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror
@IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Part 5

Aku hanya berdiri di ambang pintu, mencari keberadaan Ratih. Namun yang ku temui hanya kesunyian.

Beberapa kali aku menyorot senter ke segala sisi, bahkan ke arah keranda di ujung ruangan.
Read 133 tweets
Jun 17
-a thread
Kromoleo - Part 4
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror
@IDN_Horor
#ceritaseram #ceritahoror Image
Sebelum lanjut ceritanya, minta bantu untuk RT, like dan coment ya.
Read 132 tweets
May 27
-a thread
Kromoleo - Part 3
Sebuah Pertanda Malapetaka
Ijin taq
@bacahorror @IDN_Horor

#ceritaseram #ceritahoror Image
Sebelum lanjut ceritanya, minta bantu untuk RT, like dan coment ya.
Read 148 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(